POV AuthorFattan merebahkan tubuhnya di sofa begitu sampai di rumah. Rasanya begitu lelah setelah kesibukannya beberapa hari bolak balik ke kantor papanya, di samping kesibukannya sebagai abdi negara, menjadi seorang Polisi.Menjadi Polisi adalah cita citanya sedari kecil. Fattan kecil begitu terpesona dan kagum setiap kali melihat para perwira yang berbadan tinggi tegap itu mengenakan seragam kebesaran mereka dengan segala atributnya. Di tambah dengan sepatu boot dan senjata di tangan mereka. Sungguh gagah dan berkharisma, begitulah pendapat Fattan kecil.Sedangkan menjadi seorang pengusaha sukses adalah tuntutan orang tuanya. Sebagai seorang pewaris perusahaan raksasa di Jakarta, Fattan lah pemegang estafet kepemilikan perusahaan setelah Papanya menyatakan pensiun. Meski sebelumnya, Fattan sempat menolak posisi tersebut."Biar Ferdy aja yang nerusin perusahaan Papa. Fattan belum berminat, Pa - Ma!" ucap Ferdy waktu itu, saat berkumpul di ruang keluarga."Kamu yakin dengan pilihan
Kedua mata Fattan tak berkedip menatap layar monitor CCTV. Matanya yang setajam elang memindai setiap hal yang terekam di dalamnya. Setiap sudut ruangan dan setiap orang yang hadir dan berlalu, tak luput dari perhatiannya."Tunggu...!" teriak Fattan tiba tiba. "Putar dua belas detik terakhir!" Layar diputar sesuai intruksi Fattan.Mata Fattan kian melebar mengamati rekaman kejadian."Stop! Perbesar gambar wanita yang memakai seragam katering itu!" perintah Fattan lagi. "Mira! Tak salah lagi, itu dia!" desisnya. Fattan segera berlari keluar gedung menuju tempat parkir. Ia ingin segera mengejar Mira yang sempat terekam kamera juga berjalan ke tempat itu dan kemudian pergi dengan sebuah mobil.Sementara itu di dalam gedung."Apa benar Mira kabur, Ma?" Ferdy yang melihat mamanya masih di dalam kamar rias Mira tiba tiba muncul dan bertanya.Rupanya Ferdy mulai menyadari kejanggalan yang terjadi saat melihat ekspresi dari orang orang di dalam gedung. Raut muka mereka begitu aneh. Mereka ju
"Tan Tan lucu banget, Ma! Hi hi hi..." Aiswa tergelak mengomentari kucing kecilnya yang sedang kupakaikan baju dengan model seragam polisi.Aku yang tadinya hanya iseng membelikan baju tersebut untuk Tan Tan menjadi semakin bersemangat. Apalagi Tan Tan yang jinak begitu penurut dan anteng saat aku mendandaninya."Foto-in, Ma! Foto-in!" teriak Aiswa begitu antusias setelah Tan Tan benar benar rapi. Tan Tan yang kupakaikan baju polisi lengkap dengan topi serta kaca mata hitam, memang terlihat sangat lucu dan menggemaskan. "Foto bertiga, yuk!" ajakku pada Aiswa yang langsung disambut anggukan kepala.Setelah beberapa kali jepretan, aku pun tersenyum puas melihat hasil foto foto kami. Satu foto dimana aku, Aiswa dan Tan Tan berpose bertiga kupilih dan kuunggah di storyku."Aiswa, tolong bukain pintu!" titahku pada Aiswa karna mendengar pintu rumah yang diketuk seseorang."Baik, Ma!" Aiswa pun segera berdiri dan berjalan ke pintu. Klik! Satu foto berhasil terkirim kepada seseorang. Sudut
Aku berjalan dengan langkah cepat masuk kantor. Jarak antara rumah dan tempat kerja yang lumayan jauh, ditambah padatnya kemacetan yang tak biasa hari ini membuatku datang sedikit terlambat."Eh, orangnya datang! Orangnya datang!" samar kudengar seseorang berbicara begitu aku memasuki ruang. Seperti memberi sebuah peringatan akan kehadiranku. Buktinya, sekelompok orang yang tadinya asik berkurumun di meja Siska langsung bubar begitu saja."Pagi!" sapaku pada mereka dan terus berjalan cuek menuju mejaku. Bagiku bukan hal yang baru melihat mereka bergosip pagi pagi seperti ini."Eh, Aina!" panggil Winda pelan menghampiriku."Ya," sahutku"Eh, tahu ga apa yang mereka bicarakan tadi?""Tidak pernah tertarik sama sekali," kataku menanggapi pertanyaan Winda barusan."Haiis, kamu itu! Jadi orang jangan terlalu cuek ngapa!" protesnya. Ia mendengus sebal sambil mengerucutkan bibir menatapku."Nih...!" lanjutnya seraya menyerahkan HP padaku. Aku mengernyit menerimanya. Apalagi melihat ekspresi
"Bagaimana keadaan Aiswa sekarang, Bu? Kenapa dia sampai bisa jatuh di tangga? Apa kata Dokter tadi, Bu?" aku memberondong Ibu dengan segala pertanyaan yang sedari tadi sudah menyesaki kepala.Ibu menepuk pundakku, ia pun berkata, " Tenang sedikit, Aina! Kata Dokter luka Aiswa tidak serius. Tadi sudah sempat siuman, tapi kembali tertidur setelah minum obat."Aku menarik napas lega mendengar semua penuturan Ibu. Nada bicara Ibu juga jauh lebih tenang, tak lagi panik seperti saat di telepon tadi.Aku berjalan mendekati Aiswa yang masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sebuah perban yang membalut lukanya menutupi sebagian dahinya. Wajah ayu putriku kini tampak pucat. Membuat hatiku pilu melihatnya."Ini Mama, Sayang," bisikku lembut di telinga Aiswa. Kuusap pucuk kepalanya dengan sangat hati hati"Syukurlah, Bu. Jujur aku tadi takut sekali. Apalagi Ibu bilang kepala Aiswa yang terbentur, sampai dia pingsan," kataku. Kini tanganku beralih meraih telapak tangan Aiswa."Sama saj
"Aiswa, makan yang banyak Sayang! Abis itu minum obat, biar cepat sembuh!" bujukku pada Aiswa yang masih susah makan.Namun putriku itu hanya menggeleng lemah. Menolak suapan dariku."Mulut Aiswa pahit, Ma! Ais ga selera makan," tolaknya."Ais bobok lagi aja ya, Ma?" imbuhnya lagi bertanya sambil membetulkan posisi kepalanya yang menyender pada bantal yang sengaja ditumpuk agak tinggi.Kuhela napas panjang. Bingung harus dengan cara apalagi membujuknya agar mau makan. Perut Aiswa masih kosong, sedangkan dia harus meminum obatnya pagi ini."Aiswa makan bareng sama Om, yuk! Om bawain bubur spesial buat Aiswa." "Om Tan Tan!" kata Aiswa setengah berseru. Matanya yang masih sayu sedikit berbinar menatap pintu.Aku menoleh mengikuti arah pandangan Aiswa. Mataku menyipit, heran saja melihat pria itu tiba tiba sudah berdiri di ambang pintu."Ais tahu ga kalau Om Tan Tan lagi belajar jadi Chef. Nah, nanti Mama sama Aiswa yang jadi Jurinya. Sapa nanti Juri yang paling bagus bakal dapet hadiah
"Nanti saja cucinya!" Fattan mencegahku. "Ambilkan obat Aiswa dulu!"Kulihat sekilas lelaki yang kini duduk di samping putriku. Rupanya dia kembali asik dengan Aiswa. Sesekali jari jari kekarnya mengusap lembut pipi gadis kecil itu. Jujur, ada sesuatu yang menghangat dalam diriku melihat keakraban mereka berdua."Cepat! Jangan sampai kamu kesulitan lagi membujuknya minum obat seperti tadi!" perintahnya lagi sedikit menyindir."Baik," aku menurut. Kuletakkan sapu tangan ditepi westafel begitu saja, lalu meraih kantong obat Aiswa di meja yang tak jauh dari tempatku berdiri. Segera kukeluarkan sebotol sirup dan beberapa tablet obat yang harus ku gerus dahulu sebelum meminumkannya pada Aiswa."Nah, sekarang Aiswa minum obatnya dulu ya!" Fattan mengusap lembut pucuk kepala Aiswa."Yang menang lomba siapa, Om?" Mendengar pertanyaan Aiswa, Fattan pun mengulum senyum di bibirnya. Rupanya gadis kecil itu masih penasaran."Oh ya, Om hampir lupa!" Fattan menepuk jidatnya."Sekarang saatnya para
"Apa apaan kalian ini? Jam kerja sudah dimulai, tapi kalian masih asik saja bercanda!" tiba tiba sebuah suara lantang menegur orang orang seisi ruang. Membuat Siska cs yang tengah asik berjoget seketika berhenti. Mulut mereka juga langsung terdiam."Eh, Pak Daniel!" Siska menyapa lelaki yang baru saja berteriak itu. Seolah berusaha menutupi kepanikannya."Hmm..." sahut Pak Daniel singkat. Sapaan Siska hanya ditanggapi acuh tak acuh olehnya."Kalian ini, perusahaan sedang dalam keadaan genting, tapi seperti ini cara kerja kalian!" Pak Daniel memelototi semua orang satu persatu. Terlihat amarah dari setiap kata yang terucap serta ekspresi wajahnya.Semua orang masih terdiam dan tak ada satupun yang berani berbicara. Haha, dalam hati aku tertawa. Kemana suara lantang mereka tadi saat menyindirku beramai ramai?Terlihat Siska merapikan rambutnya lalu maju beberapa langkah menuju Pak Daniel. Dengan intonasi yang terdengar begitu lembut ia pun berkata, "Maaf Pak, tadi kita hanya sekedar car