"Nanti saja cucinya!" Fattan mencegahku. "Ambilkan obat Aiswa dulu!"Kulihat sekilas lelaki yang kini duduk di samping putriku. Rupanya dia kembali asik dengan Aiswa. Sesekali jari jari kekarnya mengusap lembut pipi gadis kecil itu. Jujur, ada sesuatu yang menghangat dalam diriku melihat keakraban mereka berdua."Cepat! Jangan sampai kamu kesulitan lagi membujuknya minum obat seperti tadi!" perintahnya lagi sedikit menyindir."Baik," aku menurut. Kuletakkan sapu tangan ditepi westafel begitu saja, lalu meraih kantong obat Aiswa di meja yang tak jauh dari tempatku berdiri. Segera kukeluarkan sebotol sirup dan beberapa tablet obat yang harus ku gerus dahulu sebelum meminumkannya pada Aiswa."Nah, sekarang Aiswa minum obatnya dulu ya!" Fattan mengusap lembut pucuk kepala Aiswa."Yang menang lomba siapa, Om?" Mendengar pertanyaan Aiswa, Fattan pun mengulum senyum di bibirnya. Rupanya gadis kecil itu masih penasaran."Oh ya, Om hampir lupa!" Fattan menepuk jidatnya."Sekarang saatnya para
"Apa apaan kalian ini? Jam kerja sudah dimulai, tapi kalian masih asik saja bercanda!" tiba tiba sebuah suara lantang menegur orang orang seisi ruang. Membuat Siska cs yang tengah asik berjoget seketika berhenti. Mulut mereka juga langsung terdiam."Eh, Pak Daniel!" Siska menyapa lelaki yang baru saja berteriak itu. Seolah berusaha menutupi kepanikannya."Hmm..." sahut Pak Daniel singkat. Sapaan Siska hanya ditanggapi acuh tak acuh olehnya."Kalian ini, perusahaan sedang dalam keadaan genting, tapi seperti ini cara kerja kalian!" Pak Daniel memelototi semua orang satu persatu. Terlihat amarah dari setiap kata yang terucap serta ekspresi wajahnya.Semua orang masih terdiam dan tak ada satupun yang berani berbicara. Haha, dalam hati aku tertawa. Kemana suara lantang mereka tadi saat menyindirku beramai ramai?Terlihat Siska merapikan rambutnya lalu maju beberapa langkah menuju Pak Daniel. Dengan intonasi yang terdengar begitu lembut ia pun berkata, "Maaf Pak, tadi kita hanya sekedar car
"Waow salju!" pekik Aiswa girang begitu melihat hujan salju di depannya. Kedua tangannya menengadah berusaha menangkap salju salju yang sedang turun."Ayo, Ma... Ayo, Ma!" Aiswa menarik erat tanganku untuk berjalan lebih cepat pada hamparan salju di bawah kaki kami.Aku dan Aiswa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semua terlihat sangat mengagumkan. Salju salju itu turun dan jatuh di atas hamparan salju yang seperti permadani putih. Selain itu, berbagai pernak pernik dan aksen ciri khas daerah bersalju seperti boneka salju, papan seluncur dan bahkan rumah rumahan eskimo juga ada di sana.Meski salju salju ini bukanlah salju yang secara alami kita nikmati di alam bebas, tapi desain keseluruhan benar benar mirip seperti aslinya."Om Tan Tan, ke sini!" tangan Aiswa melambai pada lelaki yang tengah berdiri tak jauh dari kami.Fattan membalas lambaian tangan Aiswa. Dengan senyum lebar di bibirnya, ia pun berjalan menghampiri kami."Gimana Aiswa suka?" tanyanya pada putriku."Sangat suka!"
Kupejamkan mataku rapat rapat, tak tahan lagi dengan mata elangnya. Berharap dia segera melepaskan tangannya.Namun tiba tiba, kurasakan sesuatu yang sangat lembut tapi sedikit kenyal menyentuh bibirku.Aku terkejut!Cepat kubuka mata, memastikan apa yang terjadi. Hal pertama yang kudapati adalah sebuah wajah tampan tengah menatapku cuek. Bibirnya yang tipis mengulum senyum, sambil sesekali seperti sedang mengunyah sesuatu."Ma, cobain deh marshmellownya! Enak banget, deh!" Entah sejak kapan Aiswa sudah berdiri di sebelah Fattan. Dan entah sejak kapan kedua tangan kekar itu sudah terlepas dari wajahku."Buka mulutnya, Ma!" pinta Aiswa lagi, sambil terus mengunyah.Aku yang masih linglung, menurut saja apa kata Aiswa. Kubuka perlahan bibirku yang masih terkatup rapat. Perlahan juga sebuah jari telunjuk mendorong permen kenyal itu ke mulutku."Bagaimana, enak?" tanya Fattan usai memasukkan permen itu ke dalam mulutku.Tak ada jawaban dariku, melainkan hanya tatapan kesal padanya. Berula
"Aiswa sudah kamu kerjakan PR kamu, Sayang?" aku bertanya pada putriku sebelum dia benar benar tertidur."Sudah, Ma!""Oke, kalau begitu Aiswa cepat bobok! Mama masih ada yang harus dikerjakan. Mimpi indah!" aku mengecup kening Aiswa setelah membetulkan selimutnya."Mama juga cepat tidur, ya! Kasian Mama, boboknya malem malem terus." Aku tersenyum menanggapi pesannya. Meski begitu simpel, tapi nyata sekali putriku memang selalu memperhatikan mamanya ini."Aiswa takut Mama sakit kalau kecapekan," imbuhnya."Oke!" aku mengangguk tersenyum, tanda paham maksud kata kata gadis kecilku barusan.Setelah memastikan Aiswa selesai membaca doa sebelum tidur, aku pun berjalan keluar meninggalkan kamarnya."Aina!" Baru beberapa langkah dari kamar Aiswa, kudengar Ibu memanggilku."Ya, Bu!" sahutku."A - ada tamu.""Tamu?" ulangku. Merasa sedikit janggal dengan pengejaan Ibu kali ini yang sedikit gugup, serta ketegangan diwajahnya."Kalau teman kantor yang datang, bilang saja aku sudah tidur, Bu!
"Lalu, lalu bagaimana dengan Nita?" tanyaku ragu."Dia..." Dion menggantung ucapannya. "Aku akan menceraikannya!""Ap - apa?" reflek dengan kuat kuhempaskan kedua tangan Dion. Aku benar benar terkejut. Enteng sekali dia mengatakan niatnya.Ingin ku bantah ucapannya mentah mentah. Namun akhirnya urung kulakukan saat menyadari perubahan ekspresi wajah Dion yang mendadak sangat muram."Tuhan mungkin sedang menghukumku. Aku dulu meninggalkanmu disaat kamu mengandung anakmu. Tak pernah memikirkan penderitaan dan kesakitanmu waktu itu," ujarya lemah dengan suara yang hampir hilang. Seolah setiap kata kata yang diucapkannya mengandung beban yang sangat berat."Aina!" lagi ia menyebut namaku. Lalu dengan nada putus asa kembali berkata," Sekarang betapapun aku menginginkan seorang anak, Tuhan tidak akan pernah memberinya untukku. Tuhan menghukumku, Aina! Tuhan menghukumku...""Tuhan benar benar menghukumku...!"Plaaak!Satu tamparan kecil mendarat di pipi Dion. Aku terpaksa melakukannya. Dion
"Ah, apa?" aku terperangah menyadari tempat apa yang ditunjuk lelaki itu. Bukankah itu meja kerjaku?"Minggir... minggir dulu semua!" seorang office boy berteriak, berjalan membelah kerumunan. Di tangannya memegang sebuah botol parfum yang ia semprotkan ke seluruh area ruangan.Akhirnya semua orang mulai dapat bernapas lebih lega. Meski belum bisa mengusir bau secara sempurna, tapi setidaknya mampu sedikit menetralisirnya."Ooo..., dari ini nih, sumber baunya!" teriak Rudi si office boy. Badannya membungkuk di dekat sebuah meja yang tak lain adalah milikku. Ia seperti tengah serius melihat sesuatu di bawahnya."Kantong! Ada yang punya kantong kresek ga?" tanyanya lagi. "Ada tikus mati di sini!"Kami yang mendengar teriakan Rudi, beberapa diantaranya langsung bergerak mencari barang yang diminta Rudi barusan."Ini nih, ada..." Winda mengulurkan sebuah kresek warna hitam kepada Rudi.Detik berikutnya, nampak kedua tangan Rudi memasukkan benda ke dalam kresek. Mungkin itu adalah bangkai
Jam istirahat kantor, aku dan Winda memutuskan makan siang bareng di luar. Kali ini bukan di restoran seperti biasanya, tapi di warung kaki lima yang cukup terkenal masakannya di daerah kami. Tentu saja selain rasa makanannya, tipisnya kantong akhir bulan juga menjadi salah satu alasan. "Eh Non, gimana, gimana akting aku tadi? Kerenkan?" Winda bertanya sambil memainkan kedua alisnya naik turun lucu."Konyol banget sih, kamu! Jantung aku hampir mau copot, tahu ga?" "Ha ha ha, aku juga ga nyangka kalau reaksi Siska langsung mati kutu gitu," Winda justru tertawa lebar mendengar jawabanku."Kok bisa ya?" aku bertanya heran, memicingkan sebelah mata."Hmm... Kasih tahu ga, ya?" Winda melirik menggodaku. Aku mencebik sambil mengangkat bahu. Sahabatku satu ini memang berbeda dengan yang lain. Tingkahnya yang seringkali kepo namun sedikit kocak, kadang membuatku jengkel tapi juga geli secara bersamaan. Satu hal lagi yang membedakan dia dari yang lain, meski ceplas ceplos , Winda tak suka
Sekilas kulirik lelaki di sampingku. Dalam hati berkata, "Kenapa Fattan gak bilang kalau Mamanya dan Aiswa sudah saling mengenal?"Tapi di saat yang sama, ekor mataku menangkap Fattan yang tengah terbengong menatap dua orang yang masih saling berpelukan di depan kami. Mulut lelaki itu sedikit menganga, kedua matanya pun melebar. Dari ekspresinya, sepertinya ia juga sama terkejutnya denganku.Tunggu!Kalau begitu, itu berarti Fattan juga tidak tahu kalau keduanya memang telah saling kenal sebelumnya?"Fattan, Aina, Ayo masuk! Malah bengong kalian berdua!" titah Mama Fattan yang sedikit mengejutkan kami. "Fattan, kamu kenapa sih melongo begitu. Jelek, tahu?""Haa...?" secara hampir bersamaan aku dan Fattan menjawab. "Ma, Mama kok ga bilang kalau udah kenal sama Aiswa?" sembur Fattan langsung begitu memasuki rumah. Pertanyaan yang juga mewakili rasa penasaranku."Lah, Mama sendiri juga ga tahu kalau ternyata Aiswa ini adalah anak dari Aina," Mama Fattan melihat ke arahku.Aku tertunduk.
"Loyo banget keliatannya kamu, Na!" Wina mendekatiku, menoel lenganku. Lalu dengan suara berbisik dia kembali berkata, "Begadang ya? Mikirin ayang Polisi ya?" Pletaakk!Aku menjitak jidatnya. "Duuh...! Semena mena banget sih, Na!" katanya cemberut sambil mengusap usap jidatnya. Bibirnya mengerucut. Hingga gemas aku rasanya, ingin mengikatnya dengan karet.Aku terkekeh. "Salah sendiri jahil. Punya temen satu, mulutnya suka suka rada blong remnya," ujarku."Nah, situ ngelamun aja kerjaannya. Ntar kesambet setan jomblo, baru tahu rasa loh. Minta dikawin dia! Ha ha...""Yeee... Pantesnya tuh ya, tuh Setan ama kamu. Klop sama sama jahil, sama sama jomblo juga!""Enak aja ngatain jomblo! Gue punya Pak Daniel, tahu?" dan Wina langsung membekap mulutnya kemudian. "Alamak, keceplosan!lMataku membola, menatap Wina serius. Tapi tatapanku itu hanya dibalas nyengir kuda tak jelas olehnya."Oh, akhirnya, bebas sudah satu pria gak akan mengejarku lagi!" aku menarik napas panjang dan menghembuskan
"Kamu sudah siap?" Fattan bertanya ke sekian kalinya dengan pertanyaan yang sama, sejak dari ia menjemputku di rumah, hingga perjalanan menuju rumahnya.Dan aku sendiri hanya mengangguk tiap kali ia bertanya demikian.Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin dengan kesiapanku. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan wanita yang paling penting di hidup Fattan selama ini. Mamanya. Jujur saja, aku sangat nervous. Berkali kali kumenghela napas panjang untuk mengurangi kegugupan. Tapi sepertinya sama sekali tak berhasil.Ciiittt...!Rem mobil berdecit pelan saat mobil memasuki sebuah garasi yang sangat luas. "Keluar!" titah Fattan disertai senyum manisnya. Ia juga mencubit gemas pipiku. "Tenang saja, Ibuku adalah wanita teranggun di dunia. Dia bukan singa yang akan menerkammu. Ha ha..."Fattan terkekeh memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Aku segera keluar dari mobil setelah pintu mobil terbuka secara otomatis. Pemandangan yang tak biasa kini tersuguh di depan mataku. Bagaimana ti
"Gimana, bagus kan, Ma? Surprize dari kita?" Aiswa bertanya masih dengan senyum lebar di bibirnya. Alih alih menjawab pertanyaannya, diriku yang masih mematung karna shock, hanya mampu melongo tanpa seucap kata pun."Bagaimana Aiswa bisa berada di sini sekarang? Bahkan mungkin tiba lebih dulu dariku! Bukankah tadi kata Ibu, Aiswa sudah tidur lebih awal? Dan undangan makan malam itu, palsu?Seribu pertanyaan itu kini saling berjejal di pikiranku.Kupandang Fattan juga Aiswa bergantian. Rona ceria di wajah mereka mungkin sangat kontras dengan wajahku yang pucat pasi saat ini.Fattan melepaskan gandengan tangannya dari Aiswa. Ia kemudian berjalan menuju sebuah meja. Menuang segelas air putih dari sebuah dispenser. Lalu kembali berbalik kepada kami. "Minumlah!" titahnya, menyodorkan gelas kepadaku. Sepertinya ia mulai paham tentangku yang belum juga pulih dari keterkejutan.Tanpa menjawab lagi aku pun meraih gelas tersebut, dan menenggak isinya hingga tandas. Perlahan napasku yang tadinya
"Na, mau makan siang bareng?" tanya Winda yang kini telah berdiri di samping mejaku."Aduh, kayaknya ga deh Win! Kerjaan aku masih numpuk banget soalnya," tolakku halus seraya menggelengkan kepala. "Tapi nitip aja kali, ya?""Emm... gimana ya?" Winda menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibirnya. Pura pura berpikir. Menggodaku!Spontan saja kucubit pinggangnya. Membuatnya memekik geli, "Auu..., iya - iya, aku beliin! Ha ha ha...""Ehm... ehm...!" Mendengar suara deheman, aku dan Winda refleks menghentikan candaan kami. Hampir bersamaan kami menoleh. Sesosok pria dengan langkahnya yang tegap berjalan menghampiri kami."Eh, Pak Daniel!" sapa Winda pertama kali. Sementara aku hanya tersenyum dan menganggkukkan kepala melihat kehadirannya. "Kayaknya ada yang bakal diajak makan siang bareng, nih!" celetuk Winda melirik lirik ke arahku. Hmm, lagi bersiap siap usil dia rupanya!Aku melotot, dengan maksud supaya Winda berhenti berceloteh dan menggodaku. Karna memang dirinya sudah hapal di
"Bengong! Gimana, diterima tidak?" dia kembali bertanya."Aaah...?" aku makin tergagap. Ya ampun! Orang ini benar benar ga ada basa basinya menanyakan hal seperti ini, ya? To the point saja maunya. Melamarku dengan cara seperti ini. Sungguh nggak ada romantis romantisnya sama sekali!Eiiits...! Apa? Romantis? Lah, malah pikiranku kemana mana ini jadinya! Aku menepuk jidat frustasi."Aina!" kudengar Ibu memanggil. Kemudian setelahnya, ia sudah berdiri di ambang pintu. Raut mukanya kulihat seketika berubah canggung saat menatap ke dalam ruangan. Ah, iya! Jarak aku dan Fattan berdiri rupanya begitu dekat. "Maaf, mengganggu!" ucap Ibu sedikit kikuk."Nggak kok, Bu! Ada apa?" tanyaku. Dan di saat yang bersamaan, Fattan pun memutar badan ke arah Ibu berdiri. Ia lalu tersenyum dan menyapa, "Oh, Ibu?""Emm... Aina, ada tamu untukmu!" Ibu berkata mengungkapkan maksudnya menghampiri kami. Ekspresinya nampak ragu ketika mengatakannya."Tamu?" ulangku, sedikit mengernyit. Perasaan tidak ada tema
"A - apa?" tanyaku terbata, yang hanya dijawab dengan senyum mencibir di wajahnya."Kenapa? Kamu cemburu?" semprotnya langsung kala melihat ekspresiku seperti orang bingung."Diih...! Siapa juga yang cemburu? Ngapain juga?" tepisku buru buru, yang sekali lagi malah membuat tawanya kembali pecah."Apanya yang lucu sih?" sewotku. Aku mendelik melihatnya, menangkap sinyal sinyal keusilannya akan mulai beraksi."Hahaha... Ya kamu itu yang lucu. Udah jelas jelas cemburu gitu!" masih di sela tawanya, ia menjawab dengan pedenya. Lalu dengan cueknya kembali menstater mesin mobil dan melajukannya.Aku sendiri, masih dengan perasaanku yang tidak menentu selanjutnya hanya diam seribu bahasa. Rasanya lidahku kehilangan kata kata begitu saja. Toh, melanjutkan pembahasan hanya akan menjadikanku bulan bulanan olehnya. Sudah sering dia menggodaku seperti ini dan dirinya lalu tertawa puas saat aku sudah mulai dongkol.Kutekuk mukaku, kode bahwa aku tak ingin berbicara apapun lagi dengannya.Tapi bukan
Dengan langkah gontai aku kembali kepada Aiswa. Nampak ada yang berbeda kali ini darinya. Wajah pucatnya kini telah sedikit merona. Binar matanya juga telah kembali cerah seperti sedia kala. Seolah kehadiran Fattan benar benar menjadi obat yang sangat mujarab baginya.Mendapati kenyataan ini, hatiku lagi lagi dilanda dilema. Satu sisi aku merasa senang sebab kehadiran Fattan benar benar memberi pencerahan dalam kehidupan kami, terutama putriku. Sisi lainnya mau tak mau kami juga harus tahu diri untuk menjaga jarak dengan lelaki yang sebentar lagi menjadi pasangan orang lain itu."Ma..." lirih suara Aiswa memanggilku."Ya," sahutku."Mama suka sama Om Tan Tan?"Jeddaaar...! Pertanyaan Aiswa barusan membuat jantungku tersentak. "Ap - apa maksud Aiswa? Eh, ya, eh... sukalah. Kayak Aiswa sama Nenek, juga suka kan?"aku bertanya balik, menutupi kegugupanku. Huuf, kenapa juga aku bisa gugup begini?"Suka! Suka banget malah Aiswa sama Om, abis Om Tan Tan baiiiiikk... banget sih!" bocah itu m
"Bengong lagi!" Fattan menjitak jidatku, memutus rangkaian pemikiran di otakku. Huuh, kebiasaan!"Oh, ya udah ga pa pa. Makasih udah sempetin waktu buat Aiswa," ujarku dengan sedikit terpaksa senyum.Aku kembali terdiam. Padahal semula banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya. Tentang pesannya tempo hari agar aku lebih mawas diri dengan orang orang sekitar, tentang banyaknya CCTV yang ia pasangkan di rumah. Termasuk juga soal yang barusan, siapa orang yang selalu memberinya kabar tentang aku dan Aiswa.Semua pertanyaan itu rasanya menguap begitu saja dari otakku setelah mendengar kata 'tunangan' darinya barusan. Yang ada hanya segumpal perasaan aneh yang sangat tidak nyaman dan terasa menyesakkan. Kecewakah aku?****"Ayo, sesuap lagi!" titah Fattan lagi. Menyodorkan sendok ke bibir Aiswa, yang kemudian disambut bocah itu dengan membuka lebar mulutnya. "Anak hebat!" pujinya karna Aiswa berhasil menghabiskan makanannya.Melihatnya, aku dan Ibu pun tersenyum. Bernapas lega sebab Ai