"Kenapa, Bu? Tikus?" karna kepo, akupun bertanya pada Ibu."Eh, iya!" Ibu menoleh padaku. "Ini loh, Ibu heran, kok ada tikus tikus ini di teras rumah kita!" jawab Ibu dengan satu tangan terus menutup hidung. Sementara ekor mataku mengikuti arah telunjuk Ibu.Ya Tuhan! Benar saja, ada tiga ekor tikus yang sudah tak bernyawa di teras rumah. Kondisinya sudah setengah membusuk, hingga menyebabkan bau yang sangat tidak sedap khas bangkai.Buru buru kututup hidung sebab tak tahan baunya.Tunggu!Sepertinya aku mengingat sesuatu. Ya, bangkai tikus di kantor kemarin juga tepat berada di bawah mejaku, bukan? Selanjutnya, kata kata Yanto si office boy kemarin juga mulai terngiang ngiang di telingaku.Mataku terbelalak. Mendadak otakku berputar cepat mengaitkan semua peristiwa. Bangkai tikus di kantor, pecahnya kaca jendela semalam, dan sekarang bangkai tikus lagi di teras rumah. Mungkinkah? Mungkinkah seseorang bermain main di belakang semua ini? Tapi siapa ? "Kenapa, Aina ? " tepukan pelan
"Sudah, Ibu istirahat saja! Biar Aina yang kerjakan semua. Lagian juga tinggal bikin sambal aja," kataku pada Ibu, melarangnya yang hendak meraih cobek berisi racikan sambal."Huh, ya lah!" Ibu melengos pasrah karna dari tadi kularang larang dia mengerjakan pekerjaan rumah.Aku menengok ke arahnya, tersenyum dan berkata, "Bukannya apa apa, Bu! Mumpung Aina libur dan kita ga ada acara kemana mana, biar Aina saja yang kerjakan semua kerjaan rumah!""Ibu jenuh. Dari subuh ga ngapa ngapain. Dari nyapu, nyuci sampai masak sudah kamu kerjakan semua!"Kuhela napas panjang. Ya beginilah Ibu, selalu ada saja alasannya kalau diminta beristirahat sehari saja. Mau tak mau, aku hanya bisa mengalah."Ibu boleh bantu, tapi yang ringan ringan aja," ujarku sambil melirik mangkuk berisi sup ayam, dan beberapa piring lauk yang belum sempat kubawa ke meja makan.Ibu yang mengerti arti lirikanku, langsung sigap membawa semua hasil masakanku itu ke atas meja. Dan tak butuh waktu lama, seluruh menu makan si
"Apa kamu akan selalu memenuhi setiap keinginan Aiswa?" Fattan kembali bertanya. Kedua mata elangnya menatap lekat wajahku. Segera aku menunduk. Lagi lagi caranya yang seperti ini membuatku merasa tersipu.Kuhirup udara sebanyak banyaknya mengisi ruang paru paruku, lalu mengeluarkannya secara perlahan."Aku sudah terlalu sering mengecewakannya. Dulu aku selalu menyia nyiakannya, tak pernah menganggapnya ada, bahkan pernah tak ingin dia untuk ada!" dengan nada berat aku berucap. Dadaku rasa terhimpit hingga sesak. Mengatakan ini, seolah memaksaku mengingat saat saat aku menjadi Ibu yang begitu buruk dulu."Aku ingin menebus semua kesalahanku padanya di masa lalu." imbuhku. "Apapun keinginannya, semampuku aku akan berusaha memenuhinya. Aku ingin menjaganya sebaik baiknya!"Fattan mengernyit mendengar semua penuturanku. Mungkin dia sedang meraba inti di balik semua kata kataku ini."Aku juga ingin menjaga Aiswa sebaik baiknya!" sebaris kalimat tiba tiba terlontar dari bibirnya.Reflek a
Malam semakin larut, tapi mata ini belum juga mau terpejam sempurana. Rasanya kelopak mata begitu ringan dan tak sedikitpun merasakan kantuk. Berdiri, duduk, lalu berbaring dan begitulah secara berulang ulang kuhabiskan malam ini di kamar. Sesekali kubolak balik ponsel di tangan. Membuka beberapa aplikasi di dalamnya. Dari sekedar membaca chat, melihat lihat postingan status ataupun video yang lagi viral. Tapi kesemuanya seperti tidak ada yang menarik sama sekali. "Kupijit keningku agar lebih rileks. Biasanya dengan cara itu selanjutnya aku akan bisa tertidur. Tapi aktifitasku ini pun terhenti karna sebuah suara menyapaku, "Mama belum tidur?" Aku menoleh. Mendapati Aiswa telah berdiri tegak di ambang pintu kamar. "Loh, Ais sendiri belum tidur?" tegurku sembari melambaikan tangan agar dia masuk."Tadi Aiswa udah tidur, tapi kebangun karna haus. Terus pas Ais ambil minum di dapur, Ais liat lampu kamar Mama masih nyala, pintunya juga masih terbuka," terang Aiswa yang kini telah duduk
"Ma - Mama! Hu hu hu..." Tangis Aiswa kembali pecah. Kedua tangannya terulur hendak memelukku. Aku segera membungkuk dan menangkap pelukannya. Kuusap lembut punggungnya dan berkata, "Sabar sayang!""Mama, Tan Tan udah mati. Gak ada lagi temen main Ais di rumah. Hik hik hik..." kata Aiswa di tengah isaknya. "Ais sayang Tan Tan. Kalau Ais kesepian, Tan Tan selalu temenin Ais. Sekarang juga Om Tan Tan ga kesini sini. Ais kangen Om. Tan Tan sama Ais tungguin Om buat main bareng. Hu hu hu..."Ya Tuhan, rasanya sakit sekali melihat putriku menangis tersedu sebab kehilangan teman seperti ini. Aku semakin mempererat pelukanku. Mencoba menguatkan hatinya yang pasti sudah sangat hancur saat ini."Mama," Aiswa berusaha melepaskan pelukan."Ya, Sayang!""Orang bunuh Tan Tan pakai ini," Aiswa menunjukkan sebuah tali sepatu warna orange di genggaman tangannya. "Dia juga sayat sayat tubuh Tan Tan. Tubuh Tan Tan banyak darah, Ma!" Aiswa kembali menangis tergugu mengingat sahabat kecilnya."Astaghfiru
"Bengong lagi!" Fattan menjitak jidatku, memutus rangkaian pemikiran di otakku. Huuh, kebiasaan!"Oh, ya udah ga pa pa. Makasih udah sempetin waktu buat Aiswa," ujarku dengan sedikit terpaksa senyum.Aku kembali terdiam. Padahal semula banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya. Tentang pesannya tempo hari agar aku lebih mawas diri dengan orang orang sekitar, tentang banyaknya CCTV yang ia pasangkan di rumah. Termasuk juga soal yang barusan, siapa orang yang selalu memberinya kabar tentang aku dan Aiswa.Semua pertanyaan itu rasanya menguap begitu saja dari otakku setelah mendengar kata 'tunangan' darinya barusan. Yang ada hanya segumpal perasaan aneh yang sangat tidak nyaman dan terasa menyesakkan. Kecewakah aku?****"Ayo, sesuap lagi!" titah Fattan lagi. Menyodorkan sendok ke bibir Aiswa, yang kemudian disambut bocah itu dengan membuka lebar mulutnya. "Anak hebat!" pujinya karna Aiswa berhasil menghabiskan makanannya.Melihatnya, aku dan Ibu pun tersenyum. Bernapas lega sebab Ai
Dengan langkah gontai aku kembali kepada Aiswa. Nampak ada yang berbeda kali ini darinya. Wajah pucatnya kini telah sedikit merona. Binar matanya juga telah kembali cerah seperti sedia kala. Seolah kehadiran Fattan benar benar menjadi obat yang sangat mujarab baginya.Mendapati kenyataan ini, hatiku lagi lagi dilanda dilema. Satu sisi aku merasa senang sebab kehadiran Fattan benar benar memberi pencerahan dalam kehidupan kami, terutama putriku. Sisi lainnya mau tak mau kami juga harus tahu diri untuk menjaga jarak dengan lelaki yang sebentar lagi menjadi pasangan orang lain itu."Ma..." lirih suara Aiswa memanggilku."Ya," sahutku."Mama suka sama Om Tan Tan?"Jeddaaar...! Pertanyaan Aiswa barusan membuat jantungku tersentak. "Ap - apa maksud Aiswa? Eh, ya, eh... sukalah. Kayak Aiswa sama Nenek, juga suka kan?"aku bertanya balik, menutupi kegugupanku. Huuf, kenapa juga aku bisa gugup begini?"Suka! Suka banget malah Aiswa sama Om, abis Om Tan Tan baiiiiikk... banget sih!" bocah itu m
"A - apa?" tanyaku terbata, yang hanya dijawab dengan senyum mencibir di wajahnya."Kenapa? Kamu cemburu?" semprotnya langsung kala melihat ekspresiku seperti orang bingung."Diih...! Siapa juga yang cemburu? Ngapain juga?" tepisku buru buru, yang sekali lagi malah membuat tawanya kembali pecah."Apanya yang lucu sih?" sewotku. Aku mendelik melihatnya, menangkap sinyal sinyal keusilannya akan mulai beraksi."Hahaha... Ya kamu itu yang lucu. Udah jelas jelas cemburu gitu!" masih di sela tawanya, ia menjawab dengan pedenya. Lalu dengan cueknya kembali menstater mesin mobil dan melajukannya.Aku sendiri, masih dengan perasaanku yang tidak menentu selanjutnya hanya diam seribu bahasa. Rasanya lidahku kehilangan kata kata begitu saja. Toh, melanjutkan pembahasan hanya akan menjadikanku bulan bulanan olehnya. Sudah sering dia menggodaku seperti ini dan dirinya lalu tertawa puas saat aku sudah mulai dongkol.Kutekuk mukaku, kode bahwa aku tak ingin berbicara apapun lagi dengannya.Tapi bukan