"Lalu, lalu bagaimana dengan Nita?" tanyaku ragu."Dia..." Dion menggantung ucapannya. "Aku akan menceraikannya!""Ap - apa?" reflek dengan kuat kuhempaskan kedua tangan Dion. Aku benar benar terkejut. Enteng sekali dia mengatakan niatnya.Ingin ku bantah ucapannya mentah mentah. Namun akhirnya urung kulakukan saat menyadari perubahan ekspresi wajah Dion yang mendadak sangat muram."Tuhan mungkin sedang menghukumku. Aku dulu meninggalkanmu disaat kamu mengandung anakmu. Tak pernah memikirkan penderitaan dan kesakitanmu waktu itu," ujarya lemah dengan suara yang hampir hilang. Seolah setiap kata kata yang diucapkannya mengandung beban yang sangat berat."Aina!" lagi ia menyebut namaku. Lalu dengan nada putus asa kembali berkata," Sekarang betapapun aku menginginkan seorang anak, Tuhan tidak akan pernah memberinya untukku. Tuhan menghukumku, Aina! Tuhan menghukumku...""Tuhan benar benar menghukumku...!"Plaaak!Satu tamparan kecil mendarat di pipi Dion. Aku terpaksa melakukannya. Dion
"Ah, apa?" aku terperangah menyadari tempat apa yang ditunjuk lelaki itu. Bukankah itu meja kerjaku?"Minggir... minggir dulu semua!" seorang office boy berteriak, berjalan membelah kerumunan. Di tangannya memegang sebuah botol parfum yang ia semprotkan ke seluruh area ruangan.Akhirnya semua orang mulai dapat bernapas lebih lega. Meski belum bisa mengusir bau secara sempurna, tapi setidaknya mampu sedikit menetralisirnya."Ooo..., dari ini nih, sumber baunya!" teriak Rudi si office boy. Badannya membungkuk di dekat sebuah meja yang tak lain adalah milikku. Ia seperti tengah serius melihat sesuatu di bawahnya."Kantong! Ada yang punya kantong kresek ga?" tanyanya lagi. "Ada tikus mati di sini!"Kami yang mendengar teriakan Rudi, beberapa diantaranya langsung bergerak mencari barang yang diminta Rudi barusan."Ini nih, ada..." Winda mengulurkan sebuah kresek warna hitam kepada Rudi.Detik berikutnya, nampak kedua tangan Rudi memasukkan benda ke dalam kresek. Mungkin itu adalah bangkai
Jam istirahat kantor, aku dan Winda memutuskan makan siang bareng di luar. Kali ini bukan di restoran seperti biasanya, tapi di warung kaki lima yang cukup terkenal masakannya di daerah kami. Tentu saja selain rasa makanannya, tipisnya kantong akhir bulan juga menjadi salah satu alasan. "Eh Non, gimana, gimana akting aku tadi? Kerenkan?" Winda bertanya sambil memainkan kedua alisnya naik turun lucu."Konyol banget sih, kamu! Jantung aku hampir mau copot, tahu ga?" "Ha ha ha, aku juga ga nyangka kalau reaksi Siska langsung mati kutu gitu," Winda justru tertawa lebar mendengar jawabanku."Kok bisa ya?" aku bertanya heran, memicingkan sebelah mata."Hmm... Kasih tahu ga, ya?" Winda melirik menggodaku. Aku mencebik sambil mengangkat bahu. Sahabatku satu ini memang berbeda dengan yang lain. Tingkahnya yang seringkali kepo namun sedikit kocak, kadang membuatku jengkel tapi juga geli secara bersamaan. Satu hal lagi yang membedakan dia dari yang lain, meski ceplas ceplos , Winda tak suka
"Kenapa, Bu? Tikus?" karna kepo, akupun bertanya pada Ibu."Eh, iya!" Ibu menoleh padaku. "Ini loh, Ibu heran, kok ada tikus tikus ini di teras rumah kita!" jawab Ibu dengan satu tangan terus menutup hidung. Sementara ekor mataku mengikuti arah telunjuk Ibu.Ya Tuhan! Benar saja, ada tiga ekor tikus yang sudah tak bernyawa di teras rumah. Kondisinya sudah setengah membusuk, hingga menyebabkan bau yang sangat tidak sedap khas bangkai.Buru buru kututup hidung sebab tak tahan baunya.Tunggu!Sepertinya aku mengingat sesuatu. Ya, bangkai tikus di kantor kemarin juga tepat berada di bawah mejaku, bukan? Selanjutnya, kata kata Yanto si office boy kemarin juga mulai terngiang ngiang di telingaku.Mataku terbelalak. Mendadak otakku berputar cepat mengaitkan semua peristiwa. Bangkai tikus di kantor, pecahnya kaca jendela semalam, dan sekarang bangkai tikus lagi di teras rumah. Mungkinkah? Mungkinkah seseorang bermain main di belakang semua ini? Tapi siapa ? "Kenapa, Aina ? " tepukan pelan
"Sudah, Ibu istirahat saja! Biar Aina yang kerjakan semua. Lagian juga tinggal bikin sambal aja," kataku pada Ibu, melarangnya yang hendak meraih cobek berisi racikan sambal."Huh, ya lah!" Ibu melengos pasrah karna dari tadi kularang larang dia mengerjakan pekerjaan rumah.Aku menengok ke arahnya, tersenyum dan berkata, "Bukannya apa apa, Bu! Mumpung Aina libur dan kita ga ada acara kemana mana, biar Aina saja yang kerjakan semua kerjaan rumah!""Ibu jenuh. Dari subuh ga ngapa ngapain. Dari nyapu, nyuci sampai masak sudah kamu kerjakan semua!"Kuhela napas panjang. Ya beginilah Ibu, selalu ada saja alasannya kalau diminta beristirahat sehari saja. Mau tak mau, aku hanya bisa mengalah."Ibu boleh bantu, tapi yang ringan ringan aja," ujarku sambil melirik mangkuk berisi sup ayam, dan beberapa piring lauk yang belum sempat kubawa ke meja makan.Ibu yang mengerti arti lirikanku, langsung sigap membawa semua hasil masakanku itu ke atas meja. Dan tak butuh waktu lama, seluruh menu makan si
"Apa kamu akan selalu memenuhi setiap keinginan Aiswa?" Fattan kembali bertanya. Kedua mata elangnya menatap lekat wajahku. Segera aku menunduk. Lagi lagi caranya yang seperti ini membuatku merasa tersipu.Kuhirup udara sebanyak banyaknya mengisi ruang paru paruku, lalu mengeluarkannya secara perlahan."Aku sudah terlalu sering mengecewakannya. Dulu aku selalu menyia nyiakannya, tak pernah menganggapnya ada, bahkan pernah tak ingin dia untuk ada!" dengan nada berat aku berucap. Dadaku rasa terhimpit hingga sesak. Mengatakan ini, seolah memaksaku mengingat saat saat aku menjadi Ibu yang begitu buruk dulu."Aku ingin menebus semua kesalahanku padanya di masa lalu." imbuhku. "Apapun keinginannya, semampuku aku akan berusaha memenuhinya. Aku ingin menjaganya sebaik baiknya!"Fattan mengernyit mendengar semua penuturanku. Mungkin dia sedang meraba inti di balik semua kata kataku ini."Aku juga ingin menjaga Aiswa sebaik baiknya!" sebaris kalimat tiba tiba terlontar dari bibirnya.Reflek a
Malam semakin larut, tapi mata ini belum juga mau terpejam sempurana. Rasanya kelopak mata begitu ringan dan tak sedikitpun merasakan kantuk. Berdiri, duduk, lalu berbaring dan begitulah secara berulang ulang kuhabiskan malam ini di kamar. Sesekali kubolak balik ponsel di tangan. Membuka beberapa aplikasi di dalamnya. Dari sekedar membaca chat, melihat lihat postingan status ataupun video yang lagi viral. Tapi kesemuanya seperti tidak ada yang menarik sama sekali. "Kupijit keningku agar lebih rileks. Biasanya dengan cara itu selanjutnya aku akan bisa tertidur. Tapi aktifitasku ini pun terhenti karna sebuah suara menyapaku, "Mama belum tidur?" Aku menoleh. Mendapati Aiswa telah berdiri tegak di ambang pintu kamar. "Loh, Ais sendiri belum tidur?" tegurku sembari melambaikan tangan agar dia masuk."Tadi Aiswa udah tidur, tapi kebangun karna haus. Terus pas Ais ambil minum di dapur, Ais liat lampu kamar Mama masih nyala, pintunya juga masih terbuka," terang Aiswa yang kini telah duduk
"Ma - Mama! Hu hu hu..." Tangis Aiswa kembali pecah. Kedua tangannya terulur hendak memelukku. Aku segera membungkuk dan menangkap pelukannya. Kuusap lembut punggungnya dan berkata, "Sabar sayang!""Mama, Tan Tan udah mati. Gak ada lagi temen main Ais di rumah. Hik hik hik..." kata Aiswa di tengah isaknya. "Ais sayang Tan Tan. Kalau Ais kesepian, Tan Tan selalu temenin Ais. Sekarang juga Om Tan Tan ga kesini sini. Ais kangen Om. Tan Tan sama Ais tungguin Om buat main bareng. Hu hu hu..."Ya Tuhan, rasanya sakit sekali melihat putriku menangis tersedu sebab kehilangan teman seperti ini. Aku semakin mempererat pelukanku. Mencoba menguatkan hatinya yang pasti sudah sangat hancur saat ini."Mama," Aiswa berusaha melepaskan pelukan."Ya, Sayang!""Orang bunuh Tan Tan pakai ini," Aiswa menunjukkan sebuah tali sepatu warna orange di genggaman tangannya. "Dia juga sayat sayat tubuh Tan Tan. Tubuh Tan Tan banyak darah, Ma!" Aiswa kembali menangis tergugu mengingat sahabat kecilnya."Astaghfiru