Aiswa sedang asik bermain dengan kucing kecilnya saat aku tiba di rumah. Ia memainkan seutas tali berwarna merah yang diikatnya di ujung sebuah lidi, lalu menggerak gerakkannya di depan hewan itu. Alhasil, si kucing pun berlari dan melompat lompat kian kemari mengikuti arah tali tersebut. Gerakannya yang agresif dan lincah membuat putriku kegirangan melihatnya.Aku hanya ikut tersenyum menyaksikan tingkah keduanya yang sama sama polos dan menggemaskan."Aiswa, kasih Tan Tan makan dulu, Nak! Capek dia lompat lompatan terus," tegurku pada Aiswa."Eh, Mama!" ujarnya begitu menyadari kehadiranku. Yang langsung menghentikan permainannya, dan membopong kucing imut itu kembali ke kandangnya untuk makan."Nenek sudah bangun, Aiswa?""Sudah, Aina!" Ibu tiba tiba muncul dari dalam rumah menyahut ucapanku. Reflek membuat aku dan Aiswa pun menoleh ke arahnya. "Ibu kok keluar kamar, Ibu sudah baikan?""Alhamdulillah, sudah. Ibu juga bosan di kamar terus jadi Ibu keluar." tuturnya.Aku tersenyum l
"Nek, lihat deh Nek! Gaun yang itu kayaknya pas banget buat Mama, bagus lagi, Nek," pekik Aiswa antusias saat matanya tertuju pada sebuah gaun yang terpajang di etalase sebuah butik.Bu Marni yang mendengar seruan cucunya pun merespon dan mengikuti arah pandangan Aiswa. "Iya, bagus banget!"Siang itu selepas menjemput Aiswa pulang sekolah, Bu Marni memang mengajak Aiswa membeli beberapa bahan kue, serta sekaligus mencari sebuah kado untuk Aina. Sebab hari itu adalah hari ulang tahun Aina."Ayo Nek kita masuk ke sana, kita lihat yuk, Nek!" Aiswa kembali berseru sembari menarik narik tangan sang nenek."Eeh, iya Aiswa! Iya.. Tapi pelan pelan jalannya!" Bu Marni tampak kepayahan mengimbangi langkah Aiswa yang berjalan begitu cepat.Sampai di dalam butik, Aiswa segera menghambur menuju gaun tersebut. Sorot matanya nampak berbinar mengagumi keindahan gaun di depannya. Sebuah gaun panjang warna silver dengan belahan di bagian bawahnya. Hiasan manik mutiara yang cantik di bagian dada, menjad
"Bu Aina, maaf di depan ada kiriman paket. Apa mau diterima?" Roni seorang office boy di kantorku tiba tiba menghampiriku. "Paket?" ulangku. Ku hentikan aktifitasku di depan komputer, keningku mengernyit mengingat ingat sesuatu, sebab rasanya aku tidak memesan barang apapun dalam waktu dekat ini.Tapi untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun terpaksa keluar ruangan menemui kurir tersebut."Benar dengan Bu Aina?" tanya si kurir padaku begitu aku tiba."Ya," jawabku singkat."Mohon diterima Ibu, ini kiriman bunganya!" Kurir itu pun menyodorkan sebuah bucket mawar putih padaku.Tak ada nama pengirim yang tertera. Hanya sederet tulisan tangan yang cukup rapi di secarik kertas. 'Selamat ulang tahun Aina, semoga kamu selalu bahagia', begitulah bunyi tulisan tersebut.Meski masih ragu ditengah kebingunganku tentang siapa sebenarnya pengirim bucket tersebut, tapi akhirnya aku menerimanya juga. Setelah membubuhkan tanda tangan sebagai penerima paket, aku pun gegas kembali ke ruang kerjaku. "
"Surprizeee...""Selamat ulang tahun, Ma!" Dua sosok langsung menyembul sambil berteriak mengejutkanku begitu pintu rumah kubuka. "Ibu..., Aiswa..." ucapku sembari mengelus dada karna kagetAiswa yang tengah membawa sebuah nampan berisi cake dengan sebuah lilin menyala di atasnya mulai berjalan mendekat ke arahku. Ia tersenyum dengan sangat manis, dan mengucapkan sebaris kalimat untukku, "Selamat ulang tahun, Ma. Semoga ke depannya kelak Mama akan selalu bahagia. Aamiin!""Aamiin," ucapku mengaminkan doa tulusnya.Sementara Ibu hanya tersenyum menatap kami berdua. Lalu dengan perlahan berjalan menhampiri. "Selamat ulang tahun, Aina! Semoga kelak nasibmu selalu beruntung," ujarnya."Keberuntungan terbesarku adalah memiliki Ibu, juga Aiswa!" ucapku terharu dan langsung memeluknya."Oh ya, kita tiup lilinnya sama sama ya!" Aku mengurai pelukanku dari Ibu. Selanjutnya ku keluarkan ponsel untuk merekam moment terindah dalam hidupku tersebut."Satu, dua, tiga!" Aku mulai memberi komand
Aku melengos pura pura tak mendengar gombalan dari makhluk aneh di depanku. Dan lantas pergi begitu saja meninggalkannya."Hey, mana terimakasihnya?" kudengar ia masih berteriak."Terimakasih!" balasku tanpa menoleh ke arahnya, hanya mengibaskan dompetku yang kuangkat tinggi tinggi di udara, dan terus berjalan.****"Ciiit!" suara derit rem sebuah mobil berhenti tepat di depanku yang sedang menunggu taksi online. "Masuk!" perintah lelaki yang duduk di depan kemudi. Yang hanya kutanggapi cuek, sementara ekor mataku terus melihat arah jalan, mencari cari kedatangan mobil yang telah kupesan.Aku tersenyum senang, sebab pada akhirnya yang ku tunggu tunggu datang juga. Sopir taksi bergegas keluar dan membukakan pintu untukku yang siap berjalan menghampirinya."Kliik!" pintu mobil kembali tertutup begitu aku bersiap masuk. Eh, bukan! Lebih tepatnya tangan seseorang telah sengaja menutupnya. Aku menoleh, melihat siapa orang iseng yang telah mempermainkanku. "Kamu!" Aku melotot marah, mend
"Assalamu'alaykum!" kuketuk pintu rumah dengan mengucap salam."Wa'alaykumsalam!" Seseorang menjawab salam disertai pintu yang mulai terbuka. Gadis kecil berambut panjang yang dikucir ekor kuda keluar menyambut kami."Mama!" sambutnya begitu melihatku."Om Tan Tan!" seru Aiswa lagi yang membuatku mengernyit bingung."Aiswa!" respon Fattan yang tak kalah membuatku makin bingung."Ma, ini Om yang Aiswa ceritain tempo hari. Yang udah nyelametin Tan Tan waktu terjebak di ranting pohon," ujar Aiswa bersemangat. Kedua matanya nampak berbinar senang melihat lelaki di sebelahku."Namanya Om Fattan, Aiswa bukan Tan...""Aiswa, ayo masuk! Om Tan Tan pingin mainan sama Aiswa," Fattan memotong cepat ucapanku yang belum selesai. Bahkan dengan percaya diri, dia mengajak dan menggandeng Aiswa masuk ke dalam rumah. Meninggalkan aku selaku tuan rumah yang jadi terbengong dibuatnya."Om lihat deh, si Tan Tan udah gendut banget sekarang! Tubuhnya sudah besar," Aiswa menggendong kucing kesayangannya kelu
Lagi lagi aku melempar baju yang barusan kucoba ke atas kasur. Entah ini sudah gaun ke berapa, mungkin sudah lebih dari yang ke sepuluh kali. Namun tak satupun kurasa sreg di hati. Aku menggaruk tengkuk memandang tumpukan baju baju itu. Memperhatikannya lagi, barangkali ada yang bisa kupertimbangkan untuk kukenakan malam ini.Kuhela napas panjang sambil terus berjalan mondar mandir di dalam kamar. Sepertinya aku mulai sedikit frustasi. Memang tak ada yang cocok semua baju itu! Kesibukanku akhir akhir ini membuatku bahkan tak sempat membeli baju sehelaipun. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Ibu juga Aiswa. Oh, menyadari ini akupun jadi merasa bersalah pada mereka!"Loh, kenapa diberantakin seperti ini, Aina!" protes Ibu begitu masuk ke dalam kamarku, mendapati pakaian yang berserak di kasur."Maaf, Bu! Biar nanti aku yang rapikan. Aku ada undangan acara kantor hari ini, Bu. Tapi lupa persiapan," jawabku jujur.Ibu mengusap lembut bahuku, seolah mengerti kesulitanku. Tampak ia pun
Kupicingkan sebelah mataku mengintip keadaan sekitar. Memastikan semuanya baik baik saja. Huuuf... Aku mengelus dada, bernapas lega mendapati diriku memang demikian adanya."P - Pak Fattan!" terdengar suara Nita gugup. Aku menoleh, mendapati wajahnya yang tampak pias. Tunggu! Tadi Nita menyebut nama siapa? Cepat kupalingkan wajahku ke sisi lain. "Astaghfirullah!" spontan aku beristighfar. Dan, aah... Tanganku? Jantungku rasa terhentak! Ya Yuhan, kenapa baru nyadar sih kalau tanganku bergelayut di pundak lelaki itu. "Ma - maaf!" kataku seraya cepat melepaskan pelukan. Entahlah, wajahku pasti sudah sangat merah seperti kepiting rebus karna malu. Apalagi saat pandangan mata kami beradu satu sama lain. Rasanya aku benar benar ingin masuk saja ke dalam lubang semut!"Tidak mungkin!" "Apanya yang tidak mungkin?" Fattan berucap mantap dan melihat Nita dengan dingin.Nita tersenyum kecut memandang ke arahku. Sorot matanya seperti orang yang sedang diliputi keraguan. Sambil menunjuk lurus