Aku keluar dari ruang bimbingan konseling dengan wajah babak belur dan bengkak. Rambutku berantakan dan air mataku berderai. Suasana lorong ruang kantor dan ruang guru sepi karena ini adalah jam pelajaran pertama. Dengan tertatih, menahan denyut di seluruh tubuhku yang sakit bekas dipukuli, aku ke kamar mandi. Kubuka pintu rest room siswi lalu menuju wastafel, kubasuh wajah sambil menatap tampilan diriku yang menyedihkan. Sekali lagi, entah kenapa aku merasa iba pada diriku sendiri. Air mataku meleleh, aku mulai tergugu, marah, kesal dan dendam. Sakit hati karena dipermalukan dan dipukuli dengan cara yang brutal. Lalu, siapa yang bertanggung jawab, karena siapa masalah ini terjadi, ya, itu, karena ayahku! Semuanya karena dia.Aku menangis, menahan sakit di wajah, leher, kepala dan tanganku. Aku terjatuh duduk di lantai sambil memeluk lutut dan tergugu pilu tanpa disadari seorang pun. Kuraih ponsel dari saku rok, lalu melakukan panggilan video pada ayah. Ayah tidak mengangkatnya.
Usai membakar mobil orang, aku kembali ke rumah. Menyusuri jalan yang di sebelah kirinya ada danau dan tempat rekreasi dengan banyak pohon yang teduh, aku jadi tertarik sehingga kuputuskan untuk berhenti di sana duduk sambil merenungi rencana sembari menunggu matahari terbit.Aku terduduk sambil merindukan beberapa orang yang sudah hilang dalam hidupku, merenungi setiap perbuatanku dan memikirkan keputusan bahwa aku tidak akan berhenti membalaskan dendam atas perbuatan priska dan keluarganya. Memang tidak baik memupuk dendam tapi manusia yang lemah sepertiku ini tidak punya pilihan lain selain bersikap dengan gamblang.Ketika melihat waktu sudah hampir pukul 06 aku segera menyalakan motor lalu meluncur kembali ke rumah saat mendorong pintu gerbang dan memasukkan motor kebetulan bunda sedang menyapu halaman jadi beliau segera menghampiri dan menanyakanku."Kau dari mana? Kenapa penampilanmu aneh seperti ini, serba hitam dengan jaket yang longgar seperti itu, juga bau badanmu seperti
Bodoh itu membalas pelukanku dan ciuman ku di dalam ruangan kerjanya beberapa saat kami berpaku terhingga kemudian dia tiba-tiba mendorongku dan membenahi pakaiannya yang berkali-kali kuremas."Menyingkir dariku, Kenapa kau berusaha merayuku?"Mendengar dia berpura-pura sok alim dan tidak bersalah, aku hanya tertawa sinis sambil mengusap bibirku, aku tidak peduli tentang apa yang dia lakukan setelah kami berciuman, yang penting aku sudah dapatkan rekaman mesum tentangnya, maka mudah bagiku melakukan pengeditan lalu mempostingnya. Aku mempertaruhkan banyak hal yang mengorbankan diriku sendiri untuk membalas satu orang yang telah merebut kebahagiaan keluargaku.Entah usahaku akan sepadan dengan hasilnya Aku tidak tahu, tapi yang pasti aku tidak akan berenti berusaha."Kenapa anda menolakku setelah baru saja menciumku?""Aku hanya khilaf," ujarnya."Berarti anda juga tidak bisa membendung nafsu kan?""Salahmu membuka pakaian di hadapanku Aku hampir saja rupa diri, dasar!""Berarti anda
"a-aapaa Mas?""Meski dia sudah menyamarkan CCTV tapi aku tahu persis bawa gestur dan kedatangannya itu adalah perbuatannya. Kenapa dia harus membakar mobil senilai ratusan juta sehingga itu dibebankan kepadaku agar aku bisa mengganti atau kalau tidak maka Putri kita akan masuk penjara, aku harus bagaimana ini naifa!"Mendengar teriakan itu di lantai. Bunda langsung jatuh terduduk dan menangis. Aku sendiri berlutut dan segera minta maaf sementara Ibuku hanya bisa tergugu sambil menutupi tangannya ke wajah."Sepertinya kita tidak punya pilihan lain selain mengantarkan anak kita ke kantor polisi karena sebagai orang tua kita sudah kewalahan dengan sikapnya! Semakin Aku berusaha memperbaiki keadaan semakin menjadi-jadi pula sikap anaknya itu, naifa!"Dengan tangan gemetar Bunda berusaha meraih ponsel yang ada di lantai itu sementara suara ayah terdengar sangat lantang. Ayah terdengar sangat murka dan mungkin kalau bertemu denganku dia pasti akan membunuhku."Suruh dia diam di rumah kar
*Seperti yang kuduga kehebohan terjadi, baru saja sampai di sekolah aku telah melihat beberapa petugas polisi dan pejabat dari kantor dinas pendidikan menemui kepala sekolah, mereka berkerumun di depan ruang kepsek dan saat beberapa orang melihatku mereka langsung menunjuk ke arahku."Itu alana!" ujar mereka heboh."Alana kemarilah." Guruku segera memanggil dengan wajah tegang dan memintaku untuk mendatangi mereka."Ada apa Pak?" tanyaku dengan ekspresi datar."Kamu harus bicara padamu karenanya, mendekatlah Kakak ruang guru dan kita akan berdiskusi.""Berdiskusi atau menghakimi saya?""Tolonglah, ayo cepat," jawabnya mengarahkan langkahku untuk mengikutinya. Aku tahu apa yang akan terjadi di sana tidak perlu dijelaskan pun kehebohan yang sudah kubuat pasti menjerat diriku dalam masalah yang besar.Ketika aku memasuki ruang guru beberapa orang langsung berdiri dan terlihat kesal. Termasuk lelaki tambun berwajah sangar, kepala sekolahku itu."Kenapa kau menjebakku dan menghancurkan r
Aku tidak mengikuti pelajaran hari ini melainkan aku langsung digelandang ke dinas pendidikan dan dibawa ke pusat rehabilitasi anak yang mengalami permasalahan hukum dan krisis moral.Sebenarnya aku tidak suka diriku berada di tempat itu, aku seolah telah menjatuhkan nama baik dan harga dirikum Tapi demi mencapai tujuan bahwa aku ingin merumitkan hidup ayah dan tante Priska maka akan kulakukan apapun untuk membuat mereka berdua pusing dan akhirnya memilih untuk berpisah. Sebenarnya aku tidak percaya pada diriku sendiri dan kemyataan aku berubah. Mengapa aku yang tadinya adalah anak baik dan berbakti serta selalu fokus pada pendidikan, tiba-tiba menjadi rusak dan rela kehilangan segalanya. Aku terjebak dendam dan masalah demi masalah yang terjadi setiap harinya, mempengaruhi diri ini lalu merusak mentalku.Aku tumbuh menjadi anak yang keras, egois dan mudah tersinggung, mudah panik perhitungan dan sistematis. Aku tidak mau segala sesuatu berjalan tidak sesuai rencana, Aku ingin segala
Betapa sakitnya hatiku membaca SMS ayah, betapa dia tega menuliskan kata-kata bahwa dia berlepas diri kepada kami dan mulai hari ini aku tidak boleh memanggilnya Ayah lagi. Tiba-tiba kebencianku semakin menjadi-jadi saja dan aku jadi ingin meludah ke wajahnya.Jujur hal itu sangat menyedihkan dan telah meremukkan perasaan dan harapanku, tapi aku tidak punya lagi air mata untuk menangis. Aku hanya tertawa sambil memperlihatkan ponsel itu kepada Bunda. Air mata Bunda juga jatuh membaca pesan yang dituliskan ayah. Dengan bibir gemetar Bunda seperti tidak kuasa membaca kalimat demi kalimat yang dilontarkan ayah lewat layar datar itu."Apakah Ayahmu memutuskan hubungan dengan kita?""Itu jelas sudah tertulis Bunda, kita tidak perlu mengharapkan apapun lagi darinya.""Lalu bagaimana kita akan hidup?""Emangnya selama ini Bunda tidak pernah hidup mandiri dan harus bergantung kepada orang lain? Apakah di masa muda bunda tidak pernah bekerja. Mengapa Bunda sama sekali tidak menunjukkan keteg
Seketika lemas tungkai kaki ini mendengarkan kejujuran yang Bunda katakan. Aku sangat syok, aku takut dan ngeri kalau ternyata salah satu dari mereka mati. Bunda akan digelandang ke kantor polisi lalu aku akan hidup dalam kesendirian dan ketakutan. Bahkan kalau pun ibuku dipenjara, aku tetap akan mendapat teror yang tiada hentinya. "Racun itu akan bekerja dalam sepuluh menit, dia akan memicu serangan jantung mendadak sehingga Frans atau Rindi akan mati mendadak. Dokter tidak akan curiga kalau itu racun kecuali mereka otopsi.""Dan bagaimana kalau memang itu diotopsi?""Maka kau harus berkemas dan pergi lindungi dirimu jauh jauh dari Bunda. Bunda minta maaf, tidak bisa membantumu melawan takdir dan menghadapi orang-orang yang sudah jahat padamu. Bunda sadar Bunda adalah ibu yang tidak berguna, lemah, selalu berlindung dibalik punggung anak. Sekarang Bunda akan membayarnya.""Tapi bukan begitu...."aku langsung menangis dan memeluk ibuku tidak ada kesedihan yang lebih mendalam daripada
Pada akhirnya setelah diskusi panjang lebar dan keluargaku membujukku, maka aku pun setuju untuk pulang ke rumah keluarga dan ahli warisku. Sebetulnya aku tidak terlalu ingin bersama mereka tapi bagi mereka tidak aman diriku untuk tinggal sendiri di tengah teror dan ancaman keluarga Tante Priska.Meski nantinya keluarga Priska tidak akan lagi menemuiku, tapi tetap saja keluargaku khawatir tentang diri ini yang sendirian karena aku adalah anak perempuan. Belum lagi usaha kedai yang mungkin tak akan bisa kukelola dengan maksimal. Kedai itu terancam gulung tikar sebentar lagi.*Aku pindah ke rumah nenekku, tinggal di sebuah kamar di lantai dua bersebelahan dengan kamar oma. Sikap Oma berubah drastis, dia yang tadinya biasa saja, jadi sangat perhatian dan sayang. Mungkin karena besarnya rasa bersalah padaku dan Bunda. Nenek jadi sangat lembut, penuh kasih sayang dan berusaha memenuhi kebutuhanku.Om dan tanteku juga sama, mereka mendukung dan menyayangiku, mereka mencarikan kampus yang
Hari itu kutemani ayah pergi ke rumah sakit jiwa di mana Bunda dirawat sekaligus ditahan. Saat pertama kali mendaftar di lorong rumah sakit dan bilang kalau kami ingin bertemu Bunda naifa, aroma khas rumah sakit serta sedikit aroma busuk mulai menguar di penciumanku.Aku juga mendengar teriakan dan suara tawa melengking yang berasal dari para pasien yang mungkin sedang berhalusinasi atau teringat dengan peristiwa traumatis mereka. Aku bisa merasakan betul tekanan dan prihatin dengan nasib pasien yang ada di situ. Aku yakin bukan keinginan mereka untuk ada di sana tapi keadaan dan mental mereka yang membuat mereka tertahan.Kami diantarkan oleh dua orang perawat ke sebuah kamar yang berada di lantai 2 dan jauh di ujung lorong sayap timur. Saat melewati koridor, aku bisa melihat di sebelah kanan dan kiri, ruang pasien yang dilapisi kaca dan jaring jeruji, berisi mereka dengan aneka tingkah laku dan keluhan. Ada yang hanya duduk di ranjang sambil menerawang menatap jendela, ada yang b
"Aku tidak akan ikut campur kalau Tante ingin berpisah atau tetap bersama ayah, tapi ada sedikit yang mengganjal hatiku karena tiba-tiba tante ingin mendapat permintaan maaf dari ibuku. Kalian berdua sama-sama salah dan sama-sama kena getahnya, kenapa tidak saling merangkul dan saling memaafkan satu sama lain saja, tanpa harus menuntut satu harus bersujud kepada yang lain?""Maaf, ibumu telah membunuh anakku.""Kehadiranmu juga telah membunuh adikku.""Ia membuatku mendapatkan kesialan bertubi-tubi.""Karena kehadiranmu kami kehilangan ayah dan rumah, keluarga kami hancur hubungan kami dengan nenek kami juga hancur, apa Tante ingin kita mengadu nasib?""Baiklah kau menang!"wanita itu akhirnya menyerah dan hanya mendengkuskan nafas sambil terlihat kesal padaku. Dia dalam keadaan sakit dan sedih sementara dia kesal dan tidak mau menatap wajahku. Dia benahi selimutnya sendiri karena hawa AC yang mulai dingin.Kuhampiri wanita itu, lalu kubantu dia untuk memperbaiki selimut, ku tawarkan j
"Dengar anak suamiku! Aku sedang sakit, bersedih dan ditimpa kesulitan bertubi-tubi. Aku tidak mau kehadiranmu mengeruhkan suasana dan membuat diriku makin depresi. jadi dengan penuh hormat, aku memintamu untuk meninggalkanku sendiri saja,"ucapnya sambil mengarahkan tangan ke pintu yang pertama bahwa dia mau tidak mau terpaksa mengusirku."Aduh Tante, kalau aku tidak menjaga lantas siapa yang akan membantumu pergi ke kamar mandi dan mengawasimu, kau bisa pingsan dan saluran infus itu bisa terlepas dari tanganmu dan berdarah. Harus menjagamu Demi rasa baktiku kepada ayahku. Aku tidak akan tahan terus bicara dan menatap wajahmu jadi aku akan mengawasimu dari luar, kataka. Saja kalau kamu butuh sesuatu," ucapku ketika hendak membalikkan badan dan pergi."Kau tidak perlu susah payah, urus saja ibumu yang pembunuh itu," jawabnya dengan sombong, aku tersentak saat wanita itu menyebut ibuku dengan sebutan pembunuh. Emosiku tiba-tiba ingin naik kepala Andai saja aku tidak berusaha mengendali
Aku menelpon ayah dalam perjalanan pulang dari persidangan Bunda. Aku ingin tahu Ayah sedang apa. Apakah dia sudah sampai di rumah atau belum. Kalau belum Aku ingin sekalian pergi menjemputnya karena Ayah tidak membawa motor melainkan dia menggunakan ojek online."Halo assalamualaikum ayah...""Ya, walaikum salam."Suasana di sekitar Ayah terdengar sangat ramai dan lalu lalang orang serta keriuhan yang sulit kujelaskan, aku tidak bisa berasumsi kalau dia sedang di kantor karena tidak mungkin suasana di kantor sampai seperti pasar. Ada suara jeritan orang yang menangis dan beberapa yang lain terdengar bicara dan sulit dimengerti Apa yang sedang mereka katakan."Ayah di mana sekarang, apa yang sedang Ayah lakukan?""Ayah sedang di rumah sakit, Tante Priska menelpon ayah dan meminta ayah datang ke sini," jawabnya dengan suara pelan.Tadinya aku ingin menceritakan tentang keadaan Bunda dan putusan apa yang bunda dapatkan tapi mendengar nama tante Priska disebutkan aku jadi kesal dan mengu
"Lalu apa pilihan Ayah, apa Ayah akan pulang dengan kami atau kembali ke Tante Priska?"Pertanyaanku itu cukup membuat ayah terhenyak dan diam saja. Dia menggeleng lalu mendesah pelan."Tidak keduanya." Ayah mendesah dan memilih beranjak dari tempat duduknya, ia trtatih pelan dengan tongkatnya menuju ke kamar.Dari belakang siluet tubuh ayah terlihat kurus, sedikit bungkuk, hilang semua wibawa dan ketegapan dirinya sejak musibah yang menimpa. Pun Tante Priska yang kini babak belur dihujam masalah demi masalah. Kasihan, tapi harus bagaimana lagi.Kini, yang harus kufokuskan adalah tentang ibuku yang menjalani hukumannya, entah berapa tahun dia di penjara aku tak tahu. Semoga hakim mempertimbangkan ketidak stabilan mentalnya agar ibuku bisa diampuni dan diberi keringanan. Meski menurut orang lain egois bahwa aku berharap ibuku yang seorang pembunuh berencana tidak dihukum berat karena gangguan jiwa, tapi aku tetap berharap itu terjadi. Semoga ada keajaiban.*Seminggu kemudian.Pagi se
Sepanjang malam Ayah Hanya duduk di depan rumah sambil membiarkan tubuhnya ditiupkan angin malam yang datang dari lautan, libur ombak yang membentur pantai seakan seperti perasaan ayah yang saat ini merasa sangat sedih dan bersalah.Dari jendela kamar aku melihat tatapan Ayah yang menerawang, sesekali ia mengusap air matanya, sekali ia menangis sampai bahunya terguncang dan akhirnya ia kembali terdiam dalam lamunan panjang.Apa yang beliau katakan memang benar, kalau ada orang yang paling pantas menanggung kesalahan maka dialah orangnya, dialah penyebab semua masalah dan petaka yang terjadi. Kedua istrinya harus mengalami gangguan kejiwaan dan mental karena terlalu depresi memikirkan kehidupan mereka yang hancur karena ayah. Satu dikecewakan karena cintanya dan satu kecewa karena kehilangan anaknya. Puncak dari semua itu ayahlah penyebab utamanya. Anak tante Priska tidak akan mati kalau bukan disebabkan oleh ibuku yang mengalami gangguan kejiwaan dan tega berbuat hal yang nekat. Tapi
Hal yang paling mengejutkan dan tidak pernah kuduga adalah ternyata Ibu tiriku ada di antara mereka, kupikir dia tidak ikut tapi saat ku dengar dia lama-lamat menangis dan terus merintis saat diangkat oleh orang-orang maka pahamlah aku kalau dia sudah ikut.Kulihat wajahnya yang pucat karena syok serta tangannya yang berdarah karena pecahan kaca, aku jadi merasa miris sekaligus kasihan tapi lebih banyak puasnya. Aku ingin tertawa karena pelakor itu selalu mendapatkan kesialan dan kemalangan setiap kali berkendara di jalan raya. Baru saja ia sembuh dari cedera tulang yang berkepanjangan. Kini ia harus tabrakan dan malah lebih mengenaskan lagi."Siapa yang meninggal Pak, keponakanku?" tanyanya lemas, saat ia ditandu oleh empat orang, wanita itu sempat berpapasan denganku. Ia membulatkan mata tepat saat tatapan bola mata kami saling bertautan. Aku yang masih mengenakan helm dan tidak sadar kalau tidak pakai masker segera menghindar dari wanita itu, karena aku tidak mau hal itu menimbulka
Hari demi hari kulalui dengan penuh perjuangan yang cukup berat. Sisa uang yang ditinggalkan oleh Bunda mati-matianku kuperjuangkan untuk tetap cukup membeli bahan baku dan mengelola kedai. Aku berusaha hidup hemat dan prihatin tidak membeli kecuali sesuatu yang sangat kuperlukan. Pagi aku pergi mengambil kursus komputer dan coding, sementara sore hari aku akan sibuk di kedai untuk melayani para tamu.Sekarang Ayah tinggal bersamaku tapi aku tidak mau terlalu akrab dengannya, dia kerap menyapa dan mengajakku bercanda tapi aku menanggapinya dengan ekspresi datar dan memilih untuk menyibukkan diri dan kembali ke pekerjaanku. Jika sudah begitu, maka ayah akan dia, kemudian pergi mengerjakan apa saja yang rasa mampu ia kerjakan.Aku tetap memasak dan menyediakan makanan untuk ayah, aku tetap mencuci pakaian dan membersihkan kamarnya, tapi aku tidak banyak mengatakan apa-apa. Sesekali aku menjenguk Bunda, Tapi itu tidak terlalu sering karena bunda sendiri melarangku untuk selalu datang. B