Betapa sakitnya hatiku membaca SMS ayah, betapa dia tega menuliskan kata-kata bahwa dia berlepas diri kepada kami dan mulai hari ini aku tidak boleh memanggilnya Ayah lagi. Tiba-tiba kebencianku semakin menjadi-jadi saja dan aku jadi ingin meludah ke wajahnya.Jujur hal itu sangat menyedihkan dan telah meremukkan perasaan dan harapanku, tapi aku tidak punya lagi air mata untuk menangis. Aku hanya tertawa sambil memperlihatkan ponsel itu kepada Bunda. Air mata Bunda juga jatuh membaca pesan yang dituliskan ayah. Dengan bibir gemetar Bunda seperti tidak kuasa membaca kalimat demi kalimat yang dilontarkan ayah lewat layar datar itu."Apakah Ayahmu memutuskan hubungan dengan kita?""Itu jelas sudah tertulis Bunda, kita tidak perlu mengharapkan apapun lagi darinya.""Lalu bagaimana kita akan hidup?""Emangnya selama ini Bunda tidak pernah hidup mandiri dan harus bergantung kepada orang lain? Apakah di masa muda bunda tidak pernah bekerja. Mengapa Bunda sama sekali tidak menunjukkan keteg
Seketika lemas tungkai kaki ini mendengarkan kejujuran yang Bunda katakan. Aku sangat syok, aku takut dan ngeri kalau ternyata salah satu dari mereka mati. Bunda akan digelandang ke kantor polisi lalu aku akan hidup dalam kesendirian dan ketakutan. Bahkan kalau pun ibuku dipenjara, aku tetap akan mendapat teror yang tiada hentinya. "Racun itu akan bekerja dalam sepuluh menit, dia akan memicu serangan jantung mendadak sehingga Frans atau Rindi akan mati mendadak. Dokter tidak akan curiga kalau itu racun kecuali mereka otopsi.""Dan bagaimana kalau memang itu diotopsi?""Maka kau harus berkemas dan pergi lindungi dirimu jauh jauh dari Bunda. Bunda minta maaf, tidak bisa membantumu melawan takdir dan menghadapi orang-orang yang sudah jahat padamu. Bunda sadar Bunda adalah ibu yang tidak berguna, lemah, selalu berlindung dibalik punggung anak. Sekarang Bunda akan membayarnya.""Tapi bukan begitu...."aku langsung menangis dan memeluk ibuku tidak ada kesedihan yang lebih mendalam daripada
Sampai di rumah Tante Rindi, aku berdiri dari lokasi parkir yang jaraknya sekitar 10 meter, kudengarkan kidung tangisan dan jeritan tante Riandi yang terus memanggil nama suaminya. Mungkin dia tidak bisa lagi kehilangan terlebih kepergian suaminya adalah hal yang sangat mendadak.Baru pagi tadi mereka mengunjungi kami di rumah dan tiba-tiba saja om Frans sudah meninggal karena serangan jantung. Ini aku menimbang Apakah aku harus masuk atau tidak harus ke aku memberikan ucapan bela sungkawa atau menikmati saja pembalasan dendam ibuku kepada keluarga itu.Baru saja ingin pergi tiba-tiba aku berpapasan dengan ayah, kami saling menatap dan tak lama Ayah memberi isyarat agar aku mendekat padanya. Sebenarnya aku kesel dan tidak mau bicara banyak tapi karena kebetulan orang lain juga melihat keberadaanku mau tidak mau aku pun dekat dan masuk ke rumah utama."Kenapa kau hanya berdiri saja di ujung jalan, orang-orang akan mencurigaimu dengan gelagat seperti itu.""Aku tidak ingin kehadiranku m
Bunda menutup pintu dengan tangan gemetar meski dia berusaha bersikap bengis di hadapan tante Rindi dan sepupunya tetap saja Ibuku merasa gemetar dan sadar betul kalau perbuatannya adalah perbuatan yang salah. Aku melihat tarikan nafasnya yang berat dan bagaimana cara dia memandangku sekarang. Ada kekhawatiran yang sulit dijelaskan, di mana bunda terus bersikap gelisah tapi pura-pura baik baik saja."Aku mulai merasa khawatir kalau sebentar lagi ....""Sudah Jangan teruskan ucapanmu... Aku tahu apa yang ingin kau katakan jadi jangan menambah kekhawatiran dalam diriku.""Bagaimana tidak khawatir kalau situasinya seperti ini!""Sudah, pergi tidur, aku juga akan tidur dan berprinsip menjalani hidup sesuai dengan alurnya. Jika suatu hari aku ditangkap maka itu sudah nasib diri ini, kemudian kau harus menerima kenyataan bahwa kau juga akan hidup sendiri.""Kenapa Bunda memberiku kesulitan yang begitu besar?""Karena kau juga memberikan masalah demi masalah yang tidak ada habisnya! Berulan
Di ujung Jalan orang berlarian untuk menyaksikan siapa yang tabrakan sementara aku di sini berusaha menguasai ibuku yang sudah lemas karena nyaris kehilangan kesadarannya.Kupapah ibuku, lalu kuuguncang pipi Bunda sambil berusaha untuk membuat dia mengumpulkan kembali kesadaran dan pikirannya. "Bunda!" Aku berteriak di telinganya dan mintanya untuk segera bangun."Bangun bunda!"Kududukkan dia di dekat gerbang lalu memintanya untuk menunggu diriku karena aku ingin melihat siapa yang sedang bertabrakan di ujung jalan sana.Sebenarnya aku sangat berharap kalau itu bukan ayah. Tapi di sisi lain hatiku juga berharap dia mati saja atas segala perbuatannya yang tidak pernah adil padaku dan Bunda.Tanpa alas kaki aku berlari menuju ujung Jalan yang jaraknya 50 m dari rumah. Orang-orang yang ada kebetulan duduk di warung simpangan segera terdengar riuh dan mengerubungi korban yang jatuh.Benar saja motor Vespa berwarna kuning itu terlempar ke sisi trotoar sementara Ayah berada di seberang y
"Bunda yakin dengan semua ini?""Iya, aku akan memberinya pelajaran.""Mas,maukah kau meninggalkan Priska?""Kenapa kau mendesak dengan syarat yang berat, aku sedang kesakitan, tidakkah kau memperdulikan itu?""Karena kau sedang sekaratlah aku memintamu untuk memutuskan!""Panggil istriku," ujar ayah sambil menahan sakit."Tidak akan, kalau kau terus merengek, maka aku akan menyiksamu," ujar Bunda sambil menekan jarum infus yang menancap di tangan Ayah tentu saja pria itu merintih dan nyari saja berteriak kesakitan karena tidak sanggup menahan rasa sakit."Jika aku menutup katup tabung oksigen dan mencabut selang infus ini maka kau akan meninggal sekarang juga, atau aku suntik mati dirimu," ujar bunda sambil membisiki Ayah dengan perlahan sementara perawat yang tadi pergi mencuci tangannya ke kamar mandi.Ayah terlihat ngeri dengan ancaman dan tatapan Bunda yang terlihat sangat penuh dengan misteri. untuk pertama kalinya ayah terlihat ketakutan sampai sampai wajahnya pucat pasi."To-
Lolongan dan tangisan ayah terdengar menggema di lorong dan ruangan rumah sakit, sayang saat itu tidak ada yang menyadari bahwa telah terjadi hal yang tidak mengenakkan yang dilakukan Bunda padanya. Ayah menatap padaku dengan penuh permohonan, mengharapkan diriku menyelamatkan dia dari bunda, air matanya menetes deras sambil merintih dan menangis.“Lihat, kau menangis lemah dalam kubangan darah dan air kencingmu sendiri. Kau tidak berdaya apapun Mas tanpaku dan anakmu, jadi, sadarlah, dan jangan terus menyombongkan istrimu yang baru, wanita pincang itu tidak tahu apa apa dan pasti sekarang ia sedang tidur pulas di ranjangnya yang nyaman, dia tak tahu suaminya nyaris meregang nyawa.”“A-ampunkan aku Naifa…”Bunda tertawa dengan tawa melengking yang terdengar menyeramkan, Bunda menatap ayah sambil menahan air mata yang hendak menetes dari matanya.“Percaya diri sekali kau mengambil koper untuk kabur dari rumah kita. kupikir kau akan kabur sekalian dari dunia ini,” jawab Bunda tertawa
Setelah Bunda mengantarkan keluarga Ayahku ke ambang pintu beliau kembali ke dalam lalu mendekati aja yang sedang terbaring dengan tatapan mata yang sedih."Kau dengar itu kau dengar semua komentar keluargamu? Mereka semua memihakku dan takut aku meninggalkanmu.""Ya, begitulah adanya.""Bukan karena mereka menyukaiku tapi karena mereka tahu persis tidak ada yang mau merawatmu selain aku.""Jangan pergi telanjang bukan diri kalau Priska berada dalam keadaan sehat dan tahu kalau aku sakit dia pasti akan berusaha untuk menolongku."Plak!Entah kenapa Bunda tiba-tiba memukul mulut Ayah dan ayah pun yang kebetulan sedang kesakitan dan terluka, langsung berteriak dan meneteskan air mata karena sakit."Jaga mulutmu, selagi kau numpang hidup dariku.""Aku tidak numpang hidup!""Diam atau kucabut selang infus ini dengan kasar!" Ujar bunda sambil menekan kuat jarum infus yang menancap di tangan ayah. Ayah merintih dan mendesis sakit."Kenapa tidak kau beritahu saja keluargamu yang sebenarnya