"Bunda yakin dengan semua ini?""Iya, aku akan memberinya pelajaran.""Mas,maukah kau meninggalkan Priska?""Kenapa kau mendesak dengan syarat yang berat, aku sedang kesakitan, tidakkah kau memperdulikan itu?""Karena kau sedang sekaratlah aku memintamu untuk memutuskan!""Panggil istriku," ujar ayah sambil menahan sakit."Tidak akan, kalau kau terus merengek, maka aku akan menyiksamu," ujar Bunda sambil menekan jarum infus yang menancap di tangan Ayah tentu saja pria itu merintih dan nyari saja berteriak kesakitan karena tidak sanggup menahan rasa sakit."Jika aku menutup katup tabung oksigen dan mencabut selang infus ini maka kau akan meninggal sekarang juga, atau aku suntik mati dirimu," ujar bunda sambil membisiki Ayah dengan perlahan sementara perawat yang tadi pergi mencuci tangannya ke kamar mandi.Ayah terlihat ngeri dengan ancaman dan tatapan Bunda yang terlihat sangat penuh dengan misteri. untuk pertama kalinya ayah terlihat ketakutan sampai sampai wajahnya pucat pasi."To-
Lolongan dan tangisan ayah terdengar menggema di lorong dan ruangan rumah sakit, sayang saat itu tidak ada yang menyadari bahwa telah terjadi hal yang tidak mengenakkan yang dilakukan Bunda padanya. Ayah menatap padaku dengan penuh permohonan, mengharapkan diriku menyelamatkan dia dari bunda, air matanya menetes deras sambil merintih dan menangis.“Lihat, kau menangis lemah dalam kubangan darah dan air kencingmu sendiri. Kau tidak berdaya apapun Mas tanpaku dan anakmu, jadi, sadarlah, dan jangan terus menyombongkan istrimu yang baru, wanita pincang itu tidak tahu apa apa dan pasti sekarang ia sedang tidur pulas di ranjangnya yang nyaman, dia tak tahu suaminya nyaris meregang nyawa.”“A-ampunkan aku Naifa…”Bunda tertawa dengan tawa melengking yang terdengar menyeramkan, Bunda menatap ayah sambil menahan air mata yang hendak menetes dari matanya.“Percaya diri sekali kau mengambil koper untuk kabur dari rumah kita. kupikir kau akan kabur sekalian dari dunia ini,” jawab Bunda tertawa
Setelah Bunda mengantarkan keluarga Ayahku ke ambang pintu beliau kembali ke dalam lalu mendekati aja yang sedang terbaring dengan tatapan mata yang sedih."Kau dengar itu kau dengar semua komentar keluargamu? Mereka semua memihakku dan takut aku meninggalkanmu.""Ya, begitulah adanya.""Bukan karena mereka menyukaiku tapi karena mereka tahu persis tidak ada yang mau merawatmu selain aku.""Jangan pergi telanjang bukan diri kalau Priska berada dalam keadaan sehat dan tahu kalau aku sakit dia pasti akan berusaha untuk menolongku."Plak!Entah kenapa Bunda tiba-tiba memukul mulut Ayah dan ayah pun yang kebetulan sedang kesakitan dan terluka, langsung berteriak dan meneteskan air mata karena sakit."Jaga mulutmu, selagi kau numpang hidup dariku.""Aku tidak numpang hidup!""Diam atau kucabut selang infus ini dengan kasar!" Ujar bunda sambil menekan kuat jarum infus yang menancap di tangan ayah. Ayah merintih dan mendesis sakit."Kenapa tidak kau beritahu saja keluargamu yang sebenarnya
"Kau tak punya hak apa untuk memindahkan dia dari tempat ini?! Apakah kau pikir kau berkuasa!" Bunda langsung berkacak pinggang dan murka mendengar perkataan wanita itu. Dia yang terkesiap dimarahi oleh Bunda langsung berusaha membujuk dan menawarkan agar bunda mengalah."Dengar, Ini yang terbaik Mbak, di rumah sakit yang lebih premium Mas Hafiz akan mendapatkan perawatan yang baik," jawab Tante Priska dengan nada pelan " Kau pikir aku tidak tahu apa yang terbaik untuk suamiku?""Tentu saja aku tahu tapi jika ada cara yang lebih cepat dan efektif Mengapa kita tidak mencobanya?" jawab Tante Priska dengan wajah penuh permohonan."Halah, paling juga dia akan membawanya ke dukun tukang urut," timpal tante rindi dengan sinis."Kemana pun aku membawanya itu bukan urusanmu!""Tolong jangan bertengkar," ujar ayah pelan, suara ayah parau dan terlihat menderita sekali dengan sakit dan luka luka yang dia dapatkan dari tabrakan."Kenapa bisa begini sih Mas?" Tanya Tante Priska sambil mengusap
Seminggu berlalu, Hidupku dan bunda terasa berbeda, ada yang aneh karena kami tidak bersama ayah, tapi keadaan rumah lebih tentram dan aman. Tidak ada pertengkaran atau pertanyaan pertanyaan tak nyaman, juga perselisihan tentang Priska dan priska lagi.Kami jalani hidup dengan sisa uang yang ada, tidak hidup mewah, tapi cukup hidup sederhana dan makan apa yang ada. Semuanya beda, tapi hati kami lebih damai."Sudah berapa hari ayah tidak menelpon bunda?""Aku tidak peduli tentang dirinya. Jika dia masih punya kepedulian dan rasa rindu dia pasti sudah menelponku. Tapi sudahlah .... Jangan pikirkan dia lagi.""Apa rencana Bunda selanjutnya?""Bikin usaha laundry di rumah kita, mungkin orang-orang akan kaget mengapa Bunda yang tadinya hidup berkecukupan dan dihormati melakukan itu, tapi bunda sudah tidak peduli dengan komentar orang lain.""Apa Bunda punya modal?""Iya. Sisa uang ayahmu kemarin.""Baik, semoga Bunda berhasil, aku harap kita bisa menjalani semua ini dengan baik.""Bunda s
Wow, aku langsung ternganga mendengar ucapannya. Aku langsung terkejut tidak terkira tapi ini sudah wajar karena mereka juga menyimpan sakit hati yang mendalam. Mungkin karena bukan karena mencintai Ayahku dia pasti sudah menjebloskan diri ini ke dalam penjara. Kalau dipikir-pikir lebih jauh, setelah aku memberinya begitu masalah selama berbulan-bulan, dia pasti sudah kapok dan ingin meninggalkan Ayahku, tapi karena keteguhan cinta dan kasih sayangnya dia masih bertahan sampai hari ini.Di bagian mana lagi aku akan memaksa mereka untuk berpisah jika jalinan dan hubungan yang mereka buat begitu kuat. Aku akan masuk dari celah yang mana saja pasti gagal.Kadang kasihan juga melihat wanita yang dulunya sangat cantik dan anggun itu kini terduduk di kursi roda dengan gamis dan jilbab yang biasa-biasa saja. Bagian kakinya bengkok karena mengalami patah tulang akibat perbuatanku. Dia harus segera menjalani operasinya, sebab kalau tidak dia tidak akan bisa berjalan seumur hidup. Dilema yang s
Kudapati Ibuku sudah rapi dan cantik sekali saat aku baru bangun dan turun untuk minum air ke dapur. Aku heran dengan perubahan dirinya yang terlihat begitu cantik dan luar biasa."Bunda mau ke mana sudah rapi begini?""Bunda akan pergi ke pengadilan untuk mengajukan gugatan cerai.""Bunda yakin, Apakah bisa mengajukan perceraian kepada pria yang sedang sakit? Pasti ayah tidak akan bisa menghadiri persidangan.""Justru karena itulah Bunda mengajukan cerai agar dia tidak perlu datang. Kalau dia tidak datang dalam dua kali persidangan maka semuanya sudah selesai. Dua minggu kemudian bunda akan langsung mendapatkan akta cerai."Aku tercengang dan tidak menyangka ketika mendengar semua perkataan itu mengingat kemarin-kemarin Bunda seperti cinta yang rela mempertaruhkan hidup demi tetap bisa bersama ayah. Bunda terlihat depresi dan sakit sekali saat dia tidak mendapatkan perhatian dari suaminya. Tapi dengan perubahannya yang terjadi hari ini, aku kehabisan kata-kata.Perhatikan langit pena
Itu pertanyaan yang terus bermain di dalam benakku, Aku penasaran Apakah Ayahku sudah benar-benar melupakan kami atau dia masih memikirkan tentang kami, hanya saja dia sungkan untuk menelpon atau datang.Kulihat Bunda mulai tegar dengan kehidupannya, dia mulai membuka diri dan mengundang teman-temannya ke rumah. perlahan-lahan rumah yang tadinya sepi dan suram kini mulai semarak lagi dengan kedatangan beberapa orang yang kadang menimbulkan canda tawa dan keramaian di dalam rumah.Bunda mulai sedikit-sedikit tidak membahas ayah, bahkan tidak sama sekali. Bunda mungkin sudah move on dan belajar berdamai dengan kenyataan.*Suatu hari kudapatkan surat panggilan sayang yang ditujukan untuk ibuku. Itu adalah agenda sidang pertama di mana seperti biasa kedua pasangan suami istri akan berusaha di mediasi oleh pihak pengadilan. Aku ingin bertanya sebenarnya bagaimana perasaan Ibuku tapi aku tidak mau mengganggu moodnya.Aku pergi ke garasi dan melihat dia yang sedang asyik menyetrika dengan s
Pada akhirnya setelah diskusi panjang lebar dan keluargaku membujukku, maka aku pun setuju untuk pulang ke rumah keluarga dan ahli warisku. Sebetulnya aku tidak terlalu ingin bersama mereka tapi bagi mereka tidak aman diriku untuk tinggal sendiri di tengah teror dan ancaman keluarga Tante Priska.Meski nantinya keluarga Priska tidak akan lagi menemuiku, tapi tetap saja keluargaku khawatir tentang diri ini yang sendirian karena aku adalah anak perempuan. Belum lagi usaha kedai yang mungkin tak akan bisa kukelola dengan maksimal. Kedai itu terancam gulung tikar sebentar lagi.*Aku pindah ke rumah nenekku, tinggal di sebuah kamar di lantai dua bersebelahan dengan kamar oma. Sikap Oma berubah drastis, dia yang tadinya biasa saja, jadi sangat perhatian dan sayang. Mungkin karena besarnya rasa bersalah padaku dan Bunda. Nenek jadi sangat lembut, penuh kasih sayang dan berusaha memenuhi kebutuhanku.Om dan tanteku juga sama, mereka mendukung dan menyayangiku, mereka mencarikan kampus yang
Hari itu kutemani ayah pergi ke rumah sakit jiwa di mana Bunda dirawat sekaligus ditahan. Saat pertama kali mendaftar di lorong rumah sakit dan bilang kalau kami ingin bertemu Bunda naifa, aroma khas rumah sakit serta sedikit aroma busuk mulai menguar di penciumanku.Aku juga mendengar teriakan dan suara tawa melengking yang berasal dari para pasien yang mungkin sedang berhalusinasi atau teringat dengan peristiwa traumatis mereka. Aku bisa merasakan betul tekanan dan prihatin dengan nasib pasien yang ada di situ. Aku yakin bukan keinginan mereka untuk ada di sana tapi keadaan dan mental mereka yang membuat mereka tertahan.Kami diantarkan oleh dua orang perawat ke sebuah kamar yang berada di lantai 2 dan jauh di ujung lorong sayap timur. Saat melewati koridor, aku bisa melihat di sebelah kanan dan kiri, ruang pasien yang dilapisi kaca dan jaring jeruji, berisi mereka dengan aneka tingkah laku dan keluhan. Ada yang hanya duduk di ranjang sambil menerawang menatap jendela, ada yang b
"Aku tidak akan ikut campur kalau Tante ingin berpisah atau tetap bersama ayah, tapi ada sedikit yang mengganjal hatiku karena tiba-tiba tante ingin mendapat permintaan maaf dari ibuku. Kalian berdua sama-sama salah dan sama-sama kena getahnya, kenapa tidak saling merangkul dan saling memaafkan satu sama lain saja, tanpa harus menuntut satu harus bersujud kepada yang lain?""Maaf, ibumu telah membunuh anakku.""Kehadiranmu juga telah membunuh adikku.""Ia membuatku mendapatkan kesialan bertubi-tubi.""Karena kehadiranmu kami kehilangan ayah dan rumah, keluarga kami hancur hubungan kami dengan nenek kami juga hancur, apa Tante ingin kita mengadu nasib?""Baiklah kau menang!"wanita itu akhirnya menyerah dan hanya mendengkuskan nafas sambil terlihat kesal padaku. Dia dalam keadaan sakit dan sedih sementara dia kesal dan tidak mau menatap wajahku. Dia benahi selimutnya sendiri karena hawa AC yang mulai dingin.Kuhampiri wanita itu, lalu kubantu dia untuk memperbaiki selimut, ku tawarkan j
"Dengar anak suamiku! Aku sedang sakit, bersedih dan ditimpa kesulitan bertubi-tubi. Aku tidak mau kehadiranmu mengeruhkan suasana dan membuat diriku makin depresi. jadi dengan penuh hormat, aku memintamu untuk meninggalkanku sendiri saja,"ucapnya sambil mengarahkan tangan ke pintu yang pertama bahwa dia mau tidak mau terpaksa mengusirku."Aduh Tante, kalau aku tidak menjaga lantas siapa yang akan membantumu pergi ke kamar mandi dan mengawasimu, kau bisa pingsan dan saluran infus itu bisa terlepas dari tanganmu dan berdarah. Harus menjagamu Demi rasa baktiku kepada ayahku. Aku tidak akan tahan terus bicara dan menatap wajahmu jadi aku akan mengawasimu dari luar, kataka. Saja kalau kamu butuh sesuatu," ucapku ketika hendak membalikkan badan dan pergi."Kau tidak perlu susah payah, urus saja ibumu yang pembunuh itu," jawabnya dengan sombong, aku tersentak saat wanita itu menyebut ibuku dengan sebutan pembunuh. Emosiku tiba-tiba ingin naik kepala Andai saja aku tidak berusaha mengendali
Aku menelpon ayah dalam perjalanan pulang dari persidangan Bunda. Aku ingin tahu Ayah sedang apa. Apakah dia sudah sampai di rumah atau belum. Kalau belum Aku ingin sekalian pergi menjemputnya karena Ayah tidak membawa motor melainkan dia menggunakan ojek online."Halo assalamualaikum ayah...""Ya, walaikum salam."Suasana di sekitar Ayah terdengar sangat ramai dan lalu lalang orang serta keriuhan yang sulit kujelaskan, aku tidak bisa berasumsi kalau dia sedang di kantor karena tidak mungkin suasana di kantor sampai seperti pasar. Ada suara jeritan orang yang menangis dan beberapa yang lain terdengar bicara dan sulit dimengerti Apa yang sedang mereka katakan."Ayah di mana sekarang, apa yang sedang Ayah lakukan?""Ayah sedang di rumah sakit, Tante Priska menelpon ayah dan meminta ayah datang ke sini," jawabnya dengan suara pelan.Tadinya aku ingin menceritakan tentang keadaan Bunda dan putusan apa yang bunda dapatkan tapi mendengar nama tante Priska disebutkan aku jadi kesal dan mengu
"Lalu apa pilihan Ayah, apa Ayah akan pulang dengan kami atau kembali ke Tante Priska?"Pertanyaanku itu cukup membuat ayah terhenyak dan diam saja. Dia menggeleng lalu mendesah pelan."Tidak keduanya." Ayah mendesah dan memilih beranjak dari tempat duduknya, ia trtatih pelan dengan tongkatnya menuju ke kamar.Dari belakang siluet tubuh ayah terlihat kurus, sedikit bungkuk, hilang semua wibawa dan ketegapan dirinya sejak musibah yang menimpa. Pun Tante Priska yang kini babak belur dihujam masalah demi masalah. Kasihan, tapi harus bagaimana lagi.Kini, yang harus kufokuskan adalah tentang ibuku yang menjalani hukumannya, entah berapa tahun dia di penjara aku tak tahu. Semoga hakim mempertimbangkan ketidak stabilan mentalnya agar ibuku bisa diampuni dan diberi keringanan. Meski menurut orang lain egois bahwa aku berharap ibuku yang seorang pembunuh berencana tidak dihukum berat karena gangguan jiwa, tapi aku tetap berharap itu terjadi. Semoga ada keajaiban.*Seminggu kemudian.Pagi se
Sepanjang malam Ayah Hanya duduk di depan rumah sambil membiarkan tubuhnya ditiupkan angin malam yang datang dari lautan, libur ombak yang membentur pantai seakan seperti perasaan ayah yang saat ini merasa sangat sedih dan bersalah.Dari jendela kamar aku melihat tatapan Ayah yang menerawang, sesekali ia mengusap air matanya, sekali ia menangis sampai bahunya terguncang dan akhirnya ia kembali terdiam dalam lamunan panjang.Apa yang beliau katakan memang benar, kalau ada orang yang paling pantas menanggung kesalahan maka dialah orangnya, dialah penyebab semua masalah dan petaka yang terjadi. Kedua istrinya harus mengalami gangguan kejiwaan dan mental karena terlalu depresi memikirkan kehidupan mereka yang hancur karena ayah. Satu dikecewakan karena cintanya dan satu kecewa karena kehilangan anaknya. Puncak dari semua itu ayahlah penyebab utamanya. Anak tante Priska tidak akan mati kalau bukan disebabkan oleh ibuku yang mengalami gangguan kejiwaan dan tega berbuat hal yang nekat. Tapi
Hal yang paling mengejutkan dan tidak pernah kuduga adalah ternyata Ibu tiriku ada di antara mereka, kupikir dia tidak ikut tapi saat ku dengar dia lama-lamat menangis dan terus merintis saat diangkat oleh orang-orang maka pahamlah aku kalau dia sudah ikut.Kulihat wajahnya yang pucat karena syok serta tangannya yang berdarah karena pecahan kaca, aku jadi merasa miris sekaligus kasihan tapi lebih banyak puasnya. Aku ingin tertawa karena pelakor itu selalu mendapatkan kesialan dan kemalangan setiap kali berkendara di jalan raya. Baru saja ia sembuh dari cedera tulang yang berkepanjangan. Kini ia harus tabrakan dan malah lebih mengenaskan lagi."Siapa yang meninggal Pak, keponakanku?" tanyanya lemas, saat ia ditandu oleh empat orang, wanita itu sempat berpapasan denganku. Ia membulatkan mata tepat saat tatapan bola mata kami saling bertautan. Aku yang masih mengenakan helm dan tidak sadar kalau tidak pakai masker segera menghindar dari wanita itu, karena aku tidak mau hal itu menimbulka
Hari demi hari kulalui dengan penuh perjuangan yang cukup berat. Sisa uang yang ditinggalkan oleh Bunda mati-matianku kuperjuangkan untuk tetap cukup membeli bahan baku dan mengelola kedai. Aku berusaha hidup hemat dan prihatin tidak membeli kecuali sesuatu yang sangat kuperlukan. Pagi aku pergi mengambil kursus komputer dan coding, sementara sore hari aku akan sibuk di kedai untuk melayani para tamu.Sekarang Ayah tinggal bersamaku tapi aku tidak mau terlalu akrab dengannya, dia kerap menyapa dan mengajakku bercanda tapi aku menanggapinya dengan ekspresi datar dan memilih untuk menyibukkan diri dan kembali ke pekerjaanku. Jika sudah begitu, maka ayah akan dia, kemudian pergi mengerjakan apa saja yang rasa mampu ia kerjakan.Aku tetap memasak dan menyediakan makanan untuk ayah, aku tetap mencuci pakaian dan membersihkan kamarnya, tapi aku tidak banyak mengatakan apa-apa. Sesekali aku menjenguk Bunda, Tapi itu tidak terlalu sering karena bunda sendiri melarangku untuk selalu datang. B