Home / Rumah Tangga / Luka Dalam Pernikahan / Bab 6. Reva Memancing

Share

Bab 6. Reva Memancing

last update Last Updated: 2025-01-19 00:23:20

“Kamu sudah cek semua jadwal hari ini, Dew?” tanya Arkan, tanpa menoleh pada karyawannya. Tatapannya fokus pada pekerjaannya yang hari itu cukup banyak. 

Dewi yang merupakan sekretaris Arkan langsung menjawab, “Sudah, Pak. Semua rapat hari ini sudah selesai.”

Arkan yang mendengar, hanya bergumam pelan. Dia kembali tenggelam dalam tumpukan dokumen yang harus diperiksanya. Hari ini banyak sekali rapat yang harus diselesaikan, membuatnya benar-benar sibuk. 

Ketukan pintu terdengar. Arkan langsung menyuruh seseorang di luar untuk masuk. Saat pintu terbuka, dia dibuat terkejut akan sosok yang baru saja muncul. 

“Aku boleh masuk, kan?”

 Arkan yang melihat Reva dengan penampilan seksi hanya diam dan menganggukkan kepala. Jelas Reva yang melihat menjadi bahagia. Dengan langkah anggun, wanita itu mendekat ke arah Arkan berada. Manik matanya tidak beralih sama sekali, memperhatikan setiap gerak pria tersebut. Hingga dia duduk di depan Arkan dan mengulas senyum lebar.

“Kenapa kamu masih di sini, Reva? Ini sudah malam,” ucap Arkan datar. 

“Aku masih ada pemotretan di sini, Arkan. Jadi, aku baru pulang,” sahut Reva santai. “Kamu sendiri kenapa masih di sini?”

“Aku harus mengerjakan banyak tugas,” jawab Arkan tenang. 

“Ah, iya. Sekarang kamu sudah menjadi pimpinan perusahaan dan harus menyelesaikan banyak tugas,” ucap Reva lembut, dan terdengar sangat menggoda. 

Arkan hanya mengulas senyum canggung. 

“Arkan, kamu masih banyak pekerjaan? Kalau nggak, aku mau mengajakmu makan malam,” ujar Reva tak sabar. 

Arkan menggelengkan kepala dan menjawab, “Aku masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Reva. Besok ada rapat dengan para pemegang saham.”

Reva yang mendengar, hanya manggut-manggut. Wajahnya berubah menjadi kesal, tetapi dia tetap berusaha tenang. Dia tak ingin menunjukkan sifatnya yang anggun. 

“Kalau begitu, aku pulang dulu. Kamu jaga kesehatan dan jangan lupa makan,” kata Reva pada akhirnya.

Arkan hanya menganggukkan kepala. Reva bangkit dan melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah, dia kembali berhenti. Tubuhnya membungkuk dengan tangan memegang bagian perut erat. Reva mendesis, seakan merasakan sakit yang luar biasa, membuat Arkan langsung bangkit.

“Reva, kamu kenapa?” tanya Arkan menunjukkan jelas kepedulian. 

“Perutku sakit, Arkan. Dari pagi aku belum makan apa pun,” jawab Reva, masih menahan sakit.

Arkan tampak kesal. “Kenapa kamu belum makan apa pun?” 

“Aku sibuk, Arkan,” jawab Reva lagi. 

“Kamu boleh sibuk, tapi jangan pernah lupakan makan.” 

“Iya, Arkan. Maafkan aku.”  

“Aku akan meminta sekretarisku untuk memesan makanan. Duduklah,” kata Arkan mengajak Reva duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. 

Reva menggenggam punggung tangan Arkan dan menggelengkan kepala, seraya berkata, “Tidak perlu, Arkan. Aku mau pulang saja, tapi asistenku sudah pulang duluan, dan aku nggak bisa bawa mobil. Kamu bisa antar aku pulang?”

Seketika, Arkan diam. Pria itu merasa ragu untuk mengatakan jawabannya, tetapi mendengar Reva yang terus mendesis menahan sakit, membuatnya menjadi tidak tega. “Aku akan antar kamu.” 

Reva tersenyum puas mendengar jawaban Arkan. 

***

“Ini rumahmu?” tanya Arkan saat sampai di depan sebuah rumah dengan lantai dua. Hanya rumah dengan gaya minimalis di sebuah perumahan yang memang dijaga begitu ketat. Mungkin karena yang menempati banyak sekali orang penting. Jadi, tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam.

“Iya. Ayo masuk,” ajak Reva dengan senyuman di wajahnya. 

Arkan menganggukkan kepala. Dia membuka pintu dan melangkah pelan. Pria tampan itu masih memapah tubuh Reva yang terus memegang perut. Padahal di mobil tadi, Reva sudah menelan sebuah obat dan juga memakan sesuatu, tetapi entah kenapa belum juga membaik. 

“Arkan, aku mau ganti pakaian,” kata Reva saat sudah ada di dalam rumah.

“Kamu bisa sendiri?” tanya Arkan dengan wajah cemas. 

Reva sedikit tersipu mendengar kepedulian Arkan. “Sebenarnya aku nggak bisa, tapi karena aku mau ganti pakaian, nggak mungkin kan aku mengajakmu?”

Arkan hanya diam tak bisa berkata apa pun. Sebab, apa yang dikatakan Reva ada benarnya. Tak mungkin dia membantu Reva dalam mengganti pakaian. Ya, dia mengingat batasan antara dirinya dan Reva. 

“Aku masuk dulu.” Reva melangkah pergi, membuat Arkan mendesah kasar. Pria itu memilih untuk melangkah ke arah kursi, bingung untuk bersikap. 

Sementara di dalam kamar, Reva sudah merancang sebuah rencana. Dia berganti pakaian dengan pakaian yang terbuka. Pakaian yang dikenakannya juga cukup menerawang, membuat bagian dalamnya terlihat dengan jelas. Kakinya melangkah keluar dan menuju ke arah dapur. Wanita itu membuat sebuah minuman dan kembali ke ruang tamu.

“Diminum dulu, Arkan,” ucap Reva lembut. 

Arkan mengalihkan pandangan. Kedua matanya semakin melebar terkejut saat melihat pemandangan di hadapannya. Jika saja bisa, dia pasti sudah menerkam wanita di depannya. Sayangnya Arkan masih cukup waras. Reva adalah mantannya. Wanita itu pernah meninggalkannya. Meski dia bilang masih mencintai, tidak serta-merta hal itu membuatnya bisa menyentuh Reva, kan? 

“Reva, kenapa kamu memaakai pakaian seperti itu?” tanya Arkan menegur Arkan. 

“Ah, maaf kalau pakaianku terbuka, Arkan. Aku kurang nyaman kalau memakai pakaian yang tertutup,” kata Reva sembari menyerahkan segelas minuman. Sengaja dia menundukkan tubuh, supaya Arkan bisa melihat bagian atasnya yang menyembul.

Arkan tidak menjawab apa pun, tetapi napas yang cukup berat dan wajah yang memerah menunjukkan bahwa nafsunya sudah tidak terkendali. Dia meraih gelas dan meneguk minuman, hingga habis tak bersisa. Dia ingin meredam hasrat yang terus bergejolak.

Namun, tubuhnya malah menunjukkan reaksi lain. Dia merasa ada dorongan yang begitu kuat. Tubuhnya juga mulai memanas, membuat Arkan mengendurkan ikatan dasi. Keringatnya juga semakin bercucuran.

“Kamu kenapa, Arkan?” tanya Reva dengan pandangan mengamati.

Arkan memperhatikan setiap lekuk tubuh Reva yang terpampang dengan jelas. Padahal dia sudah berusaha menahan, tetapi entah kenapa dia seperti tidak terkendali. Dengan cepat, Arkan bangkit dan mendorong tubuh Reva.

“Arkan,” panggil Reva dengan suara sedikit mendesah.

Tidak ada jawaban. Arkan malah mendekatkan tubuh, mengikis jarak yang ada diantara keduanya. Tatapan pria itu menatap Reva dengan tatapan penuh memuja, gelora gairah menggulung dalam dirinya. 

“Reva,” panggil Arkan, dengan nada rendah, yang terdengar menahan gelora hasrat yang ingin meledak dalam dirinya. 

Reva menggigit bibir bawahnya, membelai dada bidang Arkan. “Iya, Arkan … merindukanku, hm?” bisiknya serak dan sensual. 

Arkan mengumpat dalam hati, membawa tangannya membelai wajah Reva. “Aku nggak suka dalam keadaan seperti ini, Reva.” 

Reva tersenyum, dan mendekatkan bibirnya ke telinga Arkan, “Kenapa nggak suka? Aku malah suka keadaan seperti ini, Arkan.” 

Di sisi lain, Andine menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wajahnya tampak cemas dan khawatir. Wanita cantik itu bolak-balik di depan teras rumah, menunggu Arkan pulang. 

“Ke mana Mas Arkan? Kenapa belum juga pulang? Apa terjadi sesuatu?” tanya Andine dengan diri sendiri, yang semakin khawatir. 

Related chapters

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 7. Pagi yang Mengejutkan

    Arkan menggeliat pelan, merasakan tubuh yang terasa kaku. Kedua matanya perlahan terbuka, menatap langit kamar. Keningnya mulai berkerut dalam, merasa aneh karena langit kamar yang berbeda. Aroma di dalam ruangan itu cukup berbeda, membuatnya mulai meneliti setiap ruangan. Hingga saat dia melihat seseorang yang berada di sampingnya, membuat Arkan terkejut luar biasa. “Reva?” Arkan langsung bangkit berdiri. Namun, kepala Arkan terasa berat. Dia menutup mata kembali, mencoba menghilangkan denyutan di kepalanya. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam ingatannya, membuat Arkan mengingat satu per satu memori semalam.“Arkan …” Arkan semakin mencumbu tubuh Reva. Tangannya melepas satu per satu pakaiannya, membuat tubuh bagian atasnya tidak berbusana. Reva yang melihat hal itu pun membalas dengan hal yang sama.Lama keduanya saling bercumbu, mencoba membalas setiap kecupan yang ada. Arkan yang mulia tidak tahan langsung membopong tubuh Reva ke dalam kamar dan meletakkan dengan lembut. T

    Last Updated : 2025-01-19
  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 8. Andine yang Sakit

    “Mas, sarapan dulu,” panggil Andine ketika melihat Arkan yang menuruni anak tangga. Namun, Arkan tidak menjawabnya sama sekali. Pria tampan itu masih terus melangkah, menuruni satu per satu anak tangga dengan tangan sibuk merapikan pakaian. Rambutnya bahkan masih terlihat basah, menandakan Arkan tidak sempat mengeringkan kepala. “Mas,” panggil Andine kembali. Wanita itu melangkah lebar, menyamakan langkahnya dengan langkah sang suami. Meski dia harus setengah berlari—sampai dia yang sudah berada di dekat Arkan meraih pergelangan tangan sang suami, membuat langkah suaminya itu terpaksa berhenti.“Ada apa, Andine?” tanya Arkan dengan tatapan lekat.“Mas, kamu belum sarapan. Ayo sarapan dulu,” ajak Andine yang tak ingin sang suami lupa sarapan. Arkan menyingkirkan tangan sang istri dan berkata, “Aku buru-buru. Aku bisa sarapan di kantor.”“Tapi tadi malam kamu nggak pulang, Mas. Kamu juga pasti belum makan, kan? Sekarang kita makan dulu, ya. Aku udah masak kentang balado kesukaan Mas A

    Last Updated : 2025-01-19
  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 9. Wanita yang Dipilih Arkan

    Arkan menekan bel dengan raut wajah cemas. Beberapa menit yang lalu, dia harus meninggalkan rumah karena mendengar kabar Reva yang sakit. Melalui panggilan telepon wanita itu terdengar kesakitan dan Arkan menjadi tidak tega sama sekali. Dia bahkan rela meninggalkan sang istri yang saat ini juga sedang demam.Namun, Arkan memiliki pertimbangannya sendiri. Di rumah, Andine banyak yang mengurus. Ada sopir dan pelayan yang akan menjaga. Sementara Reva hanya seorang diri. Hal tersebut yang membuat Arkan lebih memilih menjaga Reva daripada Andine. Tak selang lama, terdengar pintu dibuka, membuat Arkan melirik ke dalam.“Arkan, akhirnya kamu datang juga,” ucap Reva dengan wajah penuh kelegaan, melihat yang datang adalah Arkan. Arkan segera masuk dan memegang tangan Reva. Dia takut wanita itu akan terjatuh. Meski dia tidak melihat wajah pucat, tetapi dia melihat beberapa kali Reva mengaduh dengan tangan memegang perut. Hal yang membuat Arkan yakin Reva sedang tidak baik-baik saja.“Apa yan

    Last Updated : 2025-01-19
  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 10. Kenapa Kamu Setega Ini, Mas? 

    Arkan membuka kamar secara perlahan. Sebelah tangannya memegang nampan berisi mangkuk dan air hangat. Kakinya segera melangkah ke arah ranjang, tempat di mana Reva berada. Di sana, wanita itu masih berbaring dengan raut wajah memelas, seakan tak memiliki energy. “Aku sudah buatkan bubur untuk kamu,” ucap Arkan lembut. Reva yang mendengar, mulai bangkit secara perlahan. Sebelah tangannya memegang perut, membuat Arkan tidak tega sama sekali. Arkan menolong Reva, membantunya untuk bangkit. Dengan sigap, tangannya meraih bantal dan meletakkan di belakang tubuh Reva.“Pelan-pelan,” kata Arkan mengingatkan.Reva mengulas senyum tipis dan berucap, “Terima kasih, Arkan. Maaf merepotkanmu.”Arkan meraih mangkuk yang diletakkan di nakas dan mulai mengambil sesendok. Lantas, dengan sabar, dia mulai menyuapi Reva. Suasana menjadi hening ketika keduanya hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Reva yang melihat Arkan begitu sabar melayaninya, diam-diam dia mengulum senyum. Manik matanya menatap

    Last Updated : 2025-01-19
  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 11. Permainan Gila Arkan

    Andine memasukkan makanan ke dalam kotak bekal dan melangkah keluar rumah. Hari ini dia berniat datang ke perusahaan sang suami. Pasalnya untuk sekian kali, Arkan tidak sarapan di rumah. Suaminya itu pulang pagi hanya untuk berganti pakaian dan setelahnya pergi. Jangankan sarapan, melihat menu yang ada di meja makan pun tidak. Andine merasa cemas dan khawatir, karena Arkan yang mulai tidak menjaga diri. Dia takut Arkan akan sakit, karena terlalu lelah bekerja. Meski beberapa hari ini Arkan tampak dingin, dan tidak memedulikannya, tetap saja Andine menjadikan Arkan sebagai prioritas utamanya. “Ibu mau kemana?” tanya Asep, sang sopir dengan wajah bingung.“Antar aku ke perusahaan Mas Arkan, Pak,” jawab Andine.Asep yang mendengar pun terdiam. Kali ini dia yang merasa ragu untuk mengikuti keinginan majikannya. Asep masih cukup ingat bagaimana Arkan memperilakukan Andine saat itu. Dia juga enggan mendapat amukan seperti beberapa hari yang lalu. Ya, dia mendapat amukan dari Arkan karena

    Last Updated : 2025-01-20
  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 12. Noda Merah di Kemeja Arkan

    Arkan menggeliat pelan saat merasakan tubuhnya yang begitu lelah. Kedua matanya membuka secara perlahan. Dia kembali menutup mata dan membuka, berusaha untuk menormalkan kembali pandangannya. Sampai dia menatap langit kamar yang tidak asing lagi baginya.Arkan menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia masih cukup ingat dengan apa yang dilakukannya kemarin malam. Dia tidak bisa mengontrol diri membuatnya kembali menyentuh Reva. “Selamat pagi,” sapa Reva yang baru membuka mata.Arkan tidak menjawab. Pria tampan itu memilih bangun dan duduk. Tubuhnya disandarkan dengan kepala ranjang. Reva yang melihat ketidaksukaan di wajah Arkan, langsung memperhatikan dalam.“Kamu kenapa, Arkan?” tanya Reva seraya menatap Arkan. “Kenapa semalam kamu tidak mencegahku, Reva?” Arkan malah balik bertanya. Nadanya pelan, dan terdengar bersalah. ‘Karena aku ingin mendapatkan dan memilikimu untukku seorang’. Itu yang ingin Reva katakan dalam hati, tetapi dia tidak melontarkannya.“Arkan, apa yang ter

    Last Updated : 2025-01-20
  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 13. Air Mata yang Tak Berkesudahan

    Andine menata makanan di meja makan dengan penuh semangat. Hari ini Arkan sudah kembali ke rumah. Meski masih pagi, tetapi dia tidak melihat kelelahan di wajah sang suami. Dia malah melihat wajah bahagia yang terpancar dari aura pria itu. Andine mengira kalau semua masalah suaminya sudah selesai. Mungkin itu sebabnya sang suami tampak bahagia dan bersemangat.Andine mendengar langkah kaki, membuatnya mengalihkan pandangan. Di hadapannya, tampak Arkan sudah siap dengan setelan kerja yang seperti biasa membuat sang suami tampak tampan. Melihat itu, Andine langsung mendekat dan mengambil tas kerja sang suami.“Hari ini aku buat nasi goreng seafood, Mas. Kamu sarapan dulu, ya?” kata Andine, mengajak sang suami untuk sarapan. Arkan tak merespon apa pun, dia melangkahkan kaki, menuju ke arah meja makan. Dengan tenang, dia duduk dan membiarkan Andine melayaninya. Andine bahkan dengan sabar mengambilkan makanan yang dibuat dan duduk di sebelah Arkan.Arkan mulai menikmati makanan di hadapann

    Last Updated : 2025-01-20
  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 14. Kegelisahan Andine 

    Andine duduk di ruang tunggu dengan perasaan tidak karuan. Hari ini dia memutuskan untuk ke rumah sakit seorang diri. Sebenarnya sang dokter selalu mengatakan agar dia datang bersama dengan Arkan, tetapi suaminya selalu saja sulit untuk diajak. Arkan selalu mengatakan tidak ada waktu. Padahal jauh dari lubuk hatinya terdalam, dia ingin sekali sang suami turut ikut dalam pemeriksaan. Andine mengatur napasnya, berusaha untuk tenang. Dia mencoba menahan kesedihan yang kembali hadir, terlebih saat melihat sepasang suami istri yang saling memperhatikan. Hal yang membuat Andine merasa iri. Meski dia memiliki suami kaya dan mapan, tetapi tidak pernah dia mendapatkan perhatian.Namun, lagi-lagi Andine membuang perasaan itu. Dalam hati dia meyakini kalau sang suami sedang sibuk. Mengenai hal lain, Andine tidak mempermasalahkan sama sekali, termasuk sikap Arkan yang selalu tidak peduli dengannya. Andine yakin, sikap Arkan karena pria itu terlalu lelah bekerja.“Nomor delapan, Ibu Andine.” And

    Last Updated : 2025-01-20

Latest chapter

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 35. Takdir Memihak 

    “Aku saja yang antar kamu ke kantorku, Andine,” kata Dimas saat Andine selesai memasak. Pria tampan itu menawarkan diri untuk mengantarkan Andine ke kantornya. Dia tak tega jika Andine sendiri. “Dimas, aku ke kantormu kan sama Asep,” jawab Andine lagi. “Aku nggak mau repotin kamu, Dimas. Hari ini kamu udah banyak bantuin aku.” “Asep bukannya tadi pergi?” “Eh, iya, Asep pergi. Aku sampai lupa.” “Nah, ya udah, aku ante raja. Biar aku bantuin kamu juga pas nata makanan.” “Tapi—” “Ayolah, Andine. Kita kan teman, kenapa kamu ngerasa nggak enak? Aku cuman pengen anter kamu dan bantuin kamu aja kok.” Andine terdiam mendengar ucapan Dimas. Sebenarnya, wanita cantik itu merasa tidak enak terus menerus merepotkan Dimas. Namun, dia juga akan kerepotkan jika hanya pergi sendirian. Apalagi Asep sedang tidak ada. Detik selanjutnya, Andine mengangguk merespon ucapan Dimas. Dimas tersenyum, dia mulai mengambil satu per satu kardus berisi kotak makan dan memasukkan ke dalam mobil. Dia mengaba

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 34. Memiliki Magnet Kuat 

    Andine dan Dimas duduk di sofa dengan kepala menatap langit rumah. Keduanya tampak lelah karena dari pagi sudah berbelanja. Ditambah keduanya mengangkat belanjaan sendiri setelah sampai rumah, karena Asep yang sedang keluar. “Terima kasih banyak karena sudah membantuku, Dimas,” ucap Andine lembut, dan tulus. “Dari tadi kamu bilang terima kasih. Kalau dihitung-hitung mungkin udah ratusan kali kamu bilang terima kasih,” jawab Dimas dengan senyuman di wajahnya. “Dimas, kamu udah banyak bantu aku, jadi wajar aku bilang terima kasih. Ah, ya gara-gara aku, kamu sampai belum berangkat kerja. Jujur, aku jadi nggak enak.” “Hari ini aku memang nggak ke kantor, Andine. Jadi, kamu nggak perlu merasa bersalah.” “Kamu nggak ke kantor?” Andine tampak terkejut. Dimas mengangguk. “Ya, aku nggak ke kantor. Aku urus pekerjaan dari rumah aja.” Andine tersenyum menanggapi ucapan Dimas. Jujur dalam hati dia ingin sekali Arkan libur bekerja meluangkan waktu untuknya mengajaknya jalan. Namun, itu adal

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 33. Kamu Cemburu? 

    Bibir Andine mengulas senyum manis, merasa lega karena dia sudah mendapatkan semua yang diperlukan. Setelah ini, dia tinggal memasak dan mengantarkan ke kantor Dimas. Membayangkan makanan yang akan dibuatnya hari ini, membuatnya benar-benar senang. “Andine, semua bahan-bahan yang diperlukan sudah kamu beli?” Dimas hangat pada Andine. “Sudah semua, Dimas. Ini juga udah buat dua hari,” jawab Andine sambil memeriksa bahan-bahan yang dia perlukan. Dimas menganggukkan kepala beberapa kali. Pria tampan itu tidak menyangka kalau membantu berbelanja di pasar akan lelah seperti ini. Keringatnya bahkan mulai bercucuran. Selain karena panas, dia juga lelah karena terus berjalan dan membawakan belanjaan Andine. Hal yang serupa pun terjadi dengan Arkan—yang sampai melepas jas akibat panas. Andine yang melihat sang suami berkeringat, dia mendekat ke arah sang suami dan berkata, “Terima kasih karena sudah mau membantuku, Mas.” Andine mengeluarkan tisu, menyeka keringat sang suami. Tampak Arkan

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 32. Mengantar Andine ke Pasar

    Andine terdiam, raut wajahnya menunjukkan tanda-tanda pemikiran yang mendalam. Kenangan tentang Reva yang datang malam sebelumnya, mengantarkan makanan dengan senyum hangat dan perhatian yang tulus, terus berputar dalam benaknya. Wanita itu tidak bisa mengabaikan betapa Reva tampak begitu peduli pada suaminya. Setiap kata yang diucapkan Reva, setiap tatapan yang diberikan, seolah mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.Kecurigaan mulai merayap masuk ke dalam pikirannya. Andine merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apakah mungkin Reva menaruh perasaan pada Arkan? Pikiran itu membuat hatinya bergetar, menciptakan gelombang kecemasan yang sulit untuk diabaikan. Dia tidak ingin menjadi wanita yang cemburu, tetapi perasaan itu muncul begitu saja, tak terduga.“Apakah aku terlalu paranoid?” Andine bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati yang bergejolak. Namun, semakin dia berpikir, semakin kuat kecurigaannya. Dia tidak ingin kehilangan Arkan, dan bayanga

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 31. Masakan Buatan Reva 

    Andine sibuk membuat makanan di dapur. Sejak pulang tadi, dia tidak beristirahat sama sekali. Dia takut kalau sang suami akan kelaparan, jadi dia langsung menyiapkan hidangan makan malam. Dia bahkan tidak peduli dengan tubuh yang kelelahan karena sejak tadi sibuk mengerjakan catering dari Dimas. Tak selang lama, Andine selesai membuatkan makanan. Dia segera meletakkan semua masakannya ke meja makan. Hari ini Andine hanya memasak tumis kangkung, ikan bakar, ayam goreng, dan sambal. Tidak terlalu banyak menu, tetapi Andine berharap masakannya bisa membuat sang suami bahagia.Andine mendongakkan kepala, menatap ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Dia melangkah ke arah kamar, memanggil sang suami untuk makan malam bersama. Hari ini Arkan pulang lebih awal menandakan suaminya itu belum makan malam. “Mas, ayo makan malam,” ajak Andine lembut, mengajak sang suami untuk makan bersama. Arkan yang sejak tadi sibuk dengan ponsel, melirik ke arah Andine. Di sana sang istri tersenyum manis

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 30. Reva yang Mulai Curiga 

    Arkan duduk di kursi kerjanya, tatapannya kosong menatap layar MacBook-nya yang tidak menyala. Pikiran-pikirannya melayang kembali ke kejadian bodoh yang terjadi malam sebelumnya. Dia menyesali tindakannya yang tidak bisa mengendalikan diri, yang membuatnya terjebak dalam situasi yang rumit. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya, seolah-olah ada beban berat yang tak bisa dia lepaskan.Tadi pagi, dia berangkat lebih awal dari biasanya, berusaha menghindari pertemuan dengan Andine. Dia tahu bahwa mereka perlu berbicara, tetapi dia merasa tidak siap untuk menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Rasa takut akan reaksi Andine dan keraguan tentang apa yang harus dia katakan membuatnya memilih untuk menghindar.Saat Arkan melamun, suara teleponnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan di sekelilingnya. Dia terkejut dan langsung meraih ponselnya. Melihat nama yang tertera di layar, jantungnya berdegup kencang. Ternyata yang menghubunginya adalah Reva.Dalam keadaan sedikit ragu, Arkan menja

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 29. Ledakan Gairah Tak Tertahankan 21+

    Suara langkah Arkan yang berat terdengar dari pintu depan. Andine menunggu di ruang tengah, masih mengenakan pakaian santainya. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan Arkan baru saja pulang.Begitu melihat suaminya, Andine bangkit dari sofa. “Mas, kenapa kamu pulang selarut ini?” tanyanya dengan nada khawatir.Arkan meletakkan kunci mobil di meja tanpa menatap Andine. “Karena aku masih kesal sama kamu,” jawabnya dingin, suaranya terkontrol tapi tegas.Jawaban itu membuat Andine terdiam sejenak. Wanita itu tahu masalah sore tadi masih membebani Arkan. “Kita bisa bicarakan ini, Mas. Jangan begini terus,” ucapnya pelan, mencoba meluluhkan hati suaminya.“Aku capek. Nggak usah bahas apa pun.” Arkan memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan Andine begitu saja. Andine tersentak melihat sang suami yang langsung masuk ke dalam kamar. Detik itu juga Andine memilih mengikuti sang suami ke dalam kamar. Wanita itu ingin menyelesaikan masalahnya dengan sang suami. Dia tak

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 28. Meminta Batasan!

    Dimas tersenyum puas di kala Andine setuju. Setelah diskusi dan negosiasi, akhirnya Andine menyetujui untuk bekerja sama dengan perusahaannya. Keputusan itu seperti angin segar bagi Dimas, karena dia tahu betul betapa pentingnya kolaborasi ini. Dimas yang antusias mengulurkan tangannya. “Selamat bergabung, Andine,” ucapnya, penuh semangat.Andine, dengan senyuman tenang, menyambut uluran tangan itu. “Semoga kerja sama ini membawa banyak keberhasilan,” jawabnya, suaranya mantap ramah.Arkan memperhatikan pemandangan itu dengan tatapan sulit ditebak. Dia menyilangkan tangan di dadanya, mencoba menutupi emosi yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Namun, tatapan matanya yang tajam dan rahangnya yang mengeras mengungkapkan rasa kesal dalam diri yang entah apa diartikan olehnya. Hal yang pasti adalah Arkan tak suka. Dimas, tampaknya, tidak menyadari perubahan ekspresi Arkan. Pria itu terlalu fokus pada euforia kemenangan kecil ini. Sementara itu, Andine, yang selalu peka terhadap suasa

  • Luka Dalam Pernikahan   Bab 27. Kerja Sama dengan Dimas 

    Arkan duduk di kursi kerjanya, dengan raut wajah cemas dan khawatir. Matanya terfokus pada satu titik di depannya, tapi pikirannya jauh dari pekerjaan yang harus dia selesaikan. Cuaca pagi itu cerah, sinar matahari masuk melalui jendela kantor dan menerangi ruangan, tapi tidak dapat menghilangkan kesan cemas di wajah Arkan.Pria tampan itu memegang pena di tangannya, tapi tidak menulis apa-apa. Pikirannya terus-menerus berputar tentang Dimas, temannya yang baru saja datang dari New York dan mengunjunginya di Jakarta. Arkan masih ingat bagaimana Dimas terus-menerus memuji Andine, baik dari masakan maupun penampilannya yang cantik. Dia merasa tidak nyaman dengan pujian-pujian itu, dan sekarang dia tidak dapat menghilangkan perasaan aneh dalam dirinya. Arkan menghela napas panjang, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak mengenakkan itu. Namun, pikirannya tetap saja kembali ke Dimas dan Andine. Dia tidak tahu mengapa dia merasa seperti ini, tapi dia tahu bahwa dia tidak s

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status