Arkan menggeliat pelan saat merasakan tubuhnya yang begitu lelah. Kedua matanya membuka secara perlahan. Dia kembali menutup mata dan membuka, berusaha untuk menormalkan kembali pandangannya. Sampai dia menatap langit kamar yang tidak asing lagi baginya.Arkan menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia masih cukup ingat dengan apa yang dilakukannya kemarin malam. Dia tidak bisa mengontrol diri membuatnya kembali menyentuh Reva. “Selamat pagi,” sapa Reva yang baru membuka mata.Arkan tidak menjawab. Pria tampan itu memilih bangun dan duduk. Tubuhnya disandarkan dengan kepala ranjang. Reva yang melihat ketidaksukaan di wajah Arkan, langsung memperhatikan dalam.“Kamu kenapa, Arkan?” tanya Reva seraya menatap Arkan. “Kenapa semalam kamu tidak mencegahku, Reva?” Arkan malah balik bertanya. Nadanya pelan, dan terdengar bersalah. ‘Karena aku ingin mendapatkan dan memilikimu untukku seorang’. Itu yang ingin Reva katakan dalam hati, tetapi dia tidak melontarkannya.“Arkan, apa yang ter
Andine menata makanan di meja makan dengan penuh semangat. Hari ini Arkan sudah kembali ke rumah. Meski masih pagi, tetapi dia tidak melihat kelelahan di wajah sang suami. Dia malah melihat wajah bahagia yang terpancar dari aura pria itu. Andine mengira kalau semua masalah suaminya sudah selesai. Mungkin itu sebabnya sang suami tampak bahagia dan bersemangat.Andine mendengar langkah kaki, membuatnya mengalihkan pandangan. Di hadapannya, tampak Arkan sudah siap dengan setelan kerja yang seperti biasa membuat sang suami tampak tampan. Melihat itu, Andine langsung mendekat dan mengambil tas kerja sang suami.“Hari ini aku buat nasi goreng seafood, Mas. Kamu sarapan dulu, ya?” kata Andine, mengajak sang suami untuk sarapan. Arkan tak merespon apa pun, dia melangkahkan kaki, menuju ke arah meja makan. Dengan tenang, dia duduk dan membiarkan Andine melayaninya. Andine bahkan dengan sabar mengambilkan makanan yang dibuat dan duduk di sebelah Arkan.Arkan mulai menikmati makanan di hadapann
Andine duduk di ruang tunggu dengan perasaan tidak karuan. Hari ini dia memutuskan untuk ke rumah sakit seorang diri. Sebenarnya sang dokter selalu mengatakan agar dia datang bersama dengan Arkan, tetapi suaminya selalu saja sulit untuk diajak. Arkan selalu mengatakan tidak ada waktu. Padahal jauh dari lubuk hatinya terdalam, dia ingin sekali sang suami turut ikut dalam pemeriksaan. Andine mengatur napasnya, berusaha untuk tenang. Dia mencoba menahan kesedihan yang kembali hadir, terlebih saat melihat sepasang suami istri yang saling memperhatikan. Hal yang membuat Andine merasa iri. Meski dia memiliki suami kaya dan mapan, tetapi tidak pernah dia mendapatkan perhatian.Namun, lagi-lagi Andine membuang perasaan itu. Dalam hati dia meyakini kalau sang suami sedang sibuk. Mengenai hal lain, Andine tidak mempermasalahkan sama sekali, termasuk sikap Arkan yang selalu tidak peduli dengannya. Andine yakin, sikap Arkan karena pria itu terlalu lelah bekerja.“Nomor delapan, Ibu Andine.” And
Reva menelusuri tepi pantai dengan bibir tersenyum lebar. Kakinya terus melangkah, sesekali merasakan debur ombak yang langsung mengenai kakinya. Dia menikmati pemandangan dan ketenangan di sekitar. Pagi ini, dia sengaja berjalan di sekitar pantai yang tidak jauh dari hotel bersama dengan Arkan. Mengingat pria itu, Reva mengalihkan pandangan.“Kamu suka?” tanya Arkan yang sejak tadi setia menemani. Tangannya bahkan dengan setia menggenggam jemari sang kekasih.Reva yang ditanya jelas mengangguk semangat. Dia melepaskan genggaman, berganti memeluk lengan Arkan dan menjawab, “Aku suka, Arkan. Terima kasih karena sudah menuruti permintaanku.” “Aku akan melakukan apa pun asal kamu bahagia, Reva. Jadi, ke mana kamu ingin pergi, katakan saja dan aku akan mengabulkannya,” ucap Arkan hangat. Reva tersenyum lembut menanggapi ucapan Arkan. Dia kembali menikmati suasana pagi dengan hati berbunga. Dia sudah memperkirakan hal itu, tetapi tidak menyangka Arkan akan sebaik ini padanya. Awalnya dia
Hari berlalu, Andine masih dibuat cemas karena sang suami yang tidak ada kabar sama sekali. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Media sosialnya juga tidak aktif, membuat Andine merasa buntu. Dia tidak tahu harus ke mana lagi mencari keberadaan suaminya. Berhari-hari Arkan tak pulang, membuat Andine dilingkupi kecemasan. Wanita cantik itu tidak bisa tidur pulas. Setiap malam, dia selalu khawatir pada sang suami. Dia belum tenang, jika belum mendengar suara suaminya itu. Andine selalu berusaha untuk berpikir Arkan baik-baik saja, tapi semua sangat sulit. Dia tetap tidak bisa tenang. Hati dan logikanya berperang, dan menimbulkan kesesakan dalam dirinya. Saat pikiran Andine terasa buntu, suara mobil terdengar. Dia langsung mengira itu Arkan. Detik itu juga dia bangkit berdiri—melangkah lebar, sesekali berlari kecil karena tidak sabar. Bibirnya tersenyum lebar, merasa bahagia karena sang suami yang sudah kembali.Namun, kebahagiaannya mulai memudar saat melihat siapa yang datang. Senyumnya
Andine menatap tampilan dirinya di depan cermin. Kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum manis dengan lipstik merah di bibir. Manik matanya memperhatikan setiap inci penampilannya, tidak mau ada yang salah dengan dandanannya hari ini. Pasalnya dia akan ke pesta ulang tahun pernikahan sang mertua, membuat Andine harus tampil dengan memesona. Hingga pintu kamar mandi terbuka, membuat Andine mengalihkan pandangan—menatap Arkan yang muncul. “Mas, menurutmu aku sudah cantik apa belum?” tanya Andine. Dia berharap kali ini akan mendapat pujian dari sang suami.Namun, Arkna yang baru saja keluar hanya diam. Pria tamoan itu memperhatikan penampilan sang istri dalam-dalam, lalu mengalihkan pandangan dan menjawab dengan nada dingin, “Biasa saja.”Kecewa. Itulah yang dirasakan Andine kali ini. Padahal dia ingin mendengar sang suami memujinya cantik, karena jujur saja dia tidak pernah berdandan sama sekali. Biasanya Andine hanya menggunakan pelembab wajah dan lip balm saja, tetapi hari in
“Kamu?” Melly tampak terkejut melihat kehadiran Reva. Dia terlihat sinis saat melihat tamu di hadapannya. Apalagi tamunya kali ini tidak diundang sama sekali. Jangankan mengundang, berharap saja dia tidak mau. Entah dia tak mengerti bagaimana bisa Reva tahu acara ulang tahun pernikahannya. “Apa kabar, Tante? Lama nggak ketemu, tante semakin cantik.” Reva memuji dengan senyuman di wajahnya. Dia tak menyerah sama sekali. Ya, tentu dia tahu kemarahan kedua orang tua Arkan, tetapi dia juga tahu bagaimana cara meredakannya. “Baik. Kenapa kamu ada di sini?” tanya Melly tak ramah pada Reva. “Hari ini aku dengar Tante sama Om lagi adain acara ulang tahun pernikahan. Jadi, aku langsung datang ke sini,” ujar Reva dengan penuh semangat. Sebelumnya, Reva meminta asisten pribadinya mencari tahu di mana orang tua Arkan merayakan pesta. Bermodalkan foto lamanya dengan Arkan, dia bisa mendapatkan izin untuk masuk, meski tak memiliki undangan. Melly tahu kisah putranya dan Reva berakhir, karena R
Reva dan Melly memutuskan untuk pergi ke sudut ruangan, menyingkir dari keramaian setelah tadi sempat menyapa beberapa tamu undangan. Keduanya tampak begitu akur. Bahkan Melly sejak tadi terus menggandeng tangan Reva. Mata Melly menatap ke arah Andine yang mengobrol dengan sang suami, membuatnya langsung memasang wajah sinis.Tampak Reva sangat bahagia di kala melihat Melly seperti tak menyukai Andine. Dia merasa kalau mendapatkan perhatian ibu Arkan itu bukan perkara yang sulit. Terbukti diberikan hadiah tas branded saja, sudah membuat Melly luluh. “Tante,” panggil Reva lembut. Melly menoleh, menatap Reva. “Ya, Reva? Ada apa?” “Hm, Tante, boleh nggak aku tanya sesuatu.” “Boleh dong. Mau tanya apa?” “Tante, jujur aku nggak tahu kalau Arkan sudah menikah. Aku nggak pernah dengar kabar apa pun. Aku pikir sampai hari ini, Arkan masih lajang,” ucap Reva dengan raut wajah bersalah. Bibirnya menunjukkan senyum canggung yang jelas dibuat-buat.Melly membuang napas kasar, dan berkata den
“Aku saja yang antar kamu ke kantorku, Andine,” kata Dimas saat Andine selesai memasak. Pria tampan itu menawarkan diri untuk mengantarkan Andine ke kantornya. Dia tak tega jika Andine sendiri. “Dimas, aku ke kantormu kan sama Asep,” jawab Andine lagi. “Aku nggak mau repotin kamu, Dimas. Hari ini kamu udah banyak bantuin aku.” “Asep bukannya tadi pergi?” “Eh, iya, Asep pergi. Aku sampai lupa.” “Nah, ya udah, aku ante raja. Biar aku bantuin kamu juga pas nata makanan.” “Tapi—” “Ayolah, Andine. Kita kan teman, kenapa kamu ngerasa nggak enak? Aku cuman pengen anter kamu dan bantuin kamu aja kok.” Andine terdiam mendengar ucapan Dimas. Sebenarnya, wanita cantik itu merasa tidak enak terus menerus merepotkan Dimas. Namun, dia juga akan kerepotkan jika hanya pergi sendirian. Apalagi Asep sedang tidak ada. Detik selanjutnya, Andine mengangguk merespon ucapan Dimas. Dimas tersenyum, dia mulai mengambil satu per satu kardus berisi kotak makan dan memasukkan ke dalam mobil. Dia mengaba
Andine dan Dimas duduk di sofa dengan kepala menatap langit rumah. Keduanya tampak lelah karena dari pagi sudah berbelanja. Ditambah keduanya mengangkat belanjaan sendiri setelah sampai rumah, karena Asep yang sedang keluar. “Terima kasih banyak karena sudah membantuku, Dimas,” ucap Andine lembut, dan tulus. “Dari tadi kamu bilang terima kasih. Kalau dihitung-hitung mungkin udah ratusan kali kamu bilang terima kasih,” jawab Dimas dengan senyuman di wajahnya. “Dimas, kamu udah banyak bantu aku, jadi wajar aku bilang terima kasih. Ah, ya gara-gara aku, kamu sampai belum berangkat kerja. Jujur, aku jadi nggak enak.” “Hari ini aku memang nggak ke kantor, Andine. Jadi, kamu nggak perlu merasa bersalah.” “Kamu nggak ke kantor?” Andine tampak terkejut. Dimas mengangguk. “Ya, aku nggak ke kantor. Aku urus pekerjaan dari rumah aja.” Andine tersenyum menanggapi ucapan Dimas. Jujur dalam hati dia ingin sekali Arkan libur bekerja meluangkan waktu untuknya mengajaknya jalan. Namun, itu adal
Bibir Andine mengulas senyum manis, merasa lega karena dia sudah mendapatkan semua yang diperlukan. Setelah ini, dia tinggal memasak dan mengantarkan ke kantor Dimas. Membayangkan makanan yang akan dibuatnya hari ini, membuatnya benar-benar senang. “Andine, semua bahan-bahan yang diperlukan sudah kamu beli?” Dimas hangat pada Andine. “Sudah semua, Dimas. Ini juga udah buat dua hari,” jawab Andine sambil memeriksa bahan-bahan yang dia perlukan. Dimas menganggukkan kepala beberapa kali. Pria tampan itu tidak menyangka kalau membantu berbelanja di pasar akan lelah seperti ini. Keringatnya bahkan mulai bercucuran. Selain karena panas, dia juga lelah karena terus berjalan dan membawakan belanjaan Andine. Hal yang serupa pun terjadi dengan Arkan—yang sampai melepas jas akibat panas. Andine yang melihat sang suami berkeringat, dia mendekat ke arah sang suami dan berkata, “Terima kasih karena sudah mau membantuku, Mas.” Andine mengeluarkan tisu, menyeka keringat sang suami. Tampak Arkan
Andine terdiam, raut wajahnya menunjukkan tanda-tanda pemikiran yang mendalam. Kenangan tentang Reva yang datang malam sebelumnya, mengantarkan makanan dengan senyum hangat dan perhatian yang tulus, terus berputar dalam benaknya. Wanita itu tidak bisa mengabaikan betapa Reva tampak begitu peduli pada suaminya. Setiap kata yang diucapkan Reva, setiap tatapan yang diberikan, seolah mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.Kecurigaan mulai merayap masuk ke dalam pikirannya. Andine merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apakah mungkin Reva menaruh perasaan pada Arkan? Pikiran itu membuat hatinya bergetar, menciptakan gelombang kecemasan yang sulit untuk diabaikan. Dia tidak ingin menjadi wanita yang cemburu, tetapi perasaan itu muncul begitu saja, tak terduga.“Apakah aku terlalu paranoid?” Andine bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati yang bergejolak. Namun, semakin dia berpikir, semakin kuat kecurigaannya. Dia tidak ingin kehilangan Arkan, dan bayanga
Andine sibuk membuat makanan di dapur. Sejak pulang tadi, dia tidak beristirahat sama sekali. Dia takut kalau sang suami akan kelaparan, jadi dia langsung menyiapkan hidangan makan malam. Dia bahkan tidak peduli dengan tubuh yang kelelahan karena sejak tadi sibuk mengerjakan catering dari Dimas. Tak selang lama, Andine selesai membuatkan makanan. Dia segera meletakkan semua masakannya ke meja makan. Hari ini Andine hanya memasak tumis kangkung, ikan bakar, ayam goreng, dan sambal. Tidak terlalu banyak menu, tetapi Andine berharap masakannya bisa membuat sang suami bahagia.Andine mendongakkan kepala, menatap ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Dia melangkah ke arah kamar, memanggil sang suami untuk makan malam bersama. Hari ini Arkan pulang lebih awal menandakan suaminya itu belum makan malam. “Mas, ayo makan malam,” ajak Andine lembut, mengajak sang suami untuk makan bersama. Arkan yang sejak tadi sibuk dengan ponsel, melirik ke arah Andine. Di sana sang istri tersenyum manis
Arkan duduk di kursi kerjanya, tatapannya kosong menatap layar MacBook-nya yang tidak menyala. Pikiran-pikirannya melayang kembali ke kejadian bodoh yang terjadi malam sebelumnya. Dia menyesali tindakannya yang tidak bisa mengendalikan diri, yang membuatnya terjebak dalam situasi yang rumit. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya, seolah-olah ada beban berat yang tak bisa dia lepaskan.Tadi pagi, dia berangkat lebih awal dari biasanya, berusaha menghindari pertemuan dengan Andine. Dia tahu bahwa mereka perlu berbicara, tetapi dia merasa tidak siap untuk menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Rasa takut akan reaksi Andine dan keraguan tentang apa yang harus dia katakan membuatnya memilih untuk menghindar.Saat Arkan melamun, suara teleponnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan di sekelilingnya. Dia terkejut dan langsung meraih ponselnya. Melihat nama yang tertera di layar, jantungnya berdegup kencang. Ternyata yang menghubunginya adalah Reva.Dalam keadaan sedikit ragu, Arkan menja
Suara langkah Arkan yang berat terdengar dari pintu depan. Andine menunggu di ruang tengah, masih mengenakan pakaian santainya. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan Arkan baru saja pulang.Begitu melihat suaminya, Andine bangkit dari sofa. “Mas, kenapa kamu pulang selarut ini?” tanyanya dengan nada khawatir.Arkan meletakkan kunci mobil di meja tanpa menatap Andine. “Karena aku masih kesal sama kamu,” jawabnya dingin, suaranya terkontrol tapi tegas.Jawaban itu membuat Andine terdiam sejenak. Wanita itu tahu masalah sore tadi masih membebani Arkan. “Kita bisa bicarakan ini, Mas. Jangan begini terus,” ucapnya pelan, mencoba meluluhkan hati suaminya.“Aku capek. Nggak usah bahas apa pun.” Arkan memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan Andine begitu saja. Andine tersentak melihat sang suami yang langsung masuk ke dalam kamar. Detik itu juga Andine memilih mengikuti sang suami ke dalam kamar. Wanita itu ingin menyelesaikan masalahnya dengan sang suami. Dia tak
Dimas tersenyum puas di kala Andine setuju. Setelah diskusi dan negosiasi, akhirnya Andine menyetujui untuk bekerja sama dengan perusahaannya. Keputusan itu seperti angin segar bagi Dimas, karena dia tahu betul betapa pentingnya kolaborasi ini. Dimas yang antusias mengulurkan tangannya. “Selamat bergabung, Andine,” ucapnya, penuh semangat.Andine, dengan senyuman tenang, menyambut uluran tangan itu. “Semoga kerja sama ini membawa banyak keberhasilan,” jawabnya, suaranya mantap ramah.Arkan memperhatikan pemandangan itu dengan tatapan sulit ditebak. Dia menyilangkan tangan di dadanya, mencoba menutupi emosi yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Namun, tatapan matanya yang tajam dan rahangnya yang mengeras mengungkapkan rasa kesal dalam diri yang entah apa diartikan olehnya. Hal yang pasti adalah Arkan tak suka. Dimas, tampaknya, tidak menyadari perubahan ekspresi Arkan. Pria itu terlalu fokus pada euforia kemenangan kecil ini. Sementara itu, Andine, yang selalu peka terhadap suasa
Arkan duduk di kursi kerjanya, dengan raut wajah cemas dan khawatir. Matanya terfokus pada satu titik di depannya, tapi pikirannya jauh dari pekerjaan yang harus dia selesaikan. Cuaca pagi itu cerah, sinar matahari masuk melalui jendela kantor dan menerangi ruangan, tapi tidak dapat menghilangkan kesan cemas di wajah Arkan.Pria tampan itu memegang pena di tangannya, tapi tidak menulis apa-apa. Pikirannya terus-menerus berputar tentang Dimas, temannya yang baru saja datang dari New York dan mengunjunginya di Jakarta. Arkan masih ingat bagaimana Dimas terus-menerus memuji Andine, baik dari masakan maupun penampilannya yang cantik. Dia merasa tidak nyaman dengan pujian-pujian itu, dan sekarang dia tidak dapat menghilangkan perasaan aneh dalam dirinya. Arkan menghela napas panjang, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak mengenakkan itu. Namun, pikirannya tetap saja kembali ke Dimas dan Andine. Dia tidak tahu mengapa dia merasa seperti ini, tapi dia tahu bahwa dia tidak s