Reva dan Melly memutuskan untuk pergi ke sudut ruangan, menyingkir dari keramaian setelah tadi sempat menyapa beberapa tamu undangan. Keduanya tampak begitu akur. Bahkan Melly sejak tadi terus menggandeng tangan Reva. Mata Melly menatap ke arah Andine yang mengobrol dengan sang suami, membuatnya langsung memasang wajah sinis.Tampak Reva sangat bahagia di kala melihat Melly seperti tak menyukai Andine. Dia merasa kalau mendapatkan perhatian ibu Arkan itu bukan perkara yang sulit. Terbukti diberikan hadiah tas branded saja, sudah membuat Melly luluh. “Tante,” panggil Reva lembut. Melly menoleh, menatap Reva. “Ya, Reva? Ada apa?” “Hm, Tante, boleh nggak aku tanya sesuatu.” “Boleh dong. Mau tanya apa?” “Tante, jujur aku nggak tahu kalau Arkan sudah menikah. Aku nggak pernah dengar kabar apa pun. Aku pikir sampai hari ini, Arkan masih lajang,” ucap Reva dengan raut wajah bersalah. Bibirnya menunjukkan senyum canggung yang jelas dibuat-buat.Melly membuang napas kasar, dan berkata den
“Maaf ya, Andine. Malam ini aku sedikit nggak enak badan. Jadi, aku nggak bisa duduk di belakang,” kata Reva seraya melirik Andine dari kaca spion tengah. Wanita cantik itu menunjukkan jelas kepuasan seakan dirinya sedang memenangkan sebuah permainan. Andine yang sebenarnya masih kesal, hanya bia menganggukkan kepala. Bibirnya mengulas senyum yang jelas dipaksakan. Dia merasa tidak rela bangku bagian depan diduduki Reva. Pasalnya dia adalah istri Arkan dan seharusnya dia yang ada di sebelah sang suami. Sayangnya Arkan sendiri merasa tidak keberatan, membuat Andine tidak bisa berkata apa-apa.Reva yang berada di depan menatap ke arah jalanan di depannya. Dia memikirkan cara dan memanfaatkan momen kali ini. Dia ingin menunjukkan pada Andine bahwa Arkan peduli padanya. Arkan yang merasa haus, meraih minuman di sebelahnya. Namun, karena tak berhati-hati membuatnya menjadi tersedak, dan minuman sedikit tumpah mengenai jasnya. Refleks, Andine mengambil tisu, tetapi gerakannya terhenti saa
Andine meletakkan mangkuk berisi masakan buatannya. Pun dia menyiapkan makanan yang sudah dia buat di piring sang suami. Sesekali, manik matanya menatap ke arah Arkan yang hanya diam. Sejak sampai di lantai dasar, Arkan bahkan tidak memulai percakapan sama sekali. Dia sendiri bingung, harus mulai darimana. Bahkan ketika dia duduk di sebelah Arkan dan menyendok makanan.Suasana di dalam ruangan itu terasa sunyi dengan aura yang begitu dingin. Pasalnya Arkan dan Andine tidak ada yang membuka percakapan. Sejak semalam, keduanya disibukkan dengan kebisuan. Terlebih Arkan yang tidak membuka suara sama sekali, membuat Andine yang tahu penyebabnya hanya bisa membuang napas lirih dan mencoba bersabar.Andine menghentikan kunyahan dan mendongak—menatap ke arah sang suami dan berkata, “Mas, hari ini kamu ke kantor?”Namun, Arkan yang mendengar hanya diam. Pria tampan itu sibuk menghabiskan makanan di piring, tidak menatap ke arah Andine. Sejak semalam dia sudah mendiamkan istrinya, tidak peduli
Harapan hanyalah harapan. Tidak semua harapan bisa menjadi kenyataan. Itulah yang dirasakan Andine saat ini. Dai berangkat dengan penuh semangat, berharap mertuanya sudah luluh dan ingin membangun hubungan baik dengannya. Dia bahkan cukup antusias dan berdandan begitu rapi agar tidak membuat malu, tetapi siapa sangka jika apa yang dipikirkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Pasalnya dia disuruh datang ke mall bukan untuk diajak menemani berbelanja, tetapi malah menjadi pelayan untuk sang mertua dan Reva.Andine menahan tangis saat melihat Reva dan mertuanya berbelanja. Keduanya tampak akur. Hal yang lagi-lagi membuat Andine menjadi iri. Kenapa Reva bisa sedekat itu dengan sang ibu mertua? Sementara dengannya, Melly selalu bersikap sinis dan tidak bersahabat. Bahkan tidak jarang Melly melontarkan kalimat-kalimat menyakitkan yang membuatnya harus menahan sakit hati.“Andine, bisa cepat sedikit nggak sih? Lelet amat,” celetuk Melly jengkel, karena sang menantu sangat lambat. Andine
Makanan yang Arkan buat telah jadi. Dua posri nasi goreng seafood yang telah dibuat pria tampan itu. Dia menghidangkan makanan ke depan Reva, dan seketika itu juga membuat senyuman di wajah Reva terlukis indah.“Reva, maaf aku hanya membuat nasi goreng seafood. Aku mengambil beberapa sisa bahan makanan di kulkas, dan yang bisa aku olah jadi makanan adalah nasi goreng seafood. Kamu sepertinya jarang belanja bahan makanan,” ujar Arkan mengingatkan Reva. “Maaf, Arkan. Aku nggak pernah masak. Biasanya asistenku yang datang memasak untukku. Dia yang juga sering membuatkan makanan,” jawab Reva pelan. Arkan tersenyum, seraya mengusap puncak kepala Reva sembari berkata, “Nggak apa-apa. Besok kita belanja ke supermarket. Kita beli bahan makanan. Kalau aku ke sini, aku pasti akan sering membuatkan makanan untukmu.” Mendengar itu, Reva tersenyum lebar dan menganggukkan kepala. Tangannya langsung menyendok nasi dan mengunyah pelan. Arkan memang selalu juara dalam memasak. Dulu waktu mereka ma
Arkan menggeliat pelan saat merasakan tubuhnya terasa kaku. Dia membuka mata secara perlahan dan menatap langit kamar. Sudut bibirnya membentuk senyum tipis dan mengalihkan pandangan. Di sebelahnya sudah ada Reva yang berbaring dengan kedua mata terpejam. Sejenak, Arkan memperhatikan sang kekasih yang tertidur lelap.Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Reva yang membuka mata. Sejenak, keduanya hanya diam dengan kedua mata saling bersitatap. Hingga tiba-tiba Reva mengecup bibir Arkan, membuat pria itu tersenyum.“Selamat pagi,” sapa Reva lembut. Arkan membelai pipi Reva. “Pagi, kamu sudah bangun?” Reva mengangguk. “Iya, Sayang. Aku sudah bangun. “Hari ini kamu ke kantor?” tanya Reva ingin tahu. Arkan menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Pertanyaan Reva langsung menyadari dia harus bersiap untuk kerja. Detik itu juga, Arkan menyikap selimut, dan bangkit berdiri. “Aku harus pulang sekarang, Reva. Aku harus ganti baju dan bersiap ke k
“Ck! Aku nggak sudi melayanimu!” Reva terang-terangan menolak Robby yang ingin dirinya melayani pria itu. Dia membalas tatapan dingin, dan tajam Robby. Tatapan yang jelas menunjukkan emosi membakar. Robby tersenyum sinis. Kamu menolakku, Reva? Kamu nggak takut aku adukan ke Arkan mengenai siapa kamu yang dulu? Kamu lupa siapa yang membuat kamu seperti ini? Sekarang sudah merasa hebat? Padahal dulu kamu selalu membuka kaki untuk mendapatkan tawaran main film. Kalau nggak begitu, kamu pikir akan ada produser yang memakaimu?” Tatapan mata Reva menajam, mendengar apa yang dikatakan oleh Robby. “Oh, atau karena ada Arkan makanya kamu bertingkah?” Robby menatap ke arah Reva dengan pandangan sinis. Dia masih ingat bagaimana dulu Reva menggoda dirinya. Bahkan bukan hanya sekali dua kali wanita itu berhubungan badan dengannya. Setiap ada film baru, Reva selalu menawarkan tubuh. Tidak hanya dengannya, tetapi juga dengan produser yang lain.Namun, Reva tidak takut sama sekali. dia malah berk
Andine menyiapkan kopi untuk Dimas, dan pria bernama Dimas yang merupakan teman Arkan mengucapkan terima kasih. Senyuman di wajah Andine terlukis. Wanita cantik itu duduk di sebelah Arkan dan menatap ke arah tamunya kali ini. Manik matanya memperhatikan pria dengan hidung bangir dan bibir merah yang berada tidak jauh darinya. Ini pertama kali Andine melihat sosok pria bernama Dimas. Sebelumnya dia tak pernah tahu. Ada beberapa teman lama Arkan yang datang, tentu Andine mengenal. Namun, untuk pria yang bernama Dimas, dia tak pernah tahu sama sekali.“Apa kabar, Arkan? Long time no see,” ucap Dimas sambil tersenyum ke arah Arkan. Arkan mengangguk. “Baik, lo sendiri apa kabar?” “Gue baik. Jujur, gue rindu Jakarta,” kekeh Dimas. “Gue pikir lo bakalan selamanya di Amrik.” “Nggaklah, Indonesia masih tetap jadi kebanggaan gue.” Arkan hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Dimas. “Sampai kapan lo di Jakarta?” “Hmm belum tahu. Gue ditugaskan dari kantor pusat buat mengelola perusahaan
“Aku saja yang antar kamu ke kantorku, Andine,” kata Dimas saat Andine selesai memasak. Pria tampan itu menawarkan diri untuk mengantarkan Andine ke kantornya. Dia tak tega jika Andine sendiri. “Dimas, aku ke kantormu kan sama Asep,” jawab Andine lagi. “Aku nggak mau repotin kamu, Dimas. Hari ini kamu udah banyak bantuin aku.” “Asep bukannya tadi pergi?” “Eh, iya, Asep pergi. Aku sampai lupa.” “Nah, ya udah, aku ante raja. Biar aku bantuin kamu juga pas nata makanan.” “Tapi—” “Ayolah, Andine. Kita kan teman, kenapa kamu ngerasa nggak enak? Aku cuman pengen anter kamu dan bantuin kamu aja kok.” Andine terdiam mendengar ucapan Dimas. Sebenarnya, wanita cantik itu merasa tidak enak terus menerus merepotkan Dimas. Namun, dia juga akan kerepotkan jika hanya pergi sendirian. Apalagi Asep sedang tidak ada. Detik selanjutnya, Andine mengangguk merespon ucapan Dimas. Dimas tersenyum, dia mulai mengambil satu per satu kardus berisi kotak makan dan memasukkan ke dalam mobil. Dia mengaba
Andine dan Dimas duduk di sofa dengan kepala menatap langit rumah. Keduanya tampak lelah karena dari pagi sudah berbelanja. Ditambah keduanya mengangkat belanjaan sendiri setelah sampai rumah, karena Asep yang sedang keluar. “Terima kasih banyak karena sudah membantuku, Dimas,” ucap Andine lembut, dan tulus. “Dari tadi kamu bilang terima kasih. Kalau dihitung-hitung mungkin udah ratusan kali kamu bilang terima kasih,” jawab Dimas dengan senyuman di wajahnya. “Dimas, kamu udah banyak bantu aku, jadi wajar aku bilang terima kasih. Ah, ya gara-gara aku, kamu sampai belum berangkat kerja. Jujur, aku jadi nggak enak.” “Hari ini aku memang nggak ke kantor, Andine. Jadi, kamu nggak perlu merasa bersalah.” “Kamu nggak ke kantor?” Andine tampak terkejut. Dimas mengangguk. “Ya, aku nggak ke kantor. Aku urus pekerjaan dari rumah aja.” Andine tersenyum menanggapi ucapan Dimas. Jujur dalam hati dia ingin sekali Arkan libur bekerja meluangkan waktu untuknya mengajaknya jalan. Namun, itu adal
Bibir Andine mengulas senyum manis, merasa lega karena dia sudah mendapatkan semua yang diperlukan. Setelah ini, dia tinggal memasak dan mengantarkan ke kantor Dimas. Membayangkan makanan yang akan dibuatnya hari ini, membuatnya benar-benar senang. “Andine, semua bahan-bahan yang diperlukan sudah kamu beli?” Dimas hangat pada Andine. “Sudah semua, Dimas. Ini juga udah buat dua hari,” jawab Andine sambil memeriksa bahan-bahan yang dia perlukan. Dimas menganggukkan kepala beberapa kali. Pria tampan itu tidak menyangka kalau membantu berbelanja di pasar akan lelah seperti ini. Keringatnya bahkan mulai bercucuran. Selain karena panas, dia juga lelah karena terus berjalan dan membawakan belanjaan Andine. Hal yang serupa pun terjadi dengan Arkan—yang sampai melepas jas akibat panas. Andine yang melihat sang suami berkeringat, dia mendekat ke arah sang suami dan berkata, “Terima kasih karena sudah mau membantuku, Mas.” Andine mengeluarkan tisu, menyeka keringat sang suami. Tampak Arkan
Andine terdiam, raut wajahnya menunjukkan tanda-tanda pemikiran yang mendalam. Kenangan tentang Reva yang datang malam sebelumnya, mengantarkan makanan dengan senyum hangat dan perhatian yang tulus, terus berputar dalam benaknya. Wanita itu tidak bisa mengabaikan betapa Reva tampak begitu peduli pada suaminya. Setiap kata yang diucapkan Reva, setiap tatapan yang diberikan, seolah mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.Kecurigaan mulai merayap masuk ke dalam pikirannya. Andine merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apakah mungkin Reva menaruh perasaan pada Arkan? Pikiran itu membuat hatinya bergetar, menciptakan gelombang kecemasan yang sulit untuk diabaikan. Dia tidak ingin menjadi wanita yang cemburu, tetapi perasaan itu muncul begitu saja, tak terduga.“Apakah aku terlalu paranoid?” Andine bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati yang bergejolak. Namun, semakin dia berpikir, semakin kuat kecurigaannya. Dia tidak ingin kehilangan Arkan, dan bayanga
Andine sibuk membuat makanan di dapur. Sejak pulang tadi, dia tidak beristirahat sama sekali. Dia takut kalau sang suami akan kelaparan, jadi dia langsung menyiapkan hidangan makan malam. Dia bahkan tidak peduli dengan tubuh yang kelelahan karena sejak tadi sibuk mengerjakan catering dari Dimas. Tak selang lama, Andine selesai membuatkan makanan. Dia segera meletakkan semua masakannya ke meja makan. Hari ini Andine hanya memasak tumis kangkung, ikan bakar, ayam goreng, dan sambal. Tidak terlalu banyak menu, tetapi Andine berharap masakannya bisa membuat sang suami bahagia.Andine mendongakkan kepala, menatap ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Dia melangkah ke arah kamar, memanggil sang suami untuk makan malam bersama. Hari ini Arkan pulang lebih awal menandakan suaminya itu belum makan malam. “Mas, ayo makan malam,” ajak Andine lembut, mengajak sang suami untuk makan bersama. Arkan yang sejak tadi sibuk dengan ponsel, melirik ke arah Andine. Di sana sang istri tersenyum manis
Arkan duduk di kursi kerjanya, tatapannya kosong menatap layar MacBook-nya yang tidak menyala. Pikiran-pikirannya melayang kembali ke kejadian bodoh yang terjadi malam sebelumnya. Dia menyesali tindakannya yang tidak bisa mengendalikan diri, yang membuatnya terjebak dalam situasi yang rumit. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya, seolah-olah ada beban berat yang tak bisa dia lepaskan.Tadi pagi, dia berangkat lebih awal dari biasanya, berusaha menghindari pertemuan dengan Andine. Dia tahu bahwa mereka perlu berbicara, tetapi dia merasa tidak siap untuk menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Rasa takut akan reaksi Andine dan keraguan tentang apa yang harus dia katakan membuatnya memilih untuk menghindar.Saat Arkan melamun, suara teleponnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan di sekelilingnya. Dia terkejut dan langsung meraih ponselnya. Melihat nama yang tertera di layar, jantungnya berdegup kencang. Ternyata yang menghubunginya adalah Reva.Dalam keadaan sedikit ragu, Arkan menja
Suara langkah Arkan yang berat terdengar dari pintu depan. Andine menunggu di ruang tengah, masih mengenakan pakaian santainya. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan Arkan baru saja pulang.Begitu melihat suaminya, Andine bangkit dari sofa. “Mas, kenapa kamu pulang selarut ini?” tanyanya dengan nada khawatir.Arkan meletakkan kunci mobil di meja tanpa menatap Andine. “Karena aku masih kesal sama kamu,” jawabnya dingin, suaranya terkontrol tapi tegas.Jawaban itu membuat Andine terdiam sejenak. Wanita itu tahu masalah sore tadi masih membebani Arkan. “Kita bisa bicarakan ini, Mas. Jangan begini terus,” ucapnya pelan, mencoba meluluhkan hati suaminya.“Aku capek. Nggak usah bahas apa pun.” Arkan memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan Andine begitu saja. Andine tersentak melihat sang suami yang langsung masuk ke dalam kamar. Detik itu juga Andine memilih mengikuti sang suami ke dalam kamar. Wanita itu ingin menyelesaikan masalahnya dengan sang suami. Dia tak
Dimas tersenyum puas di kala Andine setuju. Setelah diskusi dan negosiasi, akhirnya Andine menyetujui untuk bekerja sama dengan perusahaannya. Keputusan itu seperti angin segar bagi Dimas, karena dia tahu betul betapa pentingnya kolaborasi ini. Dimas yang antusias mengulurkan tangannya. “Selamat bergabung, Andine,” ucapnya, penuh semangat.Andine, dengan senyuman tenang, menyambut uluran tangan itu. “Semoga kerja sama ini membawa banyak keberhasilan,” jawabnya, suaranya mantap ramah.Arkan memperhatikan pemandangan itu dengan tatapan sulit ditebak. Dia menyilangkan tangan di dadanya, mencoba menutupi emosi yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Namun, tatapan matanya yang tajam dan rahangnya yang mengeras mengungkapkan rasa kesal dalam diri yang entah apa diartikan olehnya. Hal yang pasti adalah Arkan tak suka. Dimas, tampaknya, tidak menyadari perubahan ekspresi Arkan. Pria itu terlalu fokus pada euforia kemenangan kecil ini. Sementara itu, Andine, yang selalu peka terhadap suasa
Arkan duduk di kursi kerjanya, dengan raut wajah cemas dan khawatir. Matanya terfokus pada satu titik di depannya, tapi pikirannya jauh dari pekerjaan yang harus dia selesaikan. Cuaca pagi itu cerah, sinar matahari masuk melalui jendela kantor dan menerangi ruangan, tapi tidak dapat menghilangkan kesan cemas di wajah Arkan.Pria tampan itu memegang pena di tangannya, tapi tidak menulis apa-apa. Pikirannya terus-menerus berputar tentang Dimas, temannya yang baru saja datang dari New York dan mengunjunginya di Jakarta. Arkan masih ingat bagaimana Dimas terus-menerus memuji Andine, baik dari masakan maupun penampilannya yang cantik. Dia merasa tidak nyaman dengan pujian-pujian itu, dan sekarang dia tidak dapat menghilangkan perasaan aneh dalam dirinya. Arkan menghela napas panjang, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak mengenakkan itu. Namun, pikirannya tetap saja kembali ke Dimas dan Andine. Dia tidak tahu mengapa dia merasa seperti ini, tapi dia tahu bahwa dia tidak s