Arkan menggeliat pelan, merasakan tubuh yang terasa kaku. Kedua matanya perlahan terbuka, menatap langit kamar. Keningnya mulai berkerut dalam, merasa aneh karena langit kamar yang berbeda. Aroma di dalam ruangan itu cukup berbeda, membuatnya mulai meneliti setiap ruangan. Hingga saat dia melihat seseorang yang berada di sampingnya, membuat Arkan terkejut luar biasa.
“Reva?” Arkan langsung bangkit berdiri. Namun, kepala Arkan terasa berat. Dia menutup mata kembali, mencoba menghilangkan denyutan di kepalanya. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam ingatannya, membuat Arkan mengingat satu per satu memori semalam. “Arkan …” Arkan semakin mencumbu tubuh Reva. Tangannya melepas satu per satu pakaiannya, membuat tubuh bagian atasnya tidak berbusana. Reva yang melihat hal itu pun membalas dengan hal yang sama. Lama keduanya saling bercumbu, mencoba membalas setiap kecupan yang ada. Arkan yang mulia tidak tahan langsung membopong tubuh Reva ke dalam kamar dan meletakkan dengan lembut. Tanpa jeda, Arkan kembali membangkitkan gairah Reva. Dia tidak pernah merasa begitu menggebu saat bersama dengan Andine, tetapi dengan Reva, dia benar-benar tidak terkontrol. Reva yang mendapat perlakuan lembut semakin merasa bergairah. Dia membiarkan Arkan melakukan apa pun. Malam ini, udara di dalam kamarnya semakin panas karena gejolak hasrat dari keduanya. Tidak ada percakapan sama sekali. Reva dan Arkan hanya sibuk melepaskan satu per satu hasrat yang mulai memuncak. Nafsu keduanya benar-benar sudah tidak tertahan sama sekali. Bahkan Arkan sendiri lupa jika saat ini dia seharusnya sudah pulang. Dia lupa dengan statusnya yang merupakan suami orang lain. Dia hanya tahu, malam ini dia harus menghabiskan malam dengan Reva. Arkan menyatukan tubuhnya dengan Reva. Sementara Reva hanya bisa mendesis pelan saat Arkan mulai bersatu dengan tubuhnya. Suara desah dan racauan tidak jelas mulai terdengar. Keduanya benar-benar berpacu dengan gairah yang sudah sampai puncak. Keringat mengucur dari tubuh keduanya. Padahal AC di kamar Reva menyala, tetapi seperti tidak berfungsi sama sekali. Malam ini, hanya langit yang menjadi sakti seberapa bergairahnya kedua insan yang tidak memiliki ikatan tersebut. Beberapa menit setelah keduanya mencapai puncak, Arkan menidurkan tubuh di sebelah Reva. Dadanya naik-turun dengan napas menggebu. Hari ini dia cukup lelah, tetapi bibirnya malah menunjukkan senyum manis. Arkan yang sudah mengingat semuanya langsung menepuk kepala pelan. Dia mulai menyadari kebodohannya kali ini. Jika sampai terjadi sesuatu dengan Reva, apa yang akan dilakukannya nanti? “Reva …” panggil Arkan merasa bersalah, bagaimanapun Reva bukan lagi orang yang memiliki hubungan dengannya. Sungguh, Arkan tak mengerti kenapa dirinya sampai lepas kendali. “Aku takut kalau aku hamil, Arkan. Aku baru memulai karir dan kalau berita ini menyebar, bisa-bisa aku … aku tidak akan digunakan lagi di dunia hiburan,” jawab Reva dengan air mata yang mengalir begitu deras. Arkan menarik tubuh Reva dan mendekap lembut. Sebelah tangannya juga berusaha mengelus puncak kepala Reva, mencoba menenangkan wanita itu dari kecemasan. “Arkan, bagaimana kalau nantinya aku hamil? Apa kamu benar-benar mau bertanggung jawab?” tanya Reva dengan kedua mata sembab. Sejenak, Arkan diam tak berkata apa pun. Dia memasang raut wajah berpikir. Beberapa menit setelahnya dia membuang napas lirih dan menjawab, “Aku akan bertanggung jawab untuk semuanya, Reva. Kamu tenang saja.” Mendengar itu, Reva langsung mendekap tubuh Arkan. Bibirnya mengulas senyum lebar penuh kemenangan dan berkata, “Terima kasih, Arkan. Aku percaya padamu.” *** Andine tersentak, dan langsung menatap sekeliling serta bangkit. Semalam dia menunggu Arkan dan ketiduran di ruang tamu. Dia bahkan tidak mengenakan selimut sama sekali. Menyadari tidak ada yang membangunkannya, Andine yakin sang suami belum pulang. Dia segera keluar rumah—dan benar saja, tidak ada mobil suaminya. “Ke mana Mas Arkan?” tanya Andine dengan wajah bingung. Andine kembali melangkah masuk dan mengambil ponsel. Semalam dia menghubungi puluhan kali, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Pagi ini, Andine akan kembali melakukannya. Dia harus memastikan kalau sang suami baik-baik saja. Namun, tetap tidak ada jawaban. Andine yang keras kepala, tetap melakukannya. Dia berharap Arkan akan menjawab supaya hatinya cukup tenang. Sayangnya harapan hanya sekadar harapan. Wanita itu mulai menyerah setelah puluhan kali panggilannya tidak berbalas. Andine melangkah masuk. Dia akan mengambil tas dan melihat sendiri sang suami di kantor, tetapi tepat saat itu, suara mobil terdengar. Andine yang cukup hafal dengan suara mobil sang suami, segera menghentikan niat. Kakinya langsung melangkah ke arah pintu masuk. “Mas, kenapa baru pulang? Apa terjadi sesuatu dengan kamu?” tanya Andine menunjukkan jelas rasa khawatirnya. Wanita itu tidak bisa menahan kecemasannya. Dia sangat takut hal buruk menimpa sang suami. “Ada pekerjaan yang harus aku urus.” Arkan memilih menjawab seperti ini, dia berbalik dan melangkah pergi mengabaikan sang istri. “Mas, tunggu. Aku khawatir sekali kamu semalam nggak pulang.” Andine menyusul Arkan. “Mas, kamu nggak kenapa-kenapa, kan?” tanyanya lagi. “Andine, bisa diam nggak sih! Kamu itu berisik sekali! Aku baru pulang dari kerja. Capek. Ngantuk. Jadi, jangan buat kepalaku tambah pusing dengan pertanyaanmu itu, Andine,” ucap Arkan dengan suara meninggi. Jelas hal itu membuat Andine tersentak. Nyalinya kembali menciut saat melihat tatapan tajam dari arah suaminya. Padahal dia hanya cemas karena Arkan yang semalaman tidak pulang. “Jangan ganggu aku,” tegas Arkan sekali lagi. “Aku hanya mencemaskanmu, Mas,” cicit Andine mencoba memberanikan diri. “Berhenti berlebihan! Aku baik-baik saja!” sentak Arkan, dan langsung kembali melanjutkan langkahnya pergi dari hadapan Andine. Jujur, setiap kalimat yang keluar dari mulut Arkan begitu menyakitkan. Tidak sekali dua kali pria itu mengatakannya. Andine sendiri masih terus berusaha sabar. Andine yang hendak menangis, langsung menahan. Jika sampai dia menangis, hal itu akan membuat Arkan semakin kesal. Dia memilih melangkahkan kaki, mengikuti sang suami yang menuju ke kamar mereka. Di sana, Arkan langsung melepas jas dan kemeja, meletakkan asal. Andine mengambil pakaian sang suami dan bersiap pergi, tetapi langkahnya berhenti di kala dirinya menghirup aroma di pakaian sang suami. Keningnya langsung berkerut dalam, merasa ada yang mengganjal. “Kenapa seperti parfum wanita?” gumam Andine bingung. Andine kembali menciumi pakaian sang suami, tapi benar itu adalah parfum wanita. Dia sangat hafal parfum suaminya. Tampak raut wajahnya mulai menunjukkan jelas rasa curiga. Sang suami tidak pulang, dan tercium parfum wanita di tubuh suaminya itu. Kecurigaan menyelimuti dirinya. Namun, dia langsung menggelengkan kepala tegas, meyakinkan bahwa tak mungkin Arkan berbuat aneh-aneh. Meskipun Arkan selama ini tak pernah bersikap hangat padanya, tapi dia yakin Arkan tak akan melakukan sebuah tindakan yang merusak rumah tangga mereka. “Jangan mikir aneh-aneh, Andine. Aroma parfum ini mungkin saja aroma rekan bisnis Mas Arkan,” gumam Andine meyakinkan dirinya sendiri untuk berpikir positive.“Mas, sarapan dulu,” panggil Andine ketika melihat Arkan yang menuruni anak tangga. Namun, Arkan tidak menjawabnya sama sekali. Pria tampan itu masih terus melangkah, menuruni satu per satu anak tangga dengan tangan sibuk merapikan pakaian. Rambutnya bahkan masih terlihat basah, menandakan Arkan tidak sempat mengeringkan kepala. “Mas,” panggil Andine kembali. Wanita itu melangkah lebar, menyamakan langkahnya dengan langkah sang suami. Meski dia harus setengah berlari—sampai dia yang sudah berada di dekat Arkan meraih pergelangan tangan sang suami, membuat langkah suaminya itu terpaksa berhenti.“Ada apa, Andine?” tanya Arkan dengan tatapan lekat.“Mas, kamu belum sarapan. Ayo sarapan dulu,” ajak Andine yang tak ingin sang suami lupa sarapan. Arkan menyingkirkan tangan sang istri dan berkata, “Aku buru-buru. Aku bisa sarapan di kantor.”“Tapi tadi malam kamu nggak pulang, Mas. Kamu juga pasti belum makan, kan? Sekarang kita makan dulu, ya. Aku udah masak kentang balado kesukaan Mas A
Arkan menekan bel dengan raut wajah cemas. Beberapa menit yang lalu, dia harus meninggalkan rumah karena mendengar kabar Reva yang sakit. Melalui panggilan telepon wanita itu terdengar kesakitan dan Arkan menjadi tidak tega sama sekali. Dia bahkan rela meninggalkan sang istri yang saat ini juga sedang demam.Namun, Arkan memiliki pertimbangannya sendiri. Di rumah, Andine banyak yang mengurus. Ada sopir dan pelayan yang akan menjaga. Sementara Reva hanya seorang diri. Hal tersebut yang membuat Arkan lebih memilih menjaga Reva daripada Andine. Tak selang lama, terdengar pintu dibuka, membuat Arkan melirik ke dalam.“Arkan, akhirnya kamu datang juga,” ucap Reva dengan wajah penuh kelegaan, melihat yang datang adalah Arkan. Arkan segera masuk dan memegang tangan Reva. Dia takut wanita itu akan terjatuh. Meski dia tidak melihat wajah pucat, tetapi dia melihat beberapa kali Reva mengaduh dengan tangan memegang perut. Hal yang membuat Arkan yakin Reva sedang tidak baik-baik saja.“Apa yan
Arkan membuka kamar secara perlahan. Sebelah tangannya memegang nampan berisi mangkuk dan air hangat. Kakinya segera melangkah ke arah ranjang, tempat di mana Reva berada. Di sana, wanita itu masih berbaring dengan raut wajah memelas, seakan tak memiliki energy. “Aku sudah buatkan bubur untuk kamu,” ucap Arkan lembut. Reva yang mendengar, mulai bangkit secara perlahan. Sebelah tangannya memegang perut, membuat Arkan tidak tega sama sekali. Arkan menolong Reva, membantunya untuk bangkit. Dengan sigap, tangannya meraih bantal dan meletakkan di belakang tubuh Reva.“Pelan-pelan,” kata Arkan mengingatkan.Reva mengulas senyum tipis dan berucap, “Terima kasih, Arkan. Maaf merepotkanmu.”Arkan meraih mangkuk yang diletakkan di nakas dan mulai mengambil sesendok. Lantas, dengan sabar, dia mulai menyuapi Reva. Suasana menjadi hening ketika keduanya hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Reva yang melihat Arkan begitu sabar melayaninya, diam-diam dia mengulum senyum. Manik matanya menatap
Andine memasukkan makanan ke dalam kotak bekal dan melangkah keluar rumah. Hari ini dia berniat datang ke perusahaan sang suami. Pasalnya untuk sekian kali, Arkan tidak sarapan di rumah. Suaminya itu pulang pagi hanya untuk berganti pakaian dan setelahnya pergi. Jangankan sarapan, melihat menu yang ada di meja makan pun tidak. Andine merasa cemas dan khawatir, karena Arkan yang mulai tidak menjaga diri. Dia takut Arkan akan sakit, karena terlalu lelah bekerja. Meski beberapa hari ini Arkan tampak dingin, dan tidak memedulikannya, tetap saja Andine menjadikan Arkan sebagai prioritas utamanya. “Ibu mau kemana?” tanya Asep, sang sopir dengan wajah bingung.“Antar aku ke perusahaan Mas Arkan, Pak,” jawab Andine.Asep yang mendengar pun terdiam. Kali ini dia yang merasa ragu untuk mengikuti keinginan majikannya. Asep masih cukup ingat bagaimana Arkan memperilakukan Andine saat itu. Dia juga enggan mendapat amukan seperti beberapa hari yang lalu. Ya, dia mendapat amukan dari Arkan karena
Arkan menggeliat pelan saat merasakan tubuhnya yang begitu lelah. Kedua matanya membuka secara perlahan. Dia kembali menutup mata dan membuka, berusaha untuk menormalkan kembali pandangannya. Sampai dia menatap langit kamar yang tidak asing lagi baginya.Arkan menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia masih cukup ingat dengan apa yang dilakukannya kemarin malam. Dia tidak bisa mengontrol diri membuatnya kembali menyentuh Reva. “Selamat pagi,” sapa Reva yang baru membuka mata.Arkan tidak menjawab. Pria tampan itu memilih bangun dan duduk. Tubuhnya disandarkan dengan kepala ranjang. Reva yang melihat ketidaksukaan di wajah Arkan, langsung memperhatikan dalam.“Kamu kenapa, Arkan?” tanya Reva seraya menatap Arkan. “Kenapa semalam kamu tidak mencegahku, Reva?” Arkan malah balik bertanya. Nadanya pelan, dan terdengar bersalah. ‘Karena aku ingin mendapatkan dan memilikimu untukku seorang’. Itu yang ingin Reva katakan dalam hati, tetapi dia tidak melontarkannya.“Arkan, apa yang ter
Andine menata makanan di meja makan dengan penuh semangat. Hari ini Arkan sudah kembali ke rumah. Meski masih pagi, tetapi dia tidak melihat kelelahan di wajah sang suami. Dia malah melihat wajah bahagia yang terpancar dari aura pria itu. Andine mengira kalau semua masalah suaminya sudah selesai. Mungkin itu sebabnya sang suami tampak bahagia dan bersemangat.Andine mendengar langkah kaki, membuatnya mengalihkan pandangan. Di hadapannya, tampak Arkan sudah siap dengan setelan kerja yang seperti biasa membuat sang suami tampak tampan. Melihat itu, Andine langsung mendekat dan mengambil tas kerja sang suami.“Hari ini aku buat nasi goreng seafood, Mas. Kamu sarapan dulu, ya?” kata Andine, mengajak sang suami untuk sarapan. Arkan tak merespon apa pun, dia melangkahkan kaki, menuju ke arah meja makan. Dengan tenang, dia duduk dan membiarkan Andine melayaninya. Andine bahkan dengan sabar mengambilkan makanan yang dibuat dan duduk di sebelah Arkan.Arkan mulai menikmati makanan di hadapann
Andine duduk di ruang tunggu dengan perasaan tidak karuan. Hari ini dia memutuskan untuk ke rumah sakit seorang diri. Sebenarnya sang dokter selalu mengatakan agar dia datang bersama dengan Arkan, tetapi suaminya selalu saja sulit untuk diajak. Arkan selalu mengatakan tidak ada waktu. Padahal jauh dari lubuk hatinya terdalam, dia ingin sekali sang suami turut ikut dalam pemeriksaan. Andine mengatur napasnya, berusaha untuk tenang. Dia mencoba menahan kesedihan yang kembali hadir, terlebih saat melihat sepasang suami istri yang saling memperhatikan. Hal yang membuat Andine merasa iri. Meski dia memiliki suami kaya dan mapan, tetapi tidak pernah dia mendapatkan perhatian.Namun, lagi-lagi Andine membuang perasaan itu. Dalam hati dia meyakini kalau sang suami sedang sibuk. Mengenai hal lain, Andine tidak mempermasalahkan sama sekali, termasuk sikap Arkan yang selalu tidak peduli dengannya. Andine yakin, sikap Arkan karena pria itu terlalu lelah bekerja.“Nomor delapan, Ibu Andine.” And
Reva menelusuri tepi pantai dengan bibir tersenyum lebar. Kakinya terus melangkah, sesekali merasakan debur ombak yang langsung mengenai kakinya. Dia menikmati pemandangan dan ketenangan di sekitar. Pagi ini, dia sengaja berjalan di sekitar pantai yang tidak jauh dari hotel bersama dengan Arkan. Mengingat pria itu, Reva mengalihkan pandangan.“Kamu suka?” tanya Arkan yang sejak tadi setia menemani. Tangannya bahkan dengan setia menggenggam jemari sang kekasih.Reva yang ditanya jelas mengangguk semangat. Dia melepaskan genggaman, berganti memeluk lengan Arkan dan menjawab, “Aku suka, Arkan. Terima kasih karena sudah menuruti permintaanku.” “Aku akan melakukan apa pun asal kamu bahagia, Reva. Jadi, ke mana kamu ingin pergi, katakan saja dan aku akan mengabulkannya,” ucap Arkan hangat. Reva tersenyum lembut menanggapi ucapan Arkan. Dia kembali menikmati suasana pagi dengan hati berbunga. Dia sudah memperkirakan hal itu, tetapi tidak menyangka Arkan akan sebaik ini padanya. Awalnya dia
“Aku saja yang antar kamu ke kantorku, Andine,” kata Dimas saat Andine selesai memasak. Pria tampan itu menawarkan diri untuk mengantarkan Andine ke kantornya. Dia tak tega jika Andine sendiri. “Dimas, aku ke kantormu kan sama Asep,” jawab Andine lagi. “Aku nggak mau repotin kamu, Dimas. Hari ini kamu udah banyak bantuin aku.” “Asep bukannya tadi pergi?” “Eh, iya, Asep pergi. Aku sampai lupa.” “Nah, ya udah, aku ante raja. Biar aku bantuin kamu juga pas nata makanan.” “Tapi—” “Ayolah, Andine. Kita kan teman, kenapa kamu ngerasa nggak enak? Aku cuman pengen anter kamu dan bantuin kamu aja kok.” Andine terdiam mendengar ucapan Dimas. Sebenarnya, wanita cantik itu merasa tidak enak terus menerus merepotkan Dimas. Namun, dia juga akan kerepotkan jika hanya pergi sendirian. Apalagi Asep sedang tidak ada. Detik selanjutnya, Andine mengangguk merespon ucapan Dimas. Dimas tersenyum, dia mulai mengambil satu per satu kardus berisi kotak makan dan memasukkan ke dalam mobil. Dia mengaba
Andine dan Dimas duduk di sofa dengan kepala menatap langit rumah. Keduanya tampak lelah karena dari pagi sudah berbelanja. Ditambah keduanya mengangkat belanjaan sendiri setelah sampai rumah, karena Asep yang sedang keluar. “Terima kasih banyak karena sudah membantuku, Dimas,” ucap Andine lembut, dan tulus. “Dari tadi kamu bilang terima kasih. Kalau dihitung-hitung mungkin udah ratusan kali kamu bilang terima kasih,” jawab Dimas dengan senyuman di wajahnya. “Dimas, kamu udah banyak bantu aku, jadi wajar aku bilang terima kasih. Ah, ya gara-gara aku, kamu sampai belum berangkat kerja. Jujur, aku jadi nggak enak.” “Hari ini aku memang nggak ke kantor, Andine. Jadi, kamu nggak perlu merasa bersalah.” “Kamu nggak ke kantor?” Andine tampak terkejut. Dimas mengangguk. “Ya, aku nggak ke kantor. Aku urus pekerjaan dari rumah aja.” Andine tersenyum menanggapi ucapan Dimas. Jujur dalam hati dia ingin sekali Arkan libur bekerja meluangkan waktu untuknya mengajaknya jalan. Namun, itu adal
Bibir Andine mengulas senyum manis, merasa lega karena dia sudah mendapatkan semua yang diperlukan. Setelah ini, dia tinggal memasak dan mengantarkan ke kantor Dimas. Membayangkan makanan yang akan dibuatnya hari ini, membuatnya benar-benar senang. “Andine, semua bahan-bahan yang diperlukan sudah kamu beli?” Dimas hangat pada Andine. “Sudah semua, Dimas. Ini juga udah buat dua hari,” jawab Andine sambil memeriksa bahan-bahan yang dia perlukan. Dimas menganggukkan kepala beberapa kali. Pria tampan itu tidak menyangka kalau membantu berbelanja di pasar akan lelah seperti ini. Keringatnya bahkan mulai bercucuran. Selain karena panas, dia juga lelah karena terus berjalan dan membawakan belanjaan Andine. Hal yang serupa pun terjadi dengan Arkan—yang sampai melepas jas akibat panas. Andine yang melihat sang suami berkeringat, dia mendekat ke arah sang suami dan berkata, “Terima kasih karena sudah mau membantuku, Mas.” Andine mengeluarkan tisu, menyeka keringat sang suami. Tampak Arkan
Andine terdiam, raut wajahnya menunjukkan tanda-tanda pemikiran yang mendalam. Kenangan tentang Reva yang datang malam sebelumnya, mengantarkan makanan dengan senyum hangat dan perhatian yang tulus, terus berputar dalam benaknya. Wanita itu tidak bisa mengabaikan betapa Reva tampak begitu peduli pada suaminya. Setiap kata yang diucapkan Reva, setiap tatapan yang diberikan, seolah mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.Kecurigaan mulai merayap masuk ke dalam pikirannya. Andine merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apakah mungkin Reva menaruh perasaan pada Arkan? Pikiran itu membuat hatinya bergetar, menciptakan gelombang kecemasan yang sulit untuk diabaikan. Dia tidak ingin menjadi wanita yang cemburu, tetapi perasaan itu muncul begitu saja, tak terduga.“Apakah aku terlalu paranoid?” Andine bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati yang bergejolak. Namun, semakin dia berpikir, semakin kuat kecurigaannya. Dia tidak ingin kehilangan Arkan, dan bayanga
Andine sibuk membuat makanan di dapur. Sejak pulang tadi, dia tidak beristirahat sama sekali. Dia takut kalau sang suami akan kelaparan, jadi dia langsung menyiapkan hidangan makan malam. Dia bahkan tidak peduli dengan tubuh yang kelelahan karena sejak tadi sibuk mengerjakan catering dari Dimas. Tak selang lama, Andine selesai membuatkan makanan. Dia segera meletakkan semua masakannya ke meja makan. Hari ini Andine hanya memasak tumis kangkung, ikan bakar, ayam goreng, dan sambal. Tidak terlalu banyak menu, tetapi Andine berharap masakannya bisa membuat sang suami bahagia.Andine mendongakkan kepala, menatap ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Dia melangkah ke arah kamar, memanggil sang suami untuk makan malam bersama. Hari ini Arkan pulang lebih awal menandakan suaminya itu belum makan malam. “Mas, ayo makan malam,” ajak Andine lembut, mengajak sang suami untuk makan bersama. Arkan yang sejak tadi sibuk dengan ponsel, melirik ke arah Andine. Di sana sang istri tersenyum manis
Arkan duduk di kursi kerjanya, tatapannya kosong menatap layar MacBook-nya yang tidak menyala. Pikiran-pikirannya melayang kembali ke kejadian bodoh yang terjadi malam sebelumnya. Dia menyesali tindakannya yang tidak bisa mengendalikan diri, yang membuatnya terjebak dalam situasi yang rumit. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya, seolah-olah ada beban berat yang tak bisa dia lepaskan.Tadi pagi, dia berangkat lebih awal dari biasanya, berusaha menghindari pertemuan dengan Andine. Dia tahu bahwa mereka perlu berbicara, tetapi dia merasa tidak siap untuk menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Rasa takut akan reaksi Andine dan keraguan tentang apa yang harus dia katakan membuatnya memilih untuk menghindar.Saat Arkan melamun, suara teleponnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan di sekelilingnya. Dia terkejut dan langsung meraih ponselnya. Melihat nama yang tertera di layar, jantungnya berdegup kencang. Ternyata yang menghubunginya adalah Reva.Dalam keadaan sedikit ragu, Arkan menja
Suara langkah Arkan yang berat terdengar dari pintu depan. Andine menunggu di ruang tengah, masih mengenakan pakaian santainya. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan Arkan baru saja pulang.Begitu melihat suaminya, Andine bangkit dari sofa. “Mas, kenapa kamu pulang selarut ini?” tanyanya dengan nada khawatir.Arkan meletakkan kunci mobil di meja tanpa menatap Andine. “Karena aku masih kesal sama kamu,” jawabnya dingin, suaranya terkontrol tapi tegas.Jawaban itu membuat Andine terdiam sejenak. Wanita itu tahu masalah sore tadi masih membebani Arkan. “Kita bisa bicarakan ini, Mas. Jangan begini terus,” ucapnya pelan, mencoba meluluhkan hati suaminya.“Aku capek. Nggak usah bahas apa pun.” Arkan memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan Andine begitu saja. Andine tersentak melihat sang suami yang langsung masuk ke dalam kamar. Detik itu juga Andine memilih mengikuti sang suami ke dalam kamar. Wanita itu ingin menyelesaikan masalahnya dengan sang suami. Dia tak
Dimas tersenyum puas di kala Andine setuju. Setelah diskusi dan negosiasi, akhirnya Andine menyetujui untuk bekerja sama dengan perusahaannya. Keputusan itu seperti angin segar bagi Dimas, karena dia tahu betul betapa pentingnya kolaborasi ini. Dimas yang antusias mengulurkan tangannya. “Selamat bergabung, Andine,” ucapnya, penuh semangat.Andine, dengan senyuman tenang, menyambut uluran tangan itu. “Semoga kerja sama ini membawa banyak keberhasilan,” jawabnya, suaranya mantap ramah.Arkan memperhatikan pemandangan itu dengan tatapan sulit ditebak. Dia menyilangkan tangan di dadanya, mencoba menutupi emosi yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Namun, tatapan matanya yang tajam dan rahangnya yang mengeras mengungkapkan rasa kesal dalam diri yang entah apa diartikan olehnya. Hal yang pasti adalah Arkan tak suka. Dimas, tampaknya, tidak menyadari perubahan ekspresi Arkan. Pria itu terlalu fokus pada euforia kemenangan kecil ini. Sementara itu, Andine, yang selalu peka terhadap suasa
Arkan duduk di kursi kerjanya, dengan raut wajah cemas dan khawatir. Matanya terfokus pada satu titik di depannya, tapi pikirannya jauh dari pekerjaan yang harus dia selesaikan. Cuaca pagi itu cerah, sinar matahari masuk melalui jendela kantor dan menerangi ruangan, tapi tidak dapat menghilangkan kesan cemas di wajah Arkan.Pria tampan itu memegang pena di tangannya, tapi tidak menulis apa-apa. Pikirannya terus-menerus berputar tentang Dimas, temannya yang baru saja datang dari New York dan mengunjunginya di Jakarta. Arkan masih ingat bagaimana Dimas terus-menerus memuji Andine, baik dari masakan maupun penampilannya yang cantik. Dia merasa tidak nyaman dengan pujian-pujian itu, dan sekarang dia tidak dapat menghilangkan perasaan aneh dalam dirinya. Arkan menghela napas panjang, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak mengenakkan itu. Namun, pikirannya tetap saja kembali ke Dimas dan Andine. Dia tidak tahu mengapa dia merasa seperti ini, tapi dia tahu bahwa dia tidak s