“Apa kabar, Arkan? Lama nggak ketemu.”
Arkan yang sejak tadi diam, tersentak mendengar suara yang sudah lama tak dia dengar. Manik matanya menatap ke arah wanita yang ada di hadapannya. Rambut lurus panjang. Bibirnya tampak seksi dengan lipstik merah yang membuatnya semakin memesona. Riasan make up tidak terlalu tebal, tapi tetap sangat cantik. Hal yang membuat Arkan hanya ingin menikmati keindahan yang ada di hadapannya. Arkan mengembuskan napas panjang, berusaha mengatur perasaan dalam dirinya. Dia ingin menyangkal sosok yang dia lihat ini, tapi semua itu tidak mungkin. Apa yang dia lihat ini nyata, tidak salah sama sekali. “Jadi, kamu yang menjadi model di sini?” balas Arkan, tak mengindahkan pertanyaan wanita bernama Reva. Reva mengangguk, dan mengulaskan senyuman terbaiknya. “Aku senang kita bertemu lagi, Arkan.” Hening. Suasana kembali sunyi saat keduanya mulai diam dan tidak membuka percakapan sama sekali. Keduanya juga tampak canggung karena sudah lama tidak bertemu. Arkan masih menenangkan degup jantung yang tidak karuan karena kehadiran Reva. Sementara Reva bingung harus memulai darimana. “Pak Arkan, Mbak Reva mau pemotretan,” ucap salah satu pegawai secara sopan pada Arkan. Arkan yang ditegur pegawainya langsung menyadari bahwa dia dan Reva tak bisa lama berbasa-basi. “Silakan, kalian lanjutkan.” “Kalau begitu, ayo Mbak kita mulai,” ucap sang pegawai pada Reva. Reva tersenyum menatap Arkan. “Aku pemotretan dulu, ya?” Reva hendak pergi, tapi tiba-tiba lengannya ditahan oleh Arkan. “Setelah selesai pemotretan, kamu ada acara?” tanya Arkan to the point. Reva semakin tersenyum mendengar pertanyaan Arkan. “Nggak ada. Apa kamu mau ngajak aku pergi?” jawabnya yang juga to the point. Arkan mengangguk. “Ya, kalau kamu nggak keberatan.” Reva menggeleng pelan. “Aku nggak keberatan sama sekali. Aku malah senang. Kamu tunggu aku di luar saja. Aku akan segera menemuimu kalau pemotretanku sudah selesai.” Arkan mengangguk setuju. Dia melangkah keluar dari ruangan tersebut dan menunggu di depan. Bahkan Arkan tidak segan menyuruh sang sekretaris yang biasa menemani untuk pergi. Sepuluh menit berselang. Arkan yang mulai tidak sabar mulai bangkit. Dia ingin sekali masuk dan menarik Reva agar keluar, tetapi dia khawatir kalau nantinya Reva akan mengalami masalah. Dia tak ingin sampai orang yang begitu dia pedulikan terkena masalah. Ya, Arkan sangat peduli pada Reva yang merupakan mantan kekasihnya. Wanita itu memang pergi meninggalkan dirinya, tetapi Arkan tidak menyalahkan sama sekali. Dia bahkan sampai depresi karena kehilangan Reva. Sampai dia berakhir tragis karena harus menikah dengan Andine. Padahal awalnya dia menerima perjodohan itu karena ingin melupakan Reva, tetapi nyatanya hal itu tidak berhasil. Hatinya masih terpaut dengan wanita yang meninggalkannya tanpa kabar. “Arkan.” Arkan menatap ke asal suara. Dia tersenyum manis saat mendapati Reva sudah ada di depannya. Jantungnya kembali berdegup keras saat wanita itu mendekat dan berhenti di dekatnya. Perasaan yang sama dengan getar yang tidak berubah. “Kita jadi minum kopi bersama?” tanya Reva. Bibirnya tidak berhenti menunjukkan senyum manis. Arkan mengangguk dan berkata, “Aku bawa kamu ke restoran langgananku.” *** Andine menatap foto pernikahannya lekat. Di sana, dia tersenyum bahagia bersama sang suami yang saat itu sedang mendekapnya erat. Terlihat tidak akan ada masalah di dalamnya. Saat perjodohan terjadi, Andine diperlakukan dengan cukup baik oleh keluarga Arkan, tetapi setelah menikah, semua berbanding terbalik. Sang mertua sering sekali melontarkan ucapan pedas yang membuatnya sakit hati. Bahkan, ucapan pagi tadi masih membekas di hati, membuatnya meneteskan air mata. Namun, dia sadar kenapa alasan mertuanya melontarkan kalimat pedas padanya. Semua bermula karena dirinya yang sakit kista, membuatnya kesulitan mendapatkan keturunan. Andine mendongakkan kepala, menatap ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Seharusnya sebentar lagi sang suami akan pulang. Dia mulai bangkit dan menuju ke arah dapur. Andine mengeluarkan bahan-bahan di kulkas dan mulai menyiapkan apa saja yang akan dimasak untuk makan malam. Sejenak, dia ingin menyingkirkan perasaan sakit dan fokus dengan tugasnya. Dia akan mengatakan semua yang dirasakan dengan sang suami saat pria itu kembali. Andine yakin, Arkan akan mendengarkannya. Meski sebelumnya pria itu tidak mengangkat panggilannya, tetapi dia yakin semua karena Arkan sibuk. Ya, kalimat itu yang selalu diyakinnya agar memiliki kekuatan untuk menjalani kehidupan rumah tangganya. Andine mengusap air mata yang kembali membasahi pipi. Sesekali, dia mendongakkan kepala, menatap ke arah langit rumah agar air matanya tidak jatuh. Sekuat tenaga, dia ingin menyimpan lukanya saat ini. Sementara di tempat lain, Arkan duduk berhadapan dengan Reva. Manik matanya tidak beralih sama sekali. Dalam hati, dia terus memuji wanita di hadapannya. Sungguh ciptaan Tuhan yang begitu indah. “Arkan, kenapa kamu diam saja?” tanya Reva dengan senyum canggung. Wajahnya memerah karena Arkan yang terus menatapnya. Arkan yang ditanya menggelengkan kepala sembari berkata, “Tidak apa.” Padahal jelas-jelas dia mengagumi wanita di hadapannya. Hening. Suasana kembali tenang. Arkan dan Reva tidak lagi mengatakan sesuatu. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. “Reva.” “Arkan.” Arkan dan Reva memanggil di waktu yang sama. Keduanya langsung tertawa kecil menyadari kedekatan keduanya yang masih sama. Pasalnya sudah lama mereka tidak bertemu. Perpisahan mereka tidak dengan cara yang baik-baik. “Kamu duluan saja, Reva,” kata Arkan hangat. Reva menarik napas dalam dan membuang perlahan. “Sebenarnya aku malu untuk mengatakan ini, Arkan. Tapi aku benar-benar merasa tidak tenang sebelum mengatakannya. Setiap malam aku merasa bersalah. Aku minta maaf untuk semua kesalahan yang aku lakukan dulu. Aku meninggalkanmu tanpa mengatakan apa pun. Aku tahu itu salah, tapi aku tidak ada pilihan lain. Aku harus mengejar mimpiku menjadi bintang.” Arkan yang mendengar permintaan maaf itu terdiam sejenak. Manik matanya menatap dalam, menemukan penyesalan dari sorot mana Reva. Sebelah tangannya beralih, menggenggam jemari wanita di hadapannya dan mengangguk perlahan. “Tidak masalah. Semua sudah berlalu dan sekarang kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau. Kamu menjadi bintang yang begitu bersinar. Kamu memiliki banyak sekali job dan aku yakin banyak pria yang mendekati kamu,” jawab Arkan tenang. “Tapi, aku merasa tidak ada yang cocok, Arkan. Aku hanya merasa kalau bersama kamu aku merasa nyaman,” ungkap Reva jujur. Seketika, Arkan langsung terdiam. Kedua matanya melebar penuh rasa terkejut, sekaligus tidak menyangka Reva akan mengatakan hal tersebut padanya. Detak jantungnya kembali berdetak tak karuan. Pikirannya benar-benar tak bisa berikir jernih. Hingga sentuhan di punggung tangan terasa, membuat Arkan tersentak kaget. “Arkan, apa masih ada kesempatan untuk kita bersama lagi?”Hening. Arkan yang baru saja mendengar ucapan Reva langsung terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan. Dia bahkan tidak bereaksi apa pun. Ada hal yang mengganggu dalam pikirannya. Dia masih cukup meragukan apa yang baru saja diucapkan wanita di depannya.Sementara Reva juga terdiam dan terus menatap Arkan lekat. Dia masih menunggu jawaban pria di depannya. Sesekali, dia membasahi bibir, mencoba menenangkan degup jantungnya. Hingga dia kembali menggenggam jemari Arkan, membuat pria itu tersentak.“Arkan, jujur, aku masih mencintaimu. Aku nggak bisa ngelupain kamu. Aku udah berkali-kali nyoba buat lupain kamu, tapi aku nggak bisa,” kata Reva dengan tulus, mengungkapkan semua isi hatinya. Arkan masih saja diam. Dia memperhatikan dalam, mencoba meyakini apa yang baru saja Reva katakan. Sayang, dia masih memiliki trauma tersendiri dengan hal tersebut. Harus dia akui, bahwa dia begitu mencintai Reva. Pertemuannya kali ini adalah hal luar biasa. Sebab, dia yang tidak perna
Andine memasuki kamar dan menatap ke arah sang suami yang sedang mengenakan kemeja. Kedua sudut bibirnya langsung tersenyum, membentuk senyum manis dan melangkah mendekat. Dia masih mengamati Arkan yang terus merapikan baju. “Aku bantu, Mas,” kata Andine dengan senyum semeringah. Dia langsung memegang dasi yang tergantung di leher sang suami dan siap mengenakannya.Arkan melangkah mundur. Manik matanya menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaannya dengan apa yang Andine lakukan. Entah kenapa, dia merasa begitu kesal setiap kali Andine mendekat ke arahnya. Padahal istrinya selalu melakukan yang terbaik dan dia tahu itu. “Aku bisa sendiri,” ucap Arkan dengan dingin. Dia pun langsung menatap kaca dan merapikan pakaiannya.Hening. Andine yang mendengar pun hanya diam. Mulutnya langsung tertutup rapat dengan senyum yang terasa canggung. Hatinya benar-benar merasa sakit setiap kali mendapat penolakan dari sang suami. Padahal awalnya dia pikir dengan perhatian yang diberikan, Arkan menjadi l
“Bagaimana hasilnya?” Andine yang sejak tadi memandangi kertas di tangannya mendongakkan kepala. Wanita itu menggigit bibir, merasa ragu untuk mengatakan dengan pria yang ada di hadapannya. Jemarinya bahkan menggenggam erat kertas itu dan berulang kali menelan saliva kasar. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata dan siap ditumpahkan. Dia yakin, pria yang sudah satu tahun menikah dengannya akan kembali kecewa. “Negatif lagi?” balas Arkan, sang suami dengan nada dingin. Andine mengangguk, dengan raut wajah muram sebagai jawaban atas pertanyaan suaminya itu. “Sebenarnya kamu itu bisa punya anak apa nggak sih, Andine? Sudah bertahun-tahun kita menikah, tapi kamu nggak juga mengandung,” kata Arkan dengan tatapan sinis dan melempar hasil pemeriksaan yang baru saja diberikan Andine. Jelas hal itu membuat Andine meneteskan air mata. Wanita itu merasakan sesak di dada, tapi dia berusaha keras untuk menguatkan dirinya. “Mas, aku tuh bisa hamil. Cuma kita harus sabar
Hening. Andine hanya diam, duduk di ayunan yang terdapat di taman bunga sebelah rumah. Manik matanya tampak kosong dengan raut wajah tidak bersemangat. Pasalnya sejak menikah, Andine merasa sikap Arkan tidak pernah sedikit pun manis padanya.Arkan tidak pernah peduli dengannya. Ke rumah sakit saja dia pergi sendirian. Padahal untuk saat ini dia benar-benar membutuhkan sandaran untuk menguatkan hatinya. Kali ini, dia merasa Arkan tidak pernah mencintainya. Namun, beberapa detik kemudian, Andine menggelengkan kepala. Dia yakin, Arkan bukannya tidak mencintai dirinya. Suaminya itu hanya terlalu sibuk karena sepengetahuannya, Arkan baru akan mengeluarkan sebuah produk baru di perusahaannya. Andine kembali memaklumi sikap yang ada di diri sang suami yang terlalu fokus dengan pekerjaan. Sebelum menikah, Andine diberi tahu mengenai Arkan yang suka sekali menyibukkan diri. Suara mobil mulai terdengar memasuki pelataran rumah, membuat Andine langsung mengalihkan pandangan.
Andine memasuki kamar dan menatap ke arah sang suami yang sedang mengenakan kemeja. Kedua sudut bibirnya langsung tersenyum, membentuk senyum manis dan melangkah mendekat. Dia masih mengamati Arkan yang terus merapikan baju. “Aku bantu, Mas,” kata Andine dengan senyum semeringah. Dia langsung memegang dasi yang tergantung di leher sang suami dan siap mengenakannya.Arkan melangkah mundur. Manik matanya menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaannya dengan apa yang Andine lakukan. Entah kenapa, dia merasa begitu kesal setiap kali Andine mendekat ke arahnya. Padahal istrinya selalu melakukan yang terbaik dan dia tahu itu. “Aku bisa sendiri,” ucap Arkan dengan dingin. Dia pun langsung menatap kaca dan merapikan pakaiannya.Hening. Andine yang mendengar pun hanya diam. Mulutnya langsung tertutup rapat dengan senyum yang terasa canggung. Hatinya benar-benar merasa sakit setiap kali mendapat penolakan dari sang suami. Padahal awalnya dia pikir dengan perhatian yang diberikan, Arkan menjadi l
Hening. Arkan yang baru saja mendengar ucapan Reva langsung terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan. Dia bahkan tidak bereaksi apa pun. Ada hal yang mengganggu dalam pikirannya. Dia masih cukup meragukan apa yang baru saja diucapkan wanita di depannya.Sementara Reva juga terdiam dan terus menatap Arkan lekat. Dia masih menunggu jawaban pria di depannya. Sesekali, dia membasahi bibir, mencoba menenangkan degup jantungnya. Hingga dia kembali menggenggam jemari Arkan, membuat pria itu tersentak.“Arkan, jujur, aku masih mencintaimu. Aku nggak bisa ngelupain kamu. Aku udah berkali-kali nyoba buat lupain kamu, tapi aku nggak bisa,” kata Reva dengan tulus, mengungkapkan semua isi hatinya. Arkan masih saja diam. Dia memperhatikan dalam, mencoba meyakini apa yang baru saja Reva katakan. Sayang, dia masih memiliki trauma tersendiri dengan hal tersebut. Harus dia akui, bahwa dia begitu mencintai Reva. Pertemuannya kali ini adalah hal luar biasa. Sebab, dia yang tidak perna
“Apa kabar, Arkan? Lama nggak ketemu.” Arkan yang sejak tadi diam, tersentak mendengar suara yang sudah lama tak dia dengar. Manik matanya menatap ke arah wanita yang ada di hadapannya. Rambut lurus panjang. Bibirnya tampak seksi dengan lipstik merah yang membuatnya semakin memesona. Riasan make up tidak terlalu tebal, tapi tetap sangat cantik. Hal yang membuat Arkan hanya ingin menikmati keindahan yang ada di hadapannya. Arkan mengembuskan napas panjang, berusaha mengatur perasaan dalam dirinya. Dia ingin menyangkal sosok yang dia lihat ini, tapi semua itu tidak mungkin. Apa yang dia lihat ini nyata, tidak salah sama sekali. “Jadi, kamu yang menjadi model di sini?” balas Arkan, tak mengindahkan pertanyaan wanita bernama Reva. Reva mengangguk, dan mengulaskan senyuman terbaiknya. “Aku senang kita bertemu lagi, Arkan.” Hening. Suasana kembali sunyi saat keduanya mulai diam dan tidak membuka percakapan sama sekali. Keduanya juga tampak canggung karena sudah lama tidak bertemu. Arka
Hening. Andine hanya diam, duduk di ayunan yang terdapat di taman bunga sebelah rumah. Manik matanya tampak kosong dengan raut wajah tidak bersemangat. Pasalnya sejak menikah, Andine merasa sikap Arkan tidak pernah sedikit pun manis padanya.Arkan tidak pernah peduli dengannya. Ke rumah sakit saja dia pergi sendirian. Padahal untuk saat ini dia benar-benar membutuhkan sandaran untuk menguatkan hatinya. Kali ini, dia merasa Arkan tidak pernah mencintainya. Namun, beberapa detik kemudian, Andine menggelengkan kepala. Dia yakin, Arkan bukannya tidak mencintai dirinya. Suaminya itu hanya terlalu sibuk karena sepengetahuannya, Arkan baru akan mengeluarkan sebuah produk baru di perusahaannya. Andine kembali memaklumi sikap yang ada di diri sang suami yang terlalu fokus dengan pekerjaan. Sebelum menikah, Andine diberi tahu mengenai Arkan yang suka sekali menyibukkan diri. Suara mobil mulai terdengar memasuki pelataran rumah, membuat Andine langsung mengalihkan pandangan.
“Bagaimana hasilnya?” Andine yang sejak tadi memandangi kertas di tangannya mendongakkan kepala. Wanita itu menggigit bibir, merasa ragu untuk mengatakan dengan pria yang ada di hadapannya. Jemarinya bahkan menggenggam erat kertas itu dan berulang kali menelan saliva kasar. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata dan siap ditumpahkan. Dia yakin, pria yang sudah satu tahun menikah dengannya akan kembali kecewa. “Negatif lagi?” balas Arkan, sang suami dengan nada dingin. Andine mengangguk, dengan raut wajah muram sebagai jawaban atas pertanyaan suaminya itu. “Sebenarnya kamu itu bisa punya anak apa nggak sih, Andine? Sudah bertahun-tahun kita menikah, tapi kamu nggak juga mengandung,” kata Arkan dengan tatapan sinis dan melempar hasil pemeriksaan yang baru saja diberikan Andine. Jelas hal itu membuat Andine meneteskan air mata. Wanita itu merasakan sesak di dada, tapi dia berusaha keras untuk menguatkan dirinya. “Mas, aku tuh bisa hamil. Cuma kita harus sabar