“Apa kabar, Arkan? Lama nggak ketemu.”
Arkan yang sejak tadi diam, tersentak mendengar suara yang sudah lama tak dia dengar. Manik matanya menatap ke arah wanita yang ada di hadapannya. Rambut lurus panjang. Bibirnya tampak seksi dengan lipstik merah yang membuatnya semakin memesona. Riasan make up tidak terlalu tebal, tapi tetap sangat cantik. Hal yang membuat Arkan hanya ingin menikmati keindahan yang ada di hadapannya. Arkan mengembuskan napas panjang, berusaha mengatur perasaan dalam dirinya. Dia ingin menyangkal sosok yang dia lihat ini, tapi semua itu tidak mungkin. Apa yang dia lihat ini nyata, tidak salah sama sekali. “Jadi, kamu yang menjadi model di sini?” balas Arkan, tak mengindahkan pertanyaan wanita bernama Reva. Reva mengangguk, dan mengulaskan senyuman terbaiknya. “Aku senang kita bertemu lagi, Arkan.” Hening. Suasana kembali sunyi saat keduanya mulai diam dan tidak membuka percakapan sama sekali. Keduanya juga tampak canggung karena sudah lama tidak bertemu. Arkan masih menenangkan degup jantung yang tidak karuan karena kehadiran Reva. Sementara Reva bingung harus memulai darimana. “Pak Arkan, Mbak Reva mau pemotretan,” ucap salah satu pegawai secara sopan pada Arkan. Arkan yang ditegur pegawainya langsung menyadari bahwa dia dan Reva tak bisa lama berbasa-basi. “Silakan, kalian lanjutkan.” “Kalau begitu, ayo Mbak kita mulai,” ucap sang pegawai pada Reva. Reva tersenyum menatap Arkan. “Aku pemotretan dulu, ya?” Reva hendak pergi, tapi tiba-tiba lengannya ditahan oleh Arkan. “Setelah selesai pemotretan, kamu ada acara?” tanya Arkan to the point. Reva semakin tersenyum mendengar pertanyaan Arkan. “Nggak ada. Apa kamu mau ngajak aku pergi?” jawabnya yang juga to the point. Arkan mengangguk. “Ya, kalau kamu nggak keberatan.” Reva menggeleng pelan. “Aku nggak keberatan sama sekali. Aku malah senang. Kamu tunggu aku di luar saja. Aku akan segera menemuimu kalau pemotretanku sudah selesai.” Arkan mengangguk setuju. Dia melangkah keluar dari ruangan tersebut dan menunggu di depan. Bahkan Arkan tidak segan menyuruh sang sekretaris yang biasa menemani untuk pergi. Sepuluh menit berselang. Arkan yang mulai tidak sabar mulai bangkit. Dia ingin sekali masuk dan menarik Reva agar keluar, tetapi dia khawatir kalau nantinya Reva akan mengalami masalah. Dia tak ingin sampai orang yang begitu dia pedulikan terkena masalah. Ya, Arkan sangat peduli pada Reva yang merupakan mantan kekasihnya. Wanita itu memang pergi meninggalkan dirinya, tetapi Arkan tidak menyalahkan sama sekali. Dia bahkan sampai depresi karena kehilangan Reva. Sampai dia berakhir tragis karena harus menikah dengan Andine. Padahal awalnya dia menerima perjodohan itu karena ingin melupakan Reva, tetapi nyatanya hal itu tidak berhasil. Hatinya masih terpaut dengan wanita yang meninggalkannya tanpa kabar. “Arkan.” Arkan menatap ke asal suara. Dia tersenyum manis saat mendapati Reva sudah ada di depannya. Jantungnya kembali berdegup keras saat wanita itu mendekat dan berhenti di dekatnya. Perasaan yang sama dengan getar yang tidak berubah. “Kita jadi minum kopi bersama?” tanya Reva. Bibirnya tidak berhenti menunjukkan senyum manis. Arkan mengangguk dan berkata, “Aku bawa kamu ke restoran langgananku.” *** Andine menatap foto pernikahannya lekat. Di sana, dia tersenyum bahagia bersama sang suami yang saat itu sedang mendekapnya erat. Terlihat tidak akan ada masalah di dalamnya. Saat perjodohan terjadi, Andine diperlakukan dengan cukup baik oleh keluarga Arkan, tetapi setelah menikah, semua berbanding terbalik. Sang mertua sering sekali melontarkan ucapan pedas yang membuatnya sakit hati. Bahkan, ucapan pagi tadi masih membekas di hati, membuatnya meneteskan air mata. Namun, dia sadar kenapa alasan mertuanya melontarkan kalimat pedas padanya. Semua bermula karena dirinya yang sakit kista, membuatnya kesulitan mendapatkan keturunan. Andine mendongakkan kepala, menatap ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Seharusnya sebentar lagi sang suami akan pulang. Dia mulai bangkit dan menuju ke arah dapur. Andine mengeluarkan bahan-bahan di kulkas dan mulai menyiapkan apa saja yang akan dimasak untuk makan malam. Sejenak, dia ingin menyingkirkan perasaan sakit dan fokus dengan tugasnya. Dia akan mengatakan semua yang dirasakan dengan sang suami saat pria itu kembali. Andine yakin, Arkan akan mendengarkannya. Meski sebelumnya pria itu tidak mengangkat panggilannya, tetapi dia yakin semua karena Arkan sibuk. Ya, kalimat itu yang selalu diyakinnya agar memiliki kekuatan untuk menjalani kehidupan rumah tangganya. Andine mengusap air mata yang kembali membasahi pipi. Sesekali, dia mendongakkan kepala, menatap ke arah langit rumah agar air matanya tidak jatuh. Sekuat tenaga, dia ingin menyimpan lukanya saat ini. Sementara di tempat lain, Arkan duduk berhadapan dengan Reva. Manik matanya tidak beralih sama sekali. Dalam hati, dia terus memuji wanita di hadapannya. Sungguh ciptaan Tuhan yang begitu indah. “Arkan, kenapa kamu diam saja?” tanya Reva dengan senyum canggung. Wajahnya memerah karena Arkan yang terus menatapnya. Arkan yang ditanya menggelengkan kepala sembari berkata, “Tidak apa.” Padahal jelas-jelas dia mengagumi wanita di hadapannya. Hening. Suasana kembali tenang. Arkan dan Reva tidak lagi mengatakan sesuatu. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. “Reva.” “Arkan.” Arkan dan Reva memanggil di waktu yang sama. Keduanya langsung tertawa kecil menyadari kedekatan keduanya yang masih sama. Pasalnya sudah lama mereka tidak bertemu. Perpisahan mereka tidak dengan cara yang baik-baik. “Kamu duluan saja, Reva,” kata Arkan hangat. Reva menarik napas dalam dan membuang perlahan. “Sebenarnya aku malu untuk mengatakan ini, Arkan. Tapi aku benar-benar merasa tidak tenang sebelum mengatakannya. Setiap malam aku merasa bersalah. Aku minta maaf untuk semua kesalahan yang aku lakukan dulu. Aku meninggalkanmu tanpa mengatakan apa pun. Aku tahu itu salah, tapi aku tidak ada pilihan lain. Aku harus mengejar mimpiku menjadi bintang.” Arkan yang mendengar permintaan maaf itu terdiam sejenak. Manik matanya menatap dalam, menemukan penyesalan dari sorot mana Reva. Sebelah tangannya beralih, menggenggam jemari wanita di hadapannya dan mengangguk perlahan. “Tidak masalah. Semua sudah berlalu dan sekarang kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau. Kamu menjadi bintang yang begitu bersinar. Kamu memiliki banyak sekali job dan aku yakin banyak pria yang mendekati kamu,” jawab Arkan tenang. “Tapi, aku merasa tidak ada yang cocok, Arkan. Aku hanya merasa kalau bersama kamu aku merasa nyaman,” ungkap Reva jujur. Seketika, Arkan langsung terdiam. Kedua matanya melebar penuh rasa terkejut, sekaligus tidak menyangka Reva akan mengatakan hal tersebut padanya. Detak jantungnya kembali berdetak tak karuan. Pikirannya benar-benar tak bisa berikir jernih. Hingga sentuhan di punggung tangan terasa, membuat Arkan tersentak kaget. “Arkan, apa masih ada kesempatan untuk kita bersama lagi?”Hening. Arkan yang baru saja mendengar ucapan Reva langsung terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan. Dia bahkan tidak bereaksi apa pun. Ada hal yang mengganggu dalam pikirannya. Dia masih cukup meragukan apa yang baru saja diucapkan wanita di depannya.Sementara Reva juga terdiam dan terus menatap Arkan lekat. Dia masih menunggu jawaban pria di depannya. Sesekali, dia membasahi bibir, mencoba menenangkan degup jantungnya. Hingga dia kembali menggenggam jemari Arkan, membuat pria itu tersentak.“Arkan, jujur, aku masih mencintaimu. Aku nggak bisa ngelupain kamu. Aku udah berkali-kali nyoba buat lupain kamu, tapi aku nggak bisa,” kata Reva dengan tulus, mengungkapkan semua isi hatinya. Arkan masih saja diam. Dia memperhatikan dalam, mencoba meyakini apa yang baru saja Reva katakan. Sayang, dia masih memiliki trauma tersendiri dengan hal tersebut. Harus dia akui, bahwa dia begitu mencintai Reva. Pertemuannya kali ini adalah hal luar biasa. Sebab, dia yang tidak perna
Andine memasuki kamar dan menatap ke arah sang suami yang sedang mengenakan kemeja. Kedua sudut bibirnya langsung tersenyum, membentuk senyum manis dan melangkah mendekat. Dia masih mengamati Arkan yang terus merapikan baju. “Aku bantu, Mas,” kata Andine dengan senyum semeringah. Dia langsung memegang dasi yang tergantung di leher sang suami dan siap mengenakannya.Arkan melangkah mundur. Manik matanya menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaannya dengan apa yang Andine lakukan. Entah kenapa, dia merasa begitu kesal setiap kali Andine mendekat ke arahnya. Padahal istrinya selalu melakukan yang terbaik dan dia tahu itu. “Aku bisa sendiri,” ucap Arkan dengan dingin. Dia pun langsung menatap kaca dan merapikan pakaiannya.Hening. Andine yang mendengar pun hanya diam. Mulutnya langsung tertutup rapat dengan senyum yang terasa canggung. Hatinya benar-benar merasa sakit setiap kali mendapat penolakan dari sang suami. Padahal awalnya dia pikir dengan perhatian yang diberikan, Arkan menjadi l
“Kamu sudah cek semua jadwal hari ini, Dew?” tanya Arkan, tanpa menoleh pada karyawannya. Tatapannya fokus pada pekerjaannya yang hari itu cukup banyak. Dewi yang merupakan sekretaris Arkan langsung menjawab, “Sudah, Pak. Semua rapat hari ini sudah selesai.”Arkan yang mendengar, hanya bergumam pelan. Dia kembali tenggelam dalam tumpukan dokumen yang harus diperiksanya. Hari ini banyak sekali rapat yang harus diselesaikan, membuatnya benar-benar sibuk. Ketukan pintu terdengar. Arkan langsung menyuruh seseorang di luar untuk masuk. Saat pintu terbuka, dia dibuat terkejut akan sosok yang baru saja muncul. “Aku boleh masuk, kan?” Arkan yang melihat Reva dengan penampilan seksi hanya diam dan menganggukkan kepala. Jelas Reva yang melihat menjadi bahagia. Dengan langkah anggun, wanita itu mendekat ke arah Arkan berada. Manik matanya tidak beralih sama sekali, memperhatikan setiap gerak pria tersebut. Hingga dia duduk di depan Arkan dan mengulas senyum lebar.“Kenapa kamu masih di sini,
Arkan menggeliat pelan, merasakan tubuh yang terasa kaku. Kedua matanya perlahan terbuka, menatap langit kamar. Keningnya mulai berkerut dalam, merasa aneh karena langit kamar yang berbeda. Aroma di dalam ruangan itu cukup berbeda, membuatnya mulai meneliti setiap ruangan. Hingga saat dia melihat seseorang yang berada di sampingnya, membuat Arkan terkejut luar biasa. “Reva?” Arkan langsung bangkit berdiri. Namun, kepala Arkan terasa berat. Dia menutup mata kembali, mencoba menghilangkan denyutan di kepalanya. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam ingatannya, membuat Arkan mengingat satu per satu memori semalam.“Arkan …” Arkan semakin mencumbu tubuh Reva. Tangannya melepas satu per satu pakaiannya, membuat tubuh bagian atasnya tidak berbusana. Reva yang melihat hal itu pun membalas dengan hal yang sama.Lama keduanya saling bercumbu, mencoba membalas setiap kecupan yang ada. Arkan yang mulia tidak tahan langsung membopong tubuh Reva ke dalam kamar dan meletakkan dengan lembut. T
“Mas, sarapan dulu,” panggil Andine ketika melihat Arkan yang menuruni anak tangga. Namun, Arkan tidak menjawabnya sama sekali. Pria tampan itu masih terus melangkah, menuruni satu per satu anak tangga dengan tangan sibuk merapikan pakaian. Rambutnya bahkan masih terlihat basah, menandakan Arkan tidak sempat mengeringkan kepala. “Mas,” panggil Andine kembali. Wanita itu melangkah lebar, menyamakan langkahnya dengan langkah sang suami. Meski dia harus setengah berlari—sampai dia yang sudah berada di dekat Arkan meraih pergelangan tangan sang suami, membuat langkah suaminya itu terpaksa berhenti.“Ada apa, Andine?” tanya Arkan dengan tatapan lekat.“Mas, kamu belum sarapan. Ayo sarapan dulu,” ajak Andine yang tak ingin sang suami lupa sarapan. Arkan menyingkirkan tangan sang istri dan berkata, “Aku buru-buru. Aku bisa sarapan di kantor.”“Tapi tadi malam kamu nggak pulang, Mas. Kamu juga pasti belum makan, kan? Sekarang kita makan dulu, ya. Aku udah masak kentang balado kesukaan Mas A
Arkan menekan bel dengan raut wajah cemas. Beberapa menit yang lalu, dia harus meninggalkan rumah karena mendengar kabar Reva yang sakit. Melalui panggilan telepon wanita itu terdengar kesakitan dan Arkan menjadi tidak tega sama sekali. Dia bahkan rela meninggalkan sang istri yang saat ini juga sedang demam.Namun, Arkan memiliki pertimbangannya sendiri. Di rumah, Andine banyak yang mengurus. Ada sopir dan pelayan yang akan menjaga. Sementara Reva hanya seorang diri. Hal tersebut yang membuat Arkan lebih memilih menjaga Reva daripada Andine. Tak selang lama, terdengar pintu dibuka, membuat Arkan melirik ke dalam.“Arkan, akhirnya kamu datang juga,” ucap Reva dengan wajah penuh kelegaan, melihat yang datang adalah Arkan. Arkan segera masuk dan memegang tangan Reva. Dia takut wanita itu akan terjatuh. Meski dia tidak melihat wajah pucat, tetapi dia melihat beberapa kali Reva mengaduh dengan tangan memegang perut. Hal yang membuat Arkan yakin Reva sedang tidak baik-baik saja.“Apa yan
Arkan membuka kamar secara perlahan. Sebelah tangannya memegang nampan berisi mangkuk dan air hangat. Kakinya segera melangkah ke arah ranjang, tempat di mana Reva berada. Di sana, wanita itu masih berbaring dengan raut wajah memelas, seakan tak memiliki energy. “Aku sudah buatkan bubur untuk kamu,” ucap Arkan lembut. Reva yang mendengar, mulai bangkit secara perlahan. Sebelah tangannya memegang perut, membuat Arkan tidak tega sama sekali. Arkan menolong Reva, membantunya untuk bangkit. Dengan sigap, tangannya meraih bantal dan meletakkan di belakang tubuh Reva.“Pelan-pelan,” kata Arkan mengingatkan.Reva mengulas senyum tipis dan berucap, “Terima kasih, Arkan. Maaf merepotkanmu.”Arkan meraih mangkuk yang diletakkan di nakas dan mulai mengambil sesendok. Lantas, dengan sabar, dia mulai menyuapi Reva. Suasana menjadi hening ketika keduanya hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Reva yang melihat Arkan begitu sabar melayaninya, diam-diam dia mengulum senyum. Manik matanya menatap
Andine memasukkan makanan ke dalam kotak bekal dan melangkah keluar rumah. Hari ini dia berniat datang ke perusahaan sang suami. Pasalnya untuk sekian kali, Arkan tidak sarapan di rumah. Suaminya itu pulang pagi hanya untuk berganti pakaian dan setelahnya pergi. Jangankan sarapan, melihat menu yang ada di meja makan pun tidak. Andine merasa cemas dan khawatir, karena Arkan yang mulai tidak menjaga diri. Dia takut Arkan akan sakit, karena terlalu lelah bekerja. Meski beberapa hari ini Arkan tampak dingin, dan tidak memedulikannya, tetap saja Andine menjadikan Arkan sebagai prioritas utamanya. “Ibu mau kemana?” tanya Asep, sang sopir dengan wajah bingung.“Antar aku ke perusahaan Mas Arkan, Pak,” jawab Andine.Asep yang mendengar pun terdiam. Kali ini dia yang merasa ragu untuk mengikuti keinginan majikannya. Asep masih cukup ingat bagaimana Arkan memperilakukan Andine saat itu. Dia juga enggan mendapat amukan seperti beberapa hari yang lalu. Ya, dia mendapat amukan dari Arkan karena
Andine sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Beruntung dokter kandungan mengizinkannya. Sungguh, dia tak tahu bagaimana jadinya kalau sampai dokter kandungan tak mengizinkannya pulang. Jika dirinya berada di rumah sakit, maka pasti Arkan akan tahu tentang kondisi yang menimpa dirinya. Andine masih belum ingin menceritakan pada Arkan tentang kehamilannya. Wanita cantik itu ingin tetap merahasiakan lebih dulu. Bukan tak ingin bercerita, tetapi karena dirinya masih memilih untuk merahasiakan semua ini untuk sementara waktu. Andine bersyukur dirinya mendapatkan pertolongan dari Dimas. Dia tak tahu bagaimana dirinya jika tidak ada Dimas yang membantunya. Bukan hanya membantu saja, tetapi Dimas juga merahasiakan kehamilannya sesuai apa yang diinginkannya. Malam itu, Andine berkutat di dapur membuatkan makanan untuk dirinya dan Arkan. Dia tak terlalu banyak memasak, karena takut kelelahan. Menu makanan hanya sederhana. Cukup tiga menu saja, itu pun belum tentu Arkan akan maka
Reva bersembunyi di balik dinding, melihat Dimas yang kini melangkah. Hatinya mulai merasakan penasaran luar biasa. Detik itu juga, yang dilakukannya mengikuti Dimas, mengawasi dari kejauhan agar Dimas tak melihat keberadaannya. Namun, seketika raut wajah Reva berubah melihat Dimas masuk ke dalam ruang dokter kandungan. Kening wanita itu mengerut dalam, penasaran dalam dirinya semakin menjadi, menimbulkan kebingungan yang melanda. “Kenapa Dimas ke dokter kandungan?” gumam Reva bingung. Beberapa menit Reva tetap memilih menunggu di balik dinding, dia ingin menunggu sampai Dimas keluar dari ruang dokter kandungan. Hatinya benar-benar menjadi penasaran. Jika Dimas mememui dokter umum, maka dia tidak akan mungkin sampai menunggu Dimas seperti ini. Tak selang lama, Reva melihat Dimas keluar dari ruang dokter. Buru-buru, dia semakin bersembunyi, agar tidak ketahuan Dimas. Dia tak mau sampai Dimas melihat dirinya. “Pak, kondisi Bu Andine sebenarnya kurang baik. Kandungannya lemah. Teka
Reva mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Kedua tangannya memegang kemudi dengan erat, membuat otot di tangannya tercetak dengan jelas. Emosinya juga meningkat saat tadi Arkan yang awalnya ingin istirahat di rumahnya, malah memilih untuk pergi, dan dia yakin besar kemungkinan Arkan pulang ke rumah bukan ke kantor. Reva masih menatap jalanan dengan tatapan dingin, dan tersirat memancarkan emosi yang berkobar di dalam diri. Sungguh, dia ingin sekali memberi tahu Andine, tentang hubungannya dengan Arkan, tetapi semua itu tidak akan bisa dia lakukan. Bukan karena takut, tapi karena dia tak ingin nanti menimbulkan sebuah masalah. Reva mengumpat dalam hati, dan berusaha untuk tetap berjuang menenangkan emosi di dalam dirinya. Wanita itu terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Emosi di dalam diri, membuatnya memilih untuk mengebut di jalanan. Namun tiba-tiba … Brakkkk … Reva menabrak trotoar di kala dirinya tak mampu mengendalikan kemudi. Dia langsung merutuki d
Arkan mengendarai mobil dengan sangat cepat. Pikirannya cukup kacau karena Andine mulai berani menentang dirinya. Padahal sebelumnya itu istrinya adalah sosok yang sangat penurut, dan tidak berani menentang dirinya. Namun entah kenapa sekarang istrinya mulai berani padanya. Hal paling tergila adalah Arkan mulai memikirkan Andine. Seharusnya dia tak peduli sama sekali pada Andine, tapi dia tak mengerti kenapa belakangan ini dia memikirkan tentang Andine. Bahkan di kala istrinya itu mendiaminya saja, dia sangat tidak suka. “Shit!” umpat Arkan seraya memukul setir mobilnya. Pria tampan itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, guna menangkan segala pikirannya yang kacau. Tiba-tiba sesuatu hal muncul dalam benak Arkan. Pria itu langsung memutar balik, dan kini menuju rumah Reva. Dia ingin mencoba menenangkan dirinya dengan bertemu dengan Reva. Dia harap setelah bertemu dengan Reva akan membuat emosi di dalam dirinya terkendali. Tak selang lama, mobil yang dilajukan Arkan mulai tiba
“Pemotretan hari ini selesai. Good job, Reva.” Sang fotografer memuji kinerja Reva. Dia tampak puas dengan hasil foto Reva berpose di kolam renang begitu menakjubkan. Tidak susah untuknya mengatur Reva. Reva tersenyum lega, seraya memakai bathrobe. “Coba aku lihat hasil fotoku. Aku ingin tahu bagaimana hasil foto-fotoku.” Sang fotografer itu langsung menunjukkan foto yang dia ambil pada Reva. “Ini hasilnya sangat bagus. Kamu memang berbakat menjadi seorang model, Reva,” pujinya dengan senyuman bangga. Reva kembali tersenyum, di kala melihat hasil foto-foto yang diambil fotografer tampak menakjubkan. “Tentu saja aku berbakat.” Sang fotografer menurunkan kameranya. “Ngomong-ngomong tadi aku lihat ada seorang pria yang terus melihatmu. Aku rasa dia mengenalmu.” Kening Reva mengerut dalam. “Seorang pria? Siapa?” tanyanya penasaran ingin tahu siapa yang menatapnya. Sang fotografer menunjuk punggung pria yang berjalan pergi menjauh. “Dia. Pria pakai kemeja biru itu terus lihat kamu. A
Andine membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Tangannya memegang koper dan menarik koper itu tanpa semangat. Entah kenapa dia merasakan tubuhnya masih terlalu lemah. Perutnya juga masih terasa mual. Padahal dia sudah meminum obat, tapi seperti tidak ada reaksinya sama sekali. Namun, meski demikian dia masih enggan jika harus diperiksa oleh dokter. Dia hanya ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah. Langkah kaki Andine terhenti tepat di kala dia hendak menuruni undakan tangga. Tampak jelas raut wajahnya memancarkan kemuraman dan rasa sedih yang menyelimuti dirinya. Dia menarik napas panjang, dan mengembuskan napas pelan—bersiap untuk menuruni undakan tangga sambil mengangkat koper. Namun … “Biar aku yang mengangkat kopermu.” Dimas tiba-tiba muncul, dan mengambil alih koper Andine. Andine sedikit terkejut sambil menatap Dimas yang membantunya. “Dimas? B-biar aku saja. Koperku berat.” Dimas tersenyum. “Karena kopermu berat, aku menawarkan diri untuk membantumu. Kamu kan seor
Andine menuruni satu per satu anak tangga dengan raut wajah muram, dan terlihat jelas menunjukkan perasaan yang ditutupinya. Pikirannya benar-benar kacau. Bahkan semala, dia tidak tidur dengan nyenyak, karena banyak hal yang membebani pikirannya. Andine kini menarik napas dalam dan membuang secara perlahan. Dia mencoba untuk tegang tenang dan bersikap biasa. Dia tidak mau ada yang curiga dengan kondisi hatinya sekarang. Apalagi dirinya masih berada di lingkungan keluarga sang suami. Saat Andine berada di lantai bawah, tatapannya teralih pada Melly yang bercanda dengan Reva. Seperti biasa memang ibu mertuanya itu sangat dekat dengan Reva. Sangat berbeda jauh jika mertuanya itu berada di dekatnya. Hati Andine mendadak merasakan nyeri luar biasa. Dia bukan hanya mendapatkan luka dari suaminya saja, tetapi ibu mertuanya juga memberikan luka padanya seakan dirinya memang benar-benar tidak dianggap. Meski selama ini dia sudah berusaha sangat baik, tetap saja dirinya selalu salah di mata
Arkan membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar. Tampak raut wajahnya tidak bersemangat, karena mengingat perkataann ayahnya padanya. Entah, dia merasakan kegelisahan yang membentang di dalam dirinya. Perkataan ayahnya seakan menusuknya hingga ke relung hati terdalam, dan membuatnya benar-benar tak berkutik. Saat Arkan sudah masuk ke dalam kamar, dia menatap ke arah Andine yang duduk melamun di sofa. Pria tampan itu yakin ada sesuatu hal yang menggangu pikiran Andine. Dia memutuskan melangkah mendekat ke arah Andine—yang tak menyadari kehadirannya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Arkan dengan nada dingin, kala tiba di depan Andine. Andine mengalihkan pandangannya, menatap Arkan yang berada di hadapannya. Dia terdiam sebentar, tak langsung menjawab apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Hatinya masih terasa sakit mengingat apa yang terjadi tadi. Kejadian suaminya lebih memilih menyelamatkan Reva, benar-benar membuat hatinya hancur. “Seperti yang kamu lihat, aku baik,” jawab Andi
Arkan membawa Reva ke tepi, bersamaan dengan Dimas yang membawa Andine ke tepi. Tampak Arkan bermaksud ingin menghampiri Andine, tetapi gerak Arkan terhenti di kala Reva menahan tangan pria itu. “Arkan dingin,” ucap Reva menggigil. Kedua kakinya ditekuk, merasa dingin di sekujur tubuh. Ini sudah malam dan udara di pegunungan cukup membuatnya menggigil.“Ya Tuhan, Reva! Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?” Melly buru-buru mendekat, dan memberikan handuk untuk Reva. Terlihat wanita paruh baya itu begitu mencemaskan keadaan Reva. Reva tersenyum. “Aku baik-baik aja, Tante. Makasih udah cemasin aku. Tante nggak usah khawatir. Arkan udah nolongin aku tepat waktu.”Melly mendesah panjang. “Iya, untung Arkan sigap nolong kamu, Reva.” Reva kembali tersenyum, merespon ucapan Melly. Andine hanya diam melihat interaksi Melly yang begitu peduli pada Reva. Bukan hanya Melly yang peduli pada Reva, tapi Arkan juga peduli. Bahkan dia ingat jelas suaminya lebih memilih menyelamatkan Reva daripada dir