Hening. Arkan yang baru saja mendengar ucapan Reva langsung terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan. Dia bahkan tidak bereaksi apa pun. Ada hal yang mengganggu dalam pikirannya. Dia masih cukup meragukan apa yang baru saja diucapkan wanita di depannya.
Sementara Reva juga terdiam dan terus menatap Arkan lekat. Dia masih menunggu jawaban pria di depannya. Sesekali, dia membasahi bibir, mencoba menenangkan degup jantungnya. Hingga dia kembali menggenggam jemari Arkan, membuat pria itu tersentak. “Arkan, jujur, aku masih mencintaimu. Aku nggak bisa ngelupain kamu. Aku udah berkali-kali nyoba buat lupain kamu, tapi aku nggak bisa,” kata Reva dengan tulus, mengungkapkan semua isi hatinya. Arkan masih saja diam. Dia memperhatikan dalam, mencoba meyakini apa yang baru saja Reva katakan. Sayang, dia masih memiliki trauma tersendiri dengan hal tersebut. Harus dia akui, bahwa dia begitu mencintai Reva. Pertemuannya kali ini adalah hal luar biasa. Sebab, dia yang tidak pernah berpikir bisa bertemu lagi dengan sosok wanita yang sudah lama dia tak temui. Tidak hanya bertemu, tapi wanita itu telah mengungkapkan cinta padanya. Akan tetapi, apa Reva mengatakan yang sebenarnya? Hal itu yang ditakuti Arkan kali ini. Dia menjadikan Andine sebagai pelarian di saat Reva pergi. Sampai saat ini, dia tidak pernah mencintai Andine. Setiap berhubungan, Arkan hanya membayangkan Reva yang ada dalam dekapannya. “Arkan, kamu nggak memercayaiku?” tanya Reva karena tidak juga mendapat jawaban. Arkan yang sejak tadi mencoba menimang perasaannya langsung membuang napas lirih. “Bukan aku nggak memercayaimu, Reva. Tapi aku masih ragu dengan semuanya.” “Aku tahu aku salah, tapi aku serius mencintaimu, Arkan. Aku nggak ingin meninggalkanmu lagi. Selama ini aku benar-benar menyesal dan terus kepikiran mengenai kamu. Kamu tahu? Dalam satu tahun ini aku selalu membayangkan pertemuan dan kebersamaan kita lagi.” “Arkan, ayo kita lanjutkan rencana kita yang sempat tertunda,” lanjut Reva setelah Arkan tidak menjawabnya sama sekali. Wajahnya tampak memelas dengan sorot mata sendu. Arkan yang semakin merasa aneh, memilih menarik tangan dan menatap lekat. “Aku rasa, untuk sekarang aku tidak ingin membicarakan mengenai hal ini, Reva.” Reva kembali merasa canggung. Pasalnya dia adalah seorang wanita. Dia sudah merendahkan diri dan memohon di depan Arkan. Jujur, hatinya merasa sakit karena penolakan yang diberikan sang mantan kekasih, tetapi dia berusaha menarik kedua bibir yang membentuk senyum manis. Meski nyatanya hanya senyum canggung yang ada. “Maafkan aku, Reva. Aku nggak ingin membicarakan mengenai ini semua. Saat kamu meninggalkanku waktu itu, rasanya masih cukup membekas,” ucap Arkan dengan embusan napas panjang. “Maafkan aku mengenai itu, Arkan. Aku hanya ingin mengejar mimpiku menjadi seorang model dan aktris terkenal,” sahut Reva jujur. “Tapi kenapa kamu pergi begitu saja? Kenapa kamu nggak bilang apa pun sama aku?” tanya Arkan meminta sebuah penjelasan. “Aku ingin berusaha sendiri, Arkan. Aku nggak mau menyusahkanmu. Aku nggak mau dicap sebagai artis karena memiliki orang dalam. Aku mau semua orang tahu kemampuanku yang sebenarnya,” jelas Reva jujur. Lagi, Arkan kembali merasa ragu. Apa selama ini dia salah karena selalu membantu Reva. Namun, saat wanita itu pergi, dia bahkan masih menjadi karyawan bawahan dari ayahnya dan belum dipercayai mengurus sebuah perusahaan. Jadi, tidak mungkin dia akan membantu banyak, kan? “Arkan, mengenai—” “Aku rasa sebaiknya kita menjadi teman lagi saja, Reva,” sela Arkan dengan perasaan gugup. Reva yang mendengar terdiam. Dia menaikkan sebelah alis saat Arkan meneguk minuman. Dalam hati dia berkata, ‘Teman? Aku nggak mau, Arkan. Aku mau menjadi Nyonya di keluarga Adiguna.’ *** Arkan terdiam dengan raut wajah bingung. Dia merasa ada yang mengganjal dalam hatinya. Dia merasa tidak tenang karena terus memikirkan mengenai ucapan Reva. Dia teringat dengan jawaban yang diberikan. ‘Apa aku terlalu kasar? Apa aku salah? Tapi aku benar-benar takut kalau dia hanya mempermainkanku lagi.’ Arkan yang merasa pikirannya mulai penuh, memilih untuk membuang napas kasar. Kepalanya mendongak, menatap ke langit-langit rumah. Perlahan, kedua matanya tertutup, mencoba menenangkan perasaan yang tidak karuan. Sayangnya, belum berselang lama, pintu ruangan terbuka yang membuat Arkan harus membuka mata. Saat melihat siapa yang berdiri di depannya, Arkan langsung mendesah kasar. “Mas, aku buatkan kopi dan camilan buat kamu. Kamu kan nggak makan malam tadi. Aku takut kamu lapar,” ucap Andine sembari meletakkan sepiring bakwan dan kopi. Arkan tidak menjawab sama sekali. Wajahnya malah terlihat masam karena kedatangan sang istri. Apalagi melihat Andine yang sudah menggunakan pakaian tidur, membuat Arkan semakin enggan untuk melihat. Pikiran yang semula ingin ditenangkan, sekarang malah semakin tidak karuan. “Mas, kamu kenapa? Kamu capek? Mau aku pijitin?” tanya Andine perhatian seraya mnedekat. “Jangan kesini, Andine. Aku sedang nggak ingin diganggu! Kamu keluar saja!” usir Arkan tajam. Andine yang baru beberapa langkah langsung terhenti. Dia menatap ke arah sang suami. Senyum yang ada di bibirnya perlahan menghilang, berganti dengan senyum patah. “Mas, tapi aku—” “Aku sudah bilang sama kamu, kan? Jangan ke sini. Jangan coba mendekatiku, Andine. Lebih baik sekarang kamu pergi dan biarkan aku di sini,” sela Arkan dengan cepat. Andine masih tetap bergeming di tempatnya. Dia ingin membantu sang suami, tetapi Arkan melarang. Sekali saja, Andine ingin melayani sang suami supaya suaminya itu mencintainya. Dia ingin menunjukkan dia peduli dengan semua yang Arkan rasakan. Arkan kesal Andine tak kunjung pergi. Dengan kasar, dia bangkit dan mendorong kursinya menjauh. Wajahnya tampak dingin dengan sorot mata tajam. Tanpa perasaan sama sekali, dia meraih pergelangan tangan sang istri dan menarik kasar. “Mas, sakit,” ucap Andine sembari merintih kesakitan. Arkan tidak mendengarkan sama sekali. Dia memilih terus menarik Andine, tidak mendengarkan keluhan sang istri. Hingga dia yang sudah sampai pintu ruang kerja—dia mengeluarkan Andine dengan kasar. “Mas, kamu kenapa?” tanya Andine dengan air mata yang sudah menggenang. Dia merasa sakit atas perlakuan sang suami padanya. “Aku sudah mengatakan denganmu, Andine. Aku nggak ingin diganggu siapapun termasuk kamu. Jangan pernah masuk ke sini lagi tanpa seizinku,” ucap Arkan dengan penuh penekanan. Dia langsung menutup pintu dengan kasar. Brak. Andine tersentak kaget. Saat itu juga, air matanya mengalir. Tubuhnya terasa lemah, tetapi dengan cepat Andine menghapus. Dia tidak ingin Arkan menganggapnya cengeng dan lemah. “Jangan menangis, Andine. Arkan melakukan ini bukan sengaja. Dia pasti sedang ada masalah di kantor,” ucap Andine, mencoba menenangkan diri sendiri akibat perilaku kejam dari sang suami padanya.Andine memasuki kamar dan menatap ke arah sang suami yang sedang mengenakan kemeja. Kedua sudut bibirnya langsung tersenyum, membentuk senyum manis dan melangkah mendekat. Dia masih mengamati Arkan yang terus merapikan baju. “Aku bantu, Mas,” kata Andine dengan senyum semeringah. Dia langsung memegang dasi yang tergantung di leher sang suami dan siap mengenakannya.Arkan melangkah mundur. Manik matanya menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaannya dengan apa yang Andine lakukan. Entah kenapa, dia merasa begitu kesal setiap kali Andine mendekat ke arahnya. Padahal istrinya selalu melakukan yang terbaik dan dia tahu itu. “Aku bisa sendiri,” ucap Arkan dengan dingin. Dia pun langsung menatap kaca dan merapikan pakaiannya.Hening. Andine yang mendengar pun hanya diam. Mulutnya langsung tertutup rapat dengan senyum yang terasa canggung. Hatinya benar-benar merasa sakit setiap kali mendapat penolakan dari sang suami. Padahal awalnya dia pikir dengan perhatian yang diberikan, Arkan menjadi l
“Kamu sudah cek semua jadwal hari ini, Dew?” tanya Arkan, tanpa menoleh pada karyawannya. Tatapannya fokus pada pekerjaannya yang hari itu cukup banyak. Dewi yang merupakan sekretaris Arkan langsung menjawab, “Sudah, Pak. Semua rapat hari ini sudah selesai.”Arkan yang mendengar, hanya bergumam pelan. Dia kembali tenggelam dalam tumpukan dokumen yang harus diperiksanya. Hari ini banyak sekali rapat yang harus diselesaikan, membuatnya benar-benar sibuk. Ketukan pintu terdengar. Arkan langsung menyuruh seseorang di luar untuk masuk. Saat pintu terbuka, dia dibuat terkejut akan sosok yang baru saja muncul. “Aku boleh masuk, kan?” Arkan yang melihat Reva dengan penampilan seksi hanya diam dan menganggukkan kepala. Jelas Reva yang melihat menjadi bahagia. Dengan langkah anggun, wanita itu mendekat ke arah Arkan berada. Manik matanya tidak beralih sama sekali, memperhatikan setiap gerak pria tersebut. Hingga dia duduk di depan Arkan dan mengulas senyum lebar.“Kenapa kamu masih di sini,
Arkan menggeliat pelan, merasakan tubuh yang terasa kaku. Kedua matanya perlahan terbuka, menatap langit kamar. Keningnya mulai berkerut dalam, merasa aneh karena langit kamar yang berbeda. Aroma di dalam ruangan itu cukup berbeda, membuatnya mulai meneliti setiap ruangan. Hingga saat dia melihat seseorang yang berada di sampingnya, membuat Arkan terkejut luar biasa. “Reva?” Arkan langsung bangkit berdiri. Namun, kepala Arkan terasa berat. Dia menutup mata kembali, mencoba menghilangkan denyutan di kepalanya. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam ingatannya, membuat Arkan mengingat satu per satu memori semalam.“Arkan …” Arkan semakin mencumbu tubuh Reva. Tangannya melepas satu per satu pakaiannya, membuat tubuh bagian atasnya tidak berbusana. Reva yang melihat hal itu pun membalas dengan hal yang sama.Lama keduanya saling bercumbu, mencoba membalas setiap kecupan yang ada. Arkan yang mulia tidak tahan langsung membopong tubuh Reva ke dalam kamar dan meletakkan dengan lembut. T
“Mas, sarapan dulu,” panggil Andine ketika melihat Arkan yang menuruni anak tangga. Namun, Arkan tidak menjawabnya sama sekali. Pria tampan itu masih terus melangkah, menuruni satu per satu anak tangga dengan tangan sibuk merapikan pakaian. Rambutnya bahkan masih terlihat basah, menandakan Arkan tidak sempat mengeringkan kepala. “Mas,” panggil Andine kembali. Wanita itu melangkah lebar, menyamakan langkahnya dengan langkah sang suami. Meski dia harus setengah berlari—sampai dia yang sudah berada di dekat Arkan meraih pergelangan tangan sang suami, membuat langkah suaminya itu terpaksa berhenti.“Ada apa, Andine?” tanya Arkan dengan tatapan lekat.“Mas, kamu belum sarapan. Ayo sarapan dulu,” ajak Andine yang tak ingin sang suami lupa sarapan. Arkan menyingkirkan tangan sang istri dan berkata, “Aku buru-buru. Aku bisa sarapan di kantor.”“Tapi tadi malam kamu nggak pulang, Mas. Kamu juga pasti belum makan, kan? Sekarang kita makan dulu, ya. Aku udah masak kentang balado kesukaan Mas A
Arkan menekan bel dengan raut wajah cemas. Beberapa menit yang lalu, dia harus meninggalkan rumah karena mendengar kabar Reva yang sakit. Melalui panggilan telepon wanita itu terdengar kesakitan dan Arkan menjadi tidak tega sama sekali. Dia bahkan rela meninggalkan sang istri yang saat ini juga sedang demam.Namun, Arkan memiliki pertimbangannya sendiri. Di rumah, Andine banyak yang mengurus. Ada sopir dan pelayan yang akan menjaga. Sementara Reva hanya seorang diri. Hal tersebut yang membuat Arkan lebih memilih menjaga Reva daripada Andine. Tak selang lama, terdengar pintu dibuka, membuat Arkan melirik ke dalam.“Arkan, akhirnya kamu datang juga,” ucap Reva dengan wajah penuh kelegaan, melihat yang datang adalah Arkan. Arkan segera masuk dan memegang tangan Reva. Dia takut wanita itu akan terjatuh. Meski dia tidak melihat wajah pucat, tetapi dia melihat beberapa kali Reva mengaduh dengan tangan memegang perut. Hal yang membuat Arkan yakin Reva sedang tidak baik-baik saja.“Apa yan
Arkan membuka kamar secara perlahan. Sebelah tangannya memegang nampan berisi mangkuk dan air hangat. Kakinya segera melangkah ke arah ranjang, tempat di mana Reva berada. Di sana, wanita itu masih berbaring dengan raut wajah memelas, seakan tak memiliki energy. “Aku sudah buatkan bubur untuk kamu,” ucap Arkan lembut. Reva yang mendengar, mulai bangkit secara perlahan. Sebelah tangannya memegang perut, membuat Arkan tidak tega sama sekali. Arkan menolong Reva, membantunya untuk bangkit. Dengan sigap, tangannya meraih bantal dan meletakkan di belakang tubuh Reva.“Pelan-pelan,” kata Arkan mengingatkan.Reva mengulas senyum tipis dan berucap, “Terima kasih, Arkan. Maaf merepotkanmu.”Arkan meraih mangkuk yang diletakkan di nakas dan mulai mengambil sesendok. Lantas, dengan sabar, dia mulai menyuapi Reva. Suasana menjadi hening ketika keduanya hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Reva yang melihat Arkan begitu sabar melayaninya, diam-diam dia mengulum senyum. Manik matanya menatap
Andine memasukkan makanan ke dalam kotak bekal dan melangkah keluar rumah. Hari ini dia berniat datang ke perusahaan sang suami. Pasalnya untuk sekian kali, Arkan tidak sarapan di rumah. Suaminya itu pulang pagi hanya untuk berganti pakaian dan setelahnya pergi. Jangankan sarapan, melihat menu yang ada di meja makan pun tidak. Andine merasa cemas dan khawatir, karena Arkan yang mulai tidak menjaga diri. Dia takut Arkan akan sakit, karena terlalu lelah bekerja. Meski beberapa hari ini Arkan tampak dingin, dan tidak memedulikannya, tetap saja Andine menjadikan Arkan sebagai prioritas utamanya. “Ibu mau kemana?” tanya Asep, sang sopir dengan wajah bingung.“Antar aku ke perusahaan Mas Arkan, Pak,” jawab Andine.Asep yang mendengar pun terdiam. Kali ini dia yang merasa ragu untuk mengikuti keinginan majikannya. Asep masih cukup ingat bagaimana Arkan memperilakukan Andine saat itu. Dia juga enggan mendapat amukan seperti beberapa hari yang lalu. Ya, dia mendapat amukan dari Arkan karena
Arkan menggeliat pelan saat merasakan tubuhnya yang begitu lelah. Kedua matanya membuka secara perlahan. Dia kembali menutup mata dan membuka, berusaha untuk menormalkan kembali pandangannya. Sampai dia menatap langit kamar yang tidak asing lagi baginya.Arkan menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia masih cukup ingat dengan apa yang dilakukannya kemarin malam. Dia tidak bisa mengontrol diri membuatnya kembali menyentuh Reva. “Selamat pagi,” sapa Reva yang baru membuka mata.Arkan tidak menjawab. Pria tampan itu memilih bangun dan duduk. Tubuhnya disandarkan dengan kepala ranjang. Reva yang melihat ketidaksukaan di wajah Arkan, langsung memperhatikan dalam.“Kamu kenapa, Arkan?” tanya Reva seraya menatap Arkan. “Kenapa semalam kamu tidak mencegahku, Reva?” Arkan malah balik bertanya. Nadanya pelan, dan terdengar bersalah. ‘Karena aku ingin mendapatkan dan memilikimu untukku seorang’. Itu yang ingin Reva katakan dalam hati, tetapi dia tidak melontarkannya.“Arkan, apa yang ter
Reva bersembunyi di balik dinding, melihat Dimas yang kini melangkah. Hatinya mulai merasakan penasaran luar biasa. Detik itu juga, yang dilakukannya mengikuti Dimas, mengawasi dari kejauhan agar Dimas tak melihat keberadaannya. Namun, seketika raut wajah Reva berubah melihat Dimas masuk ke dalam ruang dokter kandungan. Kening wanita itu mengerut dalam, penasaran dalam dirinya semakin menjadi, menimbulkan kebingungan yang melanda. “Kenapa Dimas ke dokter kandungan?” gumam Reva bingung. Beberapa menit Reva tetap memilih menunggu di balik dinding, dia ingin menunggu sampai Dimas keluar dari ruang dokter kandungan. Hatinya benar-benar menjadi penasaran. Jika Dimas mememui dokter umum, maka dia tidak akan mungkin sampai menunggu Dimas seperti ini. Tak selang lama, Reva melihat Dimas keluar dari ruang dokter. Buru-buru, dia semakin bersembunyi, agar tidak ketahuan Dimas. Dia tak mau sampai Dimas melihat dirinya. “Pak, kondisi Bu Andine sebenarnya kurang baik. Kandungannya lemah. Teka
Reva mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Kedua tangannya memegang kemudi dengan erat, membuat otot di tangannya tercetak dengan jelas. Emosinya juga meningkat saat tadi Arkan yang awalnya ingin istirahat di rumahnya, malah memilih untuk pergi, dan dia yakin besar kemungkinan Arkan pulang ke rumah bukan ke kantor. Reva masih menatap jalanan dengan tatapan dingin, dan tersirat memancarkan emosi yang berkobar di dalam diri. Sungguh, dia ingin sekali memberi tahu Andine, tentang hubungannya dengan Arkan, tetapi semua itu tidak akan bisa dia lakukan. Bukan karena takut, tapi karena dia tak ingin nanti menimbulkan sebuah masalah. Reva mengumpat dalam hati, dan berusaha untuk tetap berjuang menenangkan emosi di dalam dirinya. Wanita itu terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Emosi di dalam diri, membuatnya memilih untuk mengebut di jalanan. Namun tiba-tiba … Brakkkk … Reva menabrak trotoar di kala dirinya tak mampu mengendalikan kemudi. Dia langsung merutuki d
Arkan mengendarai mobil dengan sangat cepat. Pikirannya cukup kacau karena Andine mulai berani menentang dirinya. Padahal sebelumnya itu istrinya adalah sosok yang sangat penurut, dan tidak berani menentang dirinya. Namun entah kenapa sekarang istrinya mulai berani padanya. Hal paling tergila adalah Arkan mulai memikirkan Andine. Seharusnya dia tak peduli sama sekali pada Andine, tapi dia tak mengerti kenapa belakangan ini dia memikirkan tentang Andine. Bahkan di kala istrinya itu mendiaminya saja, dia sangat tidak suka. “Shit!” umpat Arkan seraya memukul setir mobilnya. Pria tampan itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, guna menangkan segala pikirannya yang kacau. Tiba-tiba sesuatu hal muncul dalam benak Arkan. Pria itu langsung memutar balik, dan kini menuju rumah Reva. Dia ingin mencoba menenangkan dirinya dengan bertemu dengan Reva. Dia harap setelah bertemu dengan Reva akan membuat emosi di dalam dirinya terkendali. Tak selang lama, mobil yang dilajukan Arkan mulai tiba
“Pemotretan hari ini selesai. Good job, Reva.” Sang fotografer memuji kinerja Reva. Dia tampak puas dengan hasil foto Reva berpose di kolam renang begitu menakjubkan. Tidak susah untuknya mengatur Reva. Reva tersenyum lega, seraya memakai bathrobe. “Coba aku lihat hasil fotoku. Aku ingin tahu bagaimana hasil foto-fotoku.” Sang fotografer itu langsung menunjukkan foto yang dia ambil pada Reva. “Ini hasilnya sangat bagus. Kamu memang berbakat menjadi seorang model, Reva,” pujinya dengan senyuman bangga. Reva kembali tersenyum, di kala melihat hasil foto-foto yang diambil fotografer tampak menakjubkan. “Tentu saja aku berbakat.” Sang fotografer menurunkan kameranya. “Ngomong-ngomong tadi aku lihat ada seorang pria yang terus melihatmu. Aku rasa dia mengenalmu.” Kening Reva mengerut dalam. “Seorang pria? Siapa?” tanyanya penasaran ingin tahu siapa yang menatapnya. Sang fotografer menunjuk punggung pria yang berjalan pergi menjauh. “Dia. Pria pakai kemeja biru itu terus lihat kamu. A
Andine membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Tangannya memegang koper dan menarik koper itu tanpa semangat. Entah kenapa dia merasakan tubuhnya masih terlalu lemah. Perutnya juga masih terasa mual. Padahal dia sudah meminum obat, tapi seperti tidak ada reaksinya sama sekali. Namun, meski demikian dia masih enggan jika harus diperiksa oleh dokter. Dia hanya ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah. Langkah kaki Andine terhenti tepat di kala dia hendak menuruni undakan tangga. Tampak jelas raut wajahnya memancarkan kemuraman dan rasa sedih yang menyelimuti dirinya. Dia menarik napas panjang, dan mengembuskan napas pelan—bersiap untuk menuruni undakan tangga sambil mengangkat koper. Namun … “Biar aku yang mengangkat kopermu.” Dimas tiba-tiba muncul, dan mengambil alih koper Andine. Andine sedikit terkejut sambil menatap Dimas yang membantunya. “Dimas? B-biar aku saja. Koperku berat.” Dimas tersenyum. “Karena kopermu berat, aku menawarkan diri untuk membantumu. Kamu kan seor
Andine menuruni satu per satu anak tangga dengan raut wajah muram, dan terlihat jelas menunjukkan perasaan yang ditutupinya. Pikirannya benar-benar kacau. Bahkan semala, dia tidak tidur dengan nyenyak, karena banyak hal yang membebani pikirannya. Andine kini menarik napas dalam dan membuang secara perlahan. Dia mencoba untuk tegang tenang dan bersikap biasa. Dia tidak mau ada yang curiga dengan kondisi hatinya sekarang. Apalagi dirinya masih berada di lingkungan keluarga sang suami. Saat Andine berada di lantai bawah, tatapannya teralih pada Melly yang bercanda dengan Reva. Seperti biasa memang ibu mertuanya itu sangat dekat dengan Reva. Sangat berbeda jauh jika mertuanya itu berada di dekatnya. Hati Andine mendadak merasakan nyeri luar biasa. Dia bukan hanya mendapatkan luka dari suaminya saja, tetapi ibu mertuanya juga memberikan luka padanya seakan dirinya memang benar-benar tidak dianggap. Meski selama ini dia sudah berusaha sangat baik, tetap saja dirinya selalu salah di mata
Arkan membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar. Tampak raut wajahnya tidak bersemangat, karena mengingat perkataann ayahnya padanya. Entah, dia merasakan kegelisahan yang membentang di dalam dirinya. Perkataan ayahnya seakan menusuknya hingga ke relung hati terdalam, dan membuatnya benar-benar tak berkutik. Saat Arkan sudah masuk ke dalam kamar, dia menatap ke arah Andine yang duduk melamun di sofa. Pria tampan itu yakin ada sesuatu hal yang menggangu pikiran Andine. Dia memutuskan melangkah mendekat ke arah Andine—yang tak menyadari kehadirannya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Arkan dengan nada dingin, kala tiba di depan Andine. Andine mengalihkan pandangannya, menatap Arkan yang berada di hadapannya. Dia terdiam sebentar, tak langsung menjawab apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Hatinya masih terasa sakit mengingat apa yang terjadi tadi. Kejadian suaminya lebih memilih menyelamatkan Reva, benar-benar membuat hatinya hancur. “Seperti yang kamu lihat, aku baik,” jawab Andi
Arkan membawa Reva ke tepi, bersamaan dengan Dimas yang membawa Andine ke tepi. Tampak Arkan bermaksud ingin menghampiri Andine, tetapi gerak Arkan terhenti di kala Reva menahan tangan pria itu. “Arkan dingin,” ucap Reva menggigil. Kedua kakinya ditekuk, merasa dingin di sekujur tubuh. Ini sudah malam dan udara di pegunungan cukup membuatnya menggigil.“Ya Tuhan, Reva! Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?” Melly buru-buru mendekat, dan memberikan handuk untuk Reva. Terlihat wanita paruh baya itu begitu mencemaskan keadaan Reva. Reva tersenyum. “Aku baik-baik aja, Tante. Makasih udah cemasin aku. Tante nggak usah khawatir. Arkan udah nolongin aku tepat waktu.”Melly mendesah panjang. “Iya, untung Arkan sigap nolong kamu, Reva.” Reva kembali tersenyum, merespon ucapan Melly. Andine hanya diam melihat interaksi Melly yang begitu peduli pada Reva. Bukan hanya Melly yang peduli pada Reva, tapi Arkan juga peduli. Bahkan dia ingat jelas suaminya lebih memilih menyelamatkan Reva daripada dir
“Aku sudah memperingatkanmu berulang kali untuk nggak dekat dengan Dimas, Andine. Tapi sepertinya kamu nggak peduli dengan laranganku. Kamu terus mendekati Dimas. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku terus menghukummu, Andine,” kata Arkan setelah selesai memakai kembali pakaiannya. Pria tampan itu sengaja memberikan hukuman pada Andine, karena istrinya itu tidak mematuhinya. Andine yang masih duduk di ranjang hanya diam. Manik matanya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Dia bahkan tidak menatap ke arah Arkan yang saat ini sedang menatapnya. Dia hanya memikirkan mengenai kondisinya yang mulai tidak baik-baik saja. Tubuhnya terasa lemah dengan kepala yang sedikit memberat.Namun, Arkan yang melihat hal itu malah berekspektasi lain. Dia menganggap kalau Andine masih membayangkan Dimas. Hal yang malah semakin membuat hatinya memanas. Dia meraih dagu Andine dan memaksa supaya wanita itu menatapnya.“Jangan pernah membuatku marah. Jangan menguji kesabaranku dengan terus abaikan dengan l