Hening. Arkan yang baru saja mendengar ucapan Reva langsung terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan. Dia bahkan tidak bereaksi apa pun. Ada hal yang mengganggu dalam pikirannya. Dia masih cukup meragukan apa yang baru saja diucapkan wanita di depannya.
Sementara Reva juga terdiam dan terus menatap Arkan lekat. Dia masih menunggu jawaban pria di depannya. Sesekali, dia membasahi bibir, mencoba menenangkan degup jantungnya. Hingga dia kembali menggenggam jemari Arkan, membuat pria itu tersentak. “Arkan, jujur, aku masih mencintaimu. Aku nggak bisa ngelupain kamu. Aku udah berkali-kali nyoba buat lupain kamu, tapi aku nggak bisa,” kata Reva dengan tulus, mengungkapkan semua isi hatinya. Arkan masih saja diam. Dia memperhatikan dalam, mencoba meyakini apa yang baru saja Reva katakan. Sayang, dia masih memiliki trauma tersendiri dengan hal tersebut. Harus dia akui, bahwa dia begitu mencintai Reva. Pertemuannya kali ini adalah hal luar biasa. Sebab, dia yang tidak pernah berpikir bisa bertemu lagi dengan sosok wanita yang sudah lama dia tak temui. Tidak hanya bertemu, tapi wanita itu telah mengungkapkan cinta padanya. Akan tetapi, apa Reva mengatakan yang sebenarnya? Hal itu yang ditakuti Arkan kali ini. Dia menjadikan Andine sebagai pelarian di saat Reva pergi. Sampai saat ini, dia tidak pernah mencintai Andine. Setiap berhubungan, Arkan hanya membayangkan Reva yang ada dalam dekapannya. “Arkan, kamu nggak memercayaiku?” tanya Reva karena tidak juga mendapat jawaban. Arkan yang sejak tadi mencoba menimang perasaannya langsung membuang napas lirih. “Bukan aku nggak memercayaimu, Reva. Tapi aku masih ragu dengan semuanya.” “Aku tahu aku salah, tapi aku serius mencintaimu, Arkan. Aku nggak ingin meninggalkanmu lagi. Selama ini aku benar-benar menyesal dan terus kepikiran mengenai kamu. Kamu tahu? Dalam satu tahun ini aku selalu membayangkan pertemuan dan kebersamaan kita lagi.” “Arkan, ayo kita lanjutkan rencana kita yang sempat tertunda,” lanjut Reva setelah Arkan tidak menjawabnya sama sekali. Wajahnya tampak memelas dengan sorot mata sendu. Arkan yang semakin merasa aneh, memilih menarik tangan dan menatap lekat. “Aku rasa, untuk sekarang aku tidak ingin membicarakan mengenai hal ini, Reva.” Reva kembali merasa canggung. Pasalnya dia adalah seorang wanita. Dia sudah merendahkan diri dan memohon di depan Arkan. Jujur, hatinya merasa sakit karena penolakan yang diberikan sang mantan kekasih, tetapi dia berusaha menarik kedua bibir yang membentuk senyum manis. Meski nyatanya hanya senyum canggung yang ada. “Maafkan aku, Reva. Aku nggak ingin membicarakan mengenai ini semua. Saat kamu meninggalkanku waktu itu, rasanya masih cukup membekas,” ucap Arkan dengan embusan napas panjang. “Maafkan aku mengenai itu, Arkan. Aku hanya ingin mengejar mimpiku menjadi seorang model dan aktris terkenal,” sahut Reva jujur. “Tapi kenapa kamu pergi begitu saja? Kenapa kamu nggak bilang apa pun sama aku?” tanya Arkan meminta sebuah penjelasan. “Aku ingin berusaha sendiri, Arkan. Aku nggak mau menyusahkanmu. Aku nggak mau dicap sebagai artis karena memiliki orang dalam. Aku mau semua orang tahu kemampuanku yang sebenarnya,” jelas Reva jujur. Lagi, Arkan kembali merasa ragu. Apa selama ini dia salah karena selalu membantu Reva. Namun, saat wanita itu pergi, dia bahkan masih menjadi karyawan bawahan dari ayahnya dan belum dipercayai mengurus sebuah perusahaan. Jadi, tidak mungkin dia akan membantu banyak, kan? “Arkan, mengenai—” “Aku rasa sebaiknya kita menjadi teman lagi saja, Reva,” sela Arkan dengan perasaan gugup. Reva yang mendengar terdiam. Dia menaikkan sebelah alis saat Arkan meneguk minuman. Dalam hati dia berkata, ‘Teman? Aku nggak mau, Arkan. Aku mau menjadi Nyonya di keluarga Adiguna.’ *** Arkan terdiam dengan raut wajah bingung. Dia merasa ada yang mengganjal dalam hatinya. Dia merasa tidak tenang karena terus memikirkan mengenai ucapan Reva. Dia teringat dengan jawaban yang diberikan. ‘Apa aku terlalu kasar? Apa aku salah? Tapi aku benar-benar takut kalau dia hanya mempermainkanku lagi.’ Arkan yang merasa pikirannya mulai penuh, memilih untuk membuang napas kasar. Kepalanya mendongak, menatap ke langit-langit rumah. Perlahan, kedua matanya tertutup, mencoba menenangkan perasaan yang tidak karuan. Sayangnya, belum berselang lama, pintu ruangan terbuka yang membuat Arkan harus membuka mata. Saat melihat siapa yang berdiri di depannya, Arkan langsung mendesah kasar. “Mas, aku buatkan kopi dan camilan buat kamu. Kamu kan nggak makan malam tadi. Aku takut kamu lapar,” ucap Andine sembari meletakkan sepiring bakwan dan kopi. Arkan tidak menjawab sama sekali. Wajahnya malah terlihat masam karena kedatangan sang istri. Apalagi melihat Andine yang sudah menggunakan pakaian tidur, membuat Arkan semakin enggan untuk melihat. Pikiran yang semula ingin ditenangkan, sekarang malah semakin tidak karuan. “Mas, kamu kenapa? Kamu capek? Mau aku pijitin?” tanya Andine perhatian seraya mnedekat. “Jangan kesini, Andine. Aku sedang nggak ingin diganggu! Kamu keluar saja!” usir Arkan tajam. Andine yang baru beberapa langkah langsung terhenti. Dia menatap ke arah sang suami. Senyum yang ada di bibirnya perlahan menghilang, berganti dengan senyum patah. “Mas, tapi aku—” “Aku sudah bilang sama kamu, kan? Jangan ke sini. Jangan coba mendekatiku, Andine. Lebih baik sekarang kamu pergi dan biarkan aku di sini,” sela Arkan dengan cepat. Andine masih tetap bergeming di tempatnya. Dia ingin membantu sang suami, tetapi Arkan melarang. Sekali saja, Andine ingin melayani sang suami supaya suaminya itu mencintainya. Dia ingin menunjukkan dia peduli dengan semua yang Arkan rasakan. Arkan kesal Andine tak kunjung pergi. Dengan kasar, dia bangkit dan mendorong kursinya menjauh. Wajahnya tampak dingin dengan sorot mata tajam. Tanpa perasaan sama sekali, dia meraih pergelangan tangan sang istri dan menarik kasar. “Mas, sakit,” ucap Andine sembari merintih kesakitan. Arkan tidak mendengarkan sama sekali. Dia memilih terus menarik Andine, tidak mendengarkan keluhan sang istri. Hingga dia yang sudah sampai pintu ruang kerja—dia mengeluarkan Andine dengan kasar. “Mas, kamu kenapa?” tanya Andine dengan air mata yang sudah menggenang. Dia merasa sakit atas perlakuan sang suami padanya. “Aku sudah mengatakan denganmu, Andine. Aku nggak ingin diganggu siapapun termasuk kamu. Jangan pernah masuk ke sini lagi tanpa seizinku,” ucap Arkan dengan penuh penekanan. Dia langsung menutup pintu dengan kasar. Brak. Andine tersentak kaget. Saat itu juga, air matanya mengalir. Tubuhnya terasa lemah, tetapi dengan cepat Andine menghapus. Dia tidak ingin Arkan menganggapnya cengeng dan lemah. “Jangan menangis, Andine. Arkan melakukan ini bukan sengaja. Dia pasti sedang ada masalah di kantor,” ucap Andine, mencoba menenangkan diri sendiri akibat perilaku kejam dari sang suami padanya.Andine memasuki kamar dan menatap ke arah sang suami yang sedang mengenakan kemeja. Kedua sudut bibirnya langsung tersenyum, membentuk senyum manis dan melangkah mendekat. Dia masih mengamati Arkan yang terus merapikan baju. “Aku bantu, Mas,” kata Andine dengan senyum semeringah. Dia langsung memegang dasi yang tergantung di leher sang suami dan siap mengenakannya.Arkan melangkah mundur. Manik matanya menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaannya dengan apa yang Andine lakukan. Entah kenapa, dia merasa begitu kesal setiap kali Andine mendekat ke arahnya. Padahal istrinya selalu melakukan yang terbaik dan dia tahu itu. “Aku bisa sendiri,” ucap Arkan dengan dingin. Dia pun langsung menatap kaca dan merapikan pakaiannya.Hening. Andine yang mendengar pun hanya diam. Mulutnya langsung tertutup rapat dengan senyum yang terasa canggung. Hatinya benar-benar merasa sakit setiap kali mendapat penolakan dari sang suami. Padahal awalnya dia pikir dengan perhatian yang diberikan, Arkan menjadi l
“Bagaimana hasilnya?” Andine yang sejak tadi memandangi kertas di tangannya mendongakkan kepala. Wanita itu menggigit bibir, merasa ragu untuk mengatakan dengan pria yang ada di hadapannya. Jemarinya bahkan menggenggam erat kertas itu dan berulang kali menelan saliva kasar. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata dan siap ditumpahkan. Dia yakin, pria yang sudah satu tahun menikah dengannya akan kembali kecewa. “Negatif lagi?” balas Arkan, sang suami dengan nada dingin. Andine mengangguk, dengan raut wajah muram sebagai jawaban atas pertanyaan suaminya itu. “Sebenarnya kamu itu bisa punya anak apa nggak sih, Andine? Sudah bertahun-tahun kita menikah, tapi kamu nggak juga mengandung,” kata Arkan dengan tatapan sinis dan melempar hasil pemeriksaan yang baru saja diberikan Andine. Jelas hal itu membuat Andine meneteskan air mata. Wanita itu merasakan sesak di dada, tapi dia berusaha keras untuk menguatkan dirinya. “Mas, aku tuh bisa hamil. Cuma kita harus sabar
Hening. Andine hanya diam, duduk di ayunan yang terdapat di taman bunga sebelah rumah. Manik matanya tampak kosong dengan raut wajah tidak bersemangat. Pasalnya sejak menikah, Andine merasa sikap Arkan tidak pernah sedikit pun manis padanya.Arkan tidak pernah peduli dengannya. Ke rumah sakit saja dia pergi sendirian. Padahal untuk saat ini dia benar-benar membutuhkan sandaran untuk menguatkan hatinya. Kali ini, dia merasa Arkan tidak pernah mencintainya. Namun, beberapa detik kemudian, Andine menggelengkan kepala. Dia yakin, Arkan bukannya tidak mencintai dirinya. Suaminya itu hanya terlalu sibuk karena sepengetahuannya, Arkan baru akan mengeluarkan sebuah produk baru di perusahaannya. Andine kembali memaklumi sikap yang ada di diri sang suami yang terlalu fokus dengan pekerjaan. Sebelum menikah, Andine diberi tahu mengenai Arkan yang suka sekali menyibukkan diri. Suara mobil mulai terdengar memasuki pelataran rumah, membuat Andine langsung mengalihkan pandangan.
“Apa kabar, Arkan? Lama nggak ketemu.” Arkan yang sejak tadi diam, tersentak mendengar suara yang sudah lama tak dia dengar. Manik matanya menatap ke arah wanita yang ada di hadapannya. Rambut lurus panjang. Bibirnya tampak seksi dengan lipstik merah yang membuatnya semakin memesona. Riasan make up tidak terlalu tebal, tapi tetap sangat cantik. Hal yang membuat Arkan hanya ingin menikmati keindahan yang ada di hadapannya. Arkan mengembuskan napas panjang, berusaha mengatur perasaan dalam dirinya. Dia ingin menyangkal sosok yang dia lihat ini, tapi semua itu tidak mungkin. Apa yang dia lihat ini nyata, tidak salah sama sekali. “Jadi, kamu yang menjadi model di sini?” balas Arkan, tak mengindahkan pertanyaan wanita bernama Reva. Reva mengangguk, dan mengulaskan senyuman terbaiknya. “Aku senang kita bertemu lagi, Arkan.” Hening. Suasana kembali sunyi saat keduanya mulai diam dan tidak membuka percakapan sama sekali. Keduanya juga tampak canggung karena sudah lama tidak bertemu. Arka
Andine memasuki kamar dan menatap ke arah sang suami yang sedang mengenakan kemeja. Kedua sudut bibirnya langsung tersenyum, membentuk senyum manis dan melangkah mendekat. Dia masih mengamati Arkan yang terus merapikan baju. “Aku bantu, Mas,” kata Andine dengan senyum semeringah. Dia langsung memegang dasi yang tergantung di leher sang suami dan siap mengenakannya.Arkan melangkah mundur. Manik matanya menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaannya dengan apa yang Andine lakukan. Entah kenapa, dia merasa begitu kesal setiap kali Andine mendekat ke arahnya. Padahal istrinya selalu melakukan yang terbaik dan dia tahu itu. “Aku bisa sendiri,” ucap Arkan dengan dingin. Dia pun langsung menatap kaca dan merapikan pakaiannya.Hening. Andine yang mendengar pun hanya diam. Mulutnya langsung tertutup rapat dengan senyum yang terasa canggung. Hatinya benar-benar merasa sakit setiap kali mendapat penolakan dari sang suami. Padahal awalnya dia pikir dengan perhatian yang diberikan, Arkan menjadi l
Hening. Arkan yang baru saja mendengar ucapan Reva langsung terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan. Dia bahkan tidak bereaksi apa pun. Ada hal yang mengganggu dalam pikirannya. Dia masih cukup meragukan apa yang baru saja diucapkan wanita di depannya.Sementara Reva juga terdiam dan terus menatap Arkan lekat. Dia masih menunggu jawaban pria di depannya. Sesekali, dia membasahi bibir, mencoba menenangkan degup jantungnya. Hingga dia kembali menggenggam jemari Arkan, membuat pria itu tersentak.“Arkan, jujur, aku masih mencintaimu. Aku nggak bisa ngelupain kamu. Aku udah berkali-kali nyoba buat lupain kamu, tapi aku nggak bisa,” kata Reva dengan tulus, mengungkapkan semua isi hatinya. Arkan masih saja diam. Dia memperhatikan dalam, mencoba meyakini apa yang baru saja Reva katakan. Sayang, dia masih memiliki trauma tersendiri dengan hal tersebut. Harus dia akui, bahwa dia begitu mencintai Reva. Pertemuannya kali ini adalah hal luar biasa. Sebab, dia yang tidak perna
“Apa kabar, Arkan? Lama nggak ketemu.” Arkan yang sejak tadi diam, tersentak mendengar suara yang sudah lama tak dia dengar. Manik matanya menatap ke arah wanita yang ada di hadapannya. Rambut lurus panjang. Bibirnya tampak seksi dengan lipstik merah yang membuatnya semakin memesona. Riasan make up tidak terlalu tebal, tapi tetap sangat cantik. Hal yang membuat Arkan hanya ingin menikmati keindahan yang ada di hadapannya. Arkan mengembuskan napas panjang, berusaha mengatur perasaan dalam dirinya. Dia ingin menyangkal sosok yang dia lihat ini, tapi semua itu tidak mungkin. Apa yang dia lihat ini nyata, tidak salah sama sekali. “Jadi, kamu yang menjadi model di sini?” balas Arkan, tak mengindahkan pertanyaan wanita bernama Reva. Reva mengangguk, dan mengulaskan senyuman terbaiknya. “Aku senang kita bertemu lagi, Arkan.” Hening. Suasana kembali sunyi saat keduanya mulai diam dan tidak membuka percakapan sama sekali. Keduanya juga tampak canggung karena sudah lama tidak bertemu. Arka
Hening. Andine hanya diam, duduk di ayunan yang terdapat di taman bunga sebelah rumah. Manik matanya tampak kosong dengan raut wajah tidak bersemangat. Pasalnya sejak menikah, Andine merasa sikap Arkan tidak pernah sedikit pun manis padanya.Arkan tidak pernah peduli dengannya. Ke rumah sakit saja dia pergi sendirian. Padahal untuk saat ini dia benar-benar membutuhkan sandaran untuk menguatkan hatinya. Kali ini, dia merasa Arkan tidak pernah mencintainya. Namun, beberapa detik kemudian, Andine menggelengkan kepala. Dia yakin, Arkan bukannya tidak mencintai dirinya. Suaminya itu hanya terlalu sibuk karena sepengetahuannya, Arkan baru akan mengeluarkan sebuah produk baru di perusahaannya. Andine kembali memaklumi sikap yang ada di diri sang suami yang terlalu fokus dengan pekerjaan. Sebelum menikah, Andine diberi tahu mengenai Arkan yang suka sekali menyibukkan diri. Suara mobil mulai terdengar memasuki pelataran rumah, membuat Andine langsung mengalihkan pandangan.
“Bagaimana hasilnya?” Andine yang sejak tadi memandangi kertas di tangannya mendongakkan kepala. Wanita itu menggigit bibir, merasa ragu untuk mengatakan dengan pria yang ada di hadapannya. Jemarinya bahkan menggenggam erat kertas itu dan berulang kali menelan saliva kasar. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata dan siap ditumpahkan. Dia yakin, pria yang sudah satu tahun menikah dengannya akan kembali kecewa. “Negatif lagi?” balas Arkan, sang suami dengan nada dingin. Andine mengangguk, dengan raut wajah muram sebagai jawaban atas pertanyaan suaminya itu. “Sebenarnya kamu itu bisa punya anak apa nggak sih, Andine? Sudah bertahun-tahun kita menikah, tapi kamu nggak juga mengandung,” kata Arkan dengan tatapan sinis dan melempar hasil pemeriksaan yang baru saja diberikan Andine. Jelas hal itu membuat Andine meneteskan air mata. Wanita itu merasakan sesak di dada, tapi dia berusaha keras untuk menguatkan dirinya. “Mas, aku tuh bisa hamil. Cuma kita harus sabar