Hening. Arkan yang baru saja mendengar ucapan Reva langsung terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan. Dia bahkan tidak bereaksi apa pun. Ada hal yang mengganggu dalam pikirannya. Dia masih cukup meragukan apa yang baru saja diucapkan wanita di depannya.
Sementara Reva juga terdiam dan terus menatap Arkan lekat. Dia masih menunggu jawaban pria di depannya. Sesekali, dia membasahi bibir, mencoba menenangkan degup jantungnya. Hingga dia kembali menggenggam jemari Arkan, membuat pria itu tersentak. “Arkan, jujur, aku masih mencintaimu. Aku nggak bisa ngelupain kamu. Aku udah berkali-kali nyoba buat lupain kamu, tapi aku nggak bisa,” kata Reva dengan tulus, mengungkapkan semua isi hatinya. Arkan masih saja diam. Dia memperhatikan dalam, mencoba meyakini apa yang baru saja Reva katakan. Sayang, dia masih memiliki trauma tersendiri dengan hal tersebut. Harus dia akui, bahwa dia begitu mencintai Reva. Pertemuannya kali ini adalah hal luar biasa. Sebab, dia yang tidak pernah berpikir bisa bertemu lagi dengan sosok wanita yang sudah lama dia tak temui. Tidak hanya bertemu, tapi wanita itu telah mengungkapkan cinta padanya. Akan tetapi, apa Reva mengatakan yang sebenarnya? Hal itu yang ditakuti Arkan kali ini. Dia menjadikan Andine sebagai pelarian di saat Reva pergi. Sampai saat ini, dia tidak pernah mencintai Andine. Setiap berhubungan, Arkan hanya membayangkan Reva yang ada dalam dekapannya. “Arkan, kamu nggak memercayaiku?” tanya Reva karena tidak juga mendapat jawaban. Arkan yang sejak tadi mencoba menimang perasaannya langsung membuang napas lirih. “Bukan aku nggak memercayaimu, Reva. Tapi aku masih ragu dengan semuanya.” “Aku tahu aku salah, tapi aku serius mencintaimu, Arkan. Aku nggak ingin meninggalkanmu lagi. Selama ini aku benar-benar menyesal dan terus kepikiran mengenai kamu. Kamu tahu? Dalam satu tahun ini aku selalu membayangkan pertemuan dan kebersamaan kita lagi.” “Arkan, ayo kita lanjutkan rencana kita yang sempat tertunda,” lanjut Reva setelah Arkan tidak menjawabnya sama sekali. Wajahnya tampak memelas dengan sorot mata sendu. Arkan yang semakin merasa aneh, memilih menarik tangan dan menatap lekat. “Aku rasa, untuk sekarang aku tidak ingin membicarakan mengenai hal ini, Reva.” Reva kembali merasa canggung. Pasalnya dia adalah seorang wanita. Dia sudah merendahkan diri dan memohon di depan Arkan. Jujur, hatinya merasa sakit karena penolakan yang diberikan sang mantan kekasih, tetapi dia berusaha menarik kedua bibir yang membentuk senyum manis. Meski nyatanya hanya senyum canggung yang ada. “Maafkan aku, Reva. Aku nggak ingin membicarakan mengenai ini semua. Saat kamu meninggalkanku waktu itu, rasanya masih cukup membekas,” ucap Arkan dengan embusan napas panjang. “Maafkan aku mengenai itu, Arkan. Aku hanya ingin mengejar mimpiku menjadi seorang model dan aktris terkenal,” sahut Reva jujur. “Tapi kenapa kamu pergi begitu saja? Kenapa kamu nggak bilang apa pun sama aku?” tanya Arkan meminta sebuah penjelasan. “Aku ingin berusaha sendiri, Arkan. Aku nggak mau menyusahkanmu. Aku nggak mau dicap sebagai artis karena memiliki orang dalam. Aku mau semua orang tahu kemampuanku yang sebenarnya,” jelas Reva jujur. Lagi, Arkan kembali merasa ragu. Apa selama ini dia salah karena selalu membantu Reva. Namun, saat wanita itu pergi, dia bahkan masih menjadi karyawan bawahan dari ayahnya dan belum dipercayai mengurus sebuah perusahaan. Jadi, tidak mungkin dia akan membantu banyak, kan? “Arkan, mengenai—” “Aku rasa sebaiknya kita menjadi teman lagi saja, Reva,” sela Arkan dengan perasaan gugup. Reva yang mendengar terdiam. Dia menaikkan sebelah alis saat Arkan meneguk minuman. Dalam hati dia berkata, ‘Teman? Aku nggak mau, Arkan. Aku mau menjadi Nyonya di keluarga Adiguna.’ *** Arkan terdiam dengan raut wajah bingung. Dia merasa ada yang mengganjal dalam hatinya. Dia merasa tidak tenang karena terus memikirkan mengenai ucapan Reva. Dia teringat dengan jawaban yang diberikan. ‘Apa aku terlalu kasar? Apa aku salah? Tapi aku benar-benar takut kalau dia hanya mempermainkanku lagi.’ Arkan yang merasa pikirannya mulai penuh, memilih untuk membuang napas kasar. Kepalanya mendongak, menatap ke langit-langit rumah. Perlahan, kedua matanya tertutup, mencoba menenangkan perasaan yang tidak karuan. Sayangnya, belum berselang lama, pintu ruangan terbuka yang membuat Arkan harus membuka mata. Saat melihat siapa yang berdiri di depannya, Arkan langsung mendesah kasar. “Mas, aku buatkan kopi dan camilan buat kamu. Kamu kan nggak makan malam tadi. Aku takut kamu lapar,” ucap Andine sembari meletakkan sepiring bakwan dan kopi. Arkan tidak menjawab sama sekali. Wajahnya malah terlihat masam karena kedatangan sang istri. Apalagi melihat Andine yang sudah menggunakan pakaian tidur, membuat Arkan semakin enggan untuk melihat. Pikiran yang semula ingin ditenangkan, sekarang malah semakin tidak karuan. “Mas, kamu kenapa? Kamu capek? Mau aku pijitin?” tanya Andine perhatian seraya mnedekat. “Jangan kesini, Andine. Aku sedang nggak ingin diganggu! Kamu keluar saja!” usir Arkan tajam. Andine yang baru beberapa langkah langsung terhenti. Dia menatap ke arah sang suami. Senyum yang ada di bibirnya perlahan menghilang, berganti dengan senyum patah. “Mas, tapi aku—” “Aku sudah bilang sama kamu, kan? Jangan ke sini. Jangan coba mendekatiku, Andine. Lebih baik sekarang kamu pergi dan biarkan aku di sini,” sela Arkan dengan cepat. Andine masih tetap bergeming di tempatnya. Dia ingin membantu sang suami, tetapi Arkan melarang. Sekali saja, Andine ingin melayani sang suami supaya suaminya itu mencintainya. Dia ingin menunjukkan dia peduli dengan semua yang Arkan rasakan. Arkan kesal Andine tak kunjung pergi. Dengan kasar, dia bangkit dan mendorong kursinya menjauh. Wajahnya tampak dingin dengan sorot mata tajam. Tanpa perasaan sama sekali, dia meraih pergelangan tangan sang istri dan menarik kasar. “Mas, sakit,” ucap Andine sembari merintih kesakitan. Arkan tidak mendengarkan sama sekali. Dia memilih terus menarik Andine, tidak mendengarkan keluhan sang istri. Hingga dia yang sudah sampai pintu ruang kerja—dia mengeluarkan Andine dengan kasar. “Mas, kamu kenapa?” tanya Andine dengan air mata yang sudah menggenang. Dia merasa sakit atas perlakuan sang suami padanya. “Aku sudah mengatakan denganmu, Andine. Aku nggak ingin diganggu siapapun termasuk kamu. Jangan pernah masuk ke sini lagi tanpa seizinku,” ucap Arkan dengan penuh penekanan. Dia langsung menutup pintu dengan kasar. Brak. Andine tersentak kaget. Saat itu juga, air matanya mengalir. Tubuhnya terasa lemah, tetapi dengan cepat Andine menghapus. Dia tidak ingin Arkan menganggapnya cengeng dan lemah. “Jangan menangis, Andine. Arkan melakukan ini bukan sengaja. Dia pasti sedang ada masalah di kantor,” ucap Andine, mencoba menenangkan diri sendiri akibat perilaku kejam dari sang suami padanya.Andine memasuki kamar dan menatap ke arah sang suami yang sedang mengenakan kemeja. Kedua sudut bibirnya langsung tersenyum, membentuk senyum manis dan melangkah mendekat. Dia masih mengamati Arkan yang terus merapikan baju. “Aku bantu, Mas,” kata Andine dengan senyum semeringah. Dia langsung memegang dasi yang tergantung di leher sang suami dan siap mengenakannya.Arkan melangkah mundur. Manik matanya menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaannya dengan apa yang Andine lakukan. Entah kenapa, dia merasa begitu kesal setiap kali Andine mendekat ke arahnya. Padahal istrinya selalu melakukan yang terbaik dan dia tahu itu. “Aku bisa sendiri,” ucap Arkan dengan dingin. Dia pun langsung menatap kaca dan merapikan pakaiannya.Hening. Andine yang mendengar pun hanya diam. Mulutnya langsung tertutup rapat dengan senyum yang terasa canggung. Hatinya benar-benar merasa sakit setiap kali mendapat penolakan dari sang suami. Padahal awalnya dia pikir dengan perhatian yang diberikan, Arkan menjadi l
“Kamu sudah cek semua jadwal hari ini, Dew?” tanya Arkan, tanpa menoleh pada karyawannya. Tatapannya fokus pada pekerjaannya yang hari itu cukup banyak. Dewi yang merupakan sekretaris Arkan langsung menjawab, “Sudah, Pak. Semua rapat hari ini sudah selesai.”Arkan yang mendengar, hanya bergumam pelan. Dia kembali tenggelam dalam tumpukan dokumen yang harus diperiksanya. Hari ini banyak sekali rapat yang harus diselesaikan, membuatnya benar-benar sibuk. Ketukan pintu terdengar. Arkan langsung menyuruh seseorang di luar untuk masuk. Saat pintu terbuka, dia dibuat terkejut akan sosok yang baru saja muncul. “Aku boleh masuk, kan?” Arkan yang melihat Reva dengan penampilan seksi hanya diam dan menganggukkan kepala. Jelas Reva yang melihat menjadi bahagia. Dengan langkah anggun, wanita itu mendekat ke arah Arkan berada. Manik matanya tidak beralih sama sekali, memperhatikan setiap gerak pria tersebut. Hingga dia duduk di depan Arkan dan mengulas senyum lebar.“Kenapa kamu masih di sini,
Arkan menggeliat pelan, merasakan tubuh yang terasa kaku. Kedua matanya perlahan terbuka, menatap langit kamar. Keningnya mulai berkerut dalam, merasa aneh karena langit kamar yang berbeda. Aroma di dalam ruangan itu cukup berbeda, membuatnya mulai meneliti setiap ruangan. Hingga saat dia melihat seseorang yang berada di sampingnya, membuat Arkan terkejut luar biasa. “Reva?” Arkan langsung bangkit berdiri. Namun, kepala Arkan terasa berat. Dia menutup mata kembali, mencoba menghilangkan denyutan di kepalanya. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam ingatannya, membuat Arkan mengingat satu per satu memori semalam.“Arkan …” Arkan semakin mencumbu tubuh Reva. Tangannya melepas satu per satu pakaiannya, membuat tubuh bagian atasnya tidak berbusana. Reva yang melihat hal itu pun membalas dengan hal yang sama.Lama keduanya saling bercumbu, mencoba membalas setiap kecupan yang ada. Arkan yang mulia tidak tahan langsung membopong tubuh Reva ke dalam kamar dan meletakkan dengan lembut. T
“Mas, sarapan dulu,” panggil Andine ketika melihat Arkan yang menuruni anak tangga. Namun, Arkan tidak menjawabnya sama sekali. Pria tampan itu masih terus melangkah, menuruni satu per satu anak tangga dengan tangan sibuk merapikan pakaian. Rambutnya bahkan masih terlihat basah, menandakan Arkan tidak sempat mengeringkan kepala. “Mas,” panggil Andine kembali. Wanita itu melangkah lebar, menyamakan langkahnya dengan langkah sang suami. Meski dia harus setengah berlari—sampai dia yang sudah berada di dekat Arkan meraih pergelangan tangan sang suami, membuat langkah suaminya itu terpaksa berhenti.“Ada apa, Andine?” tanya Arkan dengan tatapan lekat.“Mas, kamu belum sarapan. Ayo sarapan dulu,” ajak Andine yang tak ingin sang suami lupa sarapan. Arkan menyingkirkan tangan sang istri dan berkata, “Aku buru-buru. Aku bisa sarapan di kantor.”“Tapi tadi malam kamu nggak pulang, Mas. Kamu juga pasti belum makan, kan? Sekarang kita makan dulu, ya. Aku udah masak kentang balado kesukaan Mas A
Arkan menekan bel dengan raut wajah cemas. Beberapa menit yang lalu, dia harus meninggalkan rumah karena mendengar kabar Reva yang sakit. Melalui panggilan telepon wanita itu terdengar kesakitan dan Arkan menjadi tidak tega sama sekali. Dia bahkan rela meninggalkan sang istri yang saat ini juga sedang demam.Namun, Arkan memiliki pertimbangannya sendiri. Di rumah, Andine banyak yang mengurus. Ada sopir dan pelayan yang akan menjaga. Sementara Reva hanya seorang diri. Hal tersebut yang membuat Arkan lebih memilih menjaga Reva daripada Andine. Tak selang lama, terdengar pintu dibuka, membuat Arkan melirik ke dalam.“Arkan, akhirnya kamu datang juga,” ucap Reva dengan wajah penuh kelegaan, melihat yang datang adalah Arkan. Arkan segera masuk dan memegang tangan Reva. Dia takut wanita itu akan terjatuh. Meski dia tidak melihat wajah pucat, tetapi dia melihat beberapa kali Reva mengaduh dengan tangan memegang perut. Hal yang membuat Arkan yakin Reva sedang tidak baik-baik saja.“Apa yan
Arkan membuka kamar secara perlahan. Sebelah tangannya memegang nampan berisi mangkuk dan air hangat. Kakinya segera melangkah ke arah ranjang, tempat di mana Reva berada. Di sana, wanita itu masih berbaring dengan raut wajah memelas, seakan tak memiliki energy. “Aku sudah buatkan bubur untuk kamu,” ucap Arkan lembut. Reva yang mendengar, mulai bangkit secara perlahan. Sebelah tangannya memegang perut, membuat Arkan tidak tega sama sekali. Arkan menolong Reva, membantunya untuk bangkit. Dengan sigap, tangannya meraih bantal dan meletakkan di belakang tubuh Reva.“Pelan-pelan,” kata Arkan mengingatkan.Reva mengulas senyum tipis dan berucap, “Terima kasih, Arkan. Maaf merepotkanmu.”Arkan meraih mangkuk yang diletakkan di nakas dan mulai mengambil sesendok. Lantas, dengan sabar, dia mulai menyuapi Reva. Suasana menjadi hening ketika keduanya hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Reva yang melihat Arkan begitu sabar melayaninya, diam-diam dia mengulum senyum. Manik matanya menatap
Andine memasukkan makanan ke dalam kotak bekal dan melangkah keluar rumah. Hari ini dia berniat datang ke perusahaan sang suami. Pasalnya untuk sekian kali, Arkan tidak sarapan di rumah. Suaminya itu pulang pagi hanya untuk berganti pakaian dan setelahnya pergi. Jangankan sarapan, melihat menu yang ada di meja makan pun tidak. Andine merasa cemas dan khawatir, karena Arkan yang mulai tidak menjaga diri. Dia takut Arkan akan sakit, karena terlalu lelah bekerja. Meski beberapa hari ini Arkan tampak dingin, dan tidak memedulikannya, tetap saja Andine menjadikan Arkan sebagai prioritas utamanya. “Ibu mau kemana?” tanya Asep, sang sopir dengan wajah bingung.“Antar aku ke perusahaan Mas Arkan, Pak,” jawab Andine.Asep yang mendengar pun terdiam. Kali ini dia yang merasa ragu untuk mengikuti keinginan majikannya. Asep masih cukup ingat bagaimana Arkan memperilakukan Andine saat itu. Dia juga enggan mendapat amukan seperti beberapa hari yang lalu. Ya, dia mendapat amukan dari Arkan karena
Arkan menggeliat pelan saat merasakan tubuhnya yang begitu lelah. Kedua matanya membuka secara perlahan. Dia kembali menutup mata dan membuka, berusaha untuk menormalkan kembali pandangannya. Sampai dia menatap langit kamar yang tidak asing lagi baginya.Arkan menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia masih cukup ingat dengan apa yang dilakukannya kemarin malam. Dia tidak bisa mengontrol diri membuatnya kembali menyentuh Reva. “Selamat pagi,” sapa Reva yang baru membuka mata.Arkan tidak menjawab. Pria tampan itu memilih bangun dan duduk. Tubuhnya disandarkan dengan kepala ranjang. Reva yang melihat ketidaksukaan di wajah Arkan, langsung memperhatikan dalam.“Kamu kenapa, Arkan?” tanya Reva seraya menatap Arkan. “Kenapa semalam kamu tidak mencegahku, Reva?” Arkan malah balik bertanya. Nadanya pelan, dan terdengar bersalah. ‘Karena aku ingin mendapatkan dan memilikimu untukku seorang’. Itu yang ingin Reva katakan dalam hati, tetapi dia tidak melontarkannya.“Arkan, apa yang ter
“Aku saja yang antar kamu ke kantorku, Andine,” kata Dimas saat Andine selesai memasak. Pria tampan itu menawarkan diri untuk mengantarkan Andine ke kantornya. Dia tak tega jika Andine sendiri. “Dimas, aku ke kantormu kan sama Asep,” jawab Andine lagi. “Aku nggak mau repotin kamu, Dimas. Hari ini kamu udah banyak bantuin aku.” “Asep bukannya tadi pergi?” “Eh, iya, Asep pergi. Aku sampai lupa.” “Nah, ya udah, aku ante raja. Biar aku bantuin kamu juga pas nata makanan.” “Tapi—” “Ayolah, Andine. Kita kan teman, kenapa kamu ngerasa nggak enak? Aku cuman pengen anter kamu dan bantuin kamu aja kok.” Andine terdiam mendengar ucapan Dimas. Sebenarnya, wanita cantik itu merasa tidak enak terus menerus merepotkan Dimas. Namun, dia juga akan kerepotkan jika hanya pergi sendirian. Apalagi Asep sedang tidak ada. Detik selanjutnya, Andine mengangguk merespon ucapan Dimas. Dimas tersenyum, dia mulai mengambil satu per satu kardus berisi kotak makan dan memasukkan ke dalam mobil. Dia mengaba
Andine dan Dimas duduk di sofa dengan kepala menatap langit rumah. Keduanya tampak lelah karena dari pagi sudah berbelanja. Ditambah keduanya mengangkat belanjaan sendiri setelah sampai rumah, karena Asep yang sedang keluar. “Terima kasih banyak karena sudah membantuku, Dimas,” ucap Andine lembut, dan tulus. “Dari tadi kamu bilang terima kasih. Kalau dihitung-hitung mungkin udah ratusan kali kamu bilang terima kasih,” jawab Dimas dengan senyuman di wajahnya. “Dimas, kamu udah banyak bantu aku, jadi wajar aku bilang terima kasih. Ah, ya gara-gara aku, kamu sampai belum berangkat kerja. Jujur, aku jadi nggak enak.” “Hari ini aku memang nggak ke kantor, Andine. Jadi, kamu nggak perlu merasa bersalah.” “Kamu nggak ke kantor?” Andine tampak terkejut. Dimas mengangguk. “Ya, aku nggak ke kantor. Aku urus pekerjaan dari rumah aja.” Andine tersenyum menanggapi ucapan Dimas. Jujur dalam hati dia ingin sekali Arkan libur bekerja meluangkan waktu untuknya mengajaknya jalan. Namun, itu adal
Bibir Andine mengulas senyum manis, merasa lega karena dia sudah mendapatkan semua yang diperlukan. Setelah ini, dia tinggal memasak dan mengantarkan ke kantor Dimas. Membayangkan makanan yang akan dibuatnya hari ini, membuatnya benar-benar senang. “Andine, semua bahan-bahan yang diperlukan sudah kamu beli?” Dimas hangat pada Andine. “Sudah semua, Dimas. Ini juga udah buat dua hari,” jawab Andine sambil memeriksa bahan-bahan yang dia perlukan. Dimas menganggukkan kepala beberapa kali. Pria tampan itu tidak menyangka kalau membantu berbelanja di pasar akan lelah seperti ini. Keringatnya bahkan mulai bercucuran. Selain karena panas, dia juga lelah karena terus berjalan dan membawakan belanjaan Andine. Hal yang serupa pun terjadi dengan Arkan—yang sampai melepas jas akibat panas. Andine yang melihat sang suami berkeringat, dia mendekat ke arah sang suami dan berkata, “Terima kasih karena sudah mau membantuku, Mas.” Andine mengeluarkan tisu, menyeka keringat sang suami. Tampak Arkan
Andine terdiam, raut wajahnya menunjukkan tanda-tanda pemikiran yang mendalam. Kenangan tentang Reva yang datang malam sebelumnya, mengantarkan makanan dengan senyum hangat dan perhatian yang tulus, terus berputar dalam benaknya. Wanita itu tidak bisa mengabaikan betapa Reva tampak begitu peduli pada suaminya. Setiap kata yang diucapkan Reva, setiap tatapan yang diberikan, seolah mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.Kecurigaan mulai merayap masuk ke dalam pikirannya. Andine merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apakah mungkin Reva menaruh perasaan pada Arkan? Pikiran itu membuat hatinya bergetar, menciptakan gelombang kecemasan yang sulit untuk diabaikan. Dia tidak ingin menjadi wanita yang cemburu, tetapi perasaan itu muncul begitu saja, tak terduga.“Apakah aku terlalu paranoid?” Andine bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati yang bergejolak. Namun, semakin dia berpikir, semakin kuat kecurigaannya. Dia tidak ingin kehilangan Arkan, dan bayanga
Andine sibuk membuat makanan di dapur. Sejak pulang tadi, dia tidak beristirahat sama sekali. Dia takut kalau sang suami akan kelaparan, jadi dia langsung menyiapkan hidangan makan malam. Dia bahkan tidak peduli dengan tubuh yang kelelahan karena sejak tadi sibuk mengerjakan catering dari Dimas. Tak selang lama, Andine selesai membuatkan makanan. Dia segera meletakkan semua masakannya ke meja makan. Hari ini Andine hanya memasak tumis kangkung, ikan bakar, ayam goreng, dan sambal. Tidak terlalu banyak menu, tetapi Andine berharap masakannya bisa membuat sang suami bahagia.Andine mendongakkan kepala, menatap ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Dia melangkah ke arah kamar, memanggil sang suami untuk makan malam bersama. Hari ini Arkan pulang lebih awal menandakan suaminya itu belum makan malam. “Mas, ayo makan malam,” ajak Andine lembut, mengajak sang suami untuk makan bersama. Arkan yang sejak tadi sibuk dengan ponsel, melirik ke arah Andine. Di sana sang istri tersenyum manis
Arkan duduk di kursi kerjanya, tatapannya kosong menatap layar MacBook-nya yang tidak menyala. Pikiran-pikirannya melayang kembali ke kejadian bodoh yang terjadi malam sebelumnya. Dia menyesali tindakannya yang tidak bisa mengendalikan diri, yang membuatnya terjebak dalam situasi yang rumit. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya, seolah-olah ada beban berat yang tak bisa dia lepaskan.Tadi pagi, dia berangkat lebih awal dari biasanya, berusaha menghindari pertemuan dengan Andine. Dia tahu bahwa mereka perlu berbicara, tetapi dia merasa tidak siap untuk menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Rasa takut akan reaksi Andine dan keraguan tentang apa yang harus dia katakan membuatnya memilih untuk menghindar.Saat Arkan melamun, suara teleponnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan di sekelilingnya. Dia terkejut dan langsung meraih ponselnya. Melihat nama yang tertera di layar, jantungnya berdegup kencang. Ternyata yang menghubunginya adalah Reva.Dalam keadaan sedikit ragu, Arkan menja
Suara langkah Arkan yang berat terdengar dari pintu depan. Andine menunggu di ruang tengah, masih mengenakan pakaian santainya. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan Arkan baru saja pulang.Begitu melihat suaminya, Andine bangkit dari sofa. “Mas, kenapa kamu pulang selarut ini?” tanyanya dengan nada khawatir.Arkan meletakkan kunci mobil di meja tanpa menatap Andine. “Karena aku masih kesal sama kamu,” jawabnya dingin, suaranya terkontrol tapi tegas.Jawaban itu membuat Andine terdiam sejenak. Wanita itu tahu masalah sore tadi masih membebani Arkan. “Kita bisa bicarakan ini, Mas. Jangan begini terus,” ucapnya pelan, mencoba meluluhkan hati suaminya.“Aku capek. Nggak usah bahas apa pun.” Arkan memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan Andine begitu saja. Andine tersentak melihat sang suami yang langsung masuk ke dalam kamar. Detik itu juga Andine memilih mengikuti sang suami ke dalam kamar. Wanita itu ingin menyelesaikan masalahnya dengan sang suami. Dia tak
Dimas tersenyum puas di kala Andine setuju. Setelah diskusi dan negosiasi, akhirnya Andine menyetujui untuk bekerja sama dengan perusahaannya. Keputusan itu seperti angin segar bagi Dimas, karena dia tahu betul betapa pentingnya kolaborasi ini. Dimas yang antusias mengulurkan tangannya. “Selamat bergabung, Andine,” ucapnya, penuh semangat.Andine, dengan senyuman tenang, menyambut uluran tangan itu. “Semoga kerja sama ini membawa banyak keberhasilan,” jawabnya, suaranya mantap ramah.Arkan memperhatikan pemandangan itu dengan tatapan sulit ditebak. Dia menyilangkan tangan di dadanya, mencoba menutupi emosi yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Namun, tatapan matanya yang tajam dan rahangnya yang mengeras mengungkapkan rasa kesal dalam diri yang entah apa diartikan olehnya. Hal yang pasti adalah Arkan tak suka. Dimas, tampaknya, tidak menyadari perubahan ekspresi Arkan. Pria itu terlalu fokus pada euforia kemenangan kecil ini. Sementara itu, Andine, yang selalu peka terhadap suasa
Arkan duduk di kursi kerjanya, dengan raut wajah cemas dan khawatir. Matanya terfokus pada satu titik di depannya, tapi pikirannya jauh dari pekerjaan yang harus dia selesaikan. Cuaca pagi itu cerah, sinar matahari masuk melalui jendela kantor dan menerangi ruangan, tapi tidak dapat menghilangkan kesan cemas di wajah Arkan.Pria tampan itu memegang pena di tangannya, tapi tidak menulis apa-apa. Pikirannya terus-menerus berputar tentang Dimas, temannya yang baru saja datang dari New York dan mengunjunginya di Jakarta. Arkan masih ingat bagaimana Dimas terus-menerus memuji Andine, baik dari masakan maupun penampilannya yang cantik. Dia merasa tidak nyaman dengan pujian-pujian itu, dan sekarang dia tidak dapat menghilangkan perasaan aneh dalam dirinya. Arkan menghela napas panjang, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak mengenakkan itu. Namun, pikirannya tetap saja kembali ke Dimas dan Andine. Dia tidak tahu mengapa dia merasa seperti ini, tapi dia tahu bahwa dia tidak s