Gadis itu menangis meraung-raung tepat berada di depan sebuah rumah kontrakan dekat kampus yang kini dilalap habis oleh si merah yang membara. Ia jatuh terduduk saat menyaksikan kobaran api yang seakan-akan hendak memakannya juga. Dua orang petugas pemadam kebakaran menahan laju gadis itu yang sepertinya akan nekad masuk ke dalam rumah. Ia terus-menerus berteriak histeris.
“Kakak Takuya, Kak Takuya!!! Kakak!!!” teriaknya keras sampai suaranya berubah menjadi serak.
“Tolong jangan masuk, Nona. Ini bahaya, kau bisa ikut terbakar!” tukas seorang pemadam kebakaran yang menahan tubuhnya.
“Di dalam ada orang Jepang! Ada Takuya di sana, dia harus keluar!” seru gadis itu memaksa.
“Ya, biarkan kami yang melakukannya. Kau harus tetap disini, mengerti!”
“Tolong dia, Pak. Dia tidak boleh mati, tidak boleh!” tangisnya bertambah histeris saat pintu depan rumah itu akhirnya terbuka. Dan tampak di hadapannya, sesosok lelaki bertubuh jangkung meronta-ronta sedang tubuhnya penuh dengan kobaran api yang membakarnya.
“Tasukete! Tasukete[1]!”
Dan akhirnya lelaki itu jatuh tersungkur kemudian ia berguling-guling seraya memadamkan api yang membakar seluruh tubuhnya itu, sebelum akhirnya ia terdiam. Tak lagi bergerak.
*
Kanashimi no mukou kishi ni
Hohoemi ga aru toiu yo
Kanashimi no mukou kishi ni
Hohoemi ga aru to iu yo
Tadori tsuku sono saki ni wa
Nani ga bokura wo matteru?
Nigeru tame ja naku yume ou tame ni
Tabi ni deta hazusa tooi natsu no ano hi
Ashita sae mieta nara tame iki mo nai kedo
Nagare ni sakarau fune no you ni
Ima wa mae he susume
Kurushimi no tsukita basho ni
Shiawase ga matsu toiu yo
Boku wa mada sagashite iru
Kisetsu hazure no himawari
Kobushi nigirishime asahi wo mateba
Akai tsume ato ni namida kirari ochiru
Kodoku ni mo nareta nara
Tsuki akari tayori ni
Hane naki tsubasa de tobi tatou
Motto mae he susume
Amagumo ga kireta nara
Nureta michi kagayaku
Yami dake ga oshiete kureru
Tsuyoi tsuyoi hikari
Tsuyoku mae he susume[2]
Gadis itu, Nindy. Ia jatuh pingsan dan kini tengah terbaring di ranjang rumah sakit oleh sebab ia mengalami shock dan tekanan darahnya menurun drastis. Sejak tak sadarkan diri lantaran ia terkejut saat melihat laki-laki yang ada di dalam rumah itu ikut terbakar oleh api. Gadis itu sempat mengigau beberapa kali, dan kini wangi aroma minyak kayu putih membangunkannya dari igauan yang tak jelas dan hanya ada satu nama yang terus dipanggilnya.
“Takuya-chan, Takuya-chan.”
Ditepuk-tepuknya pipi gadis itu oleh seorang wanita berusia empat puluh delapan tahun. “Nindy, Nindy. Bangunlah! Nindy!”
Gadis itu terbangun walau ia masih sedikit linglung, matanya mulai terbuka perlahan-lahan. Kembali ia mencium aroma wangi minyak kayu putih yang menusuk hidung.
“Mama, aku di mana?”
*
[1] Tolong aku!
[2] K (Kei) Lyrics "Only Human "
“Mama, bolehkah aku bertanya tentang cinta?”(Anindya Vannisa Putri, 19 tahun)_____- Bandara Internasional, Juanda, Surabaya.Seorang wanita tengah berdiri menanti di depan ruang tunggu penjemput sejak dua jam lalu. Sengaja ia datang lebih awal lantaran sesuatu. Sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya selama ia ditinggal pergi oleh puteri semata wayangnya ke Kyoto, Jepang. Sembari menanti kedatangan puterinya, ia kembali membaca isi pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya.From: NindyMama, apakah pernah merasa patah hati?Ceritakan padaku tentang itu, apakah sama dengan yang kurasa.Mama, aku sedihKalimat penegas yang terakhir itulah yang membuat wanita itu penasaran akan apa yang telah terjadi pada puterinya. Ia terus-menerus bergumam, &ldq
Gadis kecil itu memperhatikan tiap gerakan jemari tangan ibunya yang tengah sibuk menulis kata-kata ke dalam layar word di komputernya. Tak … tik … tak … tik. Ia berpikir ibunya tak memperhatikan dirinya yang sedang terpana melihat keseriusan sang ibu yang serasa berada di dunia lain. Gadis kecil itu berdiri diam di samping ibunya, lalu ia mulai berceloteh;“Mama sedang apa, sih?” tanya si gadis kecil penasaran dan ingin tahu.“Mengetik, Nindy.” Jawab wanita itu tak menoleh ke arahnya. Ia menjawab sambil tetap menekan tuts-tuts keyboard itu dengan lincahnya. Sebab ibunya tak menoleh, gadis kecil itu berusaha untuk mengganggu lagi.“Mengetik apa, sih?” kali ini ia mendekatkan wajahnya di samping lengan ibunya“Novel, Nindy.” Sahutnya lagi-lagi tak menoleh.“Novel apa, sih?” ia menatap mata ibunya lekat-lekat, sepasang bola mata yang melukisan rasa keingin
“Kau harus lulus TOEFL dulu jika ingin mendaftarkan diri di program scholarship[1] ini, Anindya.” Ujar seorang pegawai administrasi yang biasa mengurusi soal pendaftaran mahasiswa pertukaran ke luar negeri.Gadis itu mengernyitkan alisnya tinggi, “Yap, hem, sesuatu sekali. Apakah standartnya memang harus 550? Tidak boleh kurang dari itu? Ayolah…, bahasa Inggrisku kurang bagus dalam hal listening.” Tawarnya.“TOEFL adalah syarat mutlak, tidak ada tawaran. Memangnya pasar bisa ditawar? Kalau tidak sanggup, ya sudah! Yang layak saja, ini bukan beasiswa main-main.” Sahut pegawai administrasi yang mulai sewot pada gadis itu.Mendengar jawaban yang kurang enak didengar olehnya, ia pun bangkit dari kursi dan meninggalkan ruangan administrasi. Namun sebelum itu ia kembali berbalik badan lalu berkata,“Lihat saja nanti, kau akan melihat aku bisa lulus seleksi di program beasiswa in
Nindy berdiri di depan ruang ujian TOEFL sambil menggigiti kuku jemarinya. Ia memiliki perasaan cemas berlebihan jika hendak melakukan sesuatu yang membutuhkan energi dan menguras pikirannya. Di samping gadis itu, sosok pemuda yang sejak awal setia menemani Nindy di kampus mencoba untuk menenangkannya.“Calm down, aku yakin kau pasti bisa melewatinya.” Ujarnya dengan menawarkan sebotol soft drink padanya.“Calm down? Tenang? Oh, God! I can’t do that!” sergah Nindy bertambah semakin gugup. Pemuda itu bernama Rafael, dia lebih dulu lolos ujian TOEFL dan mendapatkan nilai 550. “Aku sudah dua kali gagal dan ini yang terakhir, kalau sampai gagal lagi, hilang sudah kesempatanku pergi ke Jepang.” tunduknya lesu.Rafael mengeluarkan sesuatu dari balik saku kemejanya, sebuah gantungan kunci bola basket yang mana bolanya empuk dan cocok dipakai oleh seseorang yang sedang dilanda kecemas
Gadis itu terbangun dari tidurnya dan beranjak melangkah ke depan jendela kamarnya. Ia buka tirai biru itu perlahan, selepas mendengar suara-suara piano menggetarkan perasaannya. Dentingan suara piano yang menyayat hatinya itu membuat ia terhenyak dan fokus mendengarnya. Suara-suara dari balik jendela kamar rumahnya. Entah di mana yang jelas sepertinya di tengah malam itu siapa yang berani membangunkan tidur orang-orang dengan dentingan suara piano? Pikirnya heran. Ia seakan pernah mendengar lirik lagu berserta suara musiknya, entah kapan ia tak bisa mengingat.‘xin tiao luan le jie zou meng ye bu zi youai shi ge jue dui cheng nuo bu shuo cheng dao yi qian nian yi houfang ren wu nai yan mei chen aiwo zai fei xu zhi zhong shou zhao ni zou lai wowo de lei guang cheng zai bu le wosuo you yi qie ni yao de ai(suo you yi qie ni xu yao de ai)
Semua mahasiswa berbondong-bondong menuju papan mading di ruang hall B di mana informasi tentang penerimaan mahasiswa pertukaran ke Jepang di universitas Kyoto, Jepang. Terlihat sangat ramai dan bergerombol, hampir-hampir tak menyisakan ruang bagi Nindy dan Rafael sebagai peserta untuk sekedar mengintip barang sejenak. Beberapa mahasiswa ada yang menepuk pundak Rafael dan mengucapkan selamat, padahal Rafael berada dalam barisan paling belakang.“Selamat ya, Rafael! Kau lolos seleksi!” celetuk seseorang di depan Rafael yang tak lain adalah temannya sendiri. Mendengar kalimat yang terdengar mengejutkan Rafael, pemuda itupun melongo.“Hah? Apa? Maksudnya…? Aku? Lolos seleksi?” telunjuknya diarahkan ke hidung sedang ia menampakkan wajah culunnya.“Sukses ke Jepang!” tekannya sekali lagi, temannya itu memanggil temannya yang lain dan meminta mereka memberi selamat pada Rafael. Pemandangan seperti itu
Universitas Kyoto, Jepang.Tak terasa dua bulan telah berlalu memijakkan kaki di tanah Jepang. Bayangan tentang tidak mudahnya hidup di negara Jepang ternyata ada benarnya juga. Jangan membawa fisik tanpa bekal jika ingin sekolah di negeri matahari itu. Sebab bisa-bisa tidak makan! Pekik hati Nindy menjerit ketika melihat stok mie instan di dalam kardusnya tinggal beberapa bungkus saja.“Mama, mie-ku habiss! Huhuhu, kiriman uang juga belum datang. Padahal ini baru dua bulan, terus gimana yah? Bisa-bisa aku mati kelaparan di apartemen ini. Kalau tahu bakal hidup susah di sini, mending aku nggak berangkat!” keluhnya kesal sambil melempar dua bungkus mie instan yang ada di tangannya. Percaya sudah bahwa ternyata ia tidak memudahkan ibunya malah menyusahkan ibunya yang tiap bulan harus mengirim uang sebesar 80.000 yen. Sekitar delapan jutaan dan itu hanya untuk biaya hidup saja, tidak lebih dari itu. Gadis itu menyalakan kompor dan ternya
Lelaki itu, Murakami Takuya. Ia melepaskan kostum boneka anjing putih yang melekat di tubuhnya. Sebuah kostum yang dijadikan maskot produk boneka yang dijualnya dan sekedar untuk menarik perhatian para pengunjung yang tertarik untuk masuk ke dalam toko. Diletakkannya boneka tersebut di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam lemari kaca. Ia kembali mengenakan pakaian kerjanya dan menemui si empunya toko mainan. Seorang lelaki tua bernama Ogawa Sachio, si tua berusia 61 tahun itu sedang membersihkan boneka-boneka yang terbuat dari lilin.“Takuya, apa kau sudah selesai menyebarkan brosur?” tanya lelaki tua itu yang kini mengambil kemucingnya dan membersihkan kaca etalase.“Sudah, Pak.” Jawabnya singkat. Takuya mengeluarkan semua boneka yang masih ada di dalam karung untuk dimasukkan ke dalam etalase.“Aku tadi melihatmu di depan, untung saja kau menyelamatkan gadis itu.”“Ya, untung saja. Kalau tidak dia sudah terluka