Gadis itu terbangun dari tidurnya dan beranjak melangkah ke depan jendela kamarnya. Ia buka tirai biru itu perlahan, selepas mendengar suara-suara piano menggetarkan perasaannya. Dentingan suara piano yang menyayat hatinya itu membuat ia terhenyak dan fokus mendengarnya. Suara-suara dari balik jendela kamar rumahnya. Entah di mana yang jelas sepertinya di tengah malam itu siapa yang berani membangunkan tidur orang-orang dengan dentingan suara piano? Pikirnya heran. Ia seakan pernah mendengar lirik lagu berserta suara musiknya, entah kapan ia tak bisa mengingat.
‘xin tiao luan le jie zou meng ye bu zi you
ai shi ge jue dui cheng nuo bu shuo cheng dao yi qian nian yi hou
fang ren wu nai yan mei chen ai
wo zai fei xu zhi zhong shou zhao ni zou lai wo
wo de lei guang cheng zai bu le wo
suo you yi qie ni yao de ai(suo you yi qie ni xu yao de ai)
yin wei zai yi qian nian yi hou shi jie zao yi mei you wo
wu fa shen qing wan zhao ni de shou qian wen zhao ni de e tou
bie deng dao yi qian nian yi hou suo you ren du yi wang le wo
na shi hong se huang hun de sha mo neng you shui
jie kai chan rao qian nian de ji mo chan rao qian nian de ji mo’[1]
“Suaranya indah sekali, tapi jam setengah dua belas begini memang siapa yang nyanyi? Apa mungkin mama yang lagi mendengarkan musik di ruang keluarga?” tebak Nindy kemudian bergegas keluar dari dalam kamarnya dan turun ke bawah untuk mengecek tentang praduganya. Ia menuruni tiap anak tangga dengan tergesa-gesa, sampai pada anak tangga terakhir ia menghentikan langkah. “Mama?” gumamnya saat melihat sesosok wanita yang memakai baju piyama tengah menangis di depan sebuah televisi yang disambungkan dengan vcd player. “ternyata benar mama,” Gadis itu berjalan menghampiri ibunya yang sedang menangis terisak-isak. “Ma,” Nindy menepuk pundak ibunya pelan.
Wanita itu mengangkat wajahnya dan menatap wajah Nindy, “Nindy? Kok belum tidur?” tanyanya heran bercampur gugup, ia lekas mengecilkan volume suara lagu yang didengarya.
“Mama kok nangis?”
“Nangis? Mama nggak nangis, ini cuma terharu saja.” alihnya kuat sambil menghapus air matanya.
“Mama bohong, mama sedang sedih kan?”
“Tidak, Sayang.” Tekannya pada Nindy, kemudian ia memberikan sebuah sampul CD lagu cina padanya. “kau suka lagu ini?”
“Ya, Nindy tadi dengar. Enak sekali, bikin sedih.”
“Ya.., inilah yang membuat mamamu nangis, Nindy. Lagu Cina ini mengingatkan mama pada kenangan lalu.”
“Ini lagu Cina, memangnya mama tahu artinya? Mama bisa bahasa Cina? Nindy juga sepertinya dulu pernah mendengarnya, tapi entah kapan. Lupa.” Nindy menggaruk-garuk rambutnya sembari mengingat-ingat kapan ia pernah mendengar suara penyanyi itu.
“Artinya one thousand years-seribu tahun. Tentang liriknya mama juga tidak tahu yang penting enak didengar dan bikin nangis,” jawabnya santai, ia memeluk Nindy erat dan mengecup rambut gadis itu. “kapan pengumuman lolos seleksi, Nindy?”
Nindy mendongakkan wajahnya menghadap wajah ibunya, “Ehm, besok pagi, Ma. Kenapa?”
“Tidak apa-apa, mama berharap kau lolos seleksi dan bisa pergi ke Jepang. Jangan lupa pulangnya bawakan mama buku-buku komik ya? Dan peralatan menggambar dari Jepang.” wanita itu kembali tersenyum seolah lupa dengan kesedihannya.
“Ma,”
“Ya?”
“Kalau nanti Nindy jadi berangkat ke Jepang, rumah sepi dong?”
“Kau bertanya hal yang sama lagi, mama ada novel. Jadi bisa ditemani novel-novel.”
“Kalau aku pergi jangan menangis ya?”
“Kau boleh mempercayaiku, Nindy.”
“Apa lagu tadi itu adalah lagu perpisahan?”
“Entahlah,”
“Apa mama mengingat cinta pertama mama?”
“Ups! Kenapa tiba-tiba bertanya itu?”
“Barangkali, hehehe.” Nindy mendenguskan hidungnya.
“Ma, apa Nindy ada kemungkinan lolos?”
“Ya, sepertinya begitu.”
“Kuharap itu benar.”
*
[1] Lin Jun Ji-Yi Qian Nian Yi Hou
Semua mahasiswa berbondong-bondong menuju papan mading di ruang hall B di mana informasi tentang penerimaan mahasiswa pertukaran ke Jepang di universitas Kyoto, Jepang. Terlihat sangat ramai dan bergerombol, hampir-hampir tak menyisakan ruang bagi Nindy dan Rafael sebagai peserta untuk sekedar mengintip barang sejenak. Beberapa mahasiswa ada yang menepuk pundak Rafael dan mengucapkan selamat, padahal Rafael berada dalam barisan paling belakang.“Selamat ya, Rafael! Kau lolos seleksi!” celetuk seseorang di depan Rafael yang tak lain adalah temannya sendiri. Mendengar kalimat yang terdengar mengejutkan Rafael, pemuda itupun melongo.“Hah? Apa? Maksudnya…? Aku? Lolos seleksi?” telunjuknya diarahkan ke hidung sedang ia menampakkan wajah culunnya.“Sukses ke Jepang!” tekannya sekali lagi, temannya itu memanggil temannya yang lain dan meminta mereka memberi selamat pada Rafael. Pemandangan seperti itu
Universitas Kyoto, Jepang.Tak terasa dua bulan telah berlalu memijakkan kaki di tanah Jepang. Bayangan tentang tidak mudahnya hidup di negara Jepang ternyata ada benarnya juga. Jangan membawa fisik tanpa bekal jika ingin sekolah di negeri matahari itu. Sebab bisa-bisa tidak makan! Pekik hati Nindy menjerit ketika melihat stok mie instan di dalam kardusnya tinggal beberapa bungkus saja.“Mama, mie-ku habiss! Huhuhu, kiriman uang juga belum datang. Padahal ini baru dua bulan, terus gimana yah? Bisa-bisa aku mati kelaparan di apartemen ini. Kalau tahu bakal hidup susah di sini, mending aku nggak berangkat!” keluhnya kesal sambil melempar dua bungkus mie instan yang ada di tangannya. Percaya sudah bahwa ternyata ia tidak memudahkan ibunya malah menyusahkan ibunya yang tiap bulan harus mengirim uang sebesar 80.000 yen. Sekitar delapan jutaan dan itu hanya untuk biaya hidup saja, tidak lebih dari itu. Gadis itu menyalakan kompor dan ternya
Lelaki itu, Murakami Takuya. Ia melepaskan kostum boneka anjing putih yang melekat di tubuhnya. Sebuah kostum yang dijadikan maskot produk boneka yang dijualnya dan sekedar untuk menarik perhatian para pengunjung yang tertarik untuk masuk ke dalam toko. Diletakkannya boneka tersebut di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam lemari kaca. Ia kembali mengenakan pakaian kerjanya dan menemui si empunya toko mainan. Seorang lelaki tua bernama Ogawa Sachio, si tua berusia 61 tahun itu sedang membersihkan boneka-boneka yang terbuat dari lilin.“Takuya, apa kau sudah selesai menyebarkan brosur?” tanya lelaki tua itu yang kini mengambil kemucingnya dan membersihkan kaca etalase.“Sudah, Pak.” Jawabnya singkat. Takuya mengeluarkan semua boneka yang masih ada di dalam karung untuk dimasukkan ke dalam etalase.“Aku tadi melihatmu di depan, untung saja kau menyelamatkan gadis itu.”“Ya, untung saja. Kalau tidak dia sudah terluka
Di toko boneka IrasshaimaseGadis itu membungkukkan punggungnya lima belas derajat pada si pemilik toko boneka, juga pada seorang pegawai laki-laki di sampingnya. Ia memberikan salam hormat pertamanya sebagai seorang pegawai baru. Dengan mengenakan pakaian seragam unik dan lucu menurutnya, ia tampak seperti boneka.“Terima kasih, mohon bimbingannya.” Nindy menundukkan pandangan saat ia berhadapan dengan Murakami Takuya. Seorang lelaki yang dulu pernah menyelamatkannya, namun ia tidak ingat.“Sama-sama, jika ada yang ingin ditanyakan. Jangan sungkan-sungkan tuk bertanya. OK! Oh ya, namaku Murakami Takuya.” Takuya mengerlingkan matanya, sedang Nindy tak melihatnya.“Hai.” Jawabnya singkat. Dengan tangan membawa sebuah kemucing bulu. “tugas pertama saya apa?” tanyanya pada Takuya.Lelaki itu menggiring Nindy pada beberapa etalase kaca, “Ini, tiap hari kau harus me
Universitas Kyoto, musim panas Rafael memperhatikan gerak-gerik Nindy sejak ia baru saja masuk ke dalam kelas. Ia melihat seperti ada perbedaan yang tampak dari tingkah lakunya belakangan ini. Sudah hampir seminggu Nindy selalu melewatkan waktu untuk berdiskusi tentang kesenian dan budaya Jepang. Ia selalu mangkir dengan alasan bekerja part time. Gadis itu baru saja masuk ke dalam ruang kelasnya dan duduk di samping Rafael. Ia tebarkan senyum tipisnya pada pemuda itu. “Kau sudah tidak masuk kelas seni lima hari, Nindy. Nanti kau tidak dapat sertifikat, apa kau tidak bisa meluangkan waktu sejenak? Ini hanya setahun, kuminta kau jangan menyia-nyiakan waktu singkatmu.” tutur Rafael mencoba untuk mengingatkan kelalaian gadis itu. “Ssst, jangan keras-keras kalau bicara. Aku sudah dengar, aku tidak menyia-nyiakan waktuku. Ini, semua tugas tentang kesenian sudah kukerjakan tengah malam sampai jam dua pagi. Aku tidak tidur selepas bekerja, kau menger
“Oh, Mama. Apa kau tidak percaya padaku?”[Nindy]____________Takuya mengajak gadis itu masuk ke dalam Taman Nara, tepat di musim panas. Di mana banyak dedaunan yang gugur menghiasi rerumputan hijau yang mulai sedikit menguning. Banyak sekali pohon-pohon yang juga mengitari area taman menambah sejuk udara walau kala itu tengah di musim panas. Angin sepoi-sepoi yang berhembus mengibar-ngibarkan rambut panjang Nindy yang tergerai lepas. Suara-suara para pengunjug yang terlihat asyik berbincang-bincang dan berikut pula dengan suasana yang jauh luar biasa dan belum pernah dilihat oleh gadis itu.Rusa.Banyak sekali rusa-rusa yang dibiarkan bebas menghampiri para pengunjung tanpa mereka harus takut disakiti atau bahkan menyakiti. Pemandangan seperti itu membuat Nindy terbengong-bengong. Kala itu, ada empat ekor rusa yang tiba-tiba berjalan menghampiri Takuya dan Nindy.“Oh, tidak! Ini menakutkan, kakak Takuya.
Gadis itu memperhatikan gerak-gerik lincah tangan Takuya yang tengah menggenggam sebuah pena dan mulai menggoreskan pensil hitam itu di atas kertas gambar. Ia meminta Rafael untuk berdiri di tengah sedang dikelilingi oleh keempat rusa untuk dijadikan obyek gambarnya.Slert..slert…slert…Takuya seakan pindah ke dimensi yang lain, dimana ia sama sekali tidak mau menjawab semua pertanyaan Nindy. Jika lelaki Jepang itu sudah terfokus menggenggam pensil dan kertas, maka yang terjadi adalah ia tak akan pernah mempedulikan siapapun selain hanya dirinya dan apa yang tengah digambarnya.“Kau mau mengajariku menggambar komik, Kak Takuya?” tanyanya sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Hanya suara goresan pensil itu yang terus berbicara, slert…slert…slert…“Hei, Nindy! Sampai kapan aku berdiri disini? Capek!” keluh Rafael sambil menggaruk-garuk kaki dengan tangannya. Sedang rusa-rusa
Toko boneka Irasshaimase, siang hari.Takuya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang dan itu adalah waktu dimana ia harus segera pulang sedang ia menunggu pengganti shift sore yang belum juga datang. Tak biasanya gadis itu datang terlambat, pikir Takuya saat itu. Lelaki Jepang itu mengenal sikap kedisiplinan Nindy pada waktu.“Ah, kenapa dia belum datang juga? Aku ada ujian menggambar hari ini, ufffth…, kalau sampai telat, aku bisa gagal lulus di tahun akhir.” Takuya semakin resah, ia menoleh ke belakang dan melihat si pemilik toko, Ogawa Sachio sedang sibuk bercinta dengan kertas dan kalkulator. “Ah, si bos juga sedang sibuk. Bisa mati aku di sini.” keluhnya bertambah bingung. Akhirnya Takuya keluar dari dalam toko untuk melongok ke jalan, barangkali ia melihat sosok gadis yang dinantinya itu datang. Ada sekitar sepuluh menit ia berdiri, tapi Nindy tetap belum menampakkan batang hidungnya.