Universitas Kyoto, Jepang.
Tak terasa dua bulan telah berlalu memijakkan kaki di tanah Jepang. Bayangan tentang tidak mudahnya hidup di negara Jepang ternyata ada benarnya juga. Jangan membawa fisik tanpa bekal jika ingin sekolah di negeri matahari itu. Sebab bisa-bisa tidak makan! Pekik hati Nindy menjerit ketika melihat stok mie instan di dalam kardusnya tinggal beberapa bungkus saja.
“Mama, mie-ku habiss! Huhuhu, kiriman uang juga belum datang. Padahal ini baru dua bulan, terus gimana yah? Bisa-bisa aku mati kelaparan di apartemen ini. Kalau tahu bakal hidup susah di sini, mending aku nggak berangkat!” keluhnya kesal sambil melempar dua bungkus mie instan yang ada di tangannya. Percaya sudah bahwa ternyata ia tidak memudahkan ibunya malah menyusahkan ibunya yang tiap bulan harus mengirim uang sebesar 80.000 yen. Sekitar delapan jutaan dan itu hanya untuk biaya hidup saja, tidak lebih dari itu. Gadis itu menyalakan kompor dan ternyata, gas untuk kompor pun telah habis tanpa diketahuinya. Hidup seorang diri di dalam apartemen khusus yang disediakan oleh pihak kampus universitas Kyoto. Dan Rafael temannya tinggal di lantai bawah. Nindy mengambil ponselnya sebelum ia memutuskan untuk mengajak Rafael keluar untuk melakukan sesuatu.
Kau harus membantuku, Rafael.
Kalau tidak, aku bisa mati!
*
“Apa? Menjadi badut?”
Gadis itu mengangguk, “Yap, badut. Kita harus mencari uang tambahan sebelum nanti kita pulang, mendapati rumah orangtua kita sudah jadi gubuk sebab mereka kehabisan uang untuk kita tinggal di sini.” ucapnya tegas. Ia mengajak Rafael ke sebuah toko mainan yang ada di pinggiran kota Kyoto. Sebuah toko mainan yang dilihatnya kurang laris dan sepi dari pembeli, sampai-sampai pegawainya harus rela keluar jalan memakai pakaian badut untuk menarik perhatian pejalan kaki.
“Kenapa kau ajak aku kesini, sebenarnya ada apa denganmu, Nindy. Kenapa terlihat panik?” Rafael melepaskan tarikan tangan gadis itu. Sedang keduanya saling bertatapan dalam diam. “katakan, sebenarnya kau kenapa?!”
“Aku, harus membantu ibuku cari uang. Aku ingin mencari uang sendiri di sini, bekerja part time selepas kuliah.” jelasnya singkat.
“Hah? Bekerja? Tapi kita disini cuma setahun, tidak seperti mahasiswa lainnya, kita tidak punya waktu untuk itu.” sergah Rafael menolak seketika.
“Aku bisa membagi waktu itu,”
“Apa kau perlu uang?”
“Ya, mie instanku tinggal sedikit. Aku tidak bisa meminta terus uang pada ibuku sebanyak itu.” Nindy menundukkan wajahnya, menatap sepasang kakinya yang menari kekanan dan kiri.
“Aku bisa meminjamimu uang, tapi tolong jangan sia-siakan waktumu setahun disini untuk bekerja.”
Gadis itu mengangkat kembali wajahnya, kali ini dengan tegas ia berkata, “Aku memang tidak sekaya dirimu, Rafael. Kau bisa meminta dengan mudah uang pada orangtuamu, sedang ibu dan ayahku mati-matian mencari uang. Mungkin saja mereka berlagak kuat, bahkan mungkin saja tidak makan. Aku ingin membantu ibuku, Rafael. Kalau kau tidak bisa, biar aku sendiri saja.” gadis itu membalikkan punggung dan tanpa melihat kembali pemuda itu, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko boneka.
*
“Machi jikan wa dore kurai desu ka[1]?” Nindy berharap-harap cemas menanti jawaban dari si pemilik toko tersebut.
“Besok pagi, aku akan menghubungimu, Nona.” jawabnya pasti.
“Arigatou…arigatou gozaimas.” Nindy menganggukkan kepala dua kali sebelum ia akhirnya keluar dari dalam toko dan selesai melakukan tugasnya untuk memberikan surat lamaran kerja. Di sebuah toko mainan bernama “Irasshaimase[2]”, Nindy melongok papan nama yang warna cat birunya sudah memudar. Toko itu sebenarnya bagus dan cantik, sayang terkesan kuno sehingga membuat pengunjung enggan mendatanginya. Pikir gadis itu sebelum ia menyeberang jalan dan kembali ke apartemennya. Di seberang tampak Rafael berdiri menantinya.
“Bagaimana?” teriak Rafael dari seberang jalan. Gadis itu sampai menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak menyangka pemuda itu bisa mempermalukannya di pinggir jalan. Berteriak seperti orang gila.
“Stupid!” jawabnya saat itu, ketika Nindy baru saja melangkahkan kaki kanannya menyeberang jalan, tiba-tiba ada seseorang menarik lengan kirinya dan menahan dirinya.
“Nona, jangan menyeberang!” serunya keras kala itu, tiba-tiba tak lama kemudian, selang beberapa detik selepas lelaki itu berteriak padanya. Ada sebuah mobil yang melaju sangat kencang dan seakan kehilangan kendali. Mobil sedan putih itu oleng ke kiri dan kanan, suara decitan keras pun terdengar. Gadis itu ditariknya kebelakang sampai jatuh kebawah karena ia hampir saja terserempet mobil sedan di dekatnya.
“Aaarght!” teriak Nindy keras ketakutan saat tubuhnya terjatuh. Tapi beruntung sekali kepalanya tak terbentur aspal jalan, sebuah tas ransel menahannya.
“Orang gila!!!” pekik lelaki itu lebih keras. Akan tetapi mobil sedan itu masih terus melaju kencang hingga akhirnya berbelok ke kiri dan lepas dari penglihatan mereka. Melihat gadis itu meringis kesakitan karena pantatnya jauh lebih dulu terjatuh, lelaki itupun lekas membantunya berdiri. “kau tidak apa-apa, Nona?”
Nindy masih sedikit terhuyung-huyung, seakan berada di situasi superflash yang membuat ingatannya sedikit kacau.
“Oh, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba sesuatu terjadi begitu cepat?” Nindy terlihat linglung selama beberapa detik sebelum akhirnya ia tersadar. Gadis itu melihat Rafael yang berdiri di depannya menampakkan wajah kalut dan cemasnya.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya dengan tangan gemetar menyentuh pipi Nindy.
“Aku.., aku tidak apa-apa. Semua terjadi begitu saja.”
“Ya sudah, kau membuatku ketakutan Nindy. Mobil sedan putih itu tadi hampir menabrakmu. Untungnya ada kakak itu, yang menarikmu kebelakang.” Rafael membalikkan punggung saat hendak menceritakan tentang seorang lelaki penyelamat Nindy yang datang tiba-tiba seperti angin, saat itu juga sudah menghilang dari pandangan. “lho?! Kemana dia?” Rafael melongo.
“Siapapun dia, aku sangat berterima kasih.”
“Tapi, kau tahu tidak tadi kakinya itu, dia memakai kaki boneka.”
*
[1] Kira-kira harus menunggu berapa lama?
[2] Selamat datang.
Lelaki itu, Murakami Takuya. Ia melepaskan kostum boneka anjing putih yang melekat di tubuhnya. Sebuah kostum yang dijadikan maskot produk boneka yang dijualnya dan sekedar untuk menarik perhatian para pengunjung yang tertarik untuk masuk ke dalam toko. Diletakkannya boneka tersebut di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam lemari kaca. Ia kembali mengenakan pakaian kerjanya dan menemui si empunya toko mainan. Seorang lelaki tua bernama Ogawa Sachio, si tua berusia 61 tahun itu sedang membersihkan boneka-boneka yang terbuat dari lilin.“Takuya, apa kau sudah selesai menyebarkan brosur?” tanya lelaki tua itu yang kini mengambil kemucingnya dan membersihkan kaca etalase.“Sudah, Pak.” Jawabnya singkat. Takuya mengeluarkan semua boneka yang masih ada di dalam karung untuk dimasukkan ke dalam etalase.“Aku tadi melihatmu di depan, untung saja kau menyelamatkan gadis itu.”“Ya, untung saja. Kalau tidak dia sudah terluka
Di toko boneka IrasshaimaseGadis itu membungkukkan punggungnya lima belas derajat pada si pemilik toko boneka, juga pada seorang pegawai laki-laki di sampingnya. Ia memberikan salam hormat pertamanya sebagai seorang pegawai baru. Dengan mengenakan pakaian seragam unik dan lucu menurutnya, ia tampak seperti boneka.“Terima kasih, mohon bimbingannya.” Nindy menundukkan pandangan saat ia berhadapan dengan Murakami Takuya. Seorang lelaki yang dulu pernah menyelamatkannya, namun ia tidak ingat.“Sama-sama, jika ada yang ingin ditanyakan. Jangan sungkan-sungkan tuk bertanya. OK! Oh ya, namaku Murakami Takuya.” Takuya mengerlingkan matanya, sedang Nindy tak melihatnya.“Hai.” Jawabnya singkat. Dengan tangan membawa sebuah kemucing bulu. “tugas pertama saya apa?” tanyanya pada Takuya.Lelaki itu menggiring Nindy pada beberapa etalase kaca, “Ini, tiap hari kau harus me
Universitas Kyoto, musim panas Rafael memperhatikan gerak-gerik Nindy sejak ia baru saja masuk ke dalam kelas. Ia melihat seperti ada perbedaan yang tampak dari tingkah lakunya belakangan ini. Sudah hampir seminggu Nindy selalu melewatkan waktu untuk berdiskusi tentang kesenian dan budaya Jepang. Ia selalu mangkir dengan alasan bekerja part time. Gadis itu baru saja masuk ke dalam ruang kelasnya dan duduk di samping Rafael. Ia tebarkan senyum tipisnya pada pemuda itu. “Kau sudah tidak masuk kelas seni lima hari, Nindy. Nanti kau tidak dapat sertifikat, apa kau tidak bisa meluangkan waktu sejenak? Ini hanya setahun, kuminta kau jangan menyia-nyiakan waktu singkatmu.” tutur Rafael mencoba untuk mengingatkan kelalaian gadis itu. “Ssst, jangan keras-keras kalau bicara. Aku sudah dengar, aku tidak menyia-nyiakan waktuku. Ini, semua tugas tentang kesenian sudah kukerjakan tengah malam sampai jam dua pagi. Aku tidak tidur selepas bekerja, kau menger
“Oh, Mama. Apa kau tidak percaya padaku?”[Nindy]____________Takuya mengajak gadis itu masuk ke dalam Taman Nara, tepat di musim panas. Di mana banyak dedaunan yang gugur menghiasi rerumputan hijau yang mulai sedikit menguning. Banyak sekali pohon-pohon yang juga mengitari area taman menambah sejuk udara walau kala itu tengah di musim panas. Angin sepoi-sepoi yang berhembus mengibar-ngibarkan rambut panjang Nindy yang tergerai lepas. Suara-suara para pengunjug yang terlihat asyik berbincang-bincang dan berikut pula dengan suasana yang jauh luar biasa dan belum pernah dilihat oleh gadis itu.Rusa.Banyak sekali rusa-rusa yang dibiarkan bebas menghampiri para pengunjung tanpa mereka harus takut disakiti atau bahkan menyakiti. Pemandangan seperti itu membuat Nindy terbengong-bengong. Kala itu, ada empat ekor rusa yang tiba-tiba berjalan menghampiri Takuya dan Nindy.“Oh, tidak! Ini menakutkan, kakak Takuya.
Gadis itu memperhatikan gerak-gerik lincah tangan Takuya yang tengah menggenggam sebuah pena dan mulai menggoreskan pensil hitam itu di atas kertas gambar. Ia meminta Rafael untuk berdiri di tengah sedang dikelilingi oleh keempat rusa untuk dijadikan obyek gambarnya.Slert..slert…slert…Takuya seakan pindah ke dimensi yang lain, dimana ia sama sekali tidak mau menjawab semua pertanyaan Nindy. Jika lelaki Jepang itu sudah terfokus menggenggam pensil dan kertas, maka yang terjadi adalah ia tak akan pernah mempedulikan siapapun selain hanya dirinya dan apa yang tengah digambarnya.“Kau mau mengajariku menggambar komik, Kak Takuya?” tanyanya sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Hanya suara goresan pensil itu yang terus berbicara, slert…slert…slert…“Hei, Nindy! Sampai kapan aku berdiri disini? Capek!” keluh Rafael sambil menggaruk-garuk kaki dengan tangannya. Sedang rusa-rusa
Toko boneka Irasshaimase, siang hari.Takuya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang dan itu adalah waktu dimana ia harus segera pulang sedang ia menunggu pengganti shift sore yang belum juga datang. Tak biasanya gadis itu datang terlambat, pikir Takuya saat itu. Lelaki Jepang itu mengenal sikap kedisiplinan Nindy pada waktu.“Ah, kenapa dia belum datang juga? Aku ada ujian menggambar hari ini, ufffth…, kalau sampai telat, aku bisa gagal lulus di tahun akhir.” Takuya semakin resah, ia menoleh ke belakang dan melihat si pemilik toko, Ogawa Sachio sedang sibuk bercinta dengan kertas dan kalkulator. “Ah, si bos juga sedang sibuk. Bisa mati aku di sini.” keluhnya bertambah bingung. Akhirnya Takuya keluar dari dalam toko untuk melongok ke jalan, barangkali ia melihat sosok gadis yang dinantinya itu datang. Ada sekitar sepuluh menit ia berdiri, tapi Nindy tetap belum menampakkan batang hidungnya.
Kyoto Apartment 11 Kodaiji TempleSeorang wanita berdiri tepat di depan sebuah pintu kamar apartemen Murakami Takuya. Ia menenteng dua kopor besar di tangan kanan dan kirinya. Penampilan wanita muda yang usianya berkisar duapuluh empat tahunan itu terlihat kuno. Rambutnya dikepang seperti wanita desa pada umumnya. Sebelum akhirnya ia memencet bel kamar, wanita itu menarik napas panjang.“Fiiuuhh, akhirnya kutemukan juga kau disini, Takuya-chan. Kau tidak bisa lari dariku untuk ketiga kalinya.”*Lelaki Jepang itu mulai menggoreskan pena di atas kertas gambarnya setelah ia selesai menggambar sketsa dengan pensil. Seperti biasa, jika lelaki itu sudah masuk ke dalam dunia lainnya, maka gangguan sedahsyat apapun ia tak akan bisa mendengar. Sebab ia sengaja meredam suara dan menutup telinga dengan headsetnya untuk mendengarkan musik lagu. Ia berimajinasi pada sesosok wajah seorang gadis yang kini tengah menguasai pikiranny
Rumah Sakit Umum Surabaya, 23.30 wib.Lelaki paruh baya itu merintih pelan, suaranya terdengar serak-serak basah. Ia memanggil nama isterinya yang tengah malam itu terbaring di atas sofa tak jauh dari ranjangnya. Sekalipun ia mencoba agar bisa mengangkat tangan kanannya yang terbebas dari selang infus, ternyata gagal terus.“Edela, Edela…,Ede…la,” panggilnya dengan suaranya yang parau, “kau di mana? Kenapa gelap? Apa lampu mati?” lelaki itu tak kuasa menahan rasa takutnya. Ia takut gelap, dan mendengar suara layar monitor perekam jantung di dekatnya. Tlit…Tlit…Tlit…Tak ada sahutan. Hening. Senyap.Lelaki itu bertambah nian rasa takutnya, akhirnya ia berteriak keras seraya menghabiskan seluruh tenaganya hanya agar ia bisa berteriak.“Edela!! Edela!!” tanpa sengaja tangan kanannya menyenggol sebuah gelas yang ada di atas meja dan jatuh ke lantai, pecah b