Gadis itu memperhatikan gerak-gerik lincah tangan Takuya yang tengah menggenggam sebuah pena dan mulai menggoreskan pensil hitam itu di atas kertas gambar. Ia meminta Rafael untuk berdiri di tengah sedang dikelilingi oleh keempat rusa untuk dijadikan obyek gambarnya.
Slert..slert…slert…
Takuya seakan pindah ke dimensi yang lain, dimana ia sama sekali tidak mau menjawab semua pertanyaan Nindy. Jika lelaki Jepang itu sudah terfokus menggenggam pensil dan kertas, maka yang terjadi adalah ia tak akan pernah mempedulikan siapapun selain hanya dirinya dan apa yang tengah digambarnya.
“Kau mau mengajariku menggambar komik, Kak Takuya?” tanyanya sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Hanya suara goresan pensil itu yang terus berbicara, slert…slert…slert…
“Hei, Nindy! Sampai kapan aku berdiri disini? Capek!” keluh Rafael sambil menggaruk-garuk kaki dengan tangannya. Sedang rusa-rusa
Toko boneka Irasshaimase, siang hari.Takuya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang dan itu adalah waktu dimana ia harus segera pulang sedang ia menunggu pengganti shift sore yang belum juga datang. Tak biasanya gadis itu datang terlambat, pikir Takuya saat itu. Lelaki Jepang itu mengenal sikap kedisiplinan Nindy pada waktu.“Ah, kenapa dia belum datang juga? Aku ada ujian menggambar hari ini, ufffth…, kalau sampai telat, aku bisa gagal lulus di tahun akhir.” Takuya semakin resah, ia menoleh ke belakang dan melihat si pemilik toko, Ogawa Sachio sedang sibuk bercinta dengan kertas dan kalkulator. “Ah, si bos juga sedang sibuk. Bisa mati aku di sini.” keluhnya bertambah bingung. Akhirnya Takuya keluar dari dalam toko untuk melongok ke jalan, barangkali ia melihat sosok gadis yang dinantinya itu datang. Ada sekitar sepuluh menit ia berdiri, tapi Nindy tetap belum menampakkan batang hidungnya.
Kyoto Apartment 11 Kodaiji TempleSeorang wanita berdiri tepat di depan sebuah pintu kamar apartemen Murakami Takuya. Ia menenteng dua kopor besar di tangan kanan dan kirinya. Penampilan wanita muda yang usianya berkisar duapuluh empat tahunan itu terlihat kuno. Rambutnya dikepang seperti wanita desa pada umumnya. Sebelum akhirnya ia memencet bel kamar, wanita itu menarik napas panjang.“Fiiuuhh, akhirnya kutemukan juga kau disini, Takuya-chan. Kau tidak bisa lari dariku untuk ketiga kalinya.”*Lelaki Jepang itu mulai menggoreskan pena di atas kertas gambarnya setelah ia selesai menggambar sketsa dengan pensil. Seperti biasa, jika lelaki itu sudah masuk ke dalam dunia lainnya, maka gangguan sedahsyat apapun ia tak akan bisa mendengar. Sebab ia sengaja meredam suara dan menutup telinga dengan headsetnya untuk mendengarkan musik lagu. Ia berimajinasi pada sesosok wajah seorang gadis yang kini tengah menguasai pikiranny
Rumah Sakit Umum Surabaya, 23.30 wib.Lelaki paruh baya itu merintih pelan, suaranya terdengar serak-serak basah. Ia memanggil nama isterinya yang tengah malam itu terbaring di atas sofa tak jauh dari ranjangnya. Sekalipun ia mencoba agar bisa mengangkat tangan kanannya yang terbebas dari selang infus, ternyata gagal terus.“Edela, Edela…,Ede…la,” panggilnya dengan suaranya yang parau, “kau di mana? Kenapa gelap? Apa lampu mati?” lelaki itu tak kuasa menahan rasa takutnya. Ia takut gelap, dan mendengar suara layar monitor perekam jantung di dekatnya. Tlit…Tlit…Tlit…Tak ada sahutan. Hening. Senyap.Lelaki itu bertambah nian rasa takutnya, akhirnya ia berteriak keras seraya menghabiskan seluruh tenaganya hanya agar ia bisa berteriak.“Edela!! Edela!!” tanpa sengaja tangan kanannya menyenggol sebuah gelas yang ada di atas meja dan jatuh ke lantai, pecah b
Gadis itu menangis meraung-raung tepat berada di depan sebuah rumah kontrakan dekat kampus yang kini dilalap habis oleh si merah yang membara. Ia jatuh terduduk saat menyaksikan kobaran api yang seakan-akan hendak memakannya juga. Dua orang petugas pemadam kebakaran menahan laju gadis itu yang sepertinya akan nekad masuk ke dalam rumah. Ia terus-menerus berteriak histeris.“Kakak Takuya, Kak Takuya!!! Kakak!!!” teriaknya keras sampai suaranya berubah menjadi serak.“Tolong jangan masuk, Nona. Ini bahaya, kau bisa ikut terbakar!” tukas seorang pemadam kebakaran yang menahan tubuhnya.“Di dalam ada orang Jepang! Ada Takuya di sana, dia harus keluar!” seru gadis itu memaksa.“Ya, biarkan kami yang melakukannya. Kau harus tetap disini, mengerti!”“Tolong dia, Pak. Dia tidak boleh mati, tidak boleh!” tangisnya bertambah histeris saat pintu depan rumah itu akhirnya terbuka. Dan tampa
“Mama, bolehkah aku bertanya tentang cinta?”(Anindya Vannisa Putri, 19 tahun)_____- Bandara Internasional, Juanda, Surabaya.Seorang wanita tengah berdiri menanti di depan ruang tunggu penjemput sejak dua jam lalu. Sengaja ia datang lebih awal lantaran sesuatu. Sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya selama ia ditinggal pergi oleh puteri semata wayangnya ke Kyoto, Jepang. Sembari menanti kedatangan puterinya, ia kembali membaca isi pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya.From: NindyMama, apakah pernah merasa patah hati?Ceritakan padaku tentang itu, apakah sama dengan yang kurasa.Mama, aku sedihKalimat penegas yang terakhir itulah yang membuat wanita itu penasaran akan apa yang telah terjadi pada puterinya. Ia terus-menerus bergumam, &ldq
Gadis kecil itu memperhatikan tiap gerakan jemari tangan ibunya yang tengah sibuk menulis kata-kata ke dalam layar word di komputernya. Tak … tik … tak … tik. Ia berpikir ibunya tak memperhatikan dirinya yang sedang terpana melihat keseriusan sang ibu yang serasa berada di dunia lain. Gadis kecil itu berdiri diam di samping ibunya, lalu ia mulai berceloteh;“Mama sedang apa, sih?” tanya si gadis kecil penasaran dan ingin tahu.“Mengetik, Nindy.” Jawab wanita itu tak menoleh ke arahnya. Ia menjawab sambil tetap menekan tuts-tuts keyboard itu dengan lincahnya. Sebab ibunya tak menoleh, gadis kecil itu berusaha untuk mengganggu lagi.“Mengetik apa, sih?” kali ini ia mendekatkan wajahnya di samping lengan ibunya“Novel, Nindy.” Sahutnya lagi-lagi tak menoleh.“Novel apa, sih?” ia menatap mata ibunya lekat-lekat, sepasang bola mata yang melukisan rasa keingin
“Kau harus lulus TOEFL dulu jika ingin mendaftarkan diri di program scholarship[1] ini, Anindya.” Ujar seorang pegawai administrasi yang biasa mengurusi soal pendaftaran mahasiswa pertukaran ke luar negeri.Gadis itu mengernyitkan alisnya tinggi, “Yap, hem, sesuatu sekali. Apakah standartnya memang harus 550? Tidak boleh kurang dari itu? Ayolah…, bahasa Inggrisku kurang bagus dalam hal listening.” Tawarnya.“TOEFL adalah syarat mutlak, tidak ada tawaran. Memangnya pasar bisa ditawar? Kalau tidak sanggup, ya sudah! Yang layak saja, ini bukan beasiswa main-main.” Sahut pegawai administrasi yang mulai sewot pada gadis itu.Mendengar jawaban yang kurang enak didengar olehnya, ia pun bangkit dari kursi dan meninggalkan ruangan administrasi. Namun sebelum itu ia kembali berbalik badan lalu berkata,“Lihat saja nanti, kau akan melihat aku bisa lulus seleksi di program beasiswa in
Nindy berdiri di depan ruang ujian TOEFL sambil menggigiti kuku jemarinya. Ia memiliki perasaan cemas berlebihan jika hendak melakukan sesuatu yang membutuhkan energi dan menguras pikirannya. Di samping gadis itu, sosok pemuda yang sejak awal setia menemani Nindy di kampus mencoba untuk menenangkannya.“Calm down, aku yakin kau pasti bisa melewatinya.” Ujarnya dengan menawarkan sebotol soft drink padanya.“Calm down? Tenang? Oh, God! I can’t do that!” sergah Nindy bertambah semakin gugup. Pemuda itu bernama Rafael, dia lebih dulu lolos ujian TOEFL dan mendapatkan nilai 550. “Aku sudah dua kali gagal dan ini yang terakhir, kalau sampai gagal lagi, hilang sudah kesempatanku pergi ke Jepang.” tunduknya lesu.Rafael mengeluarkan sesuatu dari balik saku kemejanya, sebuah gantungan kunci bola basket yang mana bolanya empuk dan cocok dipakai oleh seseorang yang sedang dilanda kecemas