Gadis kecil itu memperhatikan tiap gerakan jemari tangan ibunya yang tengah sibuk menulis kata-kata ke dalam layar word di komputernya. Tak … tik … tak … tik. Ia berpikir ibunya tak memperhatikan dirinya yang sedang terpana melihat keseriusan sang ibu yang serasa berada di dunia lain. Gadis kecil itu berdiri diam di samping ibunya, lalu ia mulai berceloteh;
“Mama sedang apa, sih?” tanya si gadis kecil penasaran dan ingin tahu.
“Mengetik, Nindy.” Jawab wanita itu tak menoleh ke arahnya. Ia menjawab sambil tetap menekan tuts-tuts keyboard itu dengan lincahnya. Sebab ibunya tak menoleh, gadis kecil itu berusaha untuk mengganggu lagi.
“Mengetik apa, sih?” kali ini ia mendekatkan wajahnya di samping lengan ibunya
“Novel, Nindy.” Sahutnya lagi-lagi tak menoleh.
“Novel apa, sih?” ia menatap mata ibunya lekat-lekat, sepasang bola mata yang melukisan rasa keingintahuannya lebih dalam.
“Ceriwis, dikasih tahu juga nanti kamu tanya terus,” seloroh wanita itu memencet hidung Nindy yang pesek.
“Novel ceriwis? Novel apaan tuh, Ma?” semakin ia dekatkan wajahnya dan menempel di lengan ibunya. Akhirnya wanita itupun kewalahan juga menjawab pertanyaan Nindy yang tiada habisnya. Ia hentikan acara mengetiknya dan menoleh ke arah si gadis kecil yang lugu, kemudian mencium pipi kanan kiri Nindy dua kali.
“Muach…muach, Nindy ceriwis pengen tahuuuu aja deh! Hihihi…, mama lagi menulis novel Jepang.” jelasnya dengan suaranya yang lembut.
“Novel…, novel Jepang? Jepang itu khan nama negara ya, Ma?”
“Iya, Sayang.”
“Jepang itu yang mama dulu pernah bilang, banyak pengarang komik itu ya, Ma?”
Wanita itu mengangguk, “Betul,”
“Mama pernah ke Jepang?”
“Belum pernah, Nindy. Kenapa?” baliknya bertanya.
Gadis kecil itu terdiam sejenak, lalu menatap ke atas langit-langit sebelum akhirnya ia berbicara lagi.
“Nanti kalau Nindy sudah besar, Nindy mau pergi ke Jepang!” tandasnya sambil meloncat girang. Mendengar seruan anak gadisnya tersebut, wanita itupun tersenyum lebar. Kemudian ia tempelkan telapak tangannya di pipi gadis kecilnya.
“Nindy ingin ke Jepang?”
“Ehmp!” angguknya tegas.
“Suatu hari nanti Nindy pasti bisa kesana.” Jawab sang ibu menghibur hati Nindy agar anaknya senang.
“Horeee! Nindy ke Jepang…, Nindy ke Jepang!!” gadis kecil itu berjingkrak-jingkrak senang dan memeluk ibunya erat. “Nindy pengen deh, bisa nyenengin mama. Biar mama ga perlu bohong ke orang-orang kalau pernah ke Jepang. Bikin novel tapi belum pernah ke sana.” sambungnya menyindir ibunya, sontak wanita itupun terkejut setengah mati, barulah ia menyadari kecerdasan Nindy lebih dari anak normal seusianya. Masih berumur sembilan tahun tapi kepintaran dalam berbicara sudah seperti anak berumur dua belas tahun ke atas.
“Oh, kamu pintar sekali, Nak.” Ia mengecup kening Nindy dan memberikan sebatang cokelat yang ia simpan dalam laci meja komputernya untuk cemilan. “ini mama kasih buat kamu.”
“Terima kasih, Mama.”
*
“Kau harus lulus TOEFL dulu jika ingin mendaftarkan diri di program scholarship[1] ini, Anindya.” Ujar seorang pegawai administrasi yang biasa mengurusi soal pendaftaran mahasiswa pertukaran ke luar negeri.Gadis itu mengernyitkan alisnya tinggi, “Yap, hem, sesuatu sekali. Apakah standartnya memang harus 550? Tidak boleh kurang dari itu? Ayolah…, bahasa Inggrisku kurang bagus dalam hal listening.” Tawarnya.“TOEFL adalah syarat mutlak, tidak ada tawaran. Memangnya pasar bisa ditawar? Kalau tidak sanggup, ya sudah! Yang layak saja, ini bukan beasiswa main-main.” Sahut pegawai administrasi yang mulai sewot pada gadis itu.Mendengar jawaban yang kurang enak didengar olehnya, ia pun bangkit dari kursi dan meninggalkan ruangan administrasi. Namun sebelum itu ia kembali berbalik badan lalu berkata,“Lihat saja nanti, kau akan melihat aku bisa lulus seleksi di program beasiswa in
Nindy berdiri di depan ruang ujian TOEFL sambil menggigiti kuku jemarinya. Ia memiliki perasaan cemas berlebihan jika hendak melakukan sesuatu yang membutuhkan energi dan menguras pikirannya. Di samping gadis itu, sosok pemuda yang sejak awal setia menemani Nindy di kampus mencoba untuk menenangkannya.“Calm down, aku yakin kau pasti bisa melewatinya.” Ujarnya dengan menawarkan sebotol soft drink padanya.“Calm down? Tenang? Oh, God! I can’t do that!” sergah Nindy bertambah semakin gugup. Pemuda itu bernama Rafael, dia lebih dulu lolos ujian TOEFL dan mendapatkan nilai 550. “Aku sudah dua kali gagal dan ini yang terakhir, kalau sampai gagal lagi, hilang sudah kesempatanku pergi ke Jepang.” tunduknya lesu.Rafael mengeluarkan sesuatu dari balik saku kemejanya, sebuah gantungan kunci bola basket yang mana bolanya empuk dan cocok dipakai oleh seseorang yang sedang dilanda kecemas
Gadis itu terbangun dari tidurnya dan beranjak melangkah ke depan jendela kamarnya. Ia buka tirai biru itu perlahan, selepas mendengar suara-suara piano menggetarkan perasaannya. Dentingan suara piano yang menyayat hatinya itu membuat ia terhenyak dan fokus mendengarnya. Suara-suara dari balik jendela kamar rumahnya. Entah di mana yang jelas sepertinya di tengah malam itu siapa yang berani membangunkan tidur orang-orang dengan dentingan suara piano? Pikirnya heran. Ia seakan pernah mendengar lirik lagu berserta suara musiknya, entah kapan ia tak bisa mengingat.‘xin tiao luan le jie zou meng ye bu zi youai shi ge jue dui cheng nuo bu shuo cheng dao yi qian nian yi houfang ren wu nai yan mei chen aiwo zai fei xu zhi zhong shou zhao ni zou lai wowo de lei guang cheng zai bu le wosuo you yi qie ni yao de ai(suo you yi qie ni xu yao de ai)
Semua mahasiswa berbondong-bondong menuju papan mading di ruang hall B di mana informasi tentang penerimaan mahasiswa pertukaran ke Jepang di universitas Kyoto, Jepang. Terlihat sangat ramai dan bergerombol, hampir-hampir tak menyisakan ruang bagi Nindy dan Rafael sebagai peserta untuk sekedar mengintip barang sejenak. Beberapa mahasiswa ada yang menepuk pundak Rafael dan mengucapkan selamat, padahal Rafael berada dalam barisan paling belakang.“Selamat ya, Rafael! Kau lolos seleksi!” celetuk seseorang di depan Rafael yang tak lain adalah temannya sendiri. Mendengar kalimat yang terdengar mengejutkan Rafael, pemuda itupun melongo.“Hah? Apa? Maksudnya…? Aku? Lolos seleksi?” telunjuknya diarahkan ke hidung sedang ia menampakkan wajah culunnya.“Sukses ke Jepang!” tekannya sekali lagi, temannya itu memanggil temannya yang lain dan meminta mereka memberi selamat pada Rafael. Pemandangan seperti itu
Universitas Kyoto, Jepang.Tak terasa dua bulan telah berlalu memijakkan kaki di tanah Jepang. Bayangan tentang tidak mudahnya hidup di negara Jepang ternyata ada benarnya juga. Jangan membawa fisik tanpa bekal jika ingin sekolah di negeri matahari itu. Sebab bisa-bisa tidak makan! Pekik hati Nindy menjerit ketika melihat stok mie instan di dalam kardusnya tinggal beberapa bungkus saja.“Mama, mie-ku habiss! Huhuhu, kiriman uang juga belum datang. Padahal ini baru dua bulan, terus gimana yah? Bisa-bisa aku mati kelaparan di apartemen ini. Kalau tahu bakal hidup susah di sini, mending aku nggak berangkat!” keluhnya kesal sambil melempar dua bungkus mie instan yang ada di tangannya. Percaya sudah bahwa ternyata ia tidak memudahkan ibunya malah menyusahkan ibunya yang tiap bulan harus mengirim uang sebesar 80.000 yen. Sekitar delapan jutaan dan itu hanya untuk biaya hidup saja, tidak lebih dari itu. Gadis itu menyalakan kompor dan ternya
Lelaki itu, Murakami Takuya. Ia melepaskan kostum boneka anjing putih yang melekat di tubuhnya. Sebuah kostum yang dijadikan maskot produk boneka yang dijualnya dan sekedar untuk menarik perhatian para pengunjung yang tertarik untuk masuk ke dalam toko. Diletakkannya boneka tersebut di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam lemari kaca. Ia kembali mengenakan pakaian kerjanya dan menemui si empunya toko mainan. Seorang lelaki tua bernama Ogawa Sachio, si tua berusia 61 tahun itu sedang membersihkan boneka-boneka yang terbuat dari lilin.“Takuya, apa kau sudah selesai menyebarkan brosur?” tanya lelaki tua itu yang kini mengambil kemucingnya dan membersihkan kaca etalase.“Sudah, Pak.” Jawabnya singkat. Takuya mengeluarkan semua boneka yang masih ada di dalam karung untuk dimasukkan ke dalam etalase.“Aku tadi melihatmu di depan, untung saja kau menyelamatkan gadis itu.”“Ya, untung saja. Kalau tidak dia sudah terluka
Di toko boneka IrasshaimaseGadis itu membungkukkan punggungnya lima belas derajat pada si pemilik toko boneka, juga pada seorang pegawai laki-laki di sampingnya. Ia memberikan salam hormat pertamanya sebagai seorang pegawai baru. Dengan mengenakan pakaian seragam unik dan lucu menurutnya, ia tampak seperti boneka.“Terima kasih, mohon bimbingannya.” Nindy menundukkan pandangan saat ia berhadapan dengan Murakami Takuya. Seorang lelaki yang dulu pernah menyelamatkannya, namun ia tidak ingat.“Sama-sama, jika ada yang ingin ditanyakan. Jangan sungkan-sungkan tuk bertanya. OK! Oh ya, namaku Murakami Takuya.” Takuya mengerlingkan matanya, sedang Nindy tak melihatnya.“Hai.” Jawabnya singkat. Dengan tangan membawa sebuah kemucing bulu. “tugas pertama saya apa?” tanyanya pada Takuya.Lelaki itu menggiring Nindy pada beberapa etalase kaca, “Ini, tiap hari kau harus me
Universitas Kyoto, musim panas Rafael memperhatikan gerak-gerik Nindy sejak ia baru saja masuk ke dalam kelas. Ia melihat seperti ada perbedaan yang tampak dari tingkah lakunya belakangan ini. Sudah hampir seminggu Nindy selalu melewatkan waktu untuk berdiskusi tentang kesenian dan budaya Jepang. Ia selalu mangkir dengan alasan bekerja part time. Gadis itu baru saja masuk ke dalam ruang kelasnya dan duduk di samping Rafael. Ia tebarkan senyum tipisnya pada pemuda itu. “Kau sudah tidak masuk kelas seni lima hari, Nindy. Nanti kau tidak dapat sertifikat, apa kau tidak bisa meluangkan waktu sejenak? Ini hanya setahun, kuminta kau jangan menyia-nyiakan waktu singkatmu.” tutur Rafael mencoba untuk mengingatkan kelalaian gadis itu. “Ssst, jangan keras-keras kalau bicara. Aku sudah dengar, aku tidak menyia-nyiakan waktuku. Ini, semua tugas tentang kesenian sudah kukerjakan tengah malam sampai jam dua pagi. Aku tidak tidur selepas bekerja, kau menger