Lelaki itu, Murakami Takuya. Ia melepaskan kostum boneka anjing putih yang melekat di tubuhnya. Sebuah kostum yang dijadikan maskot produk boneka yang dijualnya dan sekedar untuk menarik perhatian para pengunjung yang tertarik untuk masuk ke dalam toko. Diletakkannya boneka tersebut di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam lemari kaca. Ia kembali mengenakan pakaian kerjanya dan menemui si empunya toko mainan. Seorang lelaki tua bernama Ogawa Sachio, si tua berusia 61 tahun itu sedang membersihkan boneka-boneka yang terbuat dari lilin.
“Takuya, apa kau sudah selesai menyebarkan brosur?” tanya lelaki tua itu yang kini mengambil kemucingnya dan membersihkan kaca etalase.
“Sudah, Pak.” Jawabnya singkat. Takuya mengeluarkan semua boneka yang masih ada di dalam karung untuk dimasukkan ke dalam etalase.
“Aku tadi melihatmu di depan, untung saja kau menyelamatkan gadis itu.”
“Ya, untung saja. Kalau tidak dia sudah terluka, mobil itu kencang sekali, fiuuh!” Takuya menghembuskan napas lega karena ia baru saja menyelamatkan nyawa gadis itu.
“Dia baru saja melamar kerja di sini, ini lamarannya.” Sachio, si tua itu menyodorkan kertas lamaran gadis itu pada Takuya.
“Hah?” Takuya sempat tercengang beberapa detik. “Apa dia melamar di sini? Oh, suatu kebetulan.”
“Ya, aku akan memanggilnya besok pagi.”
*
Kyoto Apartment 11 Kodaiji Temple
Lelaki itu meletakkan sebuah meja di atas tatami[1] di dalam kamarnya. Kemudian ia keluarkan semua peralatan dari dalam tas, sengaja ia mencecerkan semuanya kecuali botol-botol tinta warna ia letakkan khusus di dalam sebuah boks kecil di samping meja. Setelah itu ia mulai mempersiapkan buku gambar khusus untuk menggambar komik yang baru saja dibelinya di toko alat tulis. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum akhirnya ia sibuk dengan pena G-nya dan daya imajinasinya untuk menuangkan segala kisah ke dalam gambar.
“Sepertinya pertemuanku dengan gadis itu bisa jadi ide nih! Keren juga adegan tabrakan maut itu. Gadis itu… cantik juga.”
Menit itupula Takuya tenggelam ke dalam dunianya. Di mana hanya ada dirinya dan gambar-gambar yang kini menjadi bagian dalam hidupnya. Saat dimana ia tak lagi bersatu dengan waktu yang begitu cepat berubah. Pagi, siang, malam. Dan lalu kembali menjadi pagi lagi.
*
Nindy berjalan mondar-mandir di kamar apartemennya yang kecil. Terkadang ia berhenti di depan pesawat telepon lalu kembali berjalan mondar-mandir seperti orang kebingungan. Entah sudah berapa kali ia melihat jam tangannya, sedang di depannya sebuah kardus mie instan hanya tinggal dua bungkus saja.
“Oh, biasanya di tanggal sepuluh ini mama mengirim uang. Tapi aku tidak mau menyusahkannya, aku tidak ingin meminta. Jadi Tuhan, kabulkanla doaku. Agar aku bisa diterima bekerja di toko boneka itu. Biarkan aku mencoba untuk menjadi seorang anak yang mandiri.” Harapnya cemas kala itu. Tepat pukul tujuh pagi terdengar suara bel di kamar apartemennya.
TING..TONG…
Nindy lekas berlari membuka pintu kamar apartemennya dan melihat sesuatu di sana. Bukanlah sesosok manusia yang berdiri di hadapannya, melainkan sekotak bekal makan siang ‘Bento[2]’ teronggok di depannya. Gadis itu membungkukkan punggung dan mengambil kotak makanan itu yang diatasnya tertulis sederet kalimat pesan;
Aku tidak ingin melihatmu mati kelaparan,
Ini makanan kesukaanmu, Nindy.
“Rafael?” gadis itu masuk kedalam kamar apartemennya dan meletakkan bento itu di sebelah pesawat telepon. Rupanya ia masih terus menunggu deringan telepon itu berbunyi. Ia melirik ke arah jam dinding, dihitungnya tiap detik saat jarum jam itu terus berjalan tanpa henti.
TAK..TIK..TAK..TIK…
Hingga akhirnya telepon itu berbunyi, suara deringan mengejutkan dari lamunan beberapa saat. Lekas disambarnya gagang telepon itu;
“Moshi-moshi? Disini Nindy-chan.” Sapa gadis itu dengan gugupnya. Ia berharap orang yang menelpon adalah orang yang paling dinantinya.
“Ya, saya pemilik toko boneka ‘Irasshaimase’, apakah saya sedang berbicara dengan Nindy-san?”
“Hai.”
“Bisakah Nindy-san hari ini datang ke toko saya? Saya ingin membicarakan tentang gaji Anda.”
*
‘Hosh…hosh…hosh…’
Gadis itu turun ke loteng bawah sambil di tangannya membawa bekal bento pemberian Rafael. Ia hendak mengucapkan terima kasih pada sahabatnya itu yang telah bersikap baik padanya. Ia kini berhenti tepat di depan kamar Rafael, diketuknya pintu itu tiga kali.
“Rafael! Rafael!” panggilnya keras sambil ia menggedor-gedor pintu padahal sudah disediakan bel di samping pintu tersebut. Tapi lantaran karena ia terlalu senang sampai membuatnya tidak ingat sama sekali.
Pintu itu pun terbuka, Rafael melongo melihat Nindy berdandan cantik dan tengah tersenyum penuh arti padanya.
“Kau mau kemana pagi ini?”
“Aku, sebelumnya aku mau ngucapin terima kasih ya karena kamu sudah memberiku bekal makanan. Tapi, mulai besok tidak usah karena aku sudah diterima bekerja di toko boneka itu, Rafael.” Ucapnya sumringah, mata gadis itu berbinar-binar.
Rafael melongo, “Hah, serius?”
“Ya, aku serius. Tadi pemilik toko itu menghubungiku dan aku diminta untuk datang hari ini. Aku…, aku takut kalau terlambat, jadi aku pergi dulu ya!” Nindy lekas berbalik punggung dan keluar apartemen meninggalkan sosok Rafael yang masih diam melongo. Ia berpikir gadis itu melakukan satu kegilaan dalam hidupnya setahun ini. Padahal selepas itu, ia tidak akan pernah lagi bisa kembali ke Jepang lagi. Sementara, dan gadis itu menyibukkan dirinya sendiri, bukan untuk menikmati.
*
[1] Tatami adalah Tatami adalah tikar bambu tebal khas jepang yang biasa digunakan pada rumah gaya jepang. Tatami ini berbentuk persegi panjang, dan walaupun ukurannya berbeda-beda namun ukuran standarnya adalah. sekitar 91 cm x 182 cm per lembar tatami.
[2] Bento merupakan makanan Jepang yang dikemas dalam sebuah kotak. Isinya biasanya berupa nasi, ikan atau daging, juga sayuran. Bento juga memiliki kreatifitas penataan yang unik. Biasanya dibuatkan dari rumah sebagai bekal makan siang atau untuk piknik.
`
Di toko boneka IrasshaimaseGadis itu membungkukkan punggungnya lima belas derajat pada si pemilik toko boneka, juga pada seorang pegawai laki-laki di sampingnya. Ia memberikan salam hormat pertamanya sebagai seorang pegawai baru. Dengan mengenakan pakaian seragam unik dan lucu menurutnya, ia tampak seperti boneka.“Terima kasih, mohon bimbingannya.” Nindy menundukkan pandangan saat ia berhadapan dengan Murakami Takuya. Seorang lelaki yang dulu pernah menyelamatkannya, namun ia tidak ingat.“Sama-sama, jika ada yang ingin ditanyakan. Jangan sungkan-sungkan tuk bertanya. OK! Oh ya, namaku Murakami Takuya.” Takuya mengerlingkan matanya, sedang Nindy tak melihatnya.“Hai.” Jawabnya singkat. Dengan tangan membawa sebuah kemucing bulu. “tugas pertama saya apa?” tanyanya pada Takuya.Lelaki itu menggiring Nindy pada beberapa etalase kaca, “Ini, tiap hari kau harus me
Universitas Kyoto, musim panas Rafael memperhatikan gerak-gerik Nindy sejak ia baru saja masuk ke dalam kelas. Ia melihat seperti ada perbedaan yang tampak dari tingkah lakunya belakangan ini. Sudah hampir seminggu Nindy selalu melewatkan waktu untuk berdiskusi tentang kesenian dan budaya Jepang. Ia selalu mangkir dengan alasan bekerja part time. Gadis itu baru saja masuk ke dalam ruang kelasnya dan duduk di samping Rafael. Ia tebarkan senyum tipisnya pada pemuda itu. “Kau sudah tidak masuk kelas seni lima hari, Nindy. Nanti kau tidak dapat sertifikat, apa kau tidak bisa meluangkan waktu sejenak? Ini hanya setahun, kuminta kau jangan menyia-nyiakan waktu singkatmu.” tutur Rafael mencoba untuk mengingatkan kelalaian gadis itu. “Ssst, jangan keras-keras kalau bicara. Aku sudah dengar, aku tidak menyia-nyiakan waktuku. Ini, semua tugas tentang kesenian sudah kukerjakan tengah malam sampai jam dua pagi. Aku tidak tidur selepas bekerja, kau menger
“Oh, Mama. Apa kau tidak percaya padaku?”[Nindy]____________Takuya mengajak gadis itu masuk ke dalam Taman Nara, tepat di musim panas. Di mana banyak dedaunan yang gugur menghiasi rerumputan hijau yang mulai sedikit menguning. Banyak sekali pohon-pohon yang juga mengitari area taman menambah sejuk udara walau kala itu tengah di musim panas. Angin sepoi-sepoi yang berhembus mengibar-ngibarkan rambut panjang Nindy yang tergerai lepas. Suara-suara para pengunjug yang terlihat asyik berbincang-bincang dan berikut pula dengan suasana yang jauh luar biasa dan belum pernah dilihat oleh gadis itu.Rusa.Banyak sekali rusa-rusa yang dibiarkan bebas menghampiri para pengunjung tanpa mereka harus takut disakiti atau bahkan menyakiti. Pemandangan seperti itu membuat Nindy terbengong-bengong. Kala itu, ada empat ekor rusa yang tiba-tiba berjalan menghampiri Takuya dan Nindy.“Oh, tidak! Ini menakutkan, kakak Takuya.
Gadis itu memperhatikan gerak-gerik lincah tangan Takuya yang tengah menggenggam sebuah pena dan mulai menggoreskan pensil hitam itu di atas kertas gambar. Ia meminta Rafael untuk berdiri di tengah sedang dikelilingi oleh keempat rusa untuk dijadikan obyek gambarnya.Slert..slert…slert…Takuya seakan pindah ke dimensi yang lain, dimana ia sama sekali tidak mau menjawab semua pertanyaan Nindy. Jika lelaki Jepang itu sudah terfokus menggenggam pensil dan kertas, maka yang terjadi adalah ia tak akan pernah mempedulikan siapapun selain hanya dirinya dan apa yang tengah digambarnya.“Kau mau mengajariku menggambar komik, Kak Takuya?” tanyanya sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Hanya suara goresan pensil itu yang terus berbicara, slert…slert…slert…“Hei, Nindy! Sampai kapan aku berdiri disini? Capek!” keluh Rafael sambil menggaruk-garuk kaki dengan tangannya. Sedang rusa-rusa
Toko boneka Irasshaimase, siang hari.Takuya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang dan itu adalah waktu dimana ia harus segera pulang sedang ia menunggu pengganti shift sore yang belum juga datang. Tak biasanya gadis itu datang terlambat, pikir Takuya saat itu. Lelaki Jepang itu mengenal sikap kedisiplinan Nindy pada waktu.“Ah, kenapa dia belum datang juga? Aku ada ujian menggambar hari ini, ufffth…, kalau sampai telat, aku bisa gagal lulus di tahun akhir.” Takuya semakin resah, ia menoleh ke belakang dan melihat si pemilik toko, Ogawa Sachio sedang sibuk bercinta dengan kertas dan kalkulator. “Ah, si bos juga sedang sibuk. Bisa mati aku di sini.” keluhnya bertambah bingung. Akhirnya Takuya keluar dari dalam toko untuk melongok ke jalan, barangkali ia melihat sosok gadis yang dinantinya itu datang. Ada sekitar sepuluh menit ia berdiri, tapi Nindy tetap belum menampakkan batang hidungnya.
Kyoto Apartment 11 Kodaiji TempleSeorang wanita berdiri tepat di depan sebuah pintu kamar apartemen Murakami Takuya. Ia menenteng dua kopor besar di tangan kanan dan kirinya. Penampilan wanita muda yang usianya berkisar duapuluh empat tahunan itu terlihat kuno. Rambutnya dikepang seperti wanita desa pada umumnya. Sebelum akhirnya ia memencet bel kamar, wanita itu menarik napas panjang.“Fiiuuhh, akhirnya kutemukan juga kau disini, Takuya-chan. Kau tidak bisa lari dariku untuk ketiga kalinya.”*Lelaki Jepang itu mulai menggoreskan pena di atas kertas gambarnya setelah ia selesai menggambar sketsa dengan pensil. Seperti biasa, jika lelaki itu sudah masuk ke dalam dunia lainnya, maka gangguan sedahsyat apapun ia tak akan bisa mendengar. Sebab ia sengaja meredam suara dan menutup telinga dengan headsetnya untuk mendengarkan musik lagu. Ia berimajinasi pada sesosok wajah seorang gadis yang kini tengah menguasai pikiranny
Rumah Sakit Umum Surabaya, 23.30 wib.Lelaki paruh baya itu merintih pelan, suaranya terdengar serak-serak basah. Ia memanggil nama isterinya yang tengah malam itu terbaring di atas sofa tak jauh dari ranjangnya. Sekalipun ia mencoba agar bisa mengangkat tangan kanannya yang terbebas dari selang infus, ternyata gagal terus.“Edela, Edela…,Ede…la,” panggilnya dengan suaranya yang parau, “kau di mana? Kenapa gelap? Apa lampu mati?” lelaki itu tak kuasa menahan rasa takutnya. Ia takut gelap, dan mendengar suara layar monitor perekam jantung di dekatnya. Tlit…Tlit…Tlit…Tak ada sahutan. Hening. Senyap.Lelaki itu bertambah nian rasa takutnya, akhirnya ia berteriak keras seraya menghabiskan seluruh tenaganya hanya agar ia bisa berteriak.“Edela!! Edela!!” tanpa sengaja tangan kanannya menyenggol sebuah gelas yang ada di atas meja dan jatuh ke lantai, pecah b
Gadis itu menangis meraung-raung tepat berada di depan sebuah rumah kontrakan dekat kampus yang kini dilalap habis oleh si merah yang membara. Ia jatuh terduduk saat menyaksikan kobaran api yang seakan-akan hendak memakannya juga. Dua orang petugas pemadam kebakaran menahan laju gadis itu yang sepertinya akan nekad masuk ke dalam rumah. Ia terus-menerus berteriak histeris.“Kakak Takuya, Kak Takuya!!! Kakak!!!” teriaknya keras sampai suaranya berubah menjadi serak.“Tolong jangan masuk, Nona. Ini bahaya, kau bisa ikut terbakar!” tukas seorang pemadam kebakaran yang menahan tubuhnya.“Di dalam ada orang Jepang! Ada Takuya di sana, dia harus keluar!” seru gadis itu memaksa.“Ya, biarkan kami yang melakukannya. Kau harus tetap disini, mengerti!”“Tolong dia, Pak. Dia tidak boleh mati, tidak boleh!” tangisnya bertambah histeris saat pintu depan rumah itu akhirnya terbuka. Dan tampa