Semua mahasiswa berbondong-bondong menuju papan mading di ruang hall B di mana informasi tentang penerimaan mahasiswa pertukaran ke Jepang di universitas Kyoto, Jepang. Terlihat sangat ramai dan bergerombol, hampir-hampir tak menyisakan ruang bagi Nindy dan Rafael sebagai peserta untuk sekedar mengintip barang sejenak. Beberapa mahasiswa ada yang menepuk pundak Rafael dan mengucapkan selamat, padahal Rafael berada dalam barisan paling belakang.
“Selamat ya, Rafael! Kau lolos seleksi!” celetuk seseorang di depan Rafael yang tak lain adalah temannya sendiri. Mendengar kalimat yang terdengar mengejutkan Rafael, pemuda itupun melongo.
“Hah? Apa? Maksudnya…? Aku? Lolos seleksi?” telunjuknya diarahkan ke hidung sedang ia menampakkan wajah culunnya.
“Sukses ke Jepang!” tekannya sekali lagi, temannya itu memanggil temannya yang lain dan meminta mereka memberi selamat pada Rafael. Pemandangan seperti itu membuat Nindy semakin menciut hatinya, ia berpikir dirinya tidak lolos. Nindy terdiam melongo menyaksikan kegembiraan teman-teman Rafael. Iapun memilih untuk menyingkir dari Rafael dan memilih berdiri di sudut ruang di mana sepertinya ia tidak ingin terlihat atau dilihat orang. Pada suasana keramaian yang membuat nyali Nindy tak lagi bangkit, ia mengirim pesan SMS pada ibunya.
Mama, bolehkah sepulang nanti aku menangis di pelukan mama?
*
Edela mendengar deringan suara ponsel yang menandakan ada pesan masuk. Tlit…tlit…tlit. Ia menghentikan jemarinya yang sedang asyik menari di atas papan keyboard dan mengambil ponsel di sebelah kiri meja.
“Baru saja ada di bagian klimaks, saat si tokoh baru mau bunuh diri. Tiba-tiba hilang karena gangguan suara SMS.” Edela membaca sebuah pesan yang masuk dan tak lain dari puterinya sendiri. Membaca deretan kalimat yang menyedihkan itu rupanya tak imembuat Edela sedih atau menangis. Bahkan tidak untuk sekedar menitikkan air matanya. Ia sudah bisa menerima keputusan itu dan tersenyum tipis sambil membalas pesan untuk puterinya.
Pulanglah, mama siapkan puding susu untukmu.
*
Nindy menundukkan wajahnya sesaat ia baru saja membaca pesan balasan dari sang ibunda. Kalimat balasan itu sedikit menenangkan hatinya sebelum ia dikejutkan dengan seruan Rafael yang terdengar membabi buta. Ya, Nindy tak akan pernah melupakan betapa kerasnya suara Rafael saat itu.
“Nindddyyyy…!!!” Rafael menghentikan langkahnya tepat di depan gadis itu. Sampai-sampai sepatunya berbunyi CIETT…CIETT…
Nindy mengangkat wajahnya dan menatap Rafael terkejut lantaran pemuda itu hampir saja menabrakkan diri ke arahnya. Tepat setengah meter saja tubuh Rafael bisa jatuh di depannya. Mati sudah kalau sampai begitu, pikir Nindy bingung.
“Rafaell! Kalau kau senang boleh-boleh saja, tapi jangan teriak-teriak dong! Kupingku belum budeg tau’!” tegas Nindy beranjak dari kursi dan membuang semua kertas-kertas formulir sisa juga buku-buku perjalanan ke Jepang milik Rafael yang dipinjamnya. “kukembalikan buku-bukumu, aku gagal!” gadis itu beralih ke kiri dan meninggalkan Rafael seorang diri di sana, ia sama sekali belum tahu bahwa ada kabar baik pula untuknya. Amarah dan kesal rupanya masih membuncah di dalam hatinya. Bagaimana tidak, sebetulnya dalam hati ia sangat berharap bisa masuk.
Pemuda itu menarik kuat lengan Nindy, “Hei, tunggu sebentar! Nindy, kau belum tahu!”
“Tahu apalagi, sih?! Sudah jelas, kau yang masuk!”
“Kau juga tahu!”
“Hah, mana mungkin! Mereka semua berseru namamu, namaku tidak disebut,”
“Makanya…, lihat dulu dong!” Rafael menggiring Nindy mendekati papan mading, dan ia berhasil menyingkirkan gerombolan manusia-manusia tidak penting yang menyesakkan. “minggir! Minggir!”
“Rafael jangan bohong, ah!” dan akhirnya gadis itupun melihat sebuah keajaiban yang tidak disangka-sangkanya. Bahwa namanya berada di posisi paling atas di mana Rafael ada dibarisan bawahnya.
“Itu namamu, Anindya Vannisa Putri!”
Gadis itu tercengang, benar-benar tercengang dan berkali-kali berucap, “Oh, my God.”
*
Universitas Kyoto, Jepang.Tak terasa dua bulan telah berlalu memijakkan kaki di tanah Jepang. Bayangan tentang tidak mudahnya hidup di negara Jepang ternyata ada benarnya juga. Jangan membawa fisik tanpa bekal jika ingin sekolah di negeri matahari itu. Sebab bisa-bisa tidak makan! Pekik hati Nindy menjerit ketika melihat stok mie instan di dalam kardusnya tinggal beberapa bungkus saja.“Mama, mie-ku habiss! Huhuhu, kiriman uang juga belum datang. Padahal ini baru dua bulan, terus gimana yah? Bisa-bisa aku mati kelaparan di apartemen ini. Kalau tahu bakal hidup susah di sini, mending aku nggak berangkat!” keluhnya kesal sambil melempar dua bungkus mie instan yang ada di tangannya. Percaya sudah bahwa ternyata ia tidak memudahkan ibunya malah menyusahkan ibunya yang tiap bulan harus mengirim uang sebesar 80.000 yen. Sekitar delapan jutaan dan itu hanya untuk biaya hidup saja, tidak lebih dari itu. Gadis itu menyalakan kompor dan ternya
Lelaki itu, Murakami Takuya. Ia melepaskan kostum boneka anjing putih yang melekat di tubuhnya. Sebuah kostum yang dijadikan maskot produk boneka yang dijualnya dan sekedar untuk menarik perhatian para pengunjung yang tertarik untuk masuk ke dalam toko. Diletakkannya boneka tersebut di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam lemari kaca. Ia kembali mengenakan pakaian kerjanya dan menemui si empunya toko mainan. Seorang lelaki tua bernama Ogawa Sachio, si tua berusia 61 tahun itu sedang membersihkan boneka-boneka yang terbuat dari lilin.“Takuya, apa kau sudah selesai menyebarkan brosur?” tanya lelaki tua itu yang kini mengambil kemucingnya dan membersihkan kaca etalase.“Sudah, Pak.” Jawabnya singkat. Takuya mengeluarkan semua boneka yang masih ada di dalam karung untuk dimasukkan ke dalam etalase.“Aku tadi melihatmu di depan, untung saja kau menyelamatkan gadis itu.”“Ya, untung saja. Kalau tidak dia sudah terluka
Di toko boneka IrasshaimaseGadis itu membungkukkan punggungnya lima belas derajat pada si pemilik toko boneka, juga pada seorang pegawai laki-laki di sampingnya. Ia memberikan salam hormat pertamanya sebagai seorang pegawai baru. Dengan mengenakan pakaian seragam unik dan lucu menurutnya, ia tampak seperti boneka.“Terima kasih, mohon bimbingannya.” Nindy menundukkan pandangan saat ia berhadapan dengan Murakami Takuya. Seorang lelaki yang dulu pernah menyelamatkannya, namun ia tidak ingat.“Sama-sama, jika ada yang ingin ditanyakan. Jangan sungkan-sungkan tuk bertanya. OK! Oh ya, namaku Murakami Takuya.” Takuya mengerlingkan matanya, sedang Nindy tak melihatnya.“Hai.” Jawabnya singkat. Dengan tangan membawa sebuah kemucing bulu. “tugas pertama saya apa?” tanyanya pada Takuya.Lelaki itu menggiring Nindy pada beberapa etalase kaca, “Ini, tiap hari kau harus me
Universitas Kyoto, musim panas Rafael memperhatikan gerak-gerik Nindy sejak ia baru saja masuk ke dalam kelas. Ia melihat seperti ada perbedaan yang tampak dari tingkah lakunya belakangan ini. Sudah hampir seminggu Nindy selalu melewatkan waktu untuk berdiskusi tentang kesenian dan budaya Jepang. Ia selalu mangkir dengan alasan bekerja part time. Gadis itu baru saja masuk ke dalam ruang kelasnya dan duduk di samping Rafael. Ia tebarkan senyum tipisnya pada pemuda itu. “Kau sudah tidak masuk kelas seni lima hari, Nindy. Nanti kau tidak dapat sertifikat, apa kau tidak bisa meluangkan waktu sejenak? Ini hanya setahun, kuminta kau jangan menyia-nyiakan waktu singkatmu.” tutur Rafael mencoba untuk mengingatkan kelalaian gadis itu. “Ssst, jangan keras-keras kalau bicara. Aku sudah dengar, aku tidak menyia-nyiakan waktuku. Ini, semua tugas tentang kesenian sudah kukerjakan tengah malam sampai jam dua pagi. Aku tidak tidur selepas bekerja, kau menger
“Oh, Mama. Apa kau tidak percaya padaku?”[Nindy]____________Takuya mengajak gadis itu masuk ke dalam Taman Nara, tepat di musim panas. Di mana banyak dedaunan yang gugur menghiasi rerumputan hijau yang mulai sedikit menguning. Banyak sekali pohon-pohon yang juga mengitari area taman menambah sejuk udara walau kala itu tengah di musim panas. Angin sepoi-sepoi yang berhembus mengibar-ngibarkan rambut panjang Nindy yang tergerai lepas. Suara-suara para pengunjug yang terlihat asyik berbincang-bincang dan berikut pula dengan suasana yang jauh luar biasa dan belum pernah dilihat oleh gadis itu.Rusa.Banyak sekali rusa-rusa yang dibiarkan bebas menghampiri para pengunjung tanpa mereka harus takut disakiti atau bahkan menyakiti. Pemandangan seperti itu membuat Nindy terbengong-bengong. Kala itu, ada empat ekor rusa yang tiba-tiba berjalan menghampiri Takuya dan Nindy.“Oh, tidak! Ini menakutkan, kakak Takuya.
Gadis itu memperhatikan gerak-gerik lincah tangan Takuya yang tengah menggenggam sebuah pena dan mulai menggoreskan pensil hitam itu di atas kertas gambar. Ia meminta Rafael untuk berdiri di tengah sedang dikelilingi oleh keempat rusa untuk dijadikan obyek gambarnya.Slert..slert…slert…Takuya seakan pindah ke dimensi yang lain, dimana ia sama sekali tidak mau menjawab semua pertanyaan Nindy. Jika lelaki Jepang itu sudah terfokus menggenggam pensil dan kertas, maka yang terjadi adalah ia tak akan pernah mempedulikan siapapun selain hanya dirinya dan apa yang tengah digambarnya.“Kau mau mengajariku menggambar komik, Kak Takuya?” tanyanya sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Hanya suara goresan pensil itu yang terus berbicara, slert…slert…slert…“Hei, Nindy! Sampai kapan aku berdiri disini? Capek!” keluh Rafael sambil menggaruk-garuk kaki dengan tangannya. Sedang rusa-rusa
Toko boneka Irasshaimase, siang hari.Takuya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang dan itu adalah waktu dimana ia harus segera pulang sedang ia menunggu pengganti shift sore yang belum juga datang. Tak biasanya gadis itu datang terlambat, pikir Takuya saat itu. Lelaki Jepang itu mengenal sikap kedisiplinan Nindy pada waktu.“Ah, kenapa dia belum datang juga? Aku ada ujian menggambar hari ini, ufffth…, kalau sampai telat, aku bisa gagal lulus di tahun akhir.” Takuya semakin resah, ia menoleh ke belakang dan melihat si pemilik toko, Ogawa Sachio sedang sibuk bercinta dengan kertas dan kalkulator. “Ah, si bos juga sedang sibuk. Bisa mati aku di sini.” keluhnya bertambah bingung. Akhirnya Takuya keluar dari dalam toko untuk melongok ke jalan, barangkali ia melihat sosok gadis yang dinantinya itu datang. Ada sekitar sepuluh menit ia berdiri, tapi Nindy tetap belum menampakkan batang hidungnya.
Kyoto Apartment 11 Kodaiji TempleSeorang wanita berdiri tepat di depan sebuah pintu kamar apartemen Murakami Takuya. Ia menenteng dua kopor besar di tangan kanan dan kirinya. Penampilan wanita muda yang usianya berkisar duapuluh empat tahunan itu terlihat kuno. Rambutnya dikepang seperti wanita desa pada umumnya. Sebelum akhirnya ia memencet bel kamar, wanita itu menarik napas panjang.“Fiiuuhh, akhirnya kutemukan juga kau disini, Takuya-chan. Kau tidak bisa lari dariku untuk ketiga kalinya.”*Lelaki Jepang itu mulai menggoreskan pena di atas kertas gambarnya setelah ia selesai menggambar sketsa dengan pensil. Seperti biasa, jika lelaki itu sudah masuk ke dalam dunia lainnya, maka gangguan sedahsyat apapun ia tak akan bisa mendengar. Sebab ia sengaja meredam suara dan menutup telinga dengan headsetnya untuk mendengarkan musik lagu. Ia berimajinasi pada sesosok wajah seorang gadis yang kini tengah menguasai pikiranny