Pameran lukisan itu sudah tampak ramai, banyak sekali para kolektor lukisan yang hadir sebatas untuk melihat dan mungkin membeli beberapa karya indah dari pada seniman lukis yang hadir disana.
Lalu terlihatlah seorang gadis yang nampak sederhana dengan balutan gaun berwarna putih gading yang menutupi bawah lututnya, ia nampak terlihat binggung, ia menoleh kesana dan kemari, mencari seseorang sepertinya. Tangannya meremas erat kanvas yang ia bawa.
"Hei! Meira!" panggil seseorang dari belakang gadis yang ternyata bernama Meira itu.
Meira hanya diam, dia tak menoleh ataupun bereaksi, ia masih sibuk melihat sekelilingnya dengan binggung.
"Hei!" seorang gadis yang tadi memanggilnya kini menepuk pundak Meira, dan Meira langsung menolehkan kepalanya kebelakang.
"kak Seva? Aku mencarimu sedari tadi, aku sangat binggung," ucap Meira dan tersenyum lega setelah melihat gadis tadi yang ternyata adalah Seva, teman sekaligus salah seorang tim penyelenggara pameran kali ini.
Seva tersenyum maklum, 'aku ada di belakangmu dan memanggilmu sedari tadi,' ucap Seva dengan senyumnya.
Meira membaca gerak bibir Seva, dan tersenyum setelahnya. 'Ah, maafkan aku kak...' ucap Meira apa adanya.
Ya, Meira kan tunarungu, ia mana bisa mendengar jika seseorang memanggilnya dari belakang. Meira hanya bisa membaca gerak bibir orang yang bicara padanya, walau terkadang sulit karena tak semua orang berbicara dengan lugas dan jelas.
"Tak apa, itu lukisanmu?" tanya Seva melihat pada sebuah kanvas yang ditutupi kertas coklat.
"Iya kak, aku akan memamerkan karyaku yang ini, ini pertama kalinya aku mengikuti pameran! Aku sangat gugup!" Ucap Meira dengan wajah berseri-seri seraya melihat lagi lukisan yang berukuran cukup besar itu.
"Tak apa, aku yakin orang-orang akan menyukai lukisanmu itu, jadi ayo kutunjukan dimana tempatmu untuk memajang lukisan ini," ucap Seva seraya berjalan mendahului Meira, dan Meira pun ikut mengekor dibelakang Seva.
Sambil berjalan, Meira mengamati sekitar, dan ia dibuat sangat takjub dengan banyaknya para pelukis yang ternyata lebih bagus darinya, hal itu membuat Meira sedikit menciut. Kalian tahu? Ini adalah kali pertamanya Meira memamerkan lukisannya.
Saking fokusnya memandangi satu per satu lukisan yang ada, Meira bahkan tak menyadari jika ternyata ia tak lagi berada di belakang Seva.
Selain itu disana juga semakin ramai, sangat ramai, Meira menjadi semakin gugup karenanya, terlebih saat tahu jika Seva tak lagi di depannya, sepertinya Meira tertinggal. Meira berusaha tenang dan terus berjalan, tentunya dengan lukisan besar yang ia bawa seorang diri. Jujur saja, lukisan yang ia bawa ini cukup berat.
Hingga seseorang berlari dari belakang Meira, menabrak tubuh ringkihnya dan membuat Meira kehilangan keseimbangan.
"Auuhh.." rintih Meira saat ia jatuh dengan posisi terduduk.
Sialnya, orang yang menabrak Meira bahkan tak menoleh ataupun membantu Meira. Untung saja Meira itu adalah gadis baik hati yang jarang sekali marah. Ia hanya diam dan bangkit kembali sambil mengecek lukisanya.
"Syukurlah baik-baik saja," ucap Meira lega.
Hingga Meira melanjutkan langkahnya namun, sebelum itu ternyata tali sepatu yang Meira pakai terlepas, cerobohnya lagi adalah, Meira kini kembali kehilangan keseimbangannya karena ia menginjak tali sepatunya sendiri, dan ia bahkan sudah bersiap untuk merasakan jatuh ke lantai keras itu untuk yang ke dua kalinya namun, ternyata sepasang lengan Kokoh menahan pinggang Meira, sehingga Meira tak terjatuh.
"Ah?" ucap Meira spontan saat ada seseorang yang menyentuhnya tepat di pinggang ramping Meira.
Karena reflek Meira langsung melepaskan pegangan pria itu di pinggangnya dengan cepat dan sedikit membuat si pria itu terdorong mundur. Meira menjauh dengan keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. Meira sangat takut, ia memiliki trauma pada sentuhan pria yang terlalu intim dan posisinya dan si pria yang menahan pinggangnya bisa dikatakan sangat intim, sontak hal itu membuat Meira menjadi panik.
Si pria yang tadi menahan pinggang Meira agar tak terjatuh itu hanya diam dengan tatapan datar, Meira menyadari satu hal jika pria itu sepertinya orang kaya dengan balutan jas mahal dan sepatu yang mengkilap.
'Astaga! Kau bodoh sekali Meira, bagaimana jika orang kaya itu marah karena sikapmu?!' batin Meira dihatinya.
Meira memberanikan dirinya untuk bersitatap dengan si pria tadi dan meminta maaf dengan sangat sopan, 'maafkan saya tuan, saya-' ucapan Meira dipotong sepihak oleh si pria tadi dengan sangat sarkas.
"Kau memiliki mata yang lengkap dan sehat. Tak bisakah kau gunakan mata itu?" Ucap si pria tadi pada Meira yang semakin gugup.
Meira tak bisa membaca gerak bibir si pria itu karena dia berbicara dengan sangat cepat.
"Maaf tuan saya-"
"Dan ya, perhatikanlah penampilanmu! Jika tak bisa memakai sepatu bertali, maka jangan pakai! Menyusahkan!" Pria tadi memandangi Meira dari atas hingga kebawah.
Masalahnya Meira tak tahu apa yang si pria tadi katakan. Meira itu tunarungu. Meira semakin binggung,"dia itu sedang mengatakan apa? Aku tak bisa membaca gerak bibirnya," ucap Meira membatin dengan pandangan Meira yang masih fokus pada bibir si pria tadi.
Meira masih memandangi bibir si pria itu hingga membuat si pria menyadari dan menutup bibirnya, dan itu membuat Meira mengerjakan matanya kaget.
"Kau memandangi bibirku?" Tanya si pria itu keras.
Meira mengerjap binggung. Ia tak paham apapun. 'Tuan, saya tak-' ucapan Meira lagi-lagi terpotong dengan si pria yang menatap Meira tajam.
"Kau-"
"Tuan Hale?" Seorang gadis menghampiri Hale dan membungkuk hormat lalu memandang Meira dengan binggung. Itu Seva.
"Kak Seva... " panggil Meira lirih. Dalam hati Meira bersyukur karena Seva datang.
Seva bergantian menatap Meira dan Hale, terlebih lagi Hale yang masih menutupi bibirnya dengan tangan.
Seva binggung dengan apa yang ia lihat saat ini, pasalnya setahu Seva, Hale adalah seorang yang sangat kaku dan ya... Kalian tahu Hale itu juga sedikit anti sosial, lalu ini? Hale berada dengan Meira dengan ekspresi aneh.
"Dia gadis mesum!" Ucap Hale sarkas sambil menunjuk Meira.
"Hah?" kaget Seva sampai ia menutup mulutnya dan menatap Meira dan Hale bergantian.
"Seharusnya kau tak mengizinkan orang mesum sepertinya datang di acara seni seperti ini!" ucap Hale dengan pandangan yang mengarah pada Meira.
Seva semakin dibuat binggung dengan apa yang Hale katakan. Mesum? Meira mesum? Bahkan Meira saja tak pernah berpacaran hingga kini ia berumur dua puluh tahun.
Seva memandang Meira penuh tanda tanya dan Meira hanya menggeleng, suasananya sangat aneh saat ini.
"Usir saja orang aneh sepertinya! Aku tak mau acara ini dihadiri oleh orang mesum sepertinya!" Hale masih saja mengatai Meira mesum. Astaga!
"Tapi tuan dia itu-"
"Dia memandangi bibirku tanpa berkedip sedari tadi!" Potong Hale sambil menunjuk Meira yang kini semakin menciut.
'Sepertinya aku membuat kesalahan? Tuan kaya itu sepertinya sangat marah padaku,' batin Meira risau.
"Apa?" Seva bertanya tak percaya atas apa yang ia dengar barusan.
Seva menahan tawanya dan menatap Hale lalu Meira secara bergantian.
"Maaf tuan Hale, sebelumnya saya ingin menjelaskan, dia ini Meira, dia salah seorang pelukis yang akan memamerkan karyanya disini, dan tuan, dia memandangi bibirmu untuk membaca gerak bibirmu, Meira adalah seorang tunarungu," ucap Seva secara lugas.
Meira memajukan langkahnya dan kini ia justru membungkuk sembilan puluh derajat dihadapan Hale, dan kemudian ia menundukkan kepalanya dan berkata, "maafkan aku tuan, aku tak mengerti apa yang kau katakan sejak tadi. Kau berbicara sangat cepat, aku tak bisa membaca gerak bibirmu." ucap Meira dengan suaranya yang sangat lembut.
Hale mengerjapkan matanya. Ia menurunkan tanganya yang sedari tadi ia taruh di depan bibir dengan canggung.
"Ekhmm" Hale berdehem untuk menormalkan suasana.
Kini wajah Hale kembali datar dan memandang Meira dengan tajam. "Lain kali jangan kau undang orang cacat untuk hadir di acara pamaeran ini!" ucap Hale sangat sarkas.
Hale sengaja berbicara dengan pelan agar Meira mampu membaca gerak bibirnya.
Meira yang tahu pun langsung menunduk, ia sedih. Lagi-lagi kekurangaya di angkat ke permukaan.
Seva semakin tak enak, Hale itu memang orang yang sangat sarkas dan kejam saat berbicara. Begitulah pikir Seva.
"Tapi tuan-"
"Aku tak suka ada ketidaksempurnaan di acaraku ini! " ucap Hale dan langsung pergi dari sana.
Tapi baru saja dua langkah, Hale berhenti lalu menoleh kebelakang. "Jika pelukisnya saja cacat, bagaimana dengan lukisannya? Aku yakin itu tak akan bagus!" ucap Hale dan berlalu begitu saja meninggalkan Meira dan Seva.
Seva menyentuh pundak sahabatnya itu dengan hati-hati, "tuan Hale memang seperti itu, maaf ya Meira." ucap Seva. Meira menoleh dan tersenyum pada Seva, "tak apa kak, sepertinya aku yang salah juga disini" ucap Meira.
Seva semakin tak enak. Meira ini terlalu baik dan ya, polos. Ia akan memaafkan semua orang yang mungkin saja menyakitinya hanya dalam dua detik. Rasanya Seva heran, bagaimana Meira bisa sebaik itu?
"Ah, kak Seva, tadi memangnya tuan tadi mengatakan apa? Aku tak tahu mengapa dia menutup bibirnya," tanya Meira dengan polos.
Seva menepuk dahinya sendiri dan tertawa kecil, "dia bilang kau mesum," ucap Seva dengan masih menertawai Meira.
Meira mengerjapkan mata bulatnya dengan sangat lucu, "aku mesum?" tanya Meira binggung.
"Kau menatap bibir tuan Hale dengan sangat lama tanpa berkedip" jelas Seva.
Pipi Meira bersemu merah, tiba-tiba saja Meira merona malu, entah mengapa tapi Meira menjadi malu sendiri.
"Aku tak mesum, aku hanya membaca gerak bibirnya..." cicit Meira, ia terbayang wajah Hale, Meira akui Hale itu sangat tampan walau sedikit menyeramkan.
"Tuan itu berbicara sangat cepat, dan aku hanya bisa memandangi bibirnya, aku tak mesum..." ucap Meira yang masih dalam mode malunya.
Ya, itulah pertemuan awal antara Meira dan Hale. Huh! Bagaimana bisa Hale dengan bodohnya menganggap Meira si gadis polos ini mesum??
Acara pameran itu berlangsung dengan sangat lancar, banyak sekali para pelukis yang merasa senang, karena beberapa diantara karya mereka berhasil terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini pun terjadi juga pada Meira.Gadis cantik nan sederhana itu kini sedang tersenyum sambil memandangi lukisannya yang juga berhasil terjual."Wah! Kau harus meneraktirku makan Mei!" ucap Seva sambil menyenggol lengan Meira, Meira hanya menganggukan kepalanya. Ia bahkan tak menyangka jika lukisannya ini akan terjual dengan harga yang bisa kalian katakan sangat fantastis."Ekhmm!" Hale datang menghampiri Meira dan Seva. Tatapanya masih datar seperti saat pertama, Halemengamati Meira dari atas hingga ke bawah."Aku tak menyangka orang cacat sepertimu bisa membuat karya seindah ini!" ucap Hale dengan lugas, Meira yang membaca gerak bibir Hale hanya bisa tersenyum simpul."Terimakasih atas pujianya tuan... Ah iy
"Astaga!" Seva memijit kepalanya yang pening. Hale itu semaunya sendiri. Bagaimana bisa dia meminta info tentang Meira padanya? Hei! Meira itu kan sahabatnya Seva. Mana mungkin Seva menempatkan Meira pada posisi bahaya? Hale itu menyeramkan dan sangat sarkas, sedangkan Meira itu begitu polos."Siapa yang menelepon kak? Kau kelihatan frustasi?" tanya Meira yang kini masih mengiris kecil-kecil daging panggang miliknya.Seva memandang Meira dongkol. Apa Meira tak sadar? Karena lukisan Meira yang terlalu bagus itu, sepertinya membuat Hale merasa tertarik??Jika diibaratkan, Hale itu seekor singa yang gagah dan ganas, lalu Meira hanyalah merpati kecil, indah dan begitu polos. Huh! Pikiran itu muncul secara tiba-tiba di kepala Seva saat melihat sahabatnya yang sedang makan dengan tenang."Emmm, Mei, kau akan apakan uang sebanyak itu? Kau kan tak suka uang," celetuk Seva seraya duduk dan kembali makan.
Langit sudah menggelap diatas sana. Dan bodohnya lagi adalah, Hale masih setia berada di luar kafe. Meira yang baru saja selesai dari pekerjaannya itu sedikit terkejut saat mengetahui jika Hale masih berada di kafe depan minimarket.Meira dengan polosnya berjalan mendekati Hale yang kini sedang memandangi Meira secara terang terangan."Tuan? Kau masih disini?""Kau tak buta kan?" ucap Hale yang lagi-lagi terdengar sangat kasar.Meira kini mencoba tersenyum, 'Tuhan belum mengambil mata ini, dan ya, kedua mataku sangat sehat tuan,' ucap Meira dengan senyumannya yang mampu membuat Hale keluar dari dunianya.Ini pertama kalinya Hale melihat sedekat ini, melihat Meira yang tersenyum lebar dengan jarak yang begitu dekat. Hale mengedipkan matanya, ia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya."Baiklah tuan, aku harus pulang. Disini lumayan sepi saat makan, terlebih minimarket sudah tu
Pagi ini Hale masih bertekad kuat untuk membuat Meira mau menjual lukisanya padanya. Jadilah pagi-pagi seperti ini Hale sudah mengunjungi Meira di kontrakan sederhana Meira.Darimana Hale tahu tempat tinggal Meira? Ya tentu saja dari Seva."Beritahu aku dimana tempat tinggal Meira!""Hoam... Aku-""Nona Seva! Cepat beritahu! Kau membuang waktuku dengan acara menguapmu itu!""Tuan Hale??!""Hmm.""Meira tinggal di jalan Gardenia nomor 7 tuan, rumah sederhana yang berada di depan panti jompo.""Oke!" Hale langsung menutup panggilannya waktu itu.Kira-kira seperti itulah bagaimana cara Hale bisa sampai di depan pintu rumah Meira pagi ini. Pagi ini? Iya betul... Ini masih jam lima pagi!Hale berdiri dengan angkuhnya, ia mengamati sekitar rumah Meira. Rum
Meira baru saja keluar dari kamarnya, seuasai beberapa menit tadi ia mandi. Ia bisa melihat Hale yang duduk di sebuah sofa usang di ruang tamu miliknya. Rumah Meira itu tak besar, hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang tak dipisahkan dengan sekat apapun.Hale sedikit memandang anti pada perabotan disana. "Semuanya terlihat usang dan tak bagus!" ucap Hale sambil mengamati barang-barang yang ada disana."Tuan, tunggu sebentar ya, aku akan buatkan sarapannya..." ucap Meira yang saat ini tengah sibuk di dapur kecilnya.Hale dapat dengan jelas melihat betapa lihainya tangan putih Meira saat memotong beragam sayuran dengan pisau itu. "Apa masakannya akan enak?"gumam Hale seorang diri. Ia yakin Meira tak akan mendengar, ah! Hale lupa, Meira itu kan tuli.Setelah lima belas menit berlalu akhirnya makanan yang Meira buat telah selesai. Hale dapat mencium aroma harum dari sana. "Tuan, kemari
Meira baru saja keluar dari kamarnya, seuasai beberapa menit tadi ia mandi. Ia bisa melihat Hale yang duduk di sebuah sofa usang di ruang tamu miliknya. Rumah Meira itu tak besar, hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang tak dipisahkan dengan sekat apapun.Hale sedikit memandang anti pada perabotan disana. "Semuanya terlihat usang dan tak bagus!" ucap Hale sambil mengamati barang-barang yang ada disana."Tuan, tunggu sebentar ya, aku akan buatkan sarapannya..." ucap Meira yang saat ini tengah sibuk di dapur kecilnya.Hale dapat dengan jelas melihat betapa lihainya tangan putih Meira saat memotong beragam sayuran dengan pisau itu. "Apa masakannya akan enak?"gumam Hale seorang diri. Ia yakin Meira tak akan mendengar, ah! Hale lupa, Meira itu kan tuli.Setelah lima belas menit berlalu akhirnya makanan yang Meira buat telah selesai. Hale dapat mencium aroma harum dari sana. "Tuan, kemari
Pagi ini Hale masih bertekad kuat untuk membuat Meira mau menjual lukisanya padanya. Jadilah pagi-pagi seperti ini Hale sudah mengunjungi Meira di kontrakan sederhana Meira.Darimana Hale tahu tempat tinggal Meira? Ya tentu saja dari Seva."Beritahu aku dimana tempat tinggal Meira!""Hoam... Aku-""Nona Seva! Cepat beritahu! Kau membuang waktuku dengan acara menguapmu itu!""Tuan Hale??!""Hmm.""Meira tinggal di jalan Gardenia nomor 7 tuan, rumah sederhana yang berada di depan panti jompo.""Oke!" Hale langsung menutup panggilannya waktu itu.Kira-kira seperti itulah bagaimana cara Hale bisa sampai di depan pintu rumah Meira pagi ini. Pagi ini? Iya betul... Ini masih jam lima pagi!Hale berdiri dengan angkuhnya, ia mengamati sekitar rumah Meira. Rum
Langit sudah menggelap diatas sana. Dan bodohnya lagi adalah, Hale masih setia berada di luar kafe. Meira yang baru saja selesai dari pekerjaannya itu sedikit terkejut saat mengetahui jika Hale masih berada di kafe depan minimarket.Meira dengan polosnya berjalan mendekati Hale yang kini sedang memandangi Meira secara terang terangan."Tuan? Kau masih disini?""Kau tak buta kan?" ucap Hale yang lagi-lagi terdengar sangat kasar.Meira kini mencoba tersenyum, 'Tuhan belum mengambil mata ini, dan ya, kedua mataku sangat sehat tuan,' ucap Meira dengan senyumannya yang mampu membuat Hale keluar dari dunianya.Ini pertama kalinya Hale melihat sedekat ini, melihat Meira yang tersenyum lebar dengan jarak yang begitu dekat. Hale mengedipkan matanya, ia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya."Baiklah tuan, aku harus pulang. Disini lumayan sepi saat makan, terlebih minimarket sudah tu
"Astaga!" Seva memijit kepalanya yang pening. Hale itu semaunya sendiri. Bagaimana bisa dia meminta info tentang Meira padanya? Hei! Meira itu kan sahabatnya Seva. Mana mungkin Seva menempatkan Meira pada posisi bahaya? Hale itu menyeramkan dan sangat sarkas, sedangkan Meira itu begitu polos."Siapa yang menelepon kak? Kau kelihatan frustasi?" tanya Meira yang kini masih mengiris kecil-kecil daging panggang miliknya.Seva memandang Meira dongkol. Apa Meira tak sadar? Karena lukisan Meira yang terlalu bagus itu, sepertinya membuat Hale merasa tertarik??Jika diibaratkan, Hale itu seekor singa yang gagah dan ganas, lalu Meira hanyalah merpati kecil, indah dan begitu polos. Huh! Pikiran itu muncul secara tiba-tiba di kepala Seva saat melihat sahabatnya yang sedang makan dengan tenang."Emmm, Mei, kau akan apakan uang sebanyak itu? Kau kan tak suka uang," celetuk Seva seraya duduk dan kembali makan.
Acara pameran itu berlangsung dengan sangat lancar, banyak sekali para pelukis yang merasa senang, karena beberapa diantara karya mereka berhasil terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini pun terjadi juga pada Meira.Gadis cantik nan sederhana itu kini sedang tersenyum sambil memandangi lukisannya yang juga berhasil terjual."Wah! Kau harus meneraktirku makan Mei!" ucap Seva sambil menyenggol lengan Meira, Meira hanya menganggukan kepalanya. Ia bahkan tak menyangka jika lukisannya ini akan terjual dengan harga yang bisa kalian katakan sangat fantastis."Ekhmm!" Hale datang menghampiri Meira dan Seva. Tatapanya masih datar seperti saat pertama, Halemengamati Meira dari atas hingga ke bawah."Aku tak menyangka orang cacat sepertimu bisa membuat karya seindah ini!" ucap Hale dengan lugas, Meira yang membaca gerak bibir Hale hanya bisa tersenyum simpul."Terimakasih atas pujianya tuan... Ah iy
Pameran lukisan itu sudah tampak ramai, banyak sekali para kolektor lukisan yang hadir sebatas untuk melihat dan mungkin membeli beberapa karya indah dari pada seniman lukis yang hadir disana.Lalu terlihatlah seorang gadis yang nampak sederhana dengan balutan gaun berwarna putih gading yang menutupi bawah lututnya, ia nampak terlihat binggung, ia menoleh kesana dan kemari, mencari seseorang sepertinya. Tangannya meremas erat kanvas yang ia bawa."Hei! Meira!" panggil seseorang dari belakang gadis yang ternyata bernama Meira itu.Meira hanya diam, dia tak menoleh ataupun bereaksi, ia masih sibuk melihat sekelilingnya dengan binggung."Hei!" seorang gadis yang tadi memanggilnya kini menepuk pundak Meira, dan Meira langsung menolehkan kepalanya kebelakang."kak Seva? Aku mencarimu sedari tadi, aku sangat binggung," ucap Meira dan tersenyum lega setelah melihat gadis tadi yang ternyata adalah