"Astaga!" Seva memijit kepalanya yang pening. Hale itu semaunya sendiri. Bagaimana bisa dia meminta info tentang Meira padanya? Hei! Meira itu kan sahabatnya Seva. Mana mungkin Seva menempatkan Meira pada posisi bahaya? Hale itu menyeramkan dan sangat sarkas, sedangkan Meira itu begitu polos.
"Siapa yang menelepon kak? Kau kelihatan frustasi?" tanya Meira yang kini masih mengiris kecil-kecil daging panggang miliknya.
Seva memandang Meira dongkol. Apa Meira tak sadar? Karena lukisan Meira yang terlalu bagus itu, sepertinya membuat Hale merasa tertarik??
Jika diibaratkan, Hale itu seekor singa yang gagah dan ganas, lalu Meira hanyalah merpati kecil, indah dan begitu polos. Huh! Pikiran itu muncul secara tiba-tiba di kepala Seva saat melihat sahabatnya yang sedang makan dengan tenang.
"Emmm, Mei, kau akan apakan uang sebanyak itu? Kau kan tak suka uang," celetuk Seva seraya duduk dan kembali makan.
"Ummm, aku juga tak tahu kak, mungkin akan aku sumbangkan sebagian uang ini ke panti jompo dekat kontrakan ku... " ucap Meira dengan senyumannya.
Kan, Meira memang sangat baik. Huh! Rasanya Seva benar-benar merasa bersalah, jika Hale menginginkan info tentang Meira hanya ada dua kemungkinan, yang pertama Hale menyukai lukisan Meira, dan yang kedua, Hale menyukai Meira.
"Kak? Kau kok diam saja?"
"Hah? Tidak... Aku hanya berpikir, mengapa daging ini terasa sangat hambar,"
"Masa sih kak? Milikku terasa lezat, apa kau ingin menggantinya?" Meira bertanya.
Seva menggeleng, 'tidak perlu Mei, sudahlah, ayo selesaikan makannya dan kita pulang, aku sangat lelah,' ucap Seva dan kembali memakan makanannya.
"Hum... Baik kak."
***
"Jadi, bagaimana? Kau sudah mendapatkan data tentangnya?" tanya Hale yang saat ini sedang mengecek laptopnya.
"Iya tuan, sudah..." ucap Seva dengan setengah hati.
'Oh Tuhan! Maafkan aku, Meira aku mengorbankan mu demi tuan Hale yang menyeramkan itu...' batin Seva dengan sangat tertekan.
"Lalu?" Hale bertanya karena sedari tadi bawahannya itu hanya diam.
"Sebenarnya, Meira itu yatim piatu tuan, dia menghidupi dirinya sendiri sejak lima tahun yang lalu. Setahuku, Meira tinggal bersama paman dan bibinya, tapi karena suatu hal ia memutuskan untuk pergi."
"Suatu hal apa itu?" tanya Hale penasaran.
"Emmm? Saya juga tak tahu..." ucap Seva apa adanya. Karena memang benar, Seva sama sekali tak tahu tentang alasan Meira pergi dari rumah paman dan bibinya.
"Oke, baiklah... Lalu apa pekerjaannya saat ini? Dia masih dua puluh tahunan kan?" Hale bertanya dengan menurunkan kacamata yang ia pakai.
"Meira bekerja sebagai penjaga minimarket saat pagi hingga sore hari, setelahnya ia akan membuat beberapa video yang ia upload ke YouTube sebagai pemasukan tambahan." terang Seva.
"Hmmm, jadi dia tak menjadi pelukis penuh waktu?"
"Tidak tuan, Meira melukis untuk konten video Youtubenya, dan untuk hari-hari tertentu saja..."
Hale bertanya banyak sekali hal tentang Meira pada Seva. Jujur saja Seva sangat heran mengapa bisa Meira yang sepolos dan sesederhana itu mampu menarik rasa penasaran seorang CEO tampan yang kaya raya seperti Hale.
"Apa dia benar-benar tuli?" tanya Hale untuk yang terakhir kalinya.
"Iya, Meira tuli semenjak ia kecil tuan..." jawab Seva.
"Oke, kau boleh pergi, dan ini uang karena kau telah memberiku informasi tentangnya." Hale memberikan uang yang cukup banyak pada Seva.
Seva menggeleng, "tak perlu tuan..." ucap Seva sambil menolak uang pemberian Hale.
"Tapi tuan boleh saya bertanya satu hal? Mengapa tuan penasaran dengan Meira?" tanya Seva yang sedari tadi menyimpan pertanyaan nya itu.
Hale memandang Seva datar dan tersenyum licik, "aku hanya ingin tahu, bagaimana bisa gadis cacat sepertinya mampu menciptakan lukisan seindah kemarin... Aku sangat tertarik pada lukisan si cacat itu" ucap Hale yang selalu sarkas.
Dalam hati Seva rasanya ingin meninju bibir Hale yang sangat tak terkontrol itu, tapi tentu tidak, ia bisa langsung kehilangan pekerjaannya jika ia melakukan hal seperti itu.
"Baiklah tuan, saya permisi dulu..." Seva undur diri dari hadapan Hale.
Hale hanya diam dan mulai berfikir. "Aku sangat ingin lukisannya, dan aku akan mendapatkannya!" gumam Hale.
Hale beranjak dan keluar dari ruangannya. Ia memiliki satu tujuan kali ini. Iya, Hale akan menemui Meira.
"Tuan Hale? Anda akan kemana? Rapatnya sebentar lagi akan dimulai," ucap salah seorang pekerjanya.
"Aku bosnya. Batalkan saja untuk hari ini. Aku harus pergi." dan Hale pergi, melesat dengan menggunakan mobil mewah keluaran terbaru miliknya.
Hale saat ini sedang sangat terobsesi pada lukisan Meira. Ia begitu menginginkan lebih banyak lukisan yang dibuat langsung oleh Meira. Ya, mungkin untuk saat ini Hale belumlah mencintai atau jatuh pada pesona Meira. Namaun, cepat atau lambat aku pastikan Hale bukan hanya terobsesi pada lukisan Meira, ia juga akan tergila-gila atas pesona Meira.
Hingga akhirnya Hale berhenti tepat di depan minimarket tempat Meira bekerja. Ia turun dari mobilnya dan memasuki minimarket itu.
Hale dapat melihat Meira yang sedang melayani pelanggan. Meira selalu tersenyum dan mengamati bibir lawan bicaranya. Huh! Hale jadi malu ketika mengingat kejadian kemarin, kejadian saat ia menuduh Meira mesum karena memandangi bibirnya.
Sedikit informasi, minimarket itu memiliki kafe di bagian luarnya. Orang-orang biasanya akan membeli beberapa makanan instan dan memasaknya dengan peralatan yang sudah disediakan disana, lalu memakannya di luar minimarket.
Hale mengambil sebungkus ramen dan sebotol teh hijau. Sebenarnya ia tak menyukai segala jenis makanan instan. Tapi yasudah lah. Saat akan membayarnya, Meira yang baru menyadari jika pelanggan itu adalah Hale, si tuan kaya dengan mulut pedas yang membeli lukisanya dengan harga selangit kemarin.
"Ah? Tuan?" ucap Meira spontan.
Hale hanya diam dan memandang Meira datar. "Berapa totalnya?" tanya Hale yang sengaja ia buat pelan. Entah mengapa kini Hale akan mencoba berbicara pelan, mungkin agar Meira mengetahui gerak bibirnya.
"Ah.. iya, maaf. Ini tiga puluh tujuh ribu tuan," ucap Meira yang masih gugup karena jujur demi apapun, Hale itu sangat menyeramkan, dan ya, Meira sedikit takut untuk menatap mata tajam si tuan tampan itu.
"Kembaliannya ambil." Hale memberikan uang seratus ribuan pada Meira.
"Tapi tuan-"
Hale keluar, ia duduk di kafe depan Minimarket. Ia duduk dan seolah sedang memakan ramennya.
Hale masih mengamati Meira yang terlihat sangat sibuk melayani banyaknya pembeli. Hale terus mengamati hingga tak sadar jika ramennya bahkan sudah dingin.
"Apa bibirnya tak pegal terus tersenyum sedari tadi?" gumam Hale tanpa sadar jika dia masih tetap memandangi Meira dari tempatnya sedari tadi.
Langit sudah menggelap diatas sana. Dan bodohnya lagi adalah, Hale masih setia berada di luar kafe. Meira yang baru saja selesai dari pekerjaannya itu sedikit terkejut saat mengetahui jika Hale masih berada di kafe depan minimarket.Meira dengan polosnya berjalan mendekati Hale yang kini sedang memandangi Meira secara terang terangan."Tuan? Kau masih disini?""Kau tak buta kan?" ucap Hale yang lagi-lagi terdengar sangat kasar.Meira kini mencoba tersenyum, 'Tuhan belum mengambil mata ini, dan ya, kedua mataku sangat sehat tuan,' ucap Meira dengan senyumannya yang mampu membuat Hale keluar dari dunianya.Ini pertama kalinya Hale melihat sedekat ini, melihat Meira yang tersenyum lebar dengan jarak yang begitu dekat. Hale mengedipkan matanya, ia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya."Baiklah tuan, aku harus pulang. Disini lumayan sepi saat makan, terlebih minimarket sudah tu
Pagi ini Hale masih bertekad kuat untuk membuat Meira mau menjual lukisanya padanya. Jadilah pagi-pagi seperti ini Hale sudah mengunjungi Meira di kontrakan sederhana Meira.Darimana Hale tahu tempat tinggal Meira? Ya tentu saja dari Seva."Beritahu aku dimana tempat tinggal Meira!""Hoam... Aku-""Nona Seva! Cepat beritahu! Kau membuang waktuku dengan acara menguapmu itu!""Tuan Hale??!""Hmm.""Meira tinggal di jalan Gardenia nomor 7 tuan, rumah sederhana yang berada di depan panti jompo.""Oke!" Hale langsung menutup panggilannya waktu itu.Kira-kira seperti itulah bagaimana cara Hale bisa sampai di depan pintu rumah Meira pagi ini. Pagi ini? Iya betul... Ini masih jam lima pagi!Hale berdiri dengan angkuhnya, ia mengamati sekitar rumah Meira. Rum
Meira baru saja keluar dari kamarnya, seuasai beberapa menit tadi ia mandi. Ia bisa melihat Hale yang duduk di sebuah sofa usang di ruang tamu miliknya. Rumah Meira itu tak besar, hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang tak dipisahkan dengan sekat apapun.Hale sedikit memandang anti pada perabotan disana. "Semuanya terlihat usang dan tak bagus!" ucap Hale sambil mengamati barang-barang yang ada disana."Tuan, tunggu sebentar ya, aku akan buatkan sarapannya..." ucap Meira yang saat ini tengah sibuk di dapur kecilnya.Hale dapat dengan jelas melihat betapa lihainya tangan putih Meira saat memotong beragam sayuran dengan pisau itu. "Apa masakannya akan enak?"gumam Hale seorang diri. Ia yakin Meira tak akan mendengar, ah! Hale lupa, Meira itu kan tuli.Setelah lima belas menit berlalu akhirnya makanan yang Meira buat telah selesai. Hale dapat mencium aroma harum dari sana. "Tuan, kemari
Pameran lukisan itu sudah tampak ramai, banyak sekali para kolektor lukisan yang hadir sebatas untuk melihat dan mungkin membeli beberapa karya indah dari pada seniman lukis yang hadir disana.Lalu terlihatlah seorang gadis yang nampak sederhana dengan balutan gaun berwarna putih gading yang menutupi bawah lututnya, ia nampak terlihat binggung, ia menoleh kesana dan kemari, mencari seseorang sepertinya. Tangannya meremas erat kanvas yang ia bawa."Hei! Meira!" panggil seseorang dari belakang gadis yang ternyata bernama Meira itu.Meira hanya diam, dia tak menoleh ataupun bereaksi, ia masih sibuk melihat sekelilingnya dengan binggung."Hei!" seorang gadis yang tadi memanggilnya kini menepuk pundak Meira, dan Meira langsung menolehkan kepalanya kebelakang."kak Seva? Aku mencarimu sedari tadi, aku sangat binggung," ucap Meira dan tersenyum lega setelah melihat gadis tadi yang ternyata adalah
Acara pameran itu berlangsung dengan sangat lancar, banyak sekali para pelukis yang merasa senang, karena beberapa diantara karya mereka berhasil terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini pun terjadi juga pada Meira.Gadis cantik nan sederhana itu kini sedang tersenyum sambil memandangi lukisannya yang juga berhasil terjual."Wah! Kau harus meneraktirku makan Mei!" ucap Seva sambil menyenggol lengan Meira, Meira hanya menganggukan kepalanya. Ia bahkan tak menyangka jika lukisannya ini akan terjual dengan harga yang bisa kalian katakan sangat fantastis."Ekhmm!" Hale datang menghampiri Meira dan Seva. Tatapanya masih datar seperti saat pertama, Halemengamati Meira dari atas hingga ke bawah."Aku tak menyangka orang cacat sepertimu bisa membuat karya seindah ini!" ucap Hale dengan lugas, Meira yang membaca gerak bibir Hale hanya bisa tersenyum simpul."Terimakasih atas pujianya tuan... Ah iy
Meira baru saja keluar dari kamarnya, seuasai beberapa menit tadi ia mandi. Ia bisa melihat Hale yang duduk di sebuah sofa usang di ruang tamu miliknya. Rumah Meira itu tak besar, hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang tak dipisahkan dengan sekat apapun.Hale sedikit memandang anti pada perabotan disana. "Semuanya terlihat usang dan tak bagus!" ucap Hale sambil mengamati barang-barang yang ada disana."Tuan, tunggu sebentar ya, aku akan buatkan sarapannya..." ucap Meira yang saat ini tengah sibuk di dapur kecilnya.Hale dapat dengan jelas melihat betapa lihainya tangan putih Meira saat memotong beragam sayuran dengan pisau itu. "Apa masakannya akan enak?"gumam Hale seorang diri. Ia yakin Meira tak akan mendengar, ah! Hale lupa, Meira itu kan tuli.Setelah lima belas menit berlalu akhirnya makanan yang Meira buat telah selesai. Hale dapat mencium aroma harum dari sana. "Tuan, kemari
Pagi ini Hale masih bertekad kuat untuk membuat Meira mau menjual lukisanya padanya. Jadilah pagi-pagi seperti ini Hale sudah mengunjungi Meira di kontrakan sederhana Meira.Darimana Hale tahu tempat tinggal Meira? Ya tentu saja dari Seva."Beritahu aku dimana tempat tinggal Meira!""Hoam... Aku-""Nona Seva! Cepat beritahu! Kau membuang waktuku dengan acara menguapmu itu!""Tuan Hale??!""Hmm.""Meira tinggal di jalan Gardenia nomor 7 tuan, rumah sederhana yang berada di depan panti jompo.""Oke!" Hale langsung menutup panggilannya waktu itu.Kira-kira seperti itulah bagaimana cara Hale bisa sampai di depan pintu rumah Meira pagi ini. Pagi ini? Iya betul... Ini masih jam lima pagi!Hale berdiri dengan angkuhnya, ia mengamati sekitar rumah Meira. Rum
Langit sudah menggelap diatas sana. Dan bodohnya lagi adalah, Hale masih setia berada di luar kafe. Meira yang baru saja selesai dari pekerjaannya itu sedikit terkejut saat mengetahui jika Hale masih berada di kafe depan minimarket.Meira dengan polosnya berjalan mendekati Hale yang kini sedang memandangi Meira secara terang terangan."Tuan? Kau masih disini?""Kau tak buta kan?" ucap Hale yang lagi-lagi terdengar sangat kasar.Meira kini mencoba tersenyum, 'Tuhan belum mengambil mata ini, dan ya, kedua mataku sangat sehat tuan,' ucap Meira dengan senyumannya yang mampu membuat Hale keluar dari dunianya.Ini pertama kalinya Hale melihat sedekat ini, melihat Meira yang tersenyum lebar dengan jarak yang begitu dekat. Hale mengedipkan matanya, ia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya."Baiklah tuan, aku harus pulang. Disini lumayan sepi saat makan, terlebih minimarket sudah tu
"Astaga!" Seva memijit kepalanya yang pening. Hale itu semaunya sendiri. Bagaimana bisa dia meminta info tentang Meira padanya? Hei! Meira itu kan sahabatnya Seva. Mana mungkin Seva menempatkan Meira pada posisi bahaya? Hale itu menyeramkan dan sangat sarkas, sedangkan Meira itu begitu polos."Siapa yang menelepon kak? Kau kelihatan frustasi?" tanya Meira yang kini masih mengiris kecil-kecil daging panggang miliknya.Seva memandang Meira dongkol. Apa Meira tak sadar? Karena lukisan Meira yang terlalu bagus itu, sepertinya membuat Hale merasa tertarik??Jika diibaratkan, Hale itu seekor singa yang gagah dan ganas, lalu Meira hanyalah merpati kecil, indah dan begitu polos. Huh! Pikiran itu muncul secara tiba-tiba di kepala Seva saat melihat sahabatnya yang sedang makan dengan tenang."Emmm, Mei, kau akan apakan uang sebanyak itu? Kau kan tak suka uang," celetuk Seva seraya duduk dan kembali makan.
Acara pameran itu berlangsung dengan sangat lancar, banyak sekali para pelukis yang merasa senang, karena beberapa diantara karya mereka berhasil terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini pun terjadi juga pada Meira.Gadis cantik nan sederhana itu kini sedang tersenyum sambil memandangi lukisannya yang juga berhasil terjual."Wah! Kau harus meneraktirku makan Mei!" ucap Seva sambil menyenggol lengan Meira, Meira hanya menganggukan kepalanya. Ia bahkan tak menyangka jika lukisannya ini akan terjual dengan harga yang bisa kalian katakan sangat fantastis."Ekhmm!" Hale datang menghampiri Meira dan Seva. Tatapanya masih datar seperti saat pertama, Halemengamati Meira dari atas hingga ke bawah."Aku tak menyangka orang cacat sepertimu bisa membuat karya seindah ini!" ucap Hale dengan lugas, Meira yang membaca gerak bibir Hale hanya bisa tersenyum simpul."Terimakasih atas pujianya tuan... Ah iy
Pameran lukisan itu sudah tampak ramai, banyak sekali para kolektor lukisan yang hadir sebatas untuk melihat dan mungkin membeli beberapa karya indah dari pada seniman lukis yang hadir disana.Lalu terlihatlah seorang gadis yang nampak sederhana dengan balutan gaun berwarna putih gading yang menutupi bawah lututnya, ia nampak terlihat binggung, ia menoleh kesana dan kemari, mencari seseorang sepertinya. Tangannya meremas erat kanvas yang ia bawa."Hei! Meira!" panggil seseorang dari belakang gadis yang ternyata bernama Meira itu.Meira hanya diam, dia tak menoleh ataupun bereaksi, ia masih sibuk melihat sekelilingnya dengan binggung."Hei!" seorang gadis yang tadi memanggilnya kini menepuk pundak Meira, dan Meira langsung menolehkan kepalanya kebelakang."kak Seva? Aku mencarimu sedari tadi, aku sangat binggung," ucap Meira dan tersenyum lega setelah melihat gadis tadi yang ternyata adalah