Pagi ini Hale masih bertekad kuat untuk membuat Meira mau menjual lukisanya padanya. Jadilah pagi-pagi seperti ini Hale sudah mengunjungi Meira di kontrakan sederhana Meira.
Darimana Hale tahu tempat tinggal Meira? Ya tentu saja dari Seva.
"Beritahu aku dimana tempat tinggal Meira!"
"Hoam... Aku-"
"Nona Seva! Cepat beritahu! Kau membuang waktuku dengan acara menguapmu itu!"
"Tuan Hale??!"
"Hmm."
"Meira tinggal di jalan Gardenia nomor 7 tuan, rumah sederhana yang berada di depan panti jompo."
"Oke!" Hale langsung menutup panggilannya waktu itu.
Kira-kira seperti itulah bagaimana cara Hale bisa sampai di depan pintu rumah Meira pagi ini. Pagi ini? Iya betul... Ini masih jam lima pagi!
Hale berdiri dengan angkuhnya, ia mengamati sekitar rumah Meira. Rumah yang sederhana dengan banyak sekali bunga lily putih di pagar depan rumah.
"Cukup rapih..." gumam Hale saat menyadari jika rumah Meira terlihat nyaman ketika dipandang.
Ckelek
Pintu terbuka dengan Meira yang terkaget saat menyadari Hale berdiri tepat di balik pintunya. "Tuan?!" ucap Meira kaget.
Lagi dan lagi, Hale hanya memandang Meira dengan ekspresi datar miliknya. "Aku masih menjadi manusia dan bukan hantu! Berhenti menatapku seperti itu!" ucap Hale dengan sarkas.
Meira keluar dan menutup pintunya, kini dia dan Hale berhadapan. Hal yang membuat Meira binggung adalah, ini masih jam lima pagi dan Hale ada di depan pintu rumahnya, dengan setelan jas berwarna abu-abu yang terlihat mahal.
Meira meremas piyama lusuh miliknya, jujur saja, ia gugup. Bagaimana Hale bisa tahu dimana ia tinggal? Apa semalam Hale mengikutinya? Begitulah pikir Meira.
"Mengapa tuan ada disini?" tanya Meira memecah kesunyian.
"Dan tuan, darimana kau tahu alamatku? Apa kau-"
"Buang pikiran bodohmu itu! Aku tak menguntitmu saat malam kemarin! Aku tahu tempat tinggalmu dari Seva." ucap Hale seraya memasukan tangannya ke dalam saku miliknya.
"Oo... Dari kak Seva," ucap Meira dengan suara kecil.
Hale memandangi Meira yang masih mengenakan piyama dengan panjang selutut berwarna putih gading. Ahh, sedari kemarin rasanya Hale selalu melihat Meira dengan pakaian berwarna tak menarik itu. Apa Meira tak memiliki pakaian dengan warna lain? Pikir Hale.
"Aku ingin lukisanmu!" ucap Hale tanpa basa-basi.
Meira yang membaca gerak bibir Hale lagi-lagi dibuat kesal. "Tuan! Kau sudah meminta lukisanku tiga kali sejak kemarin," ucap Meira yang tanpa ia sadari terlihat seperti seorang gadis yang sedang merajuk.
Hale merasakan sudut bibirnya berkedut. Ada apa ini? Batin Hale. Mengapa ia ingin tertawa dengan melihat ekspresi wajah Meira barusan?
"Aku terobsesi pada lukisanmu!" ucap Hale langsung. Hale ini adalah tipe orang yang akan selalu terus terang dengan segala keinginannya. Seperti saat ini. Di depan Meira ia mengatakan hal yang sedikit ambigu.
"Hah?" tanya Meira dengan kaget. Apa ia tak salah membaca gerak bibir Hale kan tadi? Hale terobsesi pada lukisannya?
"Aku. Terobsesi. Pada. Lukisan. Yang. Kau. Buat." Hale mengucapkan semuanya dengan sangat jelas dan lugas.
Meira mengerjapkan matanya."Ada orang yang sampai terobsesi pada lukisanku?" gumam Meira tak percaya.
"Iya. Dan orang itu berdiri di hadapanmu saat ini, Nona Meira!" Hale mengangkat dagu Meira, sehingga kini Meira menatap Hale dan bukan lagi pada sepatu mengkilap yang Hale pakai. Sebabnya sedari tadi Meira hanya menatap ke arah sepatu mahal milik Hale.
"Tuan..." Meira melepaskan tangan Hale dari dagunya. Ia tak suka sentuhan intim. Apalagi dari pria. Tidak, bukan berarti Meira tak suka pria, hanya saja... Meira itu memilki sedikit trauma. Trauma apa? Ya, nanti akan ada di bab selanjutnya. Sabar saja ya.
"Jangan menyentuhku tiba-tiba..." gumam Meira sembari menunduk.
Hale diam. Ia tahu mungkin sedikit lancang menyentuh seorang gadis yang bahkan baru kau temui kemarin. Namun, Hale juga tak paham, tanganya secara reflek ingin menyentuh Meira.
"Ekhmm, maaf." ucap Hale singkat.
Meira mengangguk, dia kini menatap kembali Hale. "Apa tuan benar-benar menyukai lukisanku?" tanya Meira memastikan. Hale pun langsung mengangguk. Ia sangat amat menyukai lukisan Meira. Gaya yang Meira pakai di lukisannya kemarin membuat Hale terhipnotis.
"Aku tak akan menjual lukisanku, aku hanya akan memamerkannya disaat ada pameran seperti kemarin, lagipula, kemarin kau membeli lukisanku dengan harga yang sangat mahal tuan, aku sampai binggung mau kuapakan uang itu..." ucap Meira panjang lebar.
Hale masih mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir pink delima milik Meira. Ah, mengapa Hale memandangi bibir itu terus? 'Hei! Hale bangun! Dia itu hanya gadis tuli yang bukan tipeku!' batin Hale.
"Tapi syukurlah! Aku akhirnya menyumbangkan sebagian besar uang kemarin ke panti itu." ucap Meira dengan tawa kecil di akhir kalimatnya.
Hale dibuat tak percaya, gadis sejenis Meira ini masih ada? Gadis yang tak terobsesi pada uang? Dengan entengnya Meira menyumbangkan sebagian besar uangnya ke panti jompo? Hale sangat kaget saat mendengarnya.
'Meira itu gadis tuli yang sedikit berbeda...' batin Hale.
"Lalu? Kau tak akan menjual lukisanmu lagi? Begitu maksudmu?" tanya Hale.
"Tidak, bukan seperti itu tuan... Aku akan menjual saat ada yang tertarik pada lukisanku, aku akan menjualnya seperti kemarin, di sebuah acara pameran seni," ucap Meira.
Hale menghela nafasnya panjang. Apa usahanya membujuk, merayu, dan mengemis pada si gadis tuli itu sia-sia?!
"Lalu kapan?"
"Hah? Apanya tuan?" tanya Meira mengamati gerak bibir Hale.
"Pameran. Kapan kau mau menghadiri pameran lagi?"
Meira diam dan menggeleng, "aku tak tahu, sebelumnya kak Seva yang membujukku untuk mengikuti acara pameran kemarin. Sebelumnya aku tak pernah ikut pameran lukis apapun. Aku hanya melukis untuk kujadikan konten video YouTube milikku." ucap Meira jujur.
Hale mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Mungkin nanti siang kau akan mendapatkan undangan pameran." ucap Hale dengan berbalik. Ia ingin pergi dari sana sebelum Meira menghentikannya.
"Tuan!" panggil Meira.
Hale berhenti dan menoleh kebelakang,"apa?" tanya Hale.
"Ini masih sangat pagi, dan kau, apa kau sudah sarapan? Aku akan memasak, mari sarapan disini..." ucap Meira dengan sangat ramah.
Hale merasakan dadanya berdegup kencang. Meira tersenyum kepadanya sambil menawari untuk sarapan bersama. 'Hale! Dia itu gadis tuli yang kebetulan lukisanya kau sukai! Kau hanya suka lukisanya, dan bukan pelukisnya!' batin Hale menyadarkan kembali dirinya.
"Aku tidak tertarik." ucap Hale spontan.
"Ini sebagai rasa terimakasih ku, kau sudah membeli lukisanku kemarin... Ayolah tuan, kumohon..."
"Ah, baiklah. Hanya kali ini. " gumam Hale.
"Iya... Hanya kali ini, tuan..." ucap Meira yang selaku diakhiri dengan senyuman.
Meira baru saja keluar dari kamarnya, seuasai beberapa menit tadi ia mandi. Ia bisa melihat Hale yang duduk di sebuah sofa usang di ruang tamu miliknya. Rumah Meira itu tak besar, hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang tak dipisahkan dengan sekat apapun.Hale sedikit memandang anti pada perabotan disana. "Semuanya terlihat usang dan tak bagus!" ucap Hale sambil mengamati barang-barang yang ada disana."Tuan, tunggu sebentar ya, aku akan buatkan sarapannya..." ucap Meira yang saat ini tengah sibuk di dapur kecilnya.Hale dapat dengan jelas melihat betapa lihainya tangan putih Meira saat memotong beragam sayuran dengan pisau itu. "Apa masakannya akan enak?"gumam Hale seorang diri. Ia yakin Meira tak akan mendengar, ah! Hale lupa, Meira itu kan tuli.Setelah lima belas menit berlalu akhirnya makanan yang Meira buat telah selesai. Hale dapat mencium aroma harum dari sana. "Tuan, kemari
Pameran lukisan itu sudah tampak ramai, banyak sekali para kolektor lukisan yang hadir sebatas untuk melihat dan mungkin membeli beberapa karya indah dari pada seniman lukis yang hadir disana.Lalu terlihatlah seorang gadis yang nampak sederhana dengan balutan gaun berwarna putih gading yang menutupi bawah lututnya, ia nampak terlihat binggung, ia menoleh kesana dan kemari, mencari seseorang sepertinya. Tangannya meremas erat kanvas yang ia bawa."Hei! Meira!" panggil seseorang dari belakang gadis yang ternyata bernama Meira itu.Meira hanya diam, dia tak menoleh ataupun bereaksi, ia masih sibuk melihat sekelilingnya dengan binggung."Hei!" seorang gadis yang tadi memanggilnya kini menepuk pundak Meira, dan Meira langsung menolehkan kepalanya kebelakang."kak Seva? Aku mencarimu sedari tadi, aku sangat binggung," ucap Meira dan tersenyum lega setelah melihat gadis tadi yang ternyata adalah
Acara pameran itu berlangsung dengan sangat lancar, banyak sekali para pelukis yang merasa senang, karena beberapa diantara karya mereka berhasil terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini pun terjadi juga pada Meira.Gadis cantik nan sederhana itu kini sedang tersenyum sambil memandangi lukisannya yang juga berhasil terjual."Wah! Kau harus meneraktirku makan Mei!" ucap Seva sambil menyenggol lengan Meira, Meira hanya menganggukan kepalanya. Ia bahkan tak menyangka jika lukisannya ini akan terjual dengan harga yang bisa kalian katakan sangat fantastis."Ekhmm!" Hale datang menghampiri Meira dan Seva. Tatapanya masih datar seperti saat pertama, Halemengamati Meira dari atas hingga ke bawah."Aku tak menyangka orang cacat sepertimu bisa membuat karya seindah ini!" ucap Hale dengan lugas, Meira yang membaca gerak bibir Hale hanya bisa tersenyum simpul."Terimakasih atas pujianya tuan... Ah iy
"Astaga!" Seva memijit kepalanya yang pening. Hale itu semaunya sendiri. Bagaimana bisa dia meminta info tentang Meira padanya? Hei! Meira itu kan sahabatnya Seva. Mana mungkin Seva menempatkan Meira pada posisi bahaya? Hale itu menyeramkan dan sangat sarkas, sedangkan Meira itu begitu polos."Siapa yang menelepon kak? Kau kelihatan frustasi?" tanya Meira yang kini masih mengiris kecil-kecil daging panggang miliknya.Seva memandang Meira dongkol. Apa Meira tak sadar? Karena lukisan Meira yang terlalu bagus itu, sepertinya membuat Hale merasa tertarik??Jika diibaratkan, Hale itu seekor singa yang gagah dan ganas, lalu Meira hanyalah merpati kecil, indah dan begitu polos. Huh! Pikiran itu muncul secara tiba-tiba di kepala Seva saat melihat sahabatnya yang sedang makan dengan tenang."Emmm, Mei, kau akan apakan uang sebanyak itu? Kau kan tak suka uang," celetuk Seva seraya duduk dan kembali makan.
Langit sudah menggelap diatas sana. Dan bodohnya lagi adalah, Hale masih setia berada di luar kafe. Meira yang baru saja selesai dari pekerjaannya itu sedikit terkejut saat mengetahui jika Hale masih berada di kafe depan minimarket.Meira dengan polosnya berjalan mendekati Hale yang kini sedang memandangi Meira secara terang terangan."Tuan? Kau masih disini?""Kau tak buta kan?" ucap Hale yang lagi-lagi terdengar sangat kasar.Meira kini mencoba tersenyum, 'Tuhan belum mengambil mata ini, dan ya, kedua mataku sangat sehat tuan,' ucap Meira dengan senyumannya yang mampu membuat Hale keluar dari dunianya.Ini pertama kalinya Hale melihat sedekat ini, melihat Meira yang tersenyum lebar dengan jarak yang begitu dekat. Hale mengedipkan matanya, ia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya."Baiklah tuan, aku harus pulang. Disini lumayan sepi saat makan, terlebih minimarket sudah tu
Meira baru saja keluar dari kamarnya, seuasai beberapa menit tadi ia mandi. Ia bisa melihat Hale yang duduk di sebuah sofa usang di ruang tamu miliknya. Rumah Meira itu tak besar, hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang tak dipisahkan dengan sekat apapun.Hale sedikit memandang anti pada perabotan disana. "Semuanya terlihat usang dan tak bagus!" ucap Hale sambil mengamati barang-barang yang ada disana."Tuan, tunggu sebentar ya, aku akan buatkan sarapannya..." ucap Meira yang saat ini tengah sibuk di dapur kecilnya.Hale dapat dengan jelas melihat betapa lihainya tangan putih Meira saat memotong beragam sayuran dengan pisau itu. "Apa masakannya akan enak?"gumam Hale seorang diri. Ia yakin Meira tak akan mendengar, ah! Hale lupa, Meira itu kan tuli.Setelah lima belas menit berlalu akhirnya makanan yang Meira buat telah selesai. Hale dapat mencium aroma harum dari sana. "Tuan, kemari
Pagi ini Hale masih bertekad kuat untuk membuat Meira mau menjual lukisanya padanya. Jadilah pagi-pagi seperti ini Hale sudah mengunjungi Meira di kontrakan sederhana Meira.Darimana Hale tahu tempat tinggal Meira? Ya tentu saja dari Seva."Beritahu aku dimana tempat tinggal Meira!""Hoam... Aku-""Nona Seva! Cepat beritahu! Kau membuang waktuku dengan acara menguapmu itu!""Tuan Hale??!""Hmm.""Meira tinggal di jalan Gardenia nomor 7 tuan, rumah sederhana yang berada di depan panti jompo.""Oke!" Hale langsung menutup panggilannya waktu itu.Kira-kira seperti itulah bagaimana cara Hale bisa sampai di depan pintu rumah Meira pagi ini. Pagi ini? Iya betul... Ini masih jam lima pagi!Hale berdiri dengan angkuhnya, ia mengamati sekitar rumah Meira. Rum
Langit sudah menggelap diatas sana. Dan bodohnya lagi adalah, Hale masih setia berada di luar kafe. Meira yang baru saja selesai dari pekerjaannya itu sedikit terkejut saat mengetahui jika Hale masih berada di kafe depan minimarket.Meira dengan polosnya berjalan mendekati Hale yang kini sedang memandangi Meira secara terang terangan."Tuan? Kau masih disini?""Kau tak buta kan?" ucap Hale yang lagi-lagi terdengar sangat kasar.Meira kini mencoba tersenyum, 'Tuhan belum mengambil mata ini, dan ya, kedua mataku sangat sehat tuan,' ucap Meira dengan senyumannya yang mampu membuat Hale keluar dari dunianya.Ini pertama kalinya Hale melihat sedekat ini, melihat Meira yang tersenyum lebar dengan jarak yang begitu dekat. Hale mengedipkan matanya, ia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya."Baiklah tuan, aku harus pulang. Disini lumayan sepi saat makan, terlebih minimarket sudah tu
"Astaga!" Seva memijit kepalanya yang pening. Hale itu semaunya sendiri. Bagaimana bisa dia meminta info tentang Meira padanya? Hei! Meira itu kan sahabatnya Seva. Mana mungkin Seva menempatkan Meira pada posisi bahaya? Hale itu menyeramkan dan sangat sarkas, sedangkan Meira itu begitu polos."Siapa yang menelepon kak? Kau kelihatan frustasi?" tanya Meira yang kini masih mengiris kecil-kecil daging panggang miliknya.Seva memandang Meira dongkol. Apa Meira tak sadar? Karena lukisan Meira yang terlalu bagus itu, sepertinya membuat Hale merasa tertarik??Jika diibaratkan, Hale itu seekor singa yang gagah dan ganas, lalu Meira hanyalah merpati kecil, indah dan begitu polos. Huh! Pikiran itu muncul secara tiba-tiba di kepala Seva saat melihat sahabatnya yang sedang makan dengan tenang."Emmm, Mei, kau akan apakan uang sebanyak itu? Kau kan tak suka uang," celetuk Seva seraya duduk dan kembali makan.
Acara pameran itu berlangsung dengan sangat lancar, banyak sekali para pelukis yang merasa senang, karena beberapa diantara karya mereka berhasil terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini pun terjadi juga pada Meira.Gadis cantik nan sederhana itu kini sedang tersenyum sambil memandangi lukisannya yang juga berhasil terjual."Wah! Kau harus meneraktirku makan Mei!" ucap Seva sambil menyenggol lengan Meira, Meira hanya menganggukan kepalanya. Ia bahkan tak menyangka jika lukisannya ini akan terjual dengan harga yang bisa kalian katakan sangat fantastis."Ekhmm!" Hale datang menghampiri Meira dan Seva. Tatapanya masih datar seperti saat pertama, Halemengamati Meira dari atas hingga ke bawah."Aku tak menyangka orang cacat sepertimu bisa membuat karya seindah ini!" ucap Hale dengan lugas, Meira yang membaca gerak bibir Hale hanya bisa tersenyum simpul."Terimakasih atas pujianya tuan... Ah iy
Pameran lukisan itu sudah tampak ramai, banyak sekali para kolektor lukisan yang hadir sebatas untuk melihat dan mungkin membeli beberapa karya indah dari pada seniman lukis yang hadir disana.Lalu terlihatlah seorang gadis yang nampak sederhana dengan balutan gaun berwarna putih gading yang menutupi bawah lututnya, ia nampak terlihat binggung, ia menoleh kesana dan kemari, mencari seseorang sepertinya. Tangannya meremas erat kanvas yang ia bawa."Hei! Meira!" panggil seseorang dari belakang gadis yang ternyata bernama Meira itu.Meira hanya diam, dia tak menoleh ataupun bereaksi, ia masih sibuk melihat sekelilingnya dengan binggung."Hei!" seorang gadis yang tadi memanggilnya kini menepuk pundak Meira, dan Meira langsung menolehkan kepalanya kebelakang."kak Seva? Aku mencarimu sedari tadi, aku sangat binggung," ucap Meira dan tersenyum lega setelah melihat gadis tadi yang ternyata adalah