Acara pameran itu berlangsung dengan sangat lancar, banyak sekali para pelukis yang merasa senang, karena beberapa diantara karya mereka berhasil terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini pun terjadi juga pada Meira.
Gadis cantik nan sederhana itu kini sedang tersenyum sambil memandangi lukisannya yang juga berhasil terjual.
"Wah! Kau harus meneraktirku makan Mei!" ucap Seva sambil menyenggol lengan Meira, Meira hanya menganggukan kepalanya. Ia bahkan tak menyangka jika lukisannya ini akan terjual dengan harga yang bisa kalian katakan sangat fantastis.
"Ekhmm!" Hale datang menghampiri Meira dan Seva. Tatapanya masih datar seperti saat pertama, Halemengamati Meira dari atas hingga ke bawah.
"Aku tak menyangka orang cacat sepertimu bisa membuat karya seindah ini!" ucap Hale dengan lugas, Meira yang membaca gerak bibir Hale hanya bisa tersenyum simpul.
"Terimakasih atas pujianya tuan... Ah iya, ini sudah saya bungkus lukisannya, jika tuan mau saya bisa menambahkan bingkai dan mengantarnya ke tempat tuan..." ucap Meira sopan. Sudah kukatakan. Meira itu sangat amat baik.
Hale menggeleng, 'aku akan membawa lukisan itu sekarang. Kau pikir aku ini tak bisa membingkainya?!' tanya Hale sinis. Entah mengapa Hale itu sangat amat pedas ucapanya.
"Ini uangmu, kau bisa menukarkan cek ini " Hale memberikan selembar cek dengan nominal yang tertera di sana, seratus juta rupiah. Sungguh itu adalah uang yang sangat banyak. Harga yang terlampau tinggi untuk lukisan karya seorang pelukis pemula.
"Ehm... Anu tuan, ini terlalu banyak, bisakah kau kurangi ini?" Meira menyodorkan balik cek itu pada Hale. Bahkan Seva saja dibuat dongkol. Meira itu bodoh atau bagaimana? Uang adalah hal yang berharga, mengapa Meira ingin mengurangi jumlah uang itu?! Begitulah pikir Seva.
Hale memandang tangan Meira yang menyodorkan cek berisi uang seratus juta itu. Jujur saja, uang seratus juta bukanlah jumlah yang banyak bagi Hale. Ingat ini, Hale seorang CEO muda yang kaya raya.
"Aku tidak mengambil atau mengurangi sesuatu yang sudah kuberikan. Jika kau tak mau, kau bisa membuang cek seratus juta itu ke tempat sampah." ucap Hale dengan lugasnya.
"Tapi tuan--"
"Aku ambil lukisan ini. Sekarang lukisan ini menjadi milikku " Hale membawa pergi lukisan itu, meninggalkan Meira yang dibuat sedikit kesal.
"Huh... Ini terlalu banyak... " gumam Meira menatap pada cek seratus juta di tangannya itu.
"Hei! Kau bisa menyumbangkannya padaku, aku ini suka uang Meira!" ucap Seva seraya tertawa.
Meira memandang Seva dan berkata, 'kak Seva kan juga sudah punya banyak uang, aku akan meneraktir kakak saja, tapi aku tak akan memberikan uang ini pada kakak...' ucap Meira yang sangat amat polos.
"Traktir aku daging panggang lima porsi kalau begitu!" ucap Seva dengan dongkol. Meira itu sangat polos sekali. Ia kira Seva akan benar-benar mengambil uang itu? Seva kan hanya bercanda saja.
"Baiklah kak, kau tenang saja... Aku juga suka daging panggang!" ucap Meira diakhir dengan senyuman manisnya.
***
Hale kini berada di apartemen miliknya yang sangat mewah dan modern. Ia membuka kertas yang menutupi lukisan yang baru saja ia beli. Iya, lukisan buatan Meira.
"Woah..." gumam Hale, ia dibuat terpana pada keindahan lukisan itu untuk yang kesekian kalinya.
Hale menyentuh lukisan itu dengan hati-hati. 'Gadis tuli itu menciptakan lukisan se sempurna ini?' tanya Hale pada dirinya sendiri.
Hale mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, di pameran itu saat sebuah lukisan dengan ukuran sedikit besar yang menarik perhatian semua orang disana.
Bahkan Hale harus menawar untuk harga yang tinggi, banyak para kolektor seni yang juga menginginkan lukisan milik Meira ini. Beruntunglah, Hale memenangkan lukisan itu dengan tawaran tertinggi, iya, seratus juta.
"Ini tak bisa dipercaya, aku tak menyangka seseorang yang cacat sepertinya adalah seorang pelukis sehebat ini." ucap Hale yang masih terhipnotis oleh lukisan di hadapannya.
Sebenarnya lukisan itu bukanlah lukisan yang rumit, lukisan itu hanyalah berisi gambar seekor burung merpati yang dibuat seolah terbang di atas laut dengan kristal, mutiara dan Kilauan yang menghiasi sayapnya. Lukisan karya Meira itu terlihat memiliki nyawa, terlihat sangat ajaib. Hale itu pecinta seni, ia tahu seberapa menariknya setiap goresan yang tertoreh dalam lukisan itu.
"Aku ingin memiliki lukisan darinya lagi..." gumam Hale dengan fokus utama pada lukisannya.
"Ah... Siapa nama si tuli itu? Ah, ya... Meira. Aku akan memintanya membiarkanku lukisan lagi..." ucap Hale dengan sorot mata mirip orang yang sedang terobsesi dengan sesuatu.
Hale memencet ponselnya dan segera menelepon seseorang.
"Halo!"
"Halo tuan Hale, ada apa? Ada yang bisa saya bantu?"
"Berikan info tentang pelukis tuli itu padaku!"
"Maaf tuan?"
"Meira. Berikan aku informasi lengkap tentangnya, Seva..."
"Mei-ra? Tapi dia--"
"Aku mau informasi tentangnya sudah tersedia dalam dua jam. Jika tidak kau bisa keluar dari perusahaanku."
Hale langsung memutuskan panggilan itu sepihak. Nyatanya Hale memang sangat tak sopan. Walau begitu atas harta dan kekuasaan yang ia miliki semuanya akan selalu tunduk pada Hale.
"Aku akan meminta si tuli itu untuk memberikan lukisan indah miliknya padaku... " gumam Hale.
"Lukisan ini... Sempurna, walau pelukisnya, dia cacat..." batin Hale.
Vote+Comment
TBC
With love
EveMira
"Astaga!" Seva memijit kepalanya yang pening. Hale itu semaunya sendiri. Bagaimana bisa dia meminta info tentang Meira padanya? Hei! Meira itu kan sahabatnya Seva. Mana mungkin Seva menempatkan Meira pada posisi bahaya? Hale itu menyeramkan dan sangat sarkas, sedangkan Meira itu begitu polos."Siapa yang menelepon kak? Kau kelihatan frustasi?" tanya Meira yang kini masih mengiris kecil-kecil daging panggang miliknya.Seva memandang Meira dongkol. Apa Meira tak sadar? Karena lukisan Meira yang terlalu bagus itu, sepertinya membuat Hale merasa tertarik??Jika diibaratkan, Hale itu seekor singa yang gagah dan ganas, lalu Meira hanyalah merpati kecil, indah dan begitu polos. Huh! Pikiran itu muncul secara tiba-tiba di kepala Seva saat melihat sahabatnya yang sedang makan dengan tenang."Emmm, Mei, kau akan apakan uang sebanyak itu? Kau kan tak suka uang," celetuk Seva seraya duduk dan kembali makan.
Langit sudah menggelap diatas sana. Dan bodohnya lagi adalah, Hale masih setia berada di luar kafe. Meira yang baru saja selesai dari pekerjaannya itu sedikit terkejut saat mengetahui jika Hale masih berada di kafe depan minimarket.Meira dengan polosnya berjalan mendekati Hale yang kini sedang memandangi Meira secara terang terangan."Tuan? Kau masih disini?""Kau tak buta kan?" ucap Hale yang lagi-lagi terdengar sangat kasar.Meira kini mencoba tersenyum, 'Tuhan belum mengambil mata ini, dan ya, kedua mataku sangat sehat tuan,' ucap Meira dengan senyumannya yang mampu membuat Hale keluar dari dunianya.Ini pertama kalinya Hale melihat sedekat ini, melihat Meira yang tersenyum lebar dengan jarak yang begitu dekat. Hale mengedipkan matanya, ia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya."Baiklah tuan, aku harus pulang. Disini lumayan sepi saat makan, terlebih minimarket sudah tu
Pagi ini Hale masih bertekad kuat untuk membuat Meira mau menjual lukisanya padanya. Jadilah pagi-pagi seperti ini Hale sudah mengunjungi Meira di kontrakan sederhana Meira.Darimana Hale tahu tempat tinggal Meira? Ya tentu saja dari Seva."Beritahu aku dimana tempat tinggal Meira!""Hoam... Aku-""Nona Seva! Cepat beritahu! Kau membuang waktuku dengan acara menguapmu itu!""Tuan Hale??!""Hmm.""Meira tinggal di jalan Gardenia nomor 7 tuan, rumah sederhana yang berada di depan panti jompo.""Oke!" Hale langsung menutup panggilannya waktu itu.Kira-kira seperti itulah bagaimana cara Hale bisa sampai di depan pintu rumah Meira pagi ini. Pagi ini? Iya betul... Ini masih jam lima pagi!Hale berdiri dengan angkuhnya, ia mengamati sekitar rumah Meira. Rum
Meira baru saja keluar dari kamarnya, seuasai beberapa menit tadi ia mandi. Ia bisa melihat Hale yang duduk di sebuah sofa usang di ruang tamu miliknya. Rumah Meira itu tak besar, hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang tak dipisahkan dengan sekat apapun.Hale sedikit memandang anti pada perabotan disana. "Semuanya terlihat usang dan tak bagus!" ucap Hale sambil mengamati barang-barang yang ada disana."Tuan, tunggu sebentar ya, aku akan buatkan sarapannya..." ucap Meira yang saat ini tengah sibuk di dapur kecilnya.Hale dapat dengan jelas melihat betapa lihainya tangan putih Meira saat memotong beragam sayuran dengan pisau itu. "Apa masakannya akan enak?"gumam Hale seorang diri. Ia yakin Meira tak akan mendengar, ah! Hale lupa, Meira itu kan tuli.Setelah lima belas menit berlalu akhirnya makanan yang Meira buat telah selesai. Hale dapat mencium aroma harum dari sana. "Tuan, kemari
Pameran lukisan itu sudah tampak ramai, banyak sekali para kolektor lukisan yang hadir sebatas untuk melihat dan mungkin membeli beberapa karya indah dari pada seniman lukis yang hadir disana.Lalu terlihatlah seorang gadis yang nampak sederhana dengan balutan gaun berwarna putih gading yang menutupi bawah lututnya, ia nampak terlihat binggung, ia menoleh kesana dan kemari, mencari seseorang sepertinya. Tangannya meremas erat kanvas yang ia bawa."Hei! Meira!" panggil seseorang dari belakang gadis yang ternyata bernama Meira itu.Meira hanya diam, dia tak menoleh ataupun bereaksi, ia masih sibuk melihat sekelilingnya dengan binggung."Hei!" seorang gadis yang tadi memanggilnya kini menepuk pundak Meira, dan Meira langsung menolehkan kepalanya kebelakang."kak Seva? Aku mencarimu sedari tadi, aku sangat binggung," ucap Meira dan tersenyum lega setelah melihat gadis tadi yang ternyata adalah
Meira baru saja keluar dari kamarnya, seuasai beberapa menit tadi ia mandi. Ia bisa melihat Hale yang duduk di sebuah sofa usang di ruang tamu miliknya. Rumah Meira itu tak besar, hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang tak dipisahkan dengan sekat apapun.Hale sedikit memandang anti pada perabotan disana. "Semuanya terlihat usang dan tak bagus!" ucap Hale sambil mengamati barang-barang yang ada disana."Tuan, tunggu sebentar ya, aku akan buatkan sarapannya..." ucap Meira yang saat ini tengah sibuk di dapur kecilnya.Hale dapat dengan jelas melihat betapa lihainya tangan putih Meira saat memotong beragam sayuran dengan pisau itu. "Apa masakannya akan enak?"gumam Hale seorang diri. Ia yakin Meira tak akan mendengar, ah! Hale lupa, Meira itu kan tuli.Setelah lima belas menit berlalu akhirnya makanan yang Meira buat telah selesai. Hale dapat mencium aroma harum dari sana. "Tuan, kemari
Pagi ini Hale masih bertekad kuat untuk membuat Meira mau menjual lukisanya padanya. Jadilah pagi-pagi seperti ini Hale sudah mengunjungi Meira di kontrakan sederhana Meira.Darimana Hale tahu tempat tinggal Meira? Ya tentu saja dari Seva."Beritahu aku dimana tempat tinggal Meira!""Hoam... Aku-""Nona Seva! Cepat beritahu! Kau membuang waktuku dengan acara menguapmu itu!""Tuan Hale??!""Hmm.""Meira tinggal di jalan Gardenia nomor 7 tuan, rumah sederhana yang berada di depan panti jompo.""Oke!" Hale langsung menutup panggilannya waktu itu.Kira-kira seperti itulah bagaimana cara Hale bisa sampai di depan pintu rumah Meira pagi ini. Pagi ini? Iya betul... Ini masih jam lima pagi!Hale berdiri dengan angkuhnya, ia mengamati sekitar rumah Meira. Rum
Langit sudah menggelap diatas sana. Dan bodohnya lagi adalah, Hale masih setia berada di luar kafe. Meira yang baru saja selesai dari pekerjaannya itu sedikit terkejut saat mengetahui jika Hale masih berada di kafe depan minimarket.Meira dengan polosnya berjalan mendekati Hale yang kini sedang memandangi Meira secara terang terangan."Tuan? Kau masih disini?""Kau tak buta kan?" ucap Hale yang lagi-lagi terdengar sangat kasar.Meira kini mencoba tersenyum, 'Tuhan belum mengambil mata ini, dan ya, kedua mataku sangat sehat tuan,' ucap Meira dengan senyumannya yang mampu membuat Hale keluar dari dunianya.Ini pertama kalinya Hale melihat sedekat ini, melihat Meira yang tersenyum lebar dengan jarak yang begitu dekat. Hale mengedipkan matanya, ia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya."Baiklah tuan, aku harus pulang. Disini lumayan sepi saat makan, terlebih minimarket sudah tu
"Astaga!" Seva memijit kepalanya yang pening. Hale itu semaunya sendiri. Bagaimana bisa dia meminta info tentang Meira padanya? Hei! Meira itu kan sahabatnya Seva. Mana mungkin Seva menempatkan Meira pada posisi bahaya? Hale itu menyeramkan dan sangat sarkas, sedangkan Meira itu begitu polos."Siapa yang menelepon kak? Kau kelihatan frustasi?" tanya Meira yang kini masih mengiris kecil-kecil daging panggang miliknya.Seva memandang Meira dongkol. Apa Meira tak sadar? Karena lukisan Meira yang terlalu bagus itu, sepertinya membuat Hale merasa tertarik??Jika diibaratkan, Hale itu seekor singa yang gagah dan ganas, lalu Meira hanyalah merpati kecil, indah dan begitu polos. Huh! Pikiran itu muncul secara tiba-tiba di kepala Seva saat melihat sahabatnya yang sedang makan dengan tenang."Emmm, Mei, kau akan apakan uang sebanyak itu? Kau kan tak suka uang," celetuk Seva seraya duduk dan kembali makan.
Acara pameran itu berlangsung dengan sangat lancar, banyak sekali para pelukis yang merasa senang, karena beberapa diantara karya mereka berhasil terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini pun terjadi juga pada Meira.Gadis cantik nan sederhana itu kini sedang tersenyum sambil memandangi lukisannya yang juga berhasil terjual."Wah! Kau harus meneraktirku makan Mei!" ucap Seva sambil menyenggol lengan Meira, Meira hanya menganggukan kepalanya. Ia bahkan tak menyangka jika lukisannya ini akan terjual dengan harga yang bisa kalian katakan sangat fantastis."Ekhmm!" Hale datang menghampiri Meira dan Seva. Tatapanya masih datar seperti saat pertama, Halemengamati Meira dari atas hingga ke bawah."Aku tak menyangka orang cacat sepertimu bisa membuat karya seindah ini!" ucap Hale dengan lugas, Meira yang membaca gerak bibir Hale hanya bisa tersenyum simpul."Terimakasih atas pujianya tuan... Ah iy
Pameran lukisan itu sudah tampak ramai, banyak sekali para kolektor lukisan yang hadir sebatas untuk melihat dan mungkin membeli beberapa karya indah dari pada seniman lukis yang hadir disana.Lalu terlihatlah seorang gadis yang nampak sederhana dengan balutan gaun berwarna putih gading yang menutupi bawah lututnya, ia nampak terlihat binggung, ia menoleh kesana dan kemari, mencari seseorang sepertinya. Tangannya meremas erat kanvas yang ia bawa."Hei! Meira!" panggil seseorang dari belakang gadis yang ternyata bernama Meira itu.Meira hanya diam, dia tak menoleh ataupun bereaksi, ia masih sibuk melihat sekelilingnya dengan binggung."Hei!" seorang gadis yang tadi memanggilnya kini menepuk pundak Meira, dan Meira langsung menolehkan kepalanya kebelakang."kak Seva? Aku mencarimu sedari tadi, aku sangat binggung," ucap Meira dan tersenyum lega setelah melihat gadis tadi yang ternyata adalah