Leo berlari sambil melepaskan kancing jasnya saat turun dari helikopter. Dia melepas jas dan melemparnya begitu saja saat melihat kekacauan di markasnya. Dia marah saat mengetahui penyerangan itu ulah Marco. Setelah mengokang senjata api, dia menarik pelatuk dan menembak semua orang yang menghalangi jalannya.
Orang-orang berjatuhan dengan darah berceceran. Jiwa pemburu seorang Leonardo kembali merasukinya. Tak peduli dengan rasa kemanusiaan, Leo menghabisi semua musuh dengan sekali tarikan pelatuk. Dia bergerak cepat mengisi magasin dengan amunisi, kemudian menembak semua musuh dengan membabi buta. Musuh-musuh berjatuhan. La Vendetta menjadi lautan darah karena banyaknya musuh yang tewas akibat kekejaman Leo.
Mengabaikan kekacauan di luar sana, Leo bergerak menuju aula dan menemukan Marco di sana. Melihat Alex terbaring lemas di lantai membuat Leo mengarahkan senjata apinya ke arah Marco yang juga kehabisan tenaga.
“Selamat datang. Kau suka dengan kejutan yang kusiapkan?” ejek Marco dengan tawa sinisnya.
“Seharusnya waktu itu aku sudah membunuhmu. Bodohnya aku yang memberimu kesempatan hidup jika akhirnya kau akan muncul lagi di hadapanku.”
“Huh, kau memang bodoh dan tak bisa diandalkan. Harus kah aku berterima kasih karena sudah diberi kesempatan untuk mengatur strategi balas dendam ini? Tentu saja aku akan melakukannya setelah membunuhmu.” Marco tertawa sinis.
“Kau kira akan semudah itu? Kau lupa bahwa aku bukan tandinganmu. Kau hanya bagian dari masalah kecil yang harus kuselesaikan.” Leo menarik ujung bibirnya.
“Tampaknya kau meragukan kemampuanku.”
Leo menembak dengan mata tajam. Sayangnya, Marco telah mengasah kemampuannya dalam menghindari senjata sehingga dari tujuh peluru, hanya ada satu yang menyerempet lengannya. Darah segar langsung menetes di lantai, tapi Marco masih tak menyerah. Dia justru bersiap melakukan penyerangan kepada Leo.
“Kau memang pengecut. Mari kita buktikan siapa yang akan menang jika bertarung dengan tangan kosong!” teriak Marco.
Marco berlari dan melakukan tendangan dengan gaya terbang. Namun, sialnya, Leo sigap menangkis semua serangan dari Marco. Tak mau menyerah, Marco memasang kuda-kuda dan mengambil langkah baru. Dia berputar dan berusaha membuat Leo kehilangan fokus. Saat Leo sedang lengah, Marco segera menjatuhkan pukulan dan juga melakukan tendangan secara tiba-tiba.
Alex yang sudah babak belur pun memaksakan dirinya untuk bangun. Dia seolah-olah tak membiarkan atasannya melawan Marco seorang diri dan membantu Leo melawan Marco. Dua lawan satu tak membuat Marco mundur. Dia tetap optimis bisa mengalahkan dua orang itu dengan tangan kosong demi bisa membawa Caterina pulang ke markasnya.
“Biar kutunjukkan seberapa pengecutnya kau di sini!” teriak Marco dengan lantang.
Namun, sepertinya impian Marco untuk membawa Caterina pulang ke markasnya tinggal mimpi belaka. Dia berhasil dikalahkan oleh Leo dan Alex hingga tak sanggup berdiri lagi. Matanya juga tak bisa dibuka karena banyaknya pukulan di bagian wajah. Leo berdiri di samping Marco dan meletakkan kakinya di atas perut Marco.
“Apa kau punya kalimat terakhir yang ingin diucapkan, Marco?” Tanya Leo dengan seringai tajam.
Leo mengambil pistolnya dan mengisi magasin dengan sisa amunisi yang dia punya, lantas mengarahkan senjata api tersebut ke kepala Marco. Namun, belum sempat dia menarik pelatuk dan membunuh Marco, Leo sudah dikejutkan dengan kedatangan musuhnya yang lain. Yang lebih mengejutkan adalah karena mereka berhasil menjadikan Caterina sebagai tawanan. Tak hanya Leo yang kaget. Alex pun sama kaget nya. Alex merasa semua itu mustahil. Mengapa Caterina bisa ditemukan padahal sudah disembunyikan dengan aman. Itu membuat Alex bertanya-tanya.
“Jika kau membunuh Marco, maka aku juga akan membunuh wanita ini,” desis pria berbadan besar yang tubuhnya dipenuhi oleh tato itu.
“Marco,” panggil Caterina dengan lirih.
Leo cukup panik saat melihat moncong pistol yang menempel di pelipis Caterina. Refleks dia mengangkat kedua tangannya dan membiarkan Marco berusaha berdiri. Meskipun sedang panik, tapi Leo cukup pandai mengelabuhi musuh dengan ekspresi wajahnya yang tetap terlihat tenang. Meski begitu, Leo juga memikirkan cara agar bisa menyelamatkan Caterina tanpa membuat wanita itu terluka.
“Turunkan senjatamu dari wanita itu!” perintah Leo.
“Sepertinya wanita ini sangat berharga bagimu, Tuan Bianchi.”
Caterina yang merasa takut pun menatap Marco. Matanya menuntut penjelasan sehingga membuat Marco paham.
“Maafkan aku, Kate,” kata Marco.
Caterina menggelengkan kepalanya. Bukan itu jawaban yang ingin dia dengar. Namun, Marco malah menjatuhkan pandangan. Caterina berpikir Marco akan menolongnya, tapi pria itu tak melakukan apa-apa. Untuk pertama kalinya Caterina kecewa kepada Marco.
“Kau akan diam saja melihatku seperti ini?” tanya Caterina.
“Turunkan senjatamu. Biarkan aku bicara sebentar,” kata Marco.
Pria yang menyandera Caterina menurunkan senjatanya sesuai perintah Marco. Hal itu membuat Caterina semakin kecewa dan berpikir bahwa Marco lah yang menyuruh orang-orang itu untuk menangkapnya.
“Awalnya aku mengajak mereka bergabung untuk menyerang markas ini karena ingin membawamu pergi dari sini, Kate. Tapi, sepertinya rencanaku akan gagal, karena mereka justru mengincar nyawamu. Aku berusaha keras untuk menemukanmu lebih dulu, tapi anak buah Leo menghalangiku.” Marco menunjuk Alex.
“Bedebah ini menyalahkan aku?” Alex tak terima dijadikan kambing hitam oleh Marco.
“Aku gagal meyakinkan anak buah Leo dan justru menghabiskan waktu dengan bertarung dengannya. Sampai aku tak punya waktu untuk mencarimu, Kate. Maafkan aku.” Marco tak berani menatap sepasang mata Caterina yang mulai mengkristal.
Alex mendesis dengan marah. Dia tak terima karena Marco malah memojokkan seolah-olah karena dia Marco gagal menemukan Caterina.
“Kau memang pandai memanipulasi cerita dan pikiran orang!” cibir Leo.
“Aku sudah menjelaskan kepada anak buahmu yang sok pintar itu, tapi dia malah mengajakku bertarung dan mengulur waktu. Jangan salahkan aku kalau mereka berhasil menemukan Kate lebih dulu.” Marco membela dirinya di depan Caterina.
“Marco, aku benar-benar kecewa denganmu.” Caterina memejamkan matanya. Dia menyerah dengan keadaan karena Marco, satu-satunya orang yang dia percaya juga mengkhianatinya. Tidak ada satu orang pun yang bisa dia percaya sekarang, jadi Caterina memutuskan untuk diam di tangan musuh.
“Senang bertemu dengan Anda, Tuan Bianchi.” Musuh yang menyandera Caterina mulai tertawa.
“Apa kau benar-benar mencintai wanita ini? Ah, ternyata berita yang beredar itu benar. Awalnya aku tak percaya, sampai akhirnya aku menemukan sendiri kebenaran itu. Hahaha.”
“Apa yang kalian inginkan?” tanya Leo.
“Keinginan ku sangat banyak, termasuk menginginkan wanita ini. Apa kau akan menyerahkannya untukku?”
Rahang Leo mengeras. Tawa dari musuh yang menggema di aula membuatnya sangat muak sehingga darahnya mulai mendidih.
“Bagaimana kalau kita buat semuanya jadi mudah. Kau pilih menembak Alex, atau aku menembak wanita ini?” tanya musuh Leo.
“Kenapa kau ingin aku membunuh Alex?”“Dia tidak layak menjadi tangan kananmu. Kau tidak sadar kalau ada orang yang lebih layak di posisi itu daripada dia,” jawabnya.Alex mengerutkan kening saat mendengar jawaban dari musuh. Mengapa ada orang yang sangat ingin menyingkirkan dirinya, Alex benar-benar ingin tahu siapa orangnya. Namun, karena keadaan sedang genting, dia pun tak berani bertanya.“Pemimpin macam apa kau, sampai-sampai tidak sadar kalau di markas ini ada pengkhianat?” cibir Marco.Leo mengacungkan pistolnya tepat ke wajah Marco. Dia muak sekali mendengar suara Marco dan ingin segera menghabisi nya.“Jangan main-main dengan senjatamu kalau tidak mau aku menembak wanita ini!” musuh Leo kembali memberikan peringatan.Leo sudah sangat muak dengan masalah ini. Dia pun tak mau berbasa-basi lagi dan ingin tahu motif dari penyerangan tersebut.“Katakan apa yang kalian inginkan! Kau mau uang?”Leo tak ingin membuat Caterina semakin ketakutan jika terus-menerus dijadikan sandera. Ji
Marco yang sedang mencoba mengalahkan anak buah Leo tampak cukup syok saat melihat Caterina keluar dari tempatnya bersembunyi. Dia menyayangkan keputusan Caterina untuk menyerahkan diri, dan mencoba melumpuhkan pasukan Leo yang tersisa agar dia bisa secepatnya menghampiri Caterina.“Jangan, Kate!” pinta Marco dengan penuh harap. Namun, dia tak berani berteriak. Mengakui perasaannya di depan wanita itu sudah cukup membuat hubungan mereka menjadi canggung. Marco hanya tak mau membuat Caterina semakin tak nyaman karenanya. Meski begitu, dia juga tak siap jika harus kehilangan Caterina sekarang.Leo mengangkat tangannya ke udara, memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan penyerangan sebab sudah banyak pasukan Marco yang tewas. Selain itu, serangan dihentikan karena Caterina sudah keluar dari tempatnya bersembunyi.Caterina menjaga jarak dari Leo. Dia sengaja berdiri di samping vas bunga besar di sudut ruangan agar jika sewaktu-waktu merasa terancam, Caterina bisa menggunakan va
“Aku tidak percaya selama ini kau tinggal bersama pria seperti Leo. Ayahmu, yang sudah jelas mengabdi bertahun-tahun dengannya saja bisa dibunuhnya dengan begitu mudah. Dia benar-benar iblis!” Marco datang membawakan sebotol yoghurt untuk Caterina.“Dia menembak kepala ayahmu karena dia gagal membunuhku. Dia benar-benar psikopat.”Caterina yang duduk termenung sambil memikirkan Dante seketika terkesiap dan mengusap air matanya. Amarah dan dendam yang membara di hatinya membuat Caterina meneteskan air mata. Kebenciannya kepada Leonardo kini sudah berada di puncak paling atas. Tidak ada kata maaf lagi yang akan dia berikan kepada pria itu. Pria yang dulu sangat dicintainya, kini berubah menjadi sosok yang paling dibencinya. Waktu mengubahnya dengan sangat cepat. Caterina merasa kesal karena dulu pernah mencintai orang seperti Leonardo.“Kau tenang saja, Kate. Aku berada di pihakmu sekarang. Kita harus bersatu untuk membalaskan dendam masing-masing kepada Leo. Kalau kita bersatu, bukanka
“Ayo bercerai!” Nathan berucap dengan dingin ketika ia menyodorkan sebuah map berisi kertas pada Elise. Pria itu bahkan tidak ingin menoleh menatap istrinya. Baginya, kehadiran Elise di sana hanya akan merusak pandangan matanya.Ini adalah permintaan ke sepuluh ketika Nathan menyodorkan kertas itu untuk pengurusan perceraian. Ia hanya membutuhkan tanda tangan Elise, maka mereka akan resmi bercerai. Biasanya Elise akan menolak dan memohon agar Nathan tidak menceraikannya. Ia akan berlutut, mengemis cinta pada pria berhati dingin itu.Namun, kali ini responsnya berbeda. Ia meraih kertas itu tanpa ragu, lalu memberikan tanda tangannya. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun ketika Nathan menghampirinya dan meminta untuk bercerai.Bukan tanpa alasan. Elise bersikap seperti ini karena ini adalah kehidupan keduanya. Di masa lalu, ia menolak untuk bercerai. Semakin ia berusaha untuk mendapatkan cinta Nathan, semakin Nathan membencinya. Ia telah memberikan segalanya pada lelaki yang ia cin
“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip m
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
Caterina turned to the source of the voice. She glared, visibly displeased by Leonardo's presence there. She didn't say a word. After chuckling, she went to the garage and pulled out Alex's car.“Why does it have to be Alex? You could have borrowed my car.” Leonardo commented when he saw Caterina busy getting Alex's car out. He felt annoyed and jealous because Caterina chose Alex over him.The orange sports car started driving at a moderate speed out of the gate. At the gate he was intercepted by the gatekeeper. No matter how hard Caterina tried to explain, the gatekeeper did not allow Caterina to get out of the fence.“I allowed her to go to buy medicine; just open the gate.” Leonardo gave the order through a handy talky.After getting the order, the guard opened the gate. Caterina immediately drove her car onto the highway. The car was traveling at breakneck speed.Leonardo followed. He drove a normal car so as not to attract attention. He also drove his car without being followed b
Caterina turned to the source of the voice. She glared, visibly displeased by Leonardo's presence there. She didn't say a word. After chuckling, she went to the garage and pulled out Alex's car.“Why does it have to be Alex? You could have borrowed my car.” Leonardo commented when he saw Caterina busy getting Alex's car out. He felt annoyed and jealous because Caterina chose Alex over him.The orange sports car started driving at a moderate speed out of the gate. At the gate he was intercepted by the gatekeeper. No matter how hard Caterina tried to explain, the gatekeeper did not allow Caterina to get out of the fence.“I allowed her to go to buy medicine; just open the gate.” Leonardo gave the order through a handy talky.After getting the order, the guard opened the gate. Caterina immediately drove her car onto the highway. The car was traveling at breakneck speed.Leonardo followed. He drove a normal car so as not to attract attention. He also drove his car without being followed b
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip m
“Ayo bercerai!” Nathan berucap dengan dingin ketika ia menyodorkan sebuah map berisi kertas pada Elise. Pria itu bahkan tidak ingin menoleh menatap istrinya. Baginya, kehadiran Elise di sana hanya akan merusak pandangan matanya.Ini adalah permintaan ke sepuluh ketika Nathan menyodorkan kertas itu untuk pengurusan perceraian. Ia hanya membutuhkan tanda tangan Elise, maka mereka akan resmi bercerai. Biasanya Elise akan menolak dan memohon agar Nathan tidak menceraikannya. Ia akan berlutut, mengemis cinta pada pria berhati dingin itu.Namun, kali ini responsnya berbeda. Ia meraih kertas itu tanpa ragu, lalu memberikan tanda tangannya. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun ketika Nathan menghampirinya dan meminta untuk bercerai.Bukan tanpa alasan. Elise bersikap seperti ini karena ini adalah kehidupan keduanya. Di masa lalu, ia menolak untuk bercerai. Semakin ia berusaha untuk mendapatkan cinta Nathan, semakin Nathan membencinya. Ia telah memberikan segalanya pada lelaki yang ia cin
“Aku tidak percaya selama ini kau tinggal bersama pria seperti Leo. Ayahmu, yang sudah jelas mengabdi bertahun-tahun dengannya saja bisa dibunuhnya dengan begitu mudah. Dia benar-benar iblis!” Marco datang membawakan sebotol yoghurt untuk Caterina.“Dia menembak kepala ayahmu karena dia gagal membunuhku. Dia benar-benar psikopat.”Caterina yang duduk termenung sambil memikirkan Dante seketika terkesiap dan mengusap air matanya. Amarah dan dendam yang membara di hatinya membuat Caterina meneteskan air mata. Kebenciannya kepada Leonardo kini sudah berada di puncak paling atas. Tidak ada kata maaf lagi yang akan dia berikan kepada pria itu. Pria yang dulu sangat dicintainya, kini berubah menjadi sosok yang paling dibencinya. Waktu mengubahnya dengan sangat cepat. Caterina merasa kesal karena dulu pernah mencintai orang seperti Leonardo.“Kau tenang saja, Kate. Aku berada di pihakmu sekarang. Kita harus bersatu untuk membalaskan dendam masing-masing kepada Leo. Kalau kita bersatu, bukanka
Marco yang sedang mencoba mengalahkan anak buah Leo tampak cukup syok saat melihat Caterina keluar dari tempatnya bersembunyi. Dia menyayangkan keputusan Caterina untuk menyerahkan diri, dan mencoba melumpuhkan pasukan Leo yang tersisa agar dia bisa secepatnya menghampiri Caterina.“Jangan, Kate!” pinta Marco dengan penuh harap. Namun, dia tak berani berteriak. Mengakui perasaannya di depan wanita itu sudah cukup membuat hubungan mereka menjadi canggung. Marco hanya tak mau membuat Caterina semakin tak nyaman karenanya. Meski begitu, dia juga tak siap jika harus kehilangan Caterina sekarang.Leo mengangkat tangannya ke udara, memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan penyerangan sebab sudah banyak pasukan Marco yang tewas. Selain itu, serangan dihentikan karena Caterina sudah keluar dari tempatnya bersembunyi.Caterina menjaga jarak dari Leo. Dia sengaja berdiri di samping vas bunga besar di sudut ruangan agar jika sewaktu-waktu merasa terancam, Caterina bisa menggunakan va
“Kenapa kau ingin aku membunuh Alex?”“Dia tidak layak menjadi tangan kananmu. Kau tidak sadar kalau ada orang yang lebih layak di posisi itu daripada dia,” jawabnya.Alex mengerutkan kening saat mendengar jawaban dari musuh. Mengapa ada orang yang sangat ingin menyingkirkan dirinya, Alex benar-benar ingin tahu siapa orangnya. Namun, karena keadaan sedang genting, dia pun tak berani bertanya.“Pemimpin macam apa kau, sampai-sampai tidak sadar kalau di markas ini ada pengkhianat?” cibir Marco.Leo mengacungkan pistolnya tepat ke wajah Marco. Dia muak sekali mendengar suara Marco dan ingin segera menghabisi nya.“Jangan main-main dengan senjatamu kalau tidak mau aku menembak wanita ini!” musuh Leo kembali memberikan peringatan.Leo sudah sangat muak dengan masalah ini. Dia pun tak mau berbasa-basi lagi dan ingin tahu motif dari penyerangan tersebut.“Katakan apa yang kalian inginkan! Kau mau uang?”Leo tak ingin membuat Caterina semakin ketakutan jika terus-menerus dijadikan sandera. Ji
Leo berlari sambil melepaskan kancing jasnya saat turun dari helikopter. Dia melepas jas dan melemparnya begitu saja saat melihat kekacauan di markasnya. Dia marah saat mengetahui penyerangan itu ulah Marco. Setelah mengokang senjata api, dia menarik pelatuk dan menembak semua orang yang menghalangi jalannya.Orang-orang berjatuhan dengan darah berceceran. Jiwa pemburu seorang Leonardo kembali merasukinya. Tak peduli dengan rasa kemanusiaan, Leo menghabisi semua musuh dengan sekali tarikan pelatuk. Dia bergerak cepat mengisi magasin dengan amunisi, kemudian menembak semua musuh dengan membabi buta. Musuh-musuh berjatuhan. La Vendetta menjadi lautan darah karena banyaknya musuh yang tewas akibat kekejaman Leo.Mengabaikan kekacauan di luar sana, Leo bergerak menuju aula dan menemukan Marco di sana. Melihat Alex terbaring lemas di lantai membuat Leo mengarahkan senjata apinya ke arah Marco yang juga kehabisan tenaga.“Selamat datang. Kau suka dengan kejutan yang kusiapkan?” ejek Marco