“Ayo bercerai!” Nathan berucap dengan dingin ketika ia menyodorkan sebuah map berisi kertas pada Elise. Pria itu bahkan tidak ingin menoleh menatap istrinya. Baginya, kehadiran Elise di sana hanya akan merusak pandangan matanya.
Ini adalah permintaan ke sepuluh ketika Nathan menyodorkan kertas itu untuk pengurusan perceraian. Ia hanya membutuhkan tanda tangan Elise, maka mereka akan resmi bercerai. Biasanya Elise akan menolak dan memohon agar Nathan tidak menceraikannya. Ia akan berlutut, mengemis cinta pada pria berhati dingin itu.
Namun, kali ini responsnya berbeda. Ia meraih kertas itu tanpa ragu, lalu memberikan tanda tangannya. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun ketika Nathan menghampirinya dan meminta untuk bercerai.
Bukan tanpa alasan. Elise bersikap seperti ini karena ini adalah kehidupan keduanya. Di masa lalu, ia menolak untuk bercerai. Semakin ia berusaha untuk mendapatkan cinta Nathan, semakin Nathan membencinya. Ia telah memberikan segalanya pada lelaki yang ia cintai, ia bahkan rela meninggalkan hidup mewahnya dan menjadi istri rumah tangga untuk mengurus suami, ibu mertua, dan adik iparnya. Tugasnya bahkan lebih banyak dari pembantu. Namun, usaha kerasnya selama ini tidak pernah terlihat. Mereka tidak pernah menghargai kebaikannya.
Setiap hari yang ia dapatkan hanyalah makian, ujaran kebencian, dan perlakuan buruk dari keluarga suaminya. Hingga ia mati terbakar hidup-hidup di rumah itu, sebab tidak ada yang peduli ketika kakinya terjepit reruntuhan akibat kebakaran. Semua orang berusaha melarikan diri dari kebakaran dan hanya mengkhawatirkan Vanessa yang merupakan kakak ipar Nathan yang telah ditinggal mati suaminya. Tidak ada yang mengkhawatirkan dirinya, sehingga ia mati dalam penyesalan.
Elise masih ingat dengan jelas ucapan Nathan padanya di akhir hidupnya di masa lalu, “Kematianmu akan menjadi kebahagianku.”
Mengingat apa yang terjadi di kehidupan sebelumnya, Elise merasa sangat marah. Ia telah diberi kesempatan kedua untuk hidup, jadi ia tidak akan mengulang kesalahannya di masa lalu. Ia akan membalas semua perlakuan tidak baik yang telah ia terima di kehidupan sebelumnya. Ia tidak lagi ingin mati dalam penyesalan.
Melihat Elise menandatangi surat percerain itu, Nathan menjadi sedikit khawatir. Ia telah terbiasa dengan rengekan Elise yang meminta agar tidak diceraikan. Ia telah terbiasa dengan Elise yang mengemis cinta darinya. Ketika wanita itu memberikan respon yang berbeda, ia merasa ada yang salah.
“Kau menandatanganinya?” Nathan bertanya memastikan. Ia menatap lamat-lamat, memastikan bahwa ia tidak salah melihat.
“Bukankah ini yang kau inginkan?” Elise balik bertanya. “Selama ini aku telah menyiksamu dengan pernikahan yang tidak kau inginkan. Jadi, aku akan membuatmu bebas dengan perceraian kita. Aku tidak akan lagi memaksamu untuk mencintaiku. Aku bisa menerima fakta bahwa aku tidak pernah menjadi orang yang kau inginkan.”
Nathan terdiam mendengar ucapan Elise. Ia merasa hari ini Elise sedikit berbeda. Semakin ia menatap Elise, semakin ia sadar bahwa ia memiliki istri yang cantik. Selama ini ia selalu mengabaikan Elise, bahkan enggan untuk menatapnya. Ia tidak pernah sadar bahwa istrinya cukup menarik.
“Kau berhasil membuatku untuk menatapmu. Aku tahu kau memiliki trik lain untuk menarik perhatianku. Sayangnya aku tidak akan terjebak dengan trik murahanmu itu.” Nathan berusaha untuk membesarkan egonya. Ia terus saja berpikir bahwa Elise tidak akan menyerah secepat itu. Baginya, Elise tidak akan bisa apa-apa tanpa dirinya.
“Terserah apa katamu, Mr. Arrogant.” Elise bangkit berdiri. Ia menyerahkan kertas perceraian itu pada Nathan dengan sedikit kasar, lalu beranjak pergi menuju lantai dua.
Berselang beberapa menit setelahnya, Elise kembali turun dengan koper di tangannya. Ia berniat untuk pergi.
“Ke mana kau akan pergi? Selama ini kau tidak bekerja dan kau tidak punya keluarga. Kau hanya akan menjadi gembel dan hidup dengan penuh kesusahan di luar sana.”
“Ke mana aku pergi itu bukan urusanmu.” Elise menjawab dengan dingin.
Baru saja Elise hendak melangkah menuju pintu keluar, tiga wanita muncul secara bersamaan. Tiga wanita itu menatap Elise dengan tajam.
“Drama apalagi yang ingin kau lakukan kali ini?” Madison bertanya dengan tajam.
Madison tidak pernah suka pada Elise. Semua yang Elise lakukan akan terlihat salah di matanya. Satu-satunya menantu yang ia akui hanyalah Vanessa. Setelah putra sulungnya meninggal dan meninggalkan Vanessa yang tengah hamil, ia berniat untuk menikahkan Vanessa pada putra keduanya agar Vanessa tetap menjadi menantunya. Namun, keinginan itu tidak pernah terjadi, sebab Nathan telah menikah dengan Elise.
“Berhentilah membuat masalah, Elise.” Brooke sang adik ipar ikut menimpali.
“Jika kau marah pada Nathan karena cemburu padaku, aku bisa pergi dari rumah ini. Aku tidak ingin menjadi alasan pertengkaranmu dengan Nathan.” Vanessa berucap dengan penuh kelembutan. Ia memasang wajah memelas untuk menarik simpati semua orang.
“Dia tidak berhak untuk marah pada putraku, apalagi cemburu padamu. Dia pikir dia siapa?” Madison berkomentar dengan tajam.
“Kau pikir dengan sandiwaramu kali ini, Nathan akan tertarik untuk memberikan perhatian padamu? Harusnya kau bersyukur karena kau telah diterima di keluarga ini, di sini kau bisa hidup mewah dan menikmati statusmu sebagai nyonya muda keluarga Forest.” Brooke tersenyum sinis. Setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya penuh dengan kebencian dan penghinaan.
Elise menghela napas dengan dalam. Ia tertawa kecil, ia menertawakan dirinya karena telah menjadi orang bodoh selama dua tahun ini. Ia telah menghabiskan dua tahun hidupnya hanya untuk melayani orang-orang yang tidak punya hati seperti mereka. Ia merasa bodoh karena tidak pernah melawan setiap kali ditindas dan dihina.
“Aku tidak lagi peduli dengan keluarga Forest. Aku dan Nathan telah bercerai, jadi kami tidak lagi memiliki hubungan apa pun. Aku telah menghabiskan dua tahun masa mudaku dengan menjadi babu gratis di rumah ini. Aku telah membantu Nathan untuk meraih posisinya saat ini. Kuanggap semuanya impas, aku tidak lagi memiliki hutang pada Nathan. Aku berterima kasih karena ia telah menyelamatkan hidupku satu kali, tapi aku sudah membayarnya dengan semua pengorbananku selama dua tahun ini.”
Mendengar ucapan Elise, Madison dan Brooke tertawa ngakak. Mereka merasa lucu mendengar ucapan Elise.
“Apa yang telah kau lakukan untuk membantu Nathan? Yang bisa kau lakukan hanyalah memasak, menyetrika, mencuci, dan mengurus rumah. Kamu hanya istri rumah tangga yang tidak bisa apa-apa. Berbeda sekali dengan Vanessa. Meskipun sedang hamil, ia masih bekerja dan membantu Nathan untuk memenangkan proyeg besar. Venessa yang telah membantu Nathan untuk mencapai posisinya sekarang, sementara yang bisa kau lakukan hanyalah mengurus rumah tangga.”
“Ibu, cukup. Biarkan dia pergi.” Nathan angkat suara juga pada akhirnya. “Setelah dia hidup sendiri di luar sana, ia akan tahu sebaik apa keluarga kita dalam memperlakukannya.” Suara pria itu terdengar dingin dan menusuk.
Elise tertawa tipis mendengar ucapan Nathan, ia merasa geli mendengar kalimat itu. “Perlakuan baik? Berhentilah mengucapkan kata-kata omong kosong.”
“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip m
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
Caterina turned to the source of the voice. She glared, visibly displeased by Leonardo's presence there. She didn't say a word. After chuckling, she went to the garage and pulled out Alex's car.“Why does it have to be Alex? You could have borrowed my car.” Leonardo commented when he saw Caterina busy getting Alex's car out. He felt annoyed and jealous because Caterina chose Alex over him.The orange sports car started driving at a moderate speed out of the gate. At the gate he was intercepted by the gatekeeper. No matter how hard Caterina tried to explain, the gatekeeper did not allow Caterina to get out of the fence.“I allowed her to go to buy medicine; just open the gate.” Leonardo gave the order through a handy talky.After getting the order, the guard opened the gate. Caterina immediately drove her car onto the highway. The car was traveling at breakneck speed.Leonardo followed. He drove a normal car so as not to attract attention. He also drove his car without being followed b
“Sir, Kate's have been found. She works at a hospital in Puerto Vallarta.” A man informed Leo as he handed over several photos showing Kate treating patients in the emergency department.Leonardo Bianchi was his name. A leader of the biggest mafia organization in Mexico. He was very handsome; the lines of his face were so firm, and he had such a sharp and deadly look in his eyes.“Prepare the car; we're going there now!” Leonardo gave the order. He squeezed the photo sheet very hard. His jaw hardened; his breathing sounded heavy.It had been six months since Kate had left the base. He couldn't wait to see her again. Six months was not a short time to endure longing.Leonardo rose to his feet as the car was prepared. Together with some of his men, they sped off to the neighboring town where Kate was known to be working.Some of the cars stopped and parked haphazardly when they arrived at their destination. Their aura was dominating, especially Leonardo, who looked so scary.People ran
Leonardo stopped his steps after he heard that sentence. He turned around, looking at the man in the doctor's suit standing before him. He looked at the man carefully. Gabriel looked very handsome with soft facial lines. His eyeballs were so beautiful; his body was also quite muscular for a doctor. Leonardo felt that the man was handsome enough to be his rival.“What did you say?” Leonardo asked for confirmation.“Kate is my girlfriend; face me first if you want to take her away.” Gabriel said firmly.“Gabriel, don't mess with him. Do you know who he is? Don't sacrifice yourself for a woman who doesn't want you.” Rossie warned. That woman had liked her coworker first, but Caterina's presence there had defeated her position. She had liked Gabriel for the past two years, but Caterina had stolen Gabriel's heart since the first day she started working there.Leonardo smiled sarcastically. “So that's it, one-sided love, huh?” He said in a sarcastic and condescending tone.“Gabriel, he's no
Caterina's cries echoed throughout the room. Her trembling hands embraced the bloodied body. She hugged Gabriel tightly, trying her best to wake him up.“No, Gabriel. Come on, wake up! Open your eyes!” Caterina patted Gabriel's cheek repeatedly, trying to wake the unconscious man.Leonardo clenched his hands hard when the woman he liked hugged another man right in front of him. Not just hugging, the woman even cried for the other man.“What the hell are you doing!” Rossie approached. She pushed Caterina so roughly that her embrace on Gabriel's body slipped away. She quickly tried to administer first aid. She tried to stop the bleeding. Although she looked calm, she was actually panicking right now.“Take him to the emergency room!” Rossie ordered her other coworkers. She didn't have much time, as Gabriel had received a fatal gunshot wound.Immediately, Gabriel's weak body was brought to the emergency room.Caterina got up; she was about to follow them to the emergency room so that she
Caterina woke up with her head still feeling dizzy. She blinked repeatedly to clear her vision. She was very confused about the room she was in, as it was her first time there. The room was very spacious with expensive furniture. Even the mattress she was on was much more expensive than the usual mattress she used.Caterina looked around. All the objects there were completely foreign to her. They were all high-class items.The door opened with the presence of a maid. Caterina recognized the maid, so she understood where she was.“Lucy, why am I here? Does that bastard want me to spend my last moments in luxury before he kills me?” Caterina asked as the maid approached her with a glass of hot tea.“I don't know. He just asked me to serve you well.” Lucy answered as she was.No one knew what Leonardo's intentions were. Only he himself knew what he wanted. He didn't want to share his feelings, so he didn't want to tell everyone what his plans were.Caterina let out a deep breath and unin
Caterina turned to the source of the voice. She glared, visibly displeased by Leonardo's presence there. She didn't say a word. After chuckling, she went to the garage and pulled out Alex's car.“Why does it have to be Alex? You could have borrowed my car.” Leonardo commented when he saw Caterina busy getting Alex's car out. He felt annoyed and jealous because Caterina chose Alex over him.The orange sports car started driving at a moderate speed out of the gate. At the gate he was intercepted by the gatekeeper. No matter how hard Caterina tried to explain, the gatekeeper did not allow Caterina to get out of the fence.“I allowed her to go to buy medicine; just open the gate.” Leonardo gave the order through a handy talky.After getting the order, the guard opened the gate. Caterina immediately drove her car onto the highway. The car was traveling at breakneck speed.Leonardo followed. He drove a normal car so as not to attract attention. He also drove his car without being followed b
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip m
“Ayo bercerai!” Nathan berucap dengan dingin ketika ia menyodorkan sebuah map berisi kertas pada Elise. Pria itu bahkan tidak ingin menoleh menatap istrinya. Baginya, kehadiran Elise di sana hanya akan merusak pandangan matanya.Ini adalah permintaan ke sepuluh ketika Nathan menyodorkan kertas itu untuk pengurusan perceraian. Ia hanya membutuhkan tanda tangan Elise, maka mereka akan resmi bercerai. Biasanya Elise akan menolak dan memohon agar Nathan tidak menceraikannya. Ia akan berlutut, mengemis cinta pada pria berhati dingin itu.Namun, kali ini responsnya berbeda. Ia meraih kertas itu tanpa ragu, lalu memberikan tanda tangannya. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun ketika Nathan menghampirinya dan meminta untuk bercerai.Bukan tanpa alasan. Elise bersikap seperti ini karena ini adalah kehidupan keduanya. Di masa lalu, ia menolak untuk bercerai. Semakin ia berusaha untuk mendapatkan cinta Nathan, semakin Nathan membencinya. Ia telah memberikan segalanya pada lelaki yang ia cin
“Aku tidak percaya selama ini kau tinggal bersama pria seperti Leo. Ayahmu, yang sudah jelas mengabdi bertahun-tahun dengannya saja bisa dibunuhnya dengan begitu mudah. Dia benar-benar iblis!” Marco datang membawakan sebotol yoghurt untuk Caterina.“Dia menembak kepala ayahmu karena dia gagal membunuhku. Dia benar-benar psikopat.”Caterina yang duduk termenung sambil memikirkan Dante seketika terkesiap dan mengusap air matanya. Amarah dan dendam yang membara di hatinya membuat Caterina meneteskan air mata. Kebenciannya kepada Leonardo kini sudah berada di puncak paling atas. Tidak ada kata maaf lagi yang akan dia berikan kepada pria itu. Pria yang dulu sangat dicintainya, kini berubah menjadi sosok yang paling dibencinya. Waktu mengubahnya dengan sangat cepat. Caterina merasa kesal karena dulu pernah mencintai orang seperti Leonardo.“Kau tenang saja, Kate. Aku berada di pihakmu sekarang. Kita harus bersatu untuk membalaskan dendam masing-masing kepada Leo. Kalau kita bersatu, bukanka
Marco yang sedang mencoba mengalahkan anak buah Leo tampak cukup syok saat melihat Caterina keluar dari tempatnya bersembunyi. Dia menyayangkan keputusan Caterina untuk menyerahkan diri, dan mencoba melumpuhkan pasukan Leo yang tersisa agar dia bisa secepatnya menghampiri Caterina.“Jangan, Kate!” pinta Marco dengan penuh harap. Namun, dia tak berani berteriak. Mengakui perasaannya di depan wanita itu sudah cukup membuat hubungan mereka menjadi canggung. Marco hanya tak mau membuat Caterina semakin tak nyaman karenanya. Meski begitu, dia juga tak siap jika harus kehilangan Caterina sekarang.Leo mengangkat tangannya ke udara, memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan penyerangan sebab sudah banyak pasukan Marco yang tewas. Selain itu, serangan dihentikan karena Caterina sudah keluar dari tempatnya bersembunyi.Caterina menjaga jarak dari Leo. Dia sengaja berdiri di samping vas bunga besar di sudut ruangan agar jika sewaktu-waktu merasa terancam, Caterina bisa menggunakan va
“Kenapa kau ingin aku membunuh Alex?”“Dia tidak layak menjadi tangan kananmu. Kau tidak sadar kalau ada orang yang lebih layak di posisi itu daripada dia,” jawabnya.Alex mengerutkan kening saat mendengar jawaban dari musuh. Mengapa ada orang yang sangat ingin menyingkirkan dirinya, Alex benar-benar ingin tahu siapa orangnya. Namun, karena keadaan sedang genting, dia pun tak berani bertanya.“Pemimpin macam apa kau, sampai-sampai tidak sadar kalau di markas ini ada pengkhianat?” cibir Marco.Leo mengacungkan pistolnya tepat ke wajah Marco. Dia muak sekali mendengar suara Marco dan ingin segera menghabisi nya.“Jangan main-main dengan senjatamu kalau tidak mau aku menembak wanita ini!” musuh Leo kembali memberikan peringatan.Leo sudah sangat muak dengan masalah ini. Dia pun tak mau berbasa-basi lagi dan ingin tahu motif dari penyerangan tersebut.“Katakan apa yang kalian inginkan! Kau mau uang?”Leo tak ingin membuat Caterina semakin ketakutan jika terus-menerus dijadikan sandera. Ji
Leo berlari sambil melepaskan kancing jasnya saat turun dari helikopter. Dia melepas jas dan melemparnya begitu saja saat melihat kekacauan di markasnya. Dia marah saat mengetahui penyerangan itu ulah Marco. Setelah mengokang senjata api, dia menarik pelatuk dan menembak semua orang yang menghalangi jalannya.Orang-orang berjatuhan dengan darah berceceran. Jiwa pemburu seorang Leonardo kembali merasukinya. Tak peduli dengan rasa kemanusiaan, Leo menghabisi semua musuh dengan sekali tarikan pelatuk. Dia bergerak cepat mengisi magasin dengan amunisi, kemudian menembak semua musuh dengan membabi buta. Musuh-musuh berjatuhan. La Vendetta menjadi lautan darah karena banyaknya musuh yang tewas akibat kekejaman Leo.Mengabaikan kekacauan di luar sana, Leo bergerak menuju aula dan menemukan Marco di sana. Melihat Alex terbaring lemas di lantai membuat Leo mengarahkan senjata apinya ke arah Marco yang juga kehabisan tenaga.“Selamat datang. Kau suka dengan kejutan yang kusiapkan?” ejek Marco