“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.
Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.
‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.
“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.
Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.
“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip melalui jendela memberikan komentar.
“Siapa dia? Apa dia selingkuhan Elise? Pantas saja dia bersedia untuk bercerai, ternyata dia sudah punya pria lain.” Madison ikut menanggapi. Wanita paruh baya itu melangkah mendekat menuju jendela. Ikut menyaksikan apa yang tengah Elise lakukan di luar sana.
Nathan ikut mendekat. Ia menatap pria itu dengan tajam, sulit untuk mengenali wajahnya karena jarak yang jauh. Terlebih pria itu membelakangi arah rumah.
“Elise benar-benar jalang.” Madison mengutuk dengan kesal.
“Nathan, tidak seharusnya Elise memperlakukanmu seperti ini. Dia membuangmu setelah dia mendapatkan pria lain. Mungkin saja mereka sudah berselingkuh sejak lama.” Vanessa mulai mengompori. Ia mendekati Nathan, memeluk lengannya dengan penuh kelembutan.
Nathan menghela napas dengan kasar. Ia melepaskan pelukan Vanessa dengan kasar.
Ketika mobil itu mulai beranjak pergi meninggalkan mansion mewah milik Nathan, Nathan berusaha mengambil foto bagian belakang mobil itu. Setelahnya, ia menghubungi sang asisten yang selalu membantunya ketika ia membutuhkan bantuan.
‘Cari tahu siapa pemilik mobil ini.’ Nathan mengirimkan pesan yang disertai sebuah foto. Dalam foto itu tertera dengan jelas plat mobilnya.
‘Tuan, saya sudah mencaritahu siapa pemilik mobil Rolls-Royce La Rose Noire Droptail itu, tapi nama pemilik mobilnya dirahasiakan. Sepertinya dia bukan orang sembarangan, terlebih lagi itu salah satu mobil langka dan termahal di dunia.’ Peter memberikan balasan beberapa menit kemudian.
Nathan tampak begitu kesal. Ia tidak terima jika Elise mendapatkan lelaki yang bisa diandalkan. Ia tidak ingin Elise bergantung pada lelaki yang lebih hebat dibanding dirinya.
“Untung saja dia sudah bercerai denganmu, Nathan. Aku tidak bisa bayangkan memiliki menantu seorang jalang.” Madison menatap putranya dengan sorot puas. Ia benar-benar merasa bahwa separuh permasalahan hidupnya kini telah terselesaikan. Ia telah berhasil mengusir Elise, kini saatnya ia berusaha membuat Vanessa dan Nathan menikah.
“Abang, bagaimana jika kau menikahi Vanessa? Bukankah kalian akan menjadi pasangan yang sangat serasi? Kalian sama-sama cantik, juga sama-sama memiliki karir yang bagus.” Brooke mulai memprovokasi abangnya.
Nathan hanya berdecak kesal, lalu pergi begitu saja menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Di pikirannya saat ini hanya berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai lelaki yang baru saja menjemput istrinya. Ya, mereka belum resmi bercerai karena ia tidak akan menandatangi surat perceraian mereka.
***
“Akhrinya putriku kembali!” Jonathan menyambut Elise dengan penuh suka cita. Senyum lebar menghiasi bibirnya. Matanya berbinar menatap sang putri yang selama 2 tahun ini tidak pernah ia temui. Ia memeluk Elise dengan sangat erat.
“Elise, akhirnya kau kembali!” Victoria ikut memeluk putrinya. Mereka saling melepas rindu selama beberapa saat.
“Mengapa kau kurus sekali? Telapak tanganmu juga kasar, wajahmu bahkan kusam. Seperti apa keluarga Forest memperlakukanmu? Kau hanya tinggal selama 2 tahun di sana, tapi lihatlah dirimu sekarang. Aku bahkan hampir tidak mengenalimu.” Victoria merasa sedih untuk putrinya.
“Kami memperlakukanmu seperti seorang tuan putri, merawatmu dengan sangat baik, tapi lihatlah apa yang Nathaniel lakukan padamu? Apa dia semiskin itu sehingga tidak bisa membelikanmu produk kecantikan?” Jonathan ikut memberikan komentar setelah mereka melepas pelukan.
“Dia diperlakukan Elise sebagai seorang pembantu di sana.” Julian memberitahu.
“Brengsek sekali pria itu! Aku sudah membantunya untuk berada di posisi sekarang, tapi ini balasannya padaku?” Jonathan tampak begitu berang.
“Apa mereka menindasmu?” Victoria bertanya memastikan.
Elise mengangguk pelan. “Aku akan membuat mereka membayar setiap perlakuan kasar yang mereka berikan.” Ia berucap dengan penuh penekanan. Tangannya terkepal, tampak sekali ada tekad yang begitu besar untuk membalas dendam.
“Aku akan membatalkan proyeg kerjasama dengan Nathaniel.” Jonathan memutuskan.
“Tidak, Pa. Jangan sekarang.” Elise menghentikan. “Penandatanganan kontrak kerjasamanya masih minggu depan, bukan? Biarkan aku menggantikanmu untuk menghadiri acara itu. Aku ingin membalas dendam secara perlahan, lalu membuat mereka terjatuh sejatuh-jatuhnya.”
Jonathan tersenyum menatap putrinya. “Baiklah jika itu yang kau inginkan. Lakukan apa pun yang kau inginkan, jangan sungkan untuk meminta bantuan pada kami. Ingatlah, kau tidak pernah sendiri.”
***
“Sudah jam berapa ini? Mengapa sarapan belum terhidang?” Madison berucap dengan kesal.
Biasanya mereka langsung sarapan setelah bangun dari tidur. Semuanya sudah beres ketika mereka bangun. Makanan sudah terhidang di meja, pakaian sudah dicuci, piring kotor telah dicuci, rumah telah dibersihkan. Namun, pagi ini berbeda. Meja makan masih kosong, piring kotor bekas tadi malam masih menumpuk.
“Mama, aku ada janji untuk ke salon pagi ini. Aku harus sarapan sebelum berangkat, karena membutuhkan waktu yang lama untuk mewarnai rambutku.” Brooke merengek pada ibunya. Usianya sudah menginjak 20 tahun, tapi ia tidak melakukan apa pun. Ia hanya bisa bersenang-senang menghamburkan uang. Ia bahkan tidak pergi ke kampus karena ia tidak suka belajar.
“Aku butuh susu ibu hamil, tolong buatkan.” Vanessa ikut menimbrung.
“Siapa yang akan memasak? Aku tidak bisa memasak, selama ini Elise yang selalu menyiapkan semuanya. Vanessa, kau menantu di rumah ini, siapkanlah sarapan untuk kami.” Madison memberikan perintah pada menantu kesayangannya.
“Ma, Vanessa itu sedang hamil. Dia tidak boleh kelelahan, apalagi ia harus bekerja di kantor. Panggil saja Elise untuk melakukan semuanya.” Brooke menanggapi ucapan ibunya.
Nathan hanya bisa menghela napas dengan kasar setelah melihat dan mendengar kekacauan pagi ini. Ia tidak pernah sadar bahwa keberadaan Elise di rumah mereka ternyata cukup penting. Baru satu hari Elise pergi, kini mereka telah kesulitan.
“Nathan, paksa Elise kembali. Kita masih membutuhkan tenaganya di rumah ini.” Madison menatap putrinya dengan sorot penuh perintah. Dia mengakui bahwa ia ternyata membutuhkan Elise, tapi sebagai seorang pembantu gratisan. Selama ini mereka terlalu menikmati pelayaan yang Elise berikan.
“Bukankah selama ini kalian yang menginginkannya untuk pergi? Kalian adalah orang dewasa, sudah seharusnya kalian bisa mengurus diri sendiri. Kalian bukan anak kecil yang harus dilayani.” Nathan berucap dengan pelan, tapi terdengar begitu tajam. Setelahnya ia beranjak pergi, berangkat menuju tempat kerja dengan perasaan kesal.
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
Caterina turned to the source of the voice. She glared, visibly displeased by Leonardo's presence there. She didn't say a word. After chuckling, she went to the garage and pulled out Alex's car.“Why does it have to be Alex? You could have borrowed my car.” Leonardo commented when he saw Caterina busy getting Alex's car out. He felt annoyed and jealous because Caterina chose Alex over him.The orange sports car started driving at a moderate speed out of the gate. At the gate he was intercepted by the gatekeeper. No matter how hard Caterina tried to explain, the gatekeeper did not allow Caterina to get out of the fence.“I allowed her to go to buy medicine; just open the gate.” Leonardo gave the order through a handy talky.After getting the order, the guard opened the gate. Caterina immediately drove her car onto the highway. The car was traveling at breakneck speed.Leonardo followed. He drove a normal car so as not to attract attention. He also drove his car without being followed b
“Sir, Kate's have been found. She works at a hospital in Puerto Vallarta.” A man informed Leo as he handed over several photos showing Kate treating patients in the emergency department.Leonardo Bianchi was his name. A leader of the biggest mafia organization in Mexico. He was very handsome; the lines of his face were so firm, and he had such a sharp and deadly look in his eyes.“Prepare the car; we're going there now!” Leonardo gave the order. He squeezed the photo sheet very hard. His jaw hardened; his breathing sounded heavy.It had been six months since Kate had left the base. He couldn't wait to see her again. Six months was not a short time to endure longing.Leonardo rose to his feet as the car was prepared. Together with some of his men, they sped off to the neighboring town where Kate was known to be working.Some of the cars stopped and parked haphazardly when they arrived at their destination. Their aura was dominating, especially Leonardo, who looked so scary.People ran
Leonardo stopped his steps after he heard that sentence. He turned around, looking at the man in the doctor's suit standing before him. He looked at the man carefully. Gabriel looked very handsome with soft facial lines. His eyeballs were so beautiful; his body was also quite muscular for a doctor. Leonardo felt that the man was handsome enough to be his rival.“What did you say?” Leonardo asked for confirmation.“Kate is my girlfriend; face me first if you want to take her away.” Gabriel said firmly.“Gabriel, don't mess with him. Do you know who he is? Don't sacrifice yourself for a woman who doesn't want you.” Rossie warned. That woman had liked her coworker first, but Caterina's presence there had defeated her position. She had liked Gabriel for the past two years, but Caterina had stolen Gabriel's heart since the first day she started working there.Leonardo smiled sarcastically. “So that's it, one-sided love, huh?” He said in a sarcastic and condescending tone.“Gabriel, he's no
Caterina's cries echoed throughout the room. Her trembling hands embraced the bloodied body. She hugged Gabriel tightly, trying her best to wake him up.“No, Gabriel. Come on, wake up! Open your eyes!” Caterina patted Gabriel's cheek repeatedly, trying to wake the unconscious man.Leonardo clenched his hands hard when the woman he liked hugged another man right in front of him. Not just hugging, the woman even cried for the other man.“What the hell are you doing!” Rossie approached. She pushed Caterina so roughly that her embrace on Gabriel's body slipped away. She quickly tried to administer first aid. She tried to stop the bleeding. Although she looked calm, she was actually panicking right now.“Take him to the emergency room!” Rossie ordered her other coworkers. She didn't have much time, as Gabriel had received a fatal gunshot wound.Immediately, Gabriel's weak body was brought to the emergency room.Caterina got up; she was about to follow them to the emergency room so that she
Caterina woke up with her head still feeling dizzy. She blinked repeatedly to clear her vision. She was very confused about the room she was in, as it was her first time there. The room was very spacious with expensive furniture. Even the mattress she was on was much more expensive than the usual mattress she used.Caterina looked around. All the objects there were completely foreign to her. They were all high-class items.The door opened with the presence of a maid. Caterina recognized the maid, so she understood where she was.“Lucy, why am I here? Does that bastard want me to spend my last moments in luxury before he kills me?” Caterina asked as the maid approached her with a glass of hot tea.“I don't know. He just asked me to serve you well.” Lucy answered as she was.No one knew what Leonardo's intentions were. Only he himself knew what he wanted. He didn't want to share his feelings, so he didn't want to tell everyone what his plans were.Caterina let out a deep breath and unin
Thanks to Caterina and Dante's experience in the mafia, they were able to leave the base safely. No one knew about Caterina's escape plan except Lucy. All the gatekeepers knew was that Dante had left the compound to buy stock medicine, as he was the only doctor in La Vendetta.Caterina asked her father to drive her to the hospital where she worked. She wants to make sure Gabriel survives the shot Leonardo gave him. At first Dante refused, because he was afraid that Caterina's presence there would be quickly discovered by Leonardo's other men. However, Caterina insisted, so Dante had no other choice.“Live well out there. Avoid fights with any groups. Never cause trouble for the sake of a safe life. I've sacrificed myself for your safety, so you should use your life well this time.” Dante gave his final message. It was hard for him to let go of his daughter, but he had to do it anyway.Caterina smiled faintly. She nodded, then gave him one last hug before getting out of the car.They w
Caterina turned to the source of the voice. She glared, visibly displeased by Leonardo's presence there. She didn't say a word. After chuckling, she went to the garage and pulled out Alex's car.“Why does it have to be Alex? You could have borrowed my car.” Leonardo commented when he saw Caterina busy getting Alex's car out. He felt annoyed and jealous because Caterina chose Alex over him.The orange sports car started driving at a moderate speed out of the gate. At the gate he was intercepted by the gatekeeper. No matter how hard Caterina tried to explain, the gatekeeper did not allow Caterina to get out of the fence.“I allowed her to go to buy medicine; just open the gate.” Leonardo gave the order through a handy talky.After getting the order, the guard opened the gate. Caterina immediately drove her car onto the highway. The car was traveling at breakneck speed.Leonardo followed. He drove a normal car so as not to attract attention. He also drove his car without being followed b
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip m
“Ayo bercerai!” Nathan berucap dengan dingin ketika ia menyodorkan sebuah map berisi kertas pada Elise. Pria itu bahkan tidak ingin menoleh menatap istrinya. Baginya, kehadiran Elise di sana hanya akan merusak pandangan matanya.Ini adalah permintaan ke sepuluh ketika Nathan menyodorkan kertas itu untuk pengurusan perceraian. Ia hanya membutuhkan tanda tangan Elise, maka mereka akan resmi bercerai. Biasanya Elise akan menolak dan memohon agar Nathan tidak menceraikannya. Ia akan berlutut, mengemis cinta pada pria berhati dingin itu.Namun, kali ini responsnya berbeda. Ia meraih kertas itu tanpa ragu, lalu memberikan tanda tangannya. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun ketika Nathan menghampirinya dan meminta untuk bercerai.Bukan tanpa alasan. Elise bersikap seperti ini karena ini adalah kehidupan keduanya. Di masa lalu, ia menolak untuk bercerai. Semakin ia berusaha untuk mendapatkan cinta Nathan, semakin Nathan membencinya. Ia telah memberikan segalanya pada lelaki yang ia cin
“Aku tidak percaya selama ini kau tinggal bersama pria seperti Leo. Ayahmu, yang sudah jelas mengabdi bertahun-tahun dengannya saja bisa dibunuhnya dengan begitu mudah. Dia benar-benar iblis!” Marco datang membawakan sebotol yoghurt untuk Caterina.“Dia menembak kepala ayahmu karena dia gagal membunuhku. Dia benar-benar psikopat.”Caterina yang duduk termenung sambil memikirkan Dante seketika terkesiap dan mengusap air matanya. Amarah dan dendam yang membara di hatinya membuat Caterina meneteskan air mata. Kebenciannya kepada Leonardo kini sudah berada di puncak paling atas. Tidak ada kata maaf lagi yang akan dia berikan kepada pria itu. Pria yang dulu sangat dicintainya, kini berubah menjadi sosok yang paling dibencinya. Waktu mengubahnya dengan sangat cepat. Caterina merasa kesal karena dulu pernah mencintai orang seperti Leonardo.“Kau tenang saja, Kate. Aku berada di pihakmu sekarang. Kita harus bersatu untuk membalaskan dendam masing-masing kepada Leo. Kalau kita bersatu, bukanka
Marco yang sedang mencoba mengalahkan anak buah Leo tampak cukup syok saat melihat Caterina keluar dari tempatnya bersembunyi. Dia menyayangkan keputusan Caterina untuk menyerahkan diri, dan mencoba melumpuhkan pasukan Leo yang tersisa agar dia bisa secepatnya menghampiri Caterina.“Jangan, Kate!” pinta Marco dengan penuh harap. Namun, dia tak berani berteriak. Mengakui perasaannya di depan wanita itu sudah cukup membuat hubungan mereka menjadi canggung. Marco hanya tak mau membuat Caterina semakin tak nyaman karenanya. Meski begitu, dia juga tak siap jika harus kehilangan Caterina sekarang.Leo mengangkat tangannya ke udara, memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan penyerangan sebab sudah banyak pasukan Marco yang tewas. Selain itu, serangan dihentikan karena Caterina sudah keluar dari tempatnya bersembunyi.Caterina menjaga jarak dari Leo. Dia sengaja berdiri di samping vas bunga besar di sudut ruangan agar jika sewaktu-waktu merasa terancam, Caterina bisa menggunakan va
“Kenapa kau ingin aku membunuh Alex?”“Dia tidak layak menjadi tangan kananmu. Kau tidak sadar kalau ada orang yang lebih layak di posisi itu daripada dia,” jawabnya.Alex mengerutkan kening saat mendengar jawaban dari musuh. Mengapa ada orang yang sangat ingin menyingkirkan dirinya, Alex benar-benar ingin tahu siapa orangnya. Namun, karena keadaan sedang genting, dia pun tak berani bertanya.“Pemimpin macam apa kau, sampai-sampai tidak sadar kalau di markas ini ada pengkhianat?” cibir Marco.Leo mengacungkan pistolnya tepat ke wajah Marco. Dia muak sekali mendengar suara Marco dan ingin segera menghabisi nya.“Jangan main-main dengan senjatamu kalau tidak mau aku menembak wanita ini!” musuh Leo kembali memberikan peringatan.Leo sudah sangat muak dengan masalah ini. Dia pun tak mau berbasa-basi lagi dan ingin tahu motif dari penyerangan tersebut.“Katakan apa yang kalian inginkan! Kau mau uang?”Leo tak ingin membuat Caterina semakin ketakutan jika terus-menerus dijadikan sandera. Ji
Leo berlari sambil melepaskan kancing jasnya saat turun dari helikopter. Dia melepas jas dan melemparnya begitu saja saat melihat kekacauan di markasnya. Dia marah saat mengetahui penyerangan itu ulah Marco. Setelah mengokang senjata api, dia menarik pelatuk dan menembak semua orang yang menghalangi jalannya.Orang-orang berjatuhan dengan darah berceceran. Jiwa pemburu seorang Leonardo kembali merasukinya. Tak peduli dengan rasa kemanusiaan, Leo menghabisi semua musuh dengan sekali tarikan pelatuk. Dia bergerak cepat mengisi magasin dengan amunisi, kemudian menembak semua musuh dengan membabi buta. Musuh-musuh berjatuhan. La Vendetta menjadi lautan darah karena banyaknya musuh yang tewas akibat kekejaman Leo.Mengabaikan kekacauan di luar sana, Leo bergerak menuju aula dan menemukan Marco di sana. Melihat Alex terbaring lemas di lantai membuat Leo mengarahkan senjata apinya ke arah Marco yang juga kehabisan tenaga.“Selamat datang. Kau suka dengan kejutan yang kusiapkan?” ejek Marco