“Aku tidak percaya selama ini kau tinggal bersama pria seperti Leo. Ayahmu, yang sudah jelas mengabdi bertahun-tahun dengannya saja bisa dibunuhnya dengan begitu mudah. Dia benar-benar iblis!” Marco datang membawakan sebotol yoghurt untuk Caterina.
“Dia menembak kepala ayahmu karena dia gagal membunuhku. Dia benar-benar psikopat.”
Caterina yang duduk termenung sambil memikirkan Dante seketika terkesiap dan mengusap air matanya. Amarah dan dendam yang membara di hatinya membuat Caterina meneteskan air mata. Kebenciannya kepada Leonardo kini sudah berada di puncak paling atas. Tidak ada kata maaf lagi yang akan dia berikan kepada pria itu. Pria yang dulu sangat dicintainya, kini berubah menjadi sosok yang paling dibencinya. Waktu mengubahnya dengan sangat cepat. Caterina merasa kesal karena dulu pernah mencintai orang seperti Leonardo.
“Kau tenang saja, Kate. Aku berada di pihakmu sekarang. Kita harus bersatu untuk membalaskan dendam masing-masing kepada Leo. Kalau kita bersatu, bukankah kita bisa membunuhnya dengan mudah?”
“Kau pikir akan semudah itu? Bahkan anak buahnya saja hampir lima puluh persen dari manusia di negara ini!” sanggah Caterina. Wanita itu menjadi pesimis, mengingat kelompok La Vendetta adalah grup mafia penguasa Meksiko. Tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. Bahkan hukum di negara itu pun bisa ditaklukkan dengan mudah oleh seorang Leonardo Bianchi.
“Masih banyak orang di negara ini yang bisa kita ajak bergabung. Selain itu, sepertinya aku punya rencana untuk bisa melumpuhkannya tanpa sepengetahuan anak buahnya.”
Caterina langsung menoleh. Dia penasaran tentang rencana yang dipikirkan oleh Marco dan bertanya.
“Rencana apa itu?”
“Bagaimana kalau aku simpan dulu rencana itu. Tapi, sekarang yang harus kau lakukan adalah berlatih dan mengasah kemampuanmu dalam memegang senjata agar suatu saat bisa membunuh Leo dengan mudah.”
Caterina masih bergeming. Tangannya terkepal kuat saat mengingat Leo membawa jasad ayahnya pergi. Caterina masih ingat bagaimana darah itu menetes bercucuran dari kepala Dante. Entah apa yang dilakukan Leo kepada ayahnya, Caterina menyesal karena tak sempat melihatnya. Jika benar Leo menembak kepala Dante, artinya Caterina akan melakukan cara yang sama saat membalas dendam kepada pria itu.
“Dia bahkan tidak mengizinkanmu melihat jasad ayahmu untuk yang terakhir kali,” ujar Marco dengan senyum sinis.
Kemarahan di mata Caterina semakin membara. Giginya bergemeletuk membayangkan apa yang terjadi dengan jasad sang ayah di markas La Vendetta.
“Mungkin jasadnya sudah dikremasi,” lanjut Marco.
“Marco, kau bisa membantuku?” tanyanya.
“Tentu saja. Kau ingin aku membantu apa?”
“Ajari aku menggunakan senjata. Aku berjanji akan mengasah kemampuan bertarung dan berlatih menggunakan senjata dengan sungguh-sungguh.”
Marco menarik sudut bibirnya. Akhirnya rencananya untuk mengompori Caterina berhasil. Di dalam bayang-bayang dendam dan kebencian, Marco terus mengompori Caterina untuk membalas kematian ayahnya. Caterina, yang masih terluka oleh kehilangan ayahnya, semakin terbakar oleh amarah dan kesedihan. Ia yakin bahwa ayahnya telah meninggal, dan jasadnya telah dibawa pergi oleh Leo.
“Bagus! Aku akan membantumu berlatih!” seru Marco.
**
Dengan hati yang penuh dendam, Caterina semakin mengasah kemampuan bertarungnya. Ia berlatih siang dan malam, tidak peduli dengan kelelahan dan kesakitan. Bayangan wajah Dante membuat semangat Caterina membara. Dendam dalam dadanya membuatnya bekerja keras dan berlatih. Pukulan dan tonjokan dari pelatih tak lantas membuat Caterina menyerah. Dia melawan semua rasa sakit di tubuhnya agar bisa bertarung langsung dengan Leonardo atas nama ayahnya.
Setiap kali Caterina merasa lelah, bayangan Leonardo saat menembak kepala Dante tercinta begitu saja di pikiran Caterina. Saat itulah amarahnya meluap dan semangatnya berkobar lagi. Pun dengan potongan-potongan kisah masa lalu yang ada di benak Caterina membuat wanita itu sangat benci. Perlakuan Leonardo yang semena-mena, selalu direndahkan, bahkan dilecehkan dan ditinggalkan begitu saja membuat dendam di hati Caterina semakin menumpuk.
Sambil membayangkan wajah Leonardo, Caterina menggenggam pistol dengan kuat. Setelah mengisi magasin, dia menutup sebelah matanya dan menembak sasaran dengan tepat.
Melihat kesungguhan Caterina dalam berlatih membuat Marco tak bisa mengendalikan perasaannya. Tak sadar segaris senyum terbit di bibirnya. Wajah Caterina yang basah oleh keringat membuat naluri Marco bangkit. Marco, yang semakin dekat dengan Caterina, ikut berlatih bersamanya. Semakin banyak waktu yang mereka habiskan bersama, semakin Marco jatuh cinta dengan wanita itu.
Berkat Marco, kemampuan Caterina dalam menggunakan senjata api juga meningkat drastis. Kini bidikannya juga tak pernah meleset dan selalu tepat sasaran. Terkadang hal itu juga membuat Marco khawatir. Kalau sampai Caterina tahu bahwa yang menembak kepala Dante bukanlah Leo, Caterina pasti juga sudah membunuh Marco saat itu juga.
“Kau benar-benar berlatih dengan keras. Seharusnya aku tidak meremehkanmu. Kau punya kekuatan fisik yang bagus,” puji Marco.
Caterina tersenyum sambil mengusap keringat di wajahnya. Mereka memutuskan istirahat sejenak sebelum memulai lagi. Caterina menerima botol air mineral yang diberikan oleh Marco dan segera meminumnya.
“Aku ingin ayah tersenyum saat melihatku dari atas sana,” jawab Caterina.
“Kau sungguh putri yang baik.”
“Aku harap juga begitu. Karena selama ini aku tidak pernah merasa bisa menjadi putri yang baik. Aku bahkan tidak bisa melihat wajah ayah saat dia mengembuskan napas terakhirnya.”
“Yang kau lakukan sekarang pasti sudah membuatnya bangga.”
Caterina tersenyum lebar sehingga membuatnya terlihat makin cantik. Marco terpesona dengan senyum indah Caterina, dan buru-buru memalingkan wajahnya.
“Orang seperti Leo tidak akan tahu bagaimana rasanya kehilangan sosok paling berharga di hidupnya. Aku bersumpah atas nama ayah bahwa aku akan melakukan apa pun untuk membunuhnya!”
Caterina menghela napasnya sejenak. “Kepala harus dibayar dengan kepala!”
Caterina menenggak air mineralnya sampai habis, lantas melempar botol kosong itu kw tempat sampah. Obrolan pendek usai pelatihan membuat mereka semakin dekat setiap harinya. Marco tahu bahwa dia sudah benar-benar mencintai Caterina. Namun, perasaan itu tetap harus dia simpan sendiri. Dia tidak mau membuat suasana semakin rumit dengan mengakui perasaannya.
Awalnya, dia menyekap Caterina karena ingin membunuh wanita itu dan membuat Leonardo terpuruk. Namun, dia justru terjebak dalam strateginya sendiri. Marco merasa tidak bisa menjalankan lagi rencana awalnya. Semakin sering bersama, Marco juga semakin menyadari bahwa ia tidak bisa membunuh Caterina. Ia tidak sanggup melihat Kate mati di tangannya. Jadi, ia memutuskan untuk membiarkan Caterina bertarung dengan Leo.
Dia yakin bahwa Leo tidak akan menyerang Caterina, dan dengan dendam yang dibawa oleh Caterina, bisa digunakan untuk menghabisi Leo. Kalau pun nanti Leo yang akan mati di tangan Caterina, setidaknya salah satu impiannya untuk membunuh Leo akan terwujud.
Marco tersenyum sinis saat mendengar sumpah Caterina. Dengan itu, dia tidak akan mengotori tangannya sendiri karena toh mereka juga akan mati saat bertarung. Jika Leo mati, anak buah Leo pasti tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan membunuh Caterina juga pada akhirnya. Dia merasa bahwa itu adalah cara yang lebih baik bagi Caterina untuk mati. Setidaknya, Caterina tidak akan mati di tangan Marco sendiri.
“Ayo bercerai!” Nathan berucap dengan dingin ketika ia menyodorkan sebuah map berisi kertas pada Elise. Pria itu bahkan tidak ingin menoleh menatap istrinya. Baginya, kehadiran Elise di sana hanya akan merusak pandangan matanya.Ini adalah permintaan ke sepuluh ketika Nathan menyodorkan kertas itu untuk pengurusan perceraian. Ia hanya membutuhkan tanda tangan Elise, maka mereka akan resmi bercerai. Biasanya Elise akan menolak dan memohon agar Nathan tidak menceraikannya. Ia akan berlutut, mengemis cinta pada pria berhati dingin itu.Namun, kali ini responsnya berbeda. Ia meraih kertas itu tanpa ragu, lalu memberikan tanda tangannya. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun ketika Nathan menghampirinya dan meminta untuk bercerai.Bukan tanpa alasan. Elise bersikap seperti ini karena ini adalah kehidupan keduanya. Di masa lalu, ia menolak untuk bercerai. Semakin ia berusaha untuk mendapatkan cinta Nathan, semakin Nathan membencinya. Ia telah memberikan segalanya pada lelaki yang ia cin
“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip m
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
Caterina turned to the source of the voice. She glared, visibly displeased by Leonardo's presence there. She didn't say a word. After chuckling, she went to the garage and pulled out Alex's car.“Why does it have to be Alex? You could have borrowed my car.” Leonardo commented when he saw Caterina busy getting Alex's car out. He felt annoyed and jealous because Caterina chose Alex over him.The orange sports car started driving at a moderate speed out of the gate. At the gate he was intercepted by the gatekeeper. No matter how hard Caterina tried to explain, the gatekeeper did not allow Caterina to get out of the fence.“I allowed her to go to buy medicine; just open the gate.” Leonardo gave the order through a handy talky.After getting the order, the guard opened the gate. Caterina immediately drove her car onto the highway. The car was traveling at breakneck speed.Leonardo followed. He drove a normal car so as not to attract attention. He also drove his car without being followed b
“Sir, Kate's have been found. She works at a hospital in Puerto Vallarta.” A man informed Leo as he handed over several photos showing Kate treating patients in the emergency department.Leonardo Bianchi was his name. A leader of the biggest mafia organization in Mexico. He was very handsome; the lines of his face were so firm, and he had such a sharp and deadly look in his eyes.“Prepare the car; we're going there now!” Leonardo gave the order. He squeezed the photo sheet very hard. His jaw hardened; his breathing sounded heavy.It had been six months since Kate had left the base. He couldn't wait to see her again. Six months was not a short time to endure longing.Leonardo rose to his feet as the car was prepared. Together with some of his men, they sped off to the neighboring town where Kate was known to be working.Some of the cars stopped and parked haphazardly when they arrived at their destination. Their aura was dominating, especially Leonardo, who looked so scary.People ran
Leonardo stopped his steps after he heard that sentence. He turned around, looking at the man in the doctor's suit standing before him. He looked at the man carefully. Gabriel looked very handsome with soft facial lines. His eyeballs were so beautiful; his body was also quite muscular for a doctor. Leonardo felt that the man was handsome enough to be his rival.“What did you say?” Leonardo asked for confirmation.“Kate is my girlfriend; face me first if you want to take her away.” Gabriel said firmly.“Gabriel, don't mess with him. Do you know who he is? Don't sacrifice yourself for a woman who doesn't want you.” Rossie warned. That woman had liked her coworker first, but Caterina's presence there had defeated her position. She had liked Gabriel for the past two years, but Caterina had stolen Gabriel's heart since the first day she started working there.Leonardo smiled sarcastically. “So that's it, one-sided love, huh?” He said in a sarcastic and condescending tone.“Gabriel, he's no
Caterina's cries echoed throughout the room. Her trembling hands embraced the bloodied body. She hugged Gabriel tightly, trying her best to wake him up.“No, Gabriel. Come on, wake up! Open your eyes!” Caterina patted Gabriel's cheek repeatedly, trying to wake the unconscious man.Leonardo clenched his hands hard when the woman he liked hugged another man right in front of him. Not just hugging, the woman even cried for the other man.“What the hell are you doing!” Rossie approached. She pushed Caterina so roughly that her embrace on Gabriel's body slipped away. She quickly tried to administer first aid. She tried to stop the bleeding. Although she looked calm, she was actually panicking right now.“Take him to the emergency room!” Rossie ordered her other coworkers. She didn't have much time, as Gabriel had received a fatal gunshot wound.Immediately, Gabriel's weak body was brought to the emergency room.Caterina got up; she was about to follow them to the emergency room so that she
Caterina turned to the source of the voice. She glared, visibly displeased by Leonardo's presence there. She didn't say a word. After chuckling, she went to the garage and pulled out Alex's car.“Why does it have to be Alex? You could have borrowed my car.” Leonardo commented when he saw Caterina busy getting Alex's car out. He felt annoyed and jealous because Caterina chose Alex over him.The orange sports car started driving at a moderate speed out of the gate. At the gate he was intercepted by the gatekeeper. No matter how hard Caterina tried to explain, the gatekeeper did not allow Caterina to get out of the fence.“I allowed her to go to buy medicine; just open the gate.” Leonardo gave the order through a handy talky.After getting the order, the guard opened the gate. Caterina immediately drove her car onto the highway. The car was traveling at breakneck speed.Leonardo followed. He drove a normal car so as not to attract attention. He also drove his car without being followed b
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip m
“Ayo bercerai!” Nathan berucap dengan dingin ketika ia menyodorkan sebuah map berisi kertas pada Elise. Pria itu bahkan tidak ingin menoleh menatap istrinya. Baginya, kehadiran Elise di sana hanya akan merusak pandangan matanya.Ini adalah permintaan ke sepuluh ketika Nathan menyodorkan kertas itu untuk pengurusan perceraian. Ia hanya membutuhkan tanda tangan Elise, maka mereka akan resmi bercerai. Biasanya Elise akan menolak dan memohon agar Nathan tidak menceraikannya. Ia akan berlutut, mengemis cinta pada pria berhati dingin itu.Namun, kali ini responsnya berbeda. Ia meraih kertas itu tanpa ragu, lalu memberikan tanda tangannya. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun ketika Nathan menghampirinya dan meminta untuk bercerai.Bukan tanpa alasan. Elise bersikap seperti ini karena ini adalah kehidupan keduanya. Di masa lalu, ia menolak untuk bercerai. Semakin ia berusaha untuk mendapatkan cinta Nathan, semakin Nathan membencinya. Ia telah memberikan segalanya pada lelaki yang ia cin
“Aku tidak percaya selama ini kau tinggal bersama pria seperti Leo. Ayahmu, yang sudah jelas mengabdi bertahun-tahun dengannya saja bisa dibunuhnya dengan begitu mudah. Dia benar-benar iblis!” Marco datang membawakan sebotol yoghurt untuk Caterina.“Dia menembak kepala ayahmu karena dia gagal membunuhku. Dia benar-benar psikopat.”Caterina yang duduk termenung sambil memikirkan Dante seketika terkesiap dan mengusap air matanya. Amarah dan dendam yang membara di hatinya membuat Caterina meneteskan air mata. Kebenciannya kepada Leonardo kini sudah berada di puncak paling atas. Tidak ada kata maaf lagi yang akan dia berikan kepada pria itu. Pria yang dulu sangat dicintainya, kini berubah menjadi sosok yang paling dibencinya. Waktu mengubahnya dengan sangat cepat. Caterina merasa kesal karena dulu pernah mencintai orang seperti Leonardo.“Kau tenang saja, Kate. Aku berada di pihakmu sekarang. Kita harus bersatu untuk membalaskan dendam masing-masing kepada Leo. Kalau kita bersatu, bukanka
Marco yang sedang mencoba mengalahkan anak buah Leo tampak cukup syok saat melihat Caterina keluar dari tempatnya bersembunyi. Dia menyayangkan keputusan Caterina untuk menyerahkan diri, dan mencoba melumpuhkan pasukan Leo yang tersisa agar dia bisa secepatnya menghampiri Caterina.“Jangan, Kate!” pinta Marco dengan penuh harap. Namun, dia tak berani berteriak. Mengakui perasaannya di depan wanita itu sudah cukup membuat hubungan mereka menjadi canggung. Marco hanya tak mau membuat Caterina semakin tak nyaman karenanya. Meski begitu, dia juga tak siap jika harus kehilangan Caterina sekarang.Leo mengangkat tangannya ke udara, memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan penyerangan sebab sudah banyak pasukan Marco yang tewas. Selain itu, serangan dihentikan karena Caterina sudah keluar dari tempatnya bersembunyi.Caterina menjaga jarak dari Leo. Dia sengaja berdiri di samping vas bunga besar di sudut ruangan agar jika sewaktu-waktu merasa terancam, Caterina bisa menggunakan va
“Kenapa kau ingin aku membunuh Alex?”“Dia tidak layak menjadi tangan kananmu. Kau tidak sadar kalau ada orang yang lebih layak di posisi itu daripada dia,” jawabnya.Alex mengerutkan kening saat mendengar jawaban dari musuh. Mengapa ada orang yang sangat ingin menyingkirkan dirinya, Alex benar-benar ingin tahu siapa orangnya. Namun, karena keadaan sedang genting, dia pun tak berani bertanya.“Pemimpin macam apa kau, sampai-sampai tidak sadar kalau di markas ini ada pengkhianat?” cibir Marco.Leo mengacungkan pistolnya tepat ke wajah Marco. Dia muak sekali mendengar suara Marco dan ingin segera menghabisi nya.“Jangan main-main dengan senjatamu kalau tidak mau aku menembak wanita ini!” musuh Leo kembali memberikan peringatan.Leo sudah sangat muak dengan masalah ini. Dia pun tak mau berbasa-basi lagi dan ingin tahu motif dari penyerangan tersebut.“Katakan apa yang kalian inginkan! Kau mau uang?”Leo tak ingin membuat Caterina semakin ketakutan jika terus-menerus dijadikan sandera. Ji
Leo berlari sambil melepaskan kancing jasnya saat turun dari helikopter. Dia melepas jas dan melemparnya begitu saja saat melihat kekacauan di markasnya. Dia marah saat mengetahui penyerangan itu ulah Marco. Setelah mengokang senjata api, dia menarik pelatuk dan menembak semua orang yang menghalangi jalannya.Orang-orang berjatuhan dengan darah berceceran. Jiwa pemburu seorang Leonardo kembali merasukinya. Tak peduli dengan rasa kemanusiaan, Leo menghabisi semua musuh dengan sekali tarikan pelatuk. Dia bergerak cepat mengisi magasin dengan amunisi, kemudian menembak semua musuh dengan membabi buta. Musuh-musuh berjatuhan. La Vendetta menjadi lautan darah karena banyaknya musuh yang tewas akibat kekejaman Leo.Mengabaikan kekacauan di luar sana, Leo bergerak menuju aula dan menemukan Marco di sana. Melihat Alex terbaring lemas di lantai membuat Leo mengarahkan senjata apinya ke arah Marco yang juga kehabisan tenaga.“Selamat datang. Kau suka dengan kejutan yang kusiapkan?” ejek Marco