Marco meminta pasukannya untuk menyerang Alex. Selagi tak ada yang menghalanginya, Marco berusaha untuk mencari keberadaan Caterina. Dia membuka pintu markas satu per satu , tapi tetap tak ketemu. Banyaknya ruangan di La Vendetta tak membuat Marco menyerah dan terus berusaha menemukan wanita yang dicintainya itu.
“Kate, ini aku. Katakan di mana kau bersembunyi dan keluarlah. Kita harus pergi dari sini,” panggil Marco.
“Apa kau di sini?” tanya Marco sebelum mendobrak pintu secara paksa. Namun, sayangnya lagi-lagi nihil. Dia tak menemukan jejak Caterina di semua ruangan yang sudah dibuka.
Marco mencoba mengingat struktur bangunan dan juga soal seluk beluk markas. Sebab saat itu Caterina pernah bercerita mengenai La Vendetta. Setelah berhasil menemukan aula, Marco berjalan sendirian menuju satu-satunya ruangan yang ada di sana. Ruang kerja Leonardo Bianchi.
Saat Marco tiba di depan ruang kerja Leo, Alex yang sudah susah payah menghajar banyak pasukan musuh pun berlari menghampiri dan menendangnya dari belakang. Karena banyaknya musuh yang menyerang, Alex kehabisan amunisi sehingga senjata apinya tak lagi berfungsi. Terpaksa dia harus melawan Marco menggunakan tangan kosong.
Marco yang tak terima dengan penyerangan dari Alex pun menyerang balik. Mereka saling menghajar dan juga saling membela diri dari pukulan serta tendangan. Alex merasa diuntungkan karena Marco datang seorang diri, tak ada anak buah yang mengikutinya hingga di aula.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Alex saat melihat Marco mulai lemah.
Serangan Alex yang selalu tepat sasaran membuat Marco kewalahan dalam pertahanan diri. Dadanya terasa panas karena berkali-kali terkena tendangan kaki dari Alex.
“Katakan di mana Kate berada!” tanya Marco di sisa-sisa tenaganya.
“Berhenti mengusik hidup Kate karena rencanamu tak akan pernah berhasil. Kau bukan tandingan Tuan Bianchi. Menyerahlah sebelum dia datang!” ancam Alex dengan tegas.
“Aku tidak mengusiknya. Aku datang karena ingin membantu Kate kabur dari sini dan menyelamatkan ayahnya. Aku berjanji padanya untuk datang dan membawanya pergi.”
“Lucu sekali. Kau yang menembak kepala ayah Kate, tapi kau juga yang ingin menyelamatkannya? Kau benar-benar bermuka dua.”
“Kau asal bicara seperti atasanmu!” desis Marco.
“Jangan kira aku tidak tahu. Tuan Bianchi sudah mengatakan semuanya tentangmu. Kasihan sekali Kate harus terperdaya dengan omong kosongmu.”
“Jangan ikut campur. Kau hanya seorang bawahan. Aku tidak punya urusan denganmu. Jadi kau bisa pergi melindungi markas ini dari musuhmu dan biarkan aku mencari Kate.”
Alex menertawakan sikap Marco yang berlagak menjadi pahlawan untuk Caterina, padahal pria itu juga yang sudah membuat Dante koma.
“Aku ingin tahu kira-kira apa yang akan dilakukan Kate saat dia tahu kau seorang pembunuh?”
Marco terdiam waktu Alex bilang dia pembunuh. Namun, setelahnya dia langsung menyerang dan menghajar Alex. Perkelahian pun kembali berlangsung. Kini Marco tampak lebih siap dalam melawan karena tak terima dengan kalimat pembunuh yang Alex ucapkan. Pertarungan berlangsung sengit. Tampaknya tak ada tanda-tanda Marco atau pun Alex yang akan menyerah. Mereka saling menghabisi satu sama lain hingga tenaga keduanya habis.
Sementara itu di perjalanan, Leo terus meminta pilot untuk menambah kecepatan. Waktu lima belas menit terasa sangat lama sebab dia sudah gelisah. Dia menghubungi Alex, tapi karena anak buahnya itu sedang bertarung melawan Marco, jadi panggilan itu akhirnya diabaikan.
Leo merutuk dengan kesal. Dia marah kepada semua orang yang dirasa tidak becus dalam pekerjaan. Tiba-tiba dia teringat dengan Ben dan mencoba menghubunginya. Leo hanya ingin tahu apakah Ben terlibat di dalam penipuan ini atau juga sama-sama menjadi korban.
Namun, seperti apa yang diucapkan oleh Alex kepadanya, nomor Ben tidak bisa dihubungi. Lokasinya juga tidak bisa dilacak sebab ponselnya sengaja dimatikan. Setelah rencananya berhasil, Ben sengaja mematikan dan membuang ponselnya ke dalam laut agar tidak bisa dilacak. Ben tidak peduli jika Leo akan marah sebab dia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi konsekuensi yang akan dia terima.
Saat sedang gelisah, telepon Leo berdering. Dia berharap itu panggilan dari Alex yang memberi kabar soal markas, tapi ternyata bukan.
“Tuan, kami berhasil menangkap dua orang yang mengambil alih mobil pengiriman. Kami menemukan keanehan,” kata seorang anak buah yang sudah tiba di lokasi lebih dulu.
“Apa yang kalian temukan?”
“Dua orang ini adalah orang suruhan. Mereka bukan musuh, melainkan sopir bus yang disuruh berputar-putar di lokasi.”
“Siapa yang menyuruh mereka?”
“Ben yang menyuruhnya.”
“Sialan. Bedebah itu benar-benar harus mati! Amankan mereka dan bawa ke markas dalam kondisi hidup. Cari juga di mana Ben berada! Aku tidak bisa melacak lokasinya. Kau bisa memikirkan cara lain, aku sedang tidak bisa berpikir untuk sekarang.
“Baik, Tuan. Lalu, bagaimana dengan paket narkoba dan senjatanya?”
“Kalian urus sisanya. Aku sedang dalam perjalanan pulang ke markas karena markas kita dikepung oleh musuh. Kalau masih ada waktu, kalian bisa mengantarnya sampai di tujuan. Namun, jika tidak, batalkan saja pengiriman dan pulang ke markas kalian. Lakukan pengiriman besok.”
“Baik, Tuan.”
Di dalam ruang bawah tanah, Caterina masih menggenggam tangan sang ayah. Dia mulai khawatir karena Alex tak kunjung datang. Dia gelisah tanpa alasan, selain itu dia juga takut tabung oksigen Dante akan segera habis jika tak segera kembali ke ruang perawatan.
“Periksa ayah secepatnya. Aku tidak tahu kita harus bersembunyi sampai kapan di sini.” Caterina mulai panik karena tidak ada jam di ruangan gelap itu. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia bersembunyi di sana Karena terlalu mengkhawatirkan kondisi ayahnya.
“Dia baik-baik saja kan?”
“Dia masih bisa bertahan. Kau tidak perlu khawatir.”
“Bagaimana mungkin aku tidak khawatir. Aku tidak tahu kita sudah berapa lama bersembunyi di dalam sini.”
Suara pintu lift terbuka membuat Caterina mendekati daun pintu dan menempelkan telinganya. Mendengar suara langkah kaki membuat Caterina merasa lega.
“Alex, kau kah itu? Apa di luar sudah aman? Apa semua musuh sudah pergi?” tanya Caterina.
“Alex?”
Caterina melangkah mundur saat pintu dibuka dari luar. Namun, betapa terkejutnya dia saat pintu terbuka dan bukan Alex yang datang menjemput nya, melainkan orang lain yang langsung menangkap Caterina dan membawa wanita itu pergi. Dua orang dokter yang menjaga Dante ikut panik. Salah satu dari mereka mencoba melawan, tapi karena tak punya kemampuan bertarung, dia bisa dikalahkan dalam sekali tendangan.
Caterina disekap mulutnya hingga tak bersuara. Dia ditarik dengan paksa dan diajak naik lift oleh orang-orang asing itu.
Leo berlari sambil melepaskan kancing jasnya saat turun dari helikopter. Dia melepas jas dan melemparnya begitu saja saat melihat kekacauan di markasnya. Dia marah saat mengetahui penyerangan itu ulah Marco. Setelah mengokang senjata api, dia menarik pelatuk dan menembak semua orang yang menghalangi jalannya.Orang-orang berjatuhan dengan darah berceceran. Jiwa pemburu seorang Leonardo kembali merasukinya. Tak peduli dengan rasa kemanusiaan, Leo menghabisi semua musuh dengan sekali tarikan pelatuk. Dia bergerak cepat mengisi magasin dengan amunisi, kemudian menembak semua musuh dengan membabi buta. Musuh-musuh berjatuhan. La Vendetta menjadi lautan darah karena banyaknya musuh yang tewas akibat kekejaman Leo.Mengabaikan kekacauan di luar sana, Leo bergerak menuju aula dan menemukan Marco di sana. Melihat Alex terbaring lemas di lantai membuat Leo mengarahkan senjata apinya ke arah Marco yang juga kehabisan tenaga.“Selamat datang. Kau suka dengan kejutan yang kusiapkan?” ejek Marco
“Kenapa kau ingin aku membunuh Alex?”“Dia tidak layak menjadi tangan kananmu. Kau tidak sadar kalau ada orang yang lebih layak di posisi itu daripada dia,” jawabnya.Alex mengerutkan kening saat mendengar jawaban dari musuh. Mengapa ada orang yang sangat ingin menyingkirkan dirinya, Alex benar-benar ingin tahu siapa orangnya. Namun, karena keadaan sedang genting, dia pun tak berani bertanya.“Pemimpin macam apa kau, sampai-sampai tidak sadar kalau di markas ini ada pengkhianat?” cibir Marco.Leo mengacungkan pistolnya tepat ke wajah Marco. Dia muak sekali mendengar suara Marco dan ingin segera menghabisi nya.“Jangan main-main dengan senjatamu kalau tidak mau aku menembak wanita ini!” musuh Leo kembali memberikan peringatan.Leo sudah sangat muak dengan masalah ini. Dia pun tak mau berbasa-basi lagi dan ingin tahu motif dari penyerangan tersebut.“Katakan apa yang kalian inginkan! Kau mau uang?”Leo tak ingin membuat Caterina semakin ketakutan jika terus-menerus dijadikan sandera. Ji
Marco yang sedang mencoba mengalahkan anak buah Leo tampak cukup syok saat melihat Caterina keluar dari tempatnya bersembunyi. Dia menyayangkan keputusan Caterina untuk menyerahkan diri, dan mencoba melumpuhkan pasukan Leo yang tersisa agar dia bisa secepatnya menghampiri Caterina.“Jangan, Kate!” pinta Marco dengan penuh harap. Namun, dia tak berani berteriak. Mengakui perasaannya di depan wanita itu sudah cukup membuat hubungan mereka menjadi canggung. Marco hanya tak mau membuat Caterina semakin tak nyaman karenanya. Meski begitu, dia juga tak siap jika harus kehilangan Caterina sekarang.Leo mengangkat tangannya ke udara, memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan penyerangan sebab sudah banyak pasukan Marco yang tewas. Selain itu, serangan dihentikan karena Caterina sudah keluar dari tempatnya bersembunyi.Caterina menjaga jarak dari Leo. Dia sengaja berdiri di samping vas bunga besar di sudut ruangan agar jika sewaktu-waktu merasa terancam, Caterina bisa menggunakan va
“Aku tidak percaya selama ini kau tinggal bersama pria seperti Leo. Ayahmu, yang sudah jelas mengabdi bertahun-tahun dengannya saja bisa dibunuhnya dengan begitu mudah. Dia benar-benar iblis!” Marco datang membawakan sebotol yoghurt untuk Caterina.“Dia menembak kepala ayahmu karena dia gagal membunuhku. Dia benar-benar psikopat.”Caterina yang duduk termenung sambil memikirkan Dante seketika terkesiap dan mengusap air matanya. Amarah dan dendam yang membara di hatinya membuat Caterina meneteskan air mata. Kebenciannya kepada Leonardo kini sudah berada di puncak paling atas. Tidak ada kata maaf lagi yang akan dia berikan kepada pria itu. Pria yang dulu sangat dicintainya, kini berubah menjadi sosok yang paling dibencinya. Waktu mengubahnya dengan sangat cepat. Caterina merasa kesal karena dulu pernah mencintai orang seperti Leonardo.“Kau tenang saja, Kate. Aku berada di pihakmu sekarang. Kita harus bersatu untuk membalaskan dendam masing-masing kepada Leo. Kalau kita bersatu, bukanka
“Ayo bercerai!” Nathan berucap dengan dingin ketika ia menyodorkan sebuah map berisi kertas pada Elise. Pria itu bahkan tidak ingin menoleh menatap istrinya. Baginya, kehadiran Elise di sana hanya akan merusak pandangan matanya.Ini adalah permintaan ke sepuluh ketika Nathan menyodorkan kertas itu untuk pengurusan perceraian. Ia hanya membutuhkan tanda tangan Elise, maka mereka akan resmi bercerai. Biasanya Elise akan menolak dan memohon agar Nathan tidak menceraikannya. Ia akan berlutut, mengemis cinta pada pria berhati dingin itu.Namun, kali ini responsnya berbeda. Ia meraih kertas itu tanpa ragu, lalu memberikan tanda tangannya. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun ketika Nathan menghampirinya dan meminta untuk bercerai.Bukan tanpa alasan. Elise bersikap seperti ini karena ini adalah kehidupan keduanya. Di masa lalu, ia menolak untuk bercerai. Semakin ia berusaha untuk mendapatkan cinta Nathan, semakin Nathan membencinya. Ia telah memberikan segalanya pada lelaki yang ia cin
“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip m
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
Caterina turned to the source of the voice. She glared, visibly displeased by Leonardo's presence there. She didn't say a word. After chuckling, she went to the garage and pulled out Alex's car.“Why does it have to be Alex? You could have borrowed my car.” Leonardo commented when he saw Caterina busy getting Alex's car out. He felt annoyed and jealous because Caterina chose Alex over him.The orange sports car started driving at a moderate speed out of the gate. At the gate he was intercepted by the gatekeeper. No matter how hard Caterina tried to explain, the gatekeeper did not allow Caterina to get out of the fence.“I allowed her to go to buy medicine; just open the gate.” Leonardo gave the order through a handy talky.After getting the order, the guard opened the gate. Caterina immediately drove her car onto the highway. The car was traveling at breakneck speed.Leonardo followed. He drove a normal car so as not to attract attention. He also drove his car without being followed b
“What are you doing here?” Nathan asked sharply when he arrived at the salon. He looked at Elise with an unusual look.“I'm doing things I couldn't do when I was your wife.” Elise replied casually. She did not seem afraid at all, as the love had disappeared from her heart. She had always given in and dared not speak up because she was afraid of being divorced. However, now she was not afraid of anything. Her only goal in life now was to please herself.“You can always do whatever you want when you are my wife. You had a lot of free time; I always gave you a lot of money. It's just that you don't want to beautify yourself.” Nathan came to her defense. He felt that he had done his best to provide for her while she was living in his house. He thought she couldn't take care of herself.Elise laughed bitterly.“Is that so, Brooke?” Elise turned to look at Brooke; she looked at the woman with a look that demanded an answer.“Of course.” Brooke replied nervously, trying to cover something up
“Panggil aku jika kau sudah selesai. Jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan meminta supir untuk menjemputmu. Hubungi aku jika ada yang berusaha untuk mengganggumu.” Julian berpesan setelah ia menurunkan adiknya di depan sebuah salon kecantikan paling bergengsi di kota LA. Hanya orang-orang dari kelas atas yang bisa ke sana, sebab harganya tidak terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.Elise tersenyum kecil. “Jangan khawatirkan aku, aku bisa menjaga diri.”“Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang.” Julian berucap dengan lembut, menit berikutnya mobil yang ia kendarai mulai melaju pergi dengan kecepatan tinggi.Elise berbalik, lalu melangkah dengan santai menuju gedung mewah di depan sana. Sudah lama ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ia bahkan sudah lupa seperti apa rasanya pergi ke salon kecantikan. Sudah saatnya kini ia kembali bersinar.“Wah, kakak ipar, ternyata setelah bercerai dari abangku kau bekerja di sini? Kau bekerja di bagian apa? Petugas kebersih
“Coba sebutkan satu saja perlakuan baik yang aku terima?” Elise memberikan tantangan.Belum sempat Madison membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Elise, perhatian mereka teralihkan ketika ponsel Elise berdenting.‘Aku sudah sampai.’ Sebuah pesan masuk dari Julian, abang Elise. Setelah dua tahun hidup dalam penderitaan, akhirnya Elise meminta abangnya untuk menjemputnya agar ia bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Ia baru sadar sebodoh apa dirinya, meninggalkan status sebagai putri keluarga konglomerat hanya untuk menjadi istri rumah tangga yang tidak dihargai oleh keluarga suaminya.“Aku tidak ada waktu untuk berdebat dengan kalian.” Elise berucap dengan tegas, lalu beranjak pergi.Di depan sana, Julian menunggu dengan perasaan senang. Ia senang, sebab akhirnya sang adik tersadar. Mereka berpelukan ketika akhirnya bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Mereka saling meluapkan perasaan rindu yang selama ini terpendam.“Dia dijemput oleh seorang pria.” Brooke yang mengintip m
“Ayo bercerai!” Nathan berucap dengan dingin ketika ia menyodorkan sebuah map berisi kertas pada Elise. Pria itu bahkan tidak ingin menoleh menatap istrinya. Baginya, kehadiran Elise di sana hanya akan merusak pandangan matanya.Ini adalah permintaan ke sepuluh ketika Nathan menyodorkan kertas itu untuk pengurusan perceraian. Ia hanya membutuhkan tanda tangan Elise, maka mereka akan resmi bercerai. Biasanya Elise akan menolak dan memohon agar Nathan tidak menceraikannya. Ia akan berlutut, mengemis cinta pada pria berhati dingin itu.Namun, kali ini responsnya berbeda. Ia meraih kertas itu tanpa ragu, lalu memberikan tanda tangannya. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun ketika Nathan menghampirinya dan meminta untuk bercerai.Bukan tanpa alasan. Elise bersikap seperti ini karena ini adalah kehidupan keduanya. Di masa lalu, ia menolak untuk bercerai. Semakin ia berusaha untuk mendapatkan cinta Nathan, semakin Nathan membencinya. Ia telah memberikan segalanya pada lelaki yang ia cin
“Aku tidak percaya selama ini kau tinggal bersama pria seperti Leo. Ayahmu, yang sudah jelas mengabdi bertahun-tahun dengannya saja bisa dibunuhnya dengan begitu mudah. Dia benar-benar iblis!” Marco datang membawakan sebotol yoghurt untuk Caterina.“Dia menembak kepala ayahmu karena dia gagal membunuhku. Dia benar-benar psikopat.”Caterina yang duduk termenung sambil memikirkan Dante seketika terkesiap dan mengusap air matanya. Amarah dan dendam yang membara di hatinya membuat Caterina meneteskan air mata. Kebenciannya kepada Leonardo kini sudah berada di puncak paling atas. Tidak ada kata maaf lagi yang akan dia berikan kepada pria itu. Pria yang dulu sangat dicintainya, kini berubah menjadi sosok yang paling dibencinya. Waktu mengubahnya dengan sangat cepat. Caterina merasa kesal karena dulu pernah mencintai orang seperti Leonardo.“Kau tenang saja, Kate. Aku berada di pihakmu sekarang. Kita harus bersatu untuk membalaskan dendam masing-masing kepada Leo. Kalau kita bersatu, bukanka
Marco yang sedang mencoba mengalahkan anak buah Leo tampak cukup syok saat melihat Caterina keluar dari tempatnya bersembunyi. Dia menyayangkan keputusan Caterina untuk menyerahkan diri, dan mencoba melumpuhkan pasukan Leo yang tersisa agar dia bisa secepatnya menghampiri Caterina.“Jangan, Kate!” pinta Marco dengan penuh harap. Namun, dia tak berani berteriak. Mengakui perasaannya di depan wanita itu sudah cukup membuat hubungan mereka menjadi canggung. Marco hanya tak mau membuat Caterina semakin tak nyaman karenanya. Meski begitu, dia juga tak siap jika harus kehilangan Caterina sekarang.Leo mengangkat tangannya ke udara, memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan penyerangan sebab sudah banyak pasukan Marco yang tewas. Selain itu, serangan dihentikan karena Caterina sudah keluar dari tempatnya bersembunyi.Caterina menjaga jarak dari Leo. Dia sengaja berdiri di samping vas bunga besar di sudut ruangan agar jika sewaktu-waktu merasa terancam, Caterina bisa menggunakan va
“Kenapa kau ingin aku membunuh Alex?”“Dia tidak layak menjadi tangan kananmu. Kau tidak sadar kalau ada orang yang lebih layak di posisi itu daripada dia,” jawabnya.Alex mengerutkan kening saat mendengar jawaban dari musuh. Mengapa ada orang yang sangat ingin menyingkirkan dirinya, Alex benar-benar ingin tahu siapa orangnya. Namun, karena keadaan sedang genting, dia pun tak berani bertanya.“Pemimpin macam apa kau, sampai-sampai tidak sadar kalau di markas ini ada pengkhianat?” cibir Marco.Leo mengacungkan pistolnya tepat ke wajah Marco. Dia muak sekali mendengar suara Marco dan ingin segera menghabisi nya.“Jangan main-main dengan senjatamu kalau tidak mau aku menembak wanita ini!” musuh Leo kembali memberikan peringatan.Leo sudah sangat muak dengan masalah ini. Dia pun tak mau berbasa-basi lagi dan ingin tahu motif dari penyerangan tersebut.“Katakan apa yang kalian inginkan! Kau mau uang?”Leo tak ingin membuat Caterina semakin ketakutan jika terus-menerus dijadikan sandera. Ji
Leo berlari sambil melepaskan kancing jasnya saat turun dari helikopter. Dia melepas jas dan melemparnya begitu saja saat melihat kekacauan di markasnya. Dia marah saat mengetahui penyerangan itu ulah Marco. Setelah mengokang senjata api, dia menarik pelatuk dan menembak semua orang yang menghalangi jalannya.Orang-orang berjatuhan dengan darah berceceran. Jiwa pemburu seorang Leonardo kembali merasukinya. Tak peduli dengan rasa kemanusiaan, Leo menghabisi semua musuh dengan sekali tarikan pelatuk. Dia bergerak cepat mengisi magasin dengan amunisi, kemudian menembak semua musuh dengan membabi buta. Musuh-musuh berjatuhan. La Vendetta menjadi lautan darah karena banyaknya musuh yang tewas akibat kekejaman Leo.Mengabaikan kekacauan di luar sana, Leo bergerak menuju aula dan menemukan Marco di sana. Melihat Alex terbaring lemas di lantai membuat Leo mengarahkan senjata apinya ke arah Marco yang juga kehabisan tenaga.“Selamat datang. Kau suka dengan kejutan yang kusiapkan?” ejek Marco