Ibu dan bapak Aina berasal dari kampung, merantau ke kota membawa putri mereka yang waktu itu masih berusia lima tahun. Saat itu Supri bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan besar, mereka tinggal di rumah kontrakan. Meskipun hidup sederhana, tapi Aina bahagia bersama ke dua orang tuanya yang mencintai dia.Di usianya yang ke sepuluh tahun, ayahnya di PHK dari tempat kerja, yang menyebabkan hidup mereka benar-benar susah saat itu. Ibunya yang membenci situasi itu lalu kabur bersama seorang pria asing, meninggalkan Aina dan Supri. Saat itu Supri masih menjadi ayah yang baik meskipun kondisinya jauh dari kata 'baik'. Dia mau berusaha mencari uang untuk hidup Aina, hingga ketika Aina masuk SMP, ayahnya yang saat itu mengantarkan pelanggan secara tidak sengaja melihat ibunya yang tengah menggendong seorang anak kecil, masuk ke dalam mobil mewah. Hidupnya tampak jauh lebih bahagia, membuat Supri frustasi dan menjadi sangat sering mabuk dan berjudi.Aina mengeratkan cardigan di tubuhnya
"Kamu siapanya Aina? Pacarnya?" Supri tiba-tiba keluar dari dalam rumah, membuat Aina dan Gavin terkejut karena pria parubaya itu langsung menyodorkan serentetan pertanyaan pada Gavin."Vin, kamu cepet pulang, ya!" titah Aina, mendorong Gavin pergi. Dia tidak ingin Gavin melihat keadaan keluarganya dan menjadi jijik pada dia, seperti teman-temannya yang lain."Kamu yang tadi sore, kan? Yang nganterin Ain pake mobil mewah?" Supri tidak peduli bahkan jika Aina menghentikannya, dia tetap melakukan apa yang dia mau."Pak, stop!"Gavin kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi. "Iya, Pak. Itu saya," jawab Gavin."Seberapa kaya kamu? Udah berapa kali kamu make Aina? Kasih saya uang kalau kamu mau menikmati anak saya!""Maksud Bapak-""Gavin cepet pergi!" Aina memaksa Gavin untuk kembali ke motornya. Gavin tidak punya pilihan selain pergi karena desakan Aina yang terus menerus. Gadis itu tampak tidak sabar untuk mengusirnya. Dia juga tidak mengerti apa maksud dari pria yang merupakan aya
Di sepanjang jam pelajaran, Gavin beberapa kali melirik Aina, namun wanita itu tetap acuh, membuat Gavin sedikit kesal. Ya, dia kesal, tapi Gavin juga tidak mengerti mengapa dirinya kesal hanya karena Aina yang terus mengabaikannya tanpa alasan yang jelas.Ketika jam istirahat tiba, Gavin pergi ke kantin untuk makan siang bersama teman-temannya. Dia sibuk memikirkan mengapa Aina diam hingga tidak menanggapi ketika temannya bertanya atau mengobrol."Lo kenapa, sih, Vin?" tanya Mario melihat wajah cemberut Gavin yang tidak biasa.Gavin menatap Mario dengan bingung. "Apanya?" Gavin balik bertanya."Ya, lo dari tadi cemberut terus, ada apa?" Mario memperjelas pertanyaannya.Gavin memang biasanya hanya memasang wajah dingin, akan tetapi hari ini Gavin tampak cemberut."Gak pa-pa." Gavin menggeleng, dia merasa bahwa dia baik-baik saja, dia tidak tahu mengapa Mario bertanya hal seperti itu.Bangkit berdiri, Gavin pergi meninggalkan teman-temannya di sana. "Mau ke mana lo, Vin?!" tanya Reno s
Gavin menghentikan pukulannya saat dia merasa puas. Melihat bolak-balik pada siswa yang terkapar di lantai dan Aina yang meringkuk ketakutan, dia segera menghampiri Aina. "Lo gak pa-pa?" tanya Gavin sambil melepas seragam sekolah yang dia pakai, memberikannya pada Aina. "Pak punya gue."Aina mengangguk sambil terisak, memakai seragam milik Gavin dengan tangan gemetar karena seragamnya sudah tidak layak untuk di pakai Lagi.Remaja itu memalingkan wajah saat Aina melepaskan seragamnya yang robek dan memakai miliknya."Ayo berdiri, gue bantu!" Gavin hendak mengulurkan tangan, membantu gadis itu bangkit berdiri saat Aina menghindarinya."A-aku bisa sendiri, Vin," tolak Aina sambil berusaha bangkit berdiri dengan bertumpu pada tembok.Ketika keduanya hendak pergi, sekelompok guru dan siswa tiba-tiba masuk ke dalam gudang."ADA APA INI?!" Seorang guru pria menatap Gavin dan Aina, lalu terakhir tatapannya jatuh pada siswa yang terkapar di lantai. "Cepet panggil ambulans!" titah guru pria itu
Di ruangan kecil itu, Aina duduk di atas lantai yang dingin sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Suara tangisan terdengar keluar dari bibirnya, tubuhnya gemetar, mencengkram sebuah selimut tipis yang dia pegang. Tangisan lirih yang begitu memilukan, seolah memberitahu dunia bahwa dia tidak baik-baik saja.'Aku baik-baik aja, kok, Vin."'Mereka hampir melecehkan lo, gimana bisa lo baik-baik aja?'Gavin benar, dia sama sekali tidak baik-baik saja. Tidak akan ada wanita yang baik-baik saja jika mengalami hal yang serupa dengannya. Hanya saja Aina sudah terbiasa bersikap baik-baik saja di hadapan semua orang. Dia tidak ingin seseorang mengkhawatirkannya, atau lebih tepatnya Aina tidak ingin merepotkan.Hatinya sakit dan sesak, dia merasa tenggorokannya tercekik hingga membuatnya kesulitan bernafas. Rasa jijik yang membuat Aina ingin menguliti tubuhnya sendiri, rasa jijik yang membuatnya mual karena tidak bisa melakukan apa pun. Aina tahu dia adalah orang yang munafik. Pernah beke
Gavin sama sekali tidak peduli dengan ancaman Wanita itu. Dia dengan tenang mengeluarkan ponselnya, lalu memutar sebuah vidio dan menunjukkan nya pada Ibu Hardi."Ini bukti vidio anak Tante yang melecehkan siswi di sekolah ini. Ada juga cctv sekolah di berbagai sudut, kesaksian korban dan siswa-siswi lain. Menurut Tante, kalau saya upload vidio ini di internet dengan caption 'anak pengacara yang melecehkan siswi di sekolahnya' apa respon masyarakat?" Tangan wanita setengah baya itu terkepal erat, tidak menyangka jika Gavin sangat teliti. Jika vidio cctv sekolah dan vidio itu bocor, sudah pasti reputasi suaminya akan terpengaruh. Apalagi akhir-akhir ini banyak kasus-kasus yang melibatkan pembullyan seorang siswa atau siswi yang di bully oleh anak seorang pejabat atau seorang yang terkenal. Dan tentu saja tidak ada yang bisa lepas dari hujatan netizen.Dengan bibir cemberut, dia menunjuk pada Gavin. "Awas kamu, ya!" Setelah itu wanita parubaya itu keluar dari ruang kepala sekolah.Meng
Gelap di sekelilingnya, kepalanya terasa sangat berat dan penciumannya penuh dengan bau obat yang memyengat. Kelopak mata Aina terbuka secara perlahan, menatap langit-langit berwarna putih terang. Dia mengerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya."Uh..." Ketika Aina ingin bersuara, hanya erangan serak yang keluar dari bibirnya."Mamah, Kakak itu udah bangun!"Aina mendengar suara anak kecil di sertai dengan suara langkah kaki. Dalam kebingungannya, Aina melihat seorang wanita setengah baya, cantik dan lembut, sedang menggendong seorang anak kecil di pelukannya."Kamu udah bangun? Ada yang enggak nyaman?" tanya wanita setengah baya itu pada Aina.Tenggorokan Aina tercekat, ini pertama kalinya sejak beberapa tahun ada seseorang yang berbicara lembut padanya saat dia sedang sakit. Matanya panas, mengeluarkan air mata yang jatuh secara langsung pada pipinya."Kenapa nangis? Ada yang sakit?" tanya wanita itu lagi.Aina menggelengkan kepalanya. "Ha-haus," ujar dia.
"Gavin!" teriak Aina saat jam pulang sudah berdering dari dua menit lalu.Remaja itu sedang berjalan di lorong sekolah bersama teman-temannya, butuh keberanian yang besar untuk Aina hingga akhirnya dia memutuskan untuk memanggil Gavin.Gavin, termasuk orang-orang di sekitar pria itu, menoleh secara bersamaan. Gavin, Mario, Julia dan Reno lantas menghentikan langkahnya, menatap langsung pada Aina.Aina mengigit bibirnya dengan erat, malu untuk berkata di depan semua orang. Pada akhirnya dia melirik Gavin sekilas."Kalian duluan aja!" titah Gavin pada ke tiga temannya.Julia berdecak kesal, meski begitu dia tetap mengikuti Mario dan Reno pergi.Aina menghela nafas lega saat teman-teman Gavin pergi. Dia memandang Gavin, ada semburat merah di pipinya. "Aku mau bilang maaf sama kamu," ucap Aina.Gavin menatap Aina dengan alis terangkat."Selain karena kamu udah bawa aku ke rumah sakit waktu itu, aku juga mau minta maaf karena aku denger dari siswi kalau orang tua siswa yang waktu itu datan