Gelap di sekelilingnya, kepalanya terasa sangat berat dan penciumannya penuh dengan bau obat yang memyengat. Kelopak mata Aina terbuka secara perlahan, menatap langit-langit berwarna putih terang. Dia mengerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya."Uh..." Ketika Aina ingin bersuara, hanya erangan serak yang keluar dari bibirnya."Mamah, Kakak itu udah bangun!"Aina mendengar suara anak kecil di sertai dengan suara langkah kaki. Dalam kebingungannya, Aina melihat seorang wanita setengah baya, cantik dan lembut, sedang menggendong seorang anak kecil di pelukannya."Kamu udah bangun? Ada yang enggak nyaman?" tanya wanita setengah baya itu pada Aina.Tenggorokan Aina tercekat, ini pertama kalinya sejak beberapa tahun ada seseorang yang berbicara lembut padanya saat dia sedang sakit. Matanya panas, mengeluarkan air mata yang jatuh secara langsung pada pipinya."Kenapa nangis? Ada yang sakit?" tanya wanita itu lagi.Aina menggelengkan kepalanya. "Ha-haus," ujar dia.
"Gavin!" teriak Aina saat jam pulang sudah berdering dari dua menit lalu.Remaja itu sedang berjalan di lorong sekolah bersama teman-temannya, butuh keberanian yang besar untuk Aina hingga akhirnya dia memutuskan untuk memanggil Gavin.Gavin, termasuk orang-orang di sekitar pria itu, menoleh secara bersamaan. Gavin, Mario, Julia dan Reno lantas menghentikan langkahnya, menatap langsung pada Aina.Aina mengigit bibirnya dengan erat, malu untuk berkata di depan semua orang. Pada akhirnya dia melirik Gavin sekilas."Kalian duluan aja!" titah Gavin pada ke tiga temannya.Julia berdecak kesal, meski begitu dia tetap mengikuti Mario dan Reno pergi.Aina menghela nafas lega saat teman-teman Gavin pergi. Dia memandang Gavin, ada semburat merah di pipinya. "Aku mau bilang maaf sama kamu," ucap Aina.Gavin menatap Aina dengan alis terangkat."Selain karena kamu udah bawa aku ke rumah sakit waktu itu, aku juga mau minta maaf karena aku denger dari siswi kalau orang tua siswa yang waktu itu datan
"Makasih, ya, Vin." Aina tersenyum sambil menatap Gavin."Sama-sama. Cepet masuk sana!"Aina mengangguk, dia masuk ke dalam rumah, melihat dari jendela saat Gavin melenggang pergi dari rumahnya. Aina menekan dadanya, merasakan jantung yang berdetak dengan sangat cepat. Setelah melihat Gavin yang menghilang di tikungan jalan, Aina masuk ke dalam kamar sambil membawa barang-barang yang Gavin belikan."Gavin baik banget," gumam Aina, rona merah menyebar di pipinya.***"Kamu baru pulang, Vin?" tanya Guna saat melihat putranya masuk ke dalam rumah.Gavin mengangguk, menyalami tangan ibunya. "Iya, Mah.""Udah makan? Kalau belum ada makanan di dapur!""Udah kok, tadi Gavin makan sama temen Gavin," jawab Gavin. "Gavin ke kamar dulu, ya, Mah!"Gina mengangguk, membiarkan Gavin pergi ke kamarnya.***"Aina!" teriakan Supri terdengar dari luar kamar Aina.Saat itu Aina yang sedang belajar bangkit berdiri, membuka pintu, melihat Supri yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan tangan di pinggan
Seperti yang Gavin katakan, dia tidak ikut mengantar Aina hingga rumahnya, namun hanya di depan gang. Gavin ikut turun ketika Aina turun dari mobil, ia melihat ke gang yang cukup gelap di belakang karena matahari sudah terbenam."Gue anter, ya. Itu gangnya gelap banget, gimana kalau ada apa-apa?" tanya Gavin dengan khawatir.Aina menggelengkan kepalanya, dia menolak, "Enggak usah, Vin. Enggak bakalan ada apa-apa, kok. Aku udah biasa jalan sendiri.""Kalau gitu-""Wih, wih, wih!" Supri tiba-tiba datang dari arah gang, menghampiri Aina dan Gavin di sana.Gavin menatap Aina sejenak, lalu tatapannya beralih pada Supri yang datang. Dia tahu bahwa pria itu adalah ayah dari Aina, Gavin hendak menyapa dengan sopan saat Supri tiba-tiba membuka suara."Katanya cuma temen! Huh! Kalau kaya gitu ngapain kamu nangis-nangis sepatunya Bapak jual? Kan bisa beli lagi," ujar Supri sambil menoyor kepala Aina.Gavin terkejut, dia tidak menyangka jika Supri akan mengatakan itu. "Sepatunya di jual?" tanya G
"Makasih, ya, Vin. Lo udah mau nganter gue," ucap Jullia pada Gavin yang berjalan di sampingnya.Gavin mengangguk, tatapannya mengedar menatap toko-toko dan orang yang berlalu-lalang. Dia melihat sebuah gaun cantik di salah satu etalase toko, berpikir jika Aina mengenakan gaun itu pasti akan terlihat cocok dan sangat cantik. Gavin tanpa sadar tersenyum."Vin!" Julia menegur pria yang ternyata tidak memperhatikan dan mendengarkannya."Hah? Kenapa?" Gavin menoleh pada Julia dengan wajah bingung."Lo mikirin apa, sih? Gue ngomong dari tadi ternyata enggak lo dengerin!" Julia cemberut kesal.Tangan Gavin terulur, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sorry," ucap Gavin dengan rasa bersalah.Keduanya mengobrol di sepanjang perjalanan. Gavin terus mengikuti Julia meski dia tidak tahu ke mana tujuan wanita itu karena sedari tadi mereka hanya berkeliling mall.Tanpa mereka sadar, seseorang menatap keduanya di kejauhan. Gadis itu bersembunyi di salah satu tiang tinggi, melihat Julia yang tam
Di sebuah kamar yang remang, seorang wanita menggeliat di atas tempat tidur. Kelopak mata wanita itu terbuka, dia menguap, mencoba bangkit dari tempat tidur ketika tubuhnya tiba-tiba di peluk dengan erat pada pelukan seorang pria yang tertidur di sebelahnya."Vin, lepasin dulu!" titah Wanita yang tidak lain adalah Aina, dia mencoba menyingkirkan tangan Gavin yang melingkari pinggangnya."Sebentar aja," gumam Gavin dengan mata tertutup.Aina menghela nafas. "Ini udah siang, Vin. Katanya kamu ada kuliah jam segini?" tanya Aina dengan nada tidak berdaya.Gavin melepaskan pelukannya, dengan malas bangkit dari tempat tidur. "Sebenernya sesekali bolos juga gak pa-pa," ujar Pria itu."Kalau papah kamu tau, kamu pasti di marahin!" Aina turun dari tempat tidur, memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai. "Cepetan bangun!" titah Aina lagi pada Gavin sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi.Selesai mandi dan berpakaian, Aina keluar dari sana, dia melihat Gavin yang hanya memakai boxernya seda
"Vin...ugh." Aina melenguh saat Gavin mengecupi di sepanjang lehernya hingga akhirnya pria itu berhenti pada dadanya yang ranum.Rasa geli menyebar ke seluruh tubuh Aina, apalagi saat bibir Gavin dengan rakus mengisap pucuk dadanya bergantian. Aina mengelus rambut kepala Gavin, membuat pria wajah pria itu terbenam di sana.Tubuh keduanya sama-sama bugil, saling mengerat satu sama lain. Keringat mereka membanjiri tubuh, ac yang tergantung di dinding sama sekali tidak mempengaruhi suhu panas di antara keduanya."Baring!" titah Gavin pada Aina.Mengangguk, Aina berbaring di atas tempat tidur sambil membuka ke dua kakinya. Nafas Gavin memberat melihat wanita itu menatapnya dari bawah dengan ekspresi yang begitu provokatif."Emh..." Aina tersentak, Gavin memasuki dirinya secara tiba-tiba.Kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap malam jika Gavin memintanya, Aina hanya menurut, bagaimana pun menurutnya Gavin adalah pria yang baik yang banyak membantunya di saat dia kesulitan. Aina sama sek
"Kamu pulang?" sapa Aina ketika dia melihat Gavin yang masuk ke dalam apartemen.Gavin mengangguk, dia membuka jaket yang dia kenakan, melemparnya ke atas sofa dengan sembarangan. "Gue lapar, ada makanan?" tanya Gavin.Aina bangkit berdiri dari sofa, dia berjalan ke arah dapur sambil menjawab, "Ada, makan sekarang apa mandi dulu?" tanya Aina."Makan sekarang," jawab Gavin.Mengangguk, Aina mengambil piring dan menyiapkan makanan untuk Gavin. Pria itu duduk di atas meja makan sambil menunggu Aina selesai menyiapkan makanan. Setelah makanan tersaji di hadapannya, Gavin mulai melahap makanannya."Perempuan yang sama kamu tadi siapa?" tanya Aina, dia bertanya dengan hati-hati agar Gavin tidak marah."Temen, kenapa?" Gavin balik bertanya tanpa menatap Aina."Enggak, keliatannya akrab banget sama kamu. Tadi kamu nelepon aku pake nomor dia?"Mengangguk, Gavin mendongak menatap wanita itu. "Kenapa, sih?" tanya Gavin.Kepala Aina menggeleng, dia menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhn