Aina pulang ke apartemen. Saat dia membuka pintu dan masuk, Aina meletakan barang-barang yang dia beli, dia bahkan tidak sempat membereskan semua itu karena Aina langsung pergi ke dalam kamar mandi dan muntah lagi.Hoek, hoek, hoek.Terengah-engah, Aina menopang tubuhnya pada pinggiran wastafel. Dia berkumur, mencuci mulut dan wajahnya agar terlihat segar. Aina lalu mendongak, menatap wajah pucat nya di cermin. Pantulan dirinya di cermin terlihat sangat kuyu dengan wajah yang basah oleh air dan rambut acak-acakan.Menghela nafas, Aina keluar dari kamar mandi, dia mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur untuk menenangkan rasa mual di perutnya. Aina berharap bahwa setelah dia bangun nanti, rasa mual itu akan menghilang.***Gavin kembali ke apartemennya setelah menginap di rumah usai ulang tahun bunga, adiknya yang terakhir. Dia menekan serangkaian kata sandi, dan ketika pintu dibuka, Gavin masuk ke dalam apartemen.Suasana hening mem
Aina sedang duduk di atas tempat tidur saat bel pintu apartemen berdering. Aina yang sedang cemas menunggu kepulangan Gavin langsung berdiri, bergegas keluar dari kamar untuk membuka pintu.Ketika pintu apartemen dibuka, Aina melihat Gavin yang sedang di papah oleh seorang wanita yang Aina tahu dia berjama Celine."Gavin kenapa?" tanya Aina, sedikit panik melihat Gavin yang tampak tidak sadarkan diri."Gavin Mabuk, tolong minggir dulu, biar gue yang antar dia ke kamarnya!" Celine mendorong Aina ke samping, lalu dia bergegas masuk dengan susah payah. "Di mana kamar Gavin?" tanya Celine."Dudukkan di sofa aja," ujar Aina.Celine mendudukkan Gavin yang mabuk di atas sofa, wanita itu membuka jaket yang Gavin kenalan dan menyuruh Aina yang sedari tadi hanya berdiri dan menatap dari samping, "Buatin air hangat pake madu dan jeruk!"Meski hatinya merasa tidak nyaman melihat Celine yang begitu merawat Gavin, tapi dia tetap sigap melakukan hal yang Celine minta. Dia bergegas pergi ke dapur, me
"Na, kenapa muka kamu pucat banget, kamu masih sakit?" tanya Dimas ketika dia melihat wajah Aina yang tampak tidak sehat.Aina menoleh ketika mendengar suara bertanya Dimas, dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Saya enggak pa-pa, kok, Pak!" Bibir pucat Aina terangkat, dia mencoba untuk baik-baik saja.Kening Dimas bertaut, masih merasa khawatir bahkan jika Aina berkata bahwa dia baik-baik saja. "Kamu sudah periksa ke rumah sakit?" tanya Dimas lagi."Saya cuma masuk angin, enggak perlu ke rumah sakit.""Kamu terlalu keras kepala, Na. Jangan sepelekan penyakit bahkan kalau pun itu hanya masuk angin. Saya antar kamu ke rumah sakit sekarang!" ujar Dimas dengan nada sedikit memaksa.Aina enggan, mereka masih berada di tempat kerja dan beberapa karyawan memperhatikannya. Dia takut jika Dimas mengantarnya ke rumah sakit di tengah jam kerja, pria itu akan terseret gosip karenanya. Karena Aina tahu betul jika beberapa karyawan sering memperhatikan dia dan bergosip secara diam-diam."Engg
"Heh, Gina! Aku gak peduli, pokoknya, aku minta lima juta buat ngurus bapakmu yang sakit-sakitan!" Gina Ashila hanya bisa menghela napas panjang saat ibu tirinya tiba-tiba datang, dan langsung bergegas ke lemari tempatnya menyimpan uang.Wanita itu menggigit bagian dalam bibirnya, ingin mengatakan sesuatu, namun hanya bisa menelan kering di tenggorokannya. Pasalnya, sang ibu tiri sudah sering mengambil uangnya, bahkan, di saat Gina tak ada, dia kerap kali menemukan uang yang disimpannya hilang begitu saja dalam keadaan rumah yang porak poranda. “T-tapi, bu, itu buat makan anak–” Belum sempat Gina menyelesaikan ucapannya, ibu tirinya sudah memelototinya dengan manik gelapnya. “Halah, kamu kan dapat uang kiriman banyak dari suami letnan mu itu, gak usah pelit! Lagian ini juga untuk bapakmu sendiri, Gina!” Mendengar nama ayahnya, Gina seketika tak bisa berkutik. Ada rasa bersalah di dalam hatinya, karena memang beberapa waktu belakangan, Gina belum sempat berkunjung ke rumah ayahnya
"Apa maksudnya, Mas? Kamu mau menceraikan aku? Kenapa?"Manik Gina kini mulai basah karena air mata yang berkumpul di pelupuknya. Ucapan suami yang baru bertemu setelah dua tahun lamanya itu bagaikan petir di siang bolong.Berbeda dengan Gina yang penuh dengan rasa cemas, suaminya, justru hanya menghela napasnya dengan pelan. “Mas, jawab aku. Apa jangan-jangan kamu sudah punya wanita lain?” tanya Gina lagi sembari menatap Bagas nanar. “Aku gak selingkuh, Gina.” Jawab Bagas dengan tenang, masih tak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya. “Jika memang tidak, kenapa kamu menceraikan aku, Mas? Dua tahun kamu gak pulang, dan datang-datang hanya untuk memberikan surat cerai?” Gina mencoba untuk tetap tenang, karena tak ingin membuat ketiga anaknya sadar akan apa yang baru saja terjadi. Padahal, dalam hatinya, ingin sekali dia menangis meraung-raung, meluapkan emosi pada pria yang menampilkan wajah tak bersalah itu di depannya. Hati Gina sangat sakit, lebih sakit dari pada ketika Bagas
"Udah denger belum? Katanya si Gina di ceraikan pak Bagas!" Seroang wanita setengah baya berbisik pada ibu-ibu lainnya. "Iya, kemaren saya denger si Gina jerit-jerit enggak mau di ceraikan!" timpal yang lain. "Mampus deh itu perempuan, salah siapa jadi istri boros banget! Denger-denger, dia pakai semua uang pak Bagas buat renovasi rumahnya!" "Iya? Pantas aja! Gak mungkin kan cewek kampungan macam dia bisa renovasi pakai uang sendiri! Pasti dia manfaatin pak Bagas, tuh! Ketawa deh Saya paling kenceng. Tau rasa emang. Enggak becus gitu jadi istri, pastinya pak Bagas juga udah dapet yang lebih baik dari si Gina." Para ibu-ibu itu sibuk bergosip sambil berbelanja pada tukang sayur keliling. Setiap hari selalu ada yang mereka gosipkan, namun hari ini sangat spesial karena berita mencengangkan, yaitu tentang Bagas yang menceraikan Gina sudah tersebar hingga ke kampung seberang. Banyak orang yang kasihan pada Gina, namun tidak sedikit pula yang mencela dengan kata-kata mengejek. Mente
Efisiensi Bagas memang sangat hebat sebagai seorang Mayor Jendral yang mengurus perceraiannya, tidak butuh waktu lama hingga Dia dan Gina akhirnya resmi berpisah, tidak lagi terikat pernikahan seperti sebelumnya. Bagas duduk di sebuah kursi, sedang berbicara dengan ibunya di seberang telepon. "Kamu harusnya ceraikan dia dari dulu! Bisanya cuma buang-buang uang, istri kaya gitu enggak usah di pertahankan-" "Bu." Bagas memperingatkan ibunya yang terus mengoceh tentang keburukan Gina padanya. "Aku sama Gina memang udah pisah, tapi dia tetep ibu dari anak-anak, ibu enggak seharusnya ngomong kaya gitu." "Kenapa? Toh, apa yang ibu ngomongin kenyataan, kok. Nanti kalau kamu mau kirim uang buat anak-anak kamu, kirim aja lewat ibu, nanti ibu yang kasih ke mereka," ujar Ibu Bagas. Dia sedari awal tidak pernah setuju ketika putranya yang berharga memutuskan untuk menikah dengan Gina. Minah merasa bahwa Gina sangat suka membuang-buang uang. Di saat yang lain menyimpan uang untuk membeli beras
"Mbak sebaiknya segera keluar dari rumah ini, karena Tante Minah sudah menyerahkan rumah ini ke kami." Dua hari setelah pertemuan Gina dengan mertua, tiba-tiba Gina kedatangan beberapa orang tamu yang mengaku sebagai sepupu dari Bagas. "Ini rumah saya, kenapa saya harus keluar?" tanya Gina kepada wanita di seberangnya. Gina tidak menyangka, pihak dari Bagas akan datang dan dengan tidak tahu malu menyuruhnya pergi."Mbak, kan, sudah bercerai sama Mas Bagas, jadi ini bukan rumah milik Mbak lagi. Tolong minggir, kami mau masuk!" Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah dengan paksa, diikuti oleh dua anak kecil dan satu pria dewasa.Gina menarik wanita berpakaian ketat itu, menghentikannya untuk masuk. "Pergi atau saya lapor kepala desa buat usir kalian!"Dua anak dari wanita itu dengan senang masuk ke dalam rumah, tertawa melihat rumah yang begitu bagus akan mereka tempati."Ma! Ma! Aku mau tidur di kamar sendiri!" ujar salah satu anak dengan riang."Iya, Sayang, mulai sekarang kamu dan