"Mbak sebaiknya segera keluar dari rumah ini, karena Tante Minah sudah menyerahkan rumah ini ke kami."
Dua hari setelah pertemuan Gina dengan mertua, tiba-tiba Gina kedatangan beberapa orang tamu yang mengaku sebagai sepupu dari Bagas."Ini rumah saya, kenapa saya harus keluar?" tanya Gina kepada wanita di seberangnya. Gina tidak menyangka, pihak dari Bagas akan datang dan dengan tidak tahu malu menyuruhnya pergi."Mbak, kan, sudah bercerai sama Mas Bagas, jadi ini bukan rumah milik Mbak lagi. Tolong minggir, kami mau masuk!" Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah dengan paksa, diikuti oleh dua anak kecil dan satu pria dewasa.Gina menarik wanita berpakaian ketat itu, menghentikannya untuk masuk. "Pergi atau saya lapor kepala desa buat usir kalian!"Dua anak dari wanita itu dengan senang masuk ke dalam rumah, tertawa melihat rumah yang begitu bagus akan mereka tempati."Ma! Ma! Aku mau tidur di kamar sendiri!" ujar salah satu anak dengan riang."Iya, Sayang, mulai sekarang kamu dan adik kamu tidur di kamar yang beda," balas si wanita dengan senyum, mereka bahkan tidak menghiraukan apa yang Gina katakan."Rumah ini atas nama saya, dan Mas Bagas sudah bilang akan memberikannya untuk saya dan anak-anak!” ucap Gina Kembali, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.Suara ribut di dalam rumah itu membuat orang-orang di sekitar melaporkan keributan ke kepala desa."Ada apa ini?!" tanya kepala desa saat dirinya masuk ke dalam rumah."Pak! Mereka mau mengusir saya dari rumah saya sendiri-""Bu Gina," panggil kepala desa pada Gina. "Bu Gina sekarang sudah bukan lagi istri pak Bagas, kenapa ibu suka sekali membuat keributan seperti ini?" Kepala desa itu menghela nafas, menatap Gina seolah dia adalah pembuat masalah.Gina menatap pria tua di hadapannya dengan kaget. "Apa maksud Bapak?! Mereka maksa masuk ke dalam rumah, masa saya harus diam aja?!""Pak kepala desa, maaf telah membuat keributan. Tapi, saya di suruh bu Minah buat pindah ke sini, katanya setelah Mbak Gina bukan lagi istri mas Bagas, rumah ini bukan milik dia lagi," ucap wanita yang tadi bertengkar dengan Gina. Dia maju menghampiri kepala desa, tersenyum dengan lembut.Kepala desa melihat keluarga yang berpakaian bagus segera tersenyum, lalu dia mengetahui bahwa pasangan suami-isteri itu berasal dari kota, senyumnya menjadi semakin dalam. Jarang ada tamu dari kota yang datang ke desa mereka."Gina, udahlah. Tanah ini memang di beli oleh Bagas, Bagas itu anaknya bu Minah, yang lebih berhak dari pada kamu. Jadi sebaiknya kamu yang mengalah dan pindah," ujar kepala desa pada Gina.Gina benar-benar tidak tahu harus berkata dan bereaksi bagaimana. Melihat sekelompok orang menatapnya tajam seolah menginginkan dia pergi, Gina kehilangan kata-katanya. Dada Gina sesak bukan main, rasa sakit menyebar membuatnya hampir tidak bisa menahan denyutan yang terus-menerus terasa. Semua orang di sini, menatapnya seolah dia adalah penjahat yang datang dan merusak rumah orang lain.Lelah, Gina merasa bahwa dia ingin semuanya selesai, dia ingin menyerah. Sembilan tahun menikah dengan Bagas, meskipun Gina tidak pernah hidup kekurangan, tapi bukannya tidak sulit untuk mengurus tiga anak sendirian tanpa suami yang menemani. Bahkan saat terbanyak di kehamilan Gina, dia sendiri.Pada intinya adalah, sejak kakeknya pergi dari dunia ini, dia benar-benar sendirian. Bagas berbohong, pria itu berbohong padanya dengan mengatakan bahwa 'ada dia di sini'. Namun nyatanya apa? Pria itu tidak hadir di saat-saat paling rendah dalam hidup Gina.**'Mah kita pergi sekolah dulu, ya,'' ucap seorang remaja berusia 14 tahun pada ibunya yang sedang membereskan peralatan bekas sarapan mereka.Wanita yang di panggil ibu itu tersenyum dan mengangguk. ''Hati-hati di jalan, jagain adek kamu ya, Vin.''Gavin mengangguk, mengajak kedua adiknya pergi. Gina menatap kepergian anak-anaknya cukup lama, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, empat tahun berlalu sejak perceraiannya dengan mantan suami. Gavin sekarang berusia 14 tahun, tumbuh menjadi seorang remaja yang bertanggung jawab dan selalu dapat Gina andalkan. Anak keduanya Ghazi berusia 10 tahun dan Binar berusia 7 tahun, tahun ini. Gina tidak menyangka bahwa dia bisa melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya.''Udah jam segini ternyata.'' Gina buru-buru membereskan cuciannya, setelah itu dia mengambil tas selempang kecil yang tergeletak di atas meja makan, bergegas keluar dari rumah untuk pergi bekerja.Selama empat tahun belakangan, keadaan ekonomi Gina sangatlah sulit. Bagas tidak pernah mengirimkan dia uang sepeser pun, melanggar janji yang pernah pria itu buat. Gina menjual semua yang bisa dia jual, semua hartanya, barang-barang berharga untuk biaya pendidikan putra dan putrinya.Sejak kejadian di mana dia di usir dari rumahnya sendiri, Gina membawa pergi putra-putrinya dari kampung itu, mengontrak sebuah rumah yang kecil di desa lain. Sekarang ini Gina bekerja di sebuah rumah makan kecil-kecilan di pinggiran jalan, membuang semua ego dan gengsi untuk anak-anaknya.''Aduh, kenapa baru datang, Mbak. Ini warung rame banget dari tadi,'' ujar seorang wanita yang lebih muda dari Gina dengan nada bicara yang cukup tidak menyenangkan.''Tadi harus ngurusin anak-anak dulu mau sekolah, Sri. Jadi agak telat sedikit,'' balas Gina, dia kemudian memulai pekerjaannya.''Yang bener aja, bilang aja mau kerja enak,'' cibir wanita bernama Sri itu.Gina hanya menggelengkan kepalanya, dia sudah terbiasa dengan sindiran yang sering Sri lontarkan padanya. Gina juga tidak bisa melawan karena Sri adalah keponakan pemilik warteg tempat dia bekerja sekarang. Pembeli lalu berdatangan, kebanyakan adalah pekerja toko atau tukang bangunan yang sengaja datang untuk sarapan. Gina sibuk selama dua jam hingga akhirnya pembeli berkurang dan dia bisa istirahat sebentar.''Om-om yang itu ganteng banget gak, sih?'' tanya seorang siswi SMA yang duduk bersama satu temannya tidak jauh dari Gina.''Yang mana?'' tanya temannya, celingak-celinguk mencari keberadaan 'om-om' yang di tunjuk.''Itu, loh. Di seberang, yang pake baju resmi gitu.'' gadis itu mencoba mengarahkan temannya, lalu melanjutkan dengan nada sedikit kecewa, ''Yah, yah. Kayaknya mau pergi, udah masuk mobil.''Gina menguping percakapan mereka secara tidak sengaja, lalu dia menoleh, ikut penasaran dengan siapa yang gadis SMA itu maksud. Wanita itu ikut celingak-celinguk, kemudian tatapannya bertabrakan dengan manik mata hitam seorang pria yang duduk di dalam mobil. Tubuh Gina membeku seketika.“Bagas?”'Kenapa pria itu ada di kota ini?' itu adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran Gina ketika melihat Bagas. Tatapan keduanya bertemu sebelum akhirnya mobil yang bagas tumpangi melaju pergi. Gina menurunkan matanya, mencoba untuk membuat jantungnya tetap tenang. Selama empat tahun, Bagas tidak pernah menjenguk anak-anaknya, seolah sejak mereka bercerai, bukan hanya Gina yang dia tinggalkan, namun juga Gavin, Ghazi dan Binar. Ibu Bagas meninggal tiga tahun lalu, selain pemakaman ibunya, Bagas tidak pernah datang ke kampung. Gina bangkit berdiri, remaja SMA di sebelahnya masih mengobrol tentang pria mana saja yang paling tampan. "Mbak Gina ini dicuci dong, duduk aja dari tadi," ujar Sri pada Gina. Gina melongos tidak peduli. "Kamu aja yang cuci, tadi Mbak udah nyuci yang lain. Itu sisanya," balas Gina. Tidak sengaja bertatapan dengan Bagas benar-benar menguras energinya. Sri berdecak kesal, cemberut sambil mencuci piring-piring kotor. "Awas aja, aku adukan sama tante! Di pecat
Keesokan harinya, pukul setengah lima pagi. Gina sudah bangun dari tidurnya. Dia mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Aktivitas pagi yang sudah Gina lakukan selama bertahun-tahun tanpa jeda satu hari pun. Pukul enam ketika rumah selesai dia urus, Gina pergi ke luar untuk mencari tukang sayur yang biasanya lewat.Hari ini Gina berniat untuk memasak cumi, makanan kesukaan ke tiga anaknya. Saat tiba di tukang sayur, Gina langsung bertanya pada si penjual, ''Hari ini cumi ada, Mang?''''Ada, BU Gina. Kebetulan cuminya tinggal satu.'' Penjual sayur itu mengambil kantung keresek berisikan cumi di bawah gerobaknya, menyerahkannya pada Gina.Gina tersenyum, mengambil cumi yang si penjual serahkan.''Mau masak cumi, ya, Bu?'' tanya ibu-ibu lain pada Gina.''Iya, Bu. Kemarin anak-anak bilang kalau mereka pengen makan cumi,'' jawab Gina.''Anak saya juga kemaren pengen makan ayam, eh si Mamang malah enggak bawa ayam!'' sahut yang lainnya.''Bukan enggak bawa, Bu. Tapi habis, saya cuma bawa
''Ghazi!'' Gavin menegur adiknya. Ghazi tidak peduli sama sekali, hatinya kesal karena sang ibu yang beberapa kali berjanji akan memasakan makanan kesukaannya, namun tidak pernah terjadi. ''Mama mau buat nasi goreng sama bakwan jagung, loh, Zi. Kamu beneran enggak mau?'' tanya Gina sambil mengikuti Ghazi yang keluar dari rumah. ''Enggak mau, sarapannya nasi goreng mulu, Gazi pengen cumi, Mah!'' Langkah Gina terhenti di ambang pintu, menatap kepergian putranya. Perih Gina rasakan, bukan karena sikap Ghazi padanya, namun karena dia yang bahkan tidak bisa mengabulkan apa yang putranya inginkan. ''Mah, Gavin mau sarapan.,'' ujar Gavin. Melihat raut wajah sedih sang ibu, dia sangat kesal pada Ghazi yang bersikap tidak sopan. Gina berbalik dan bergegas menyelesaikan masakannya. Gina tahu Gavin mungkin marah pada sang adik, wanita itu tersenyum penuh pengertian. ''Mamah enggak pa-pa, kok, Vin. Jangan cemberut kaya gitu.'' ''Belanjaan Mamah di ambil sama orang tua itu lagi, ya, Mah?''
''Terserah.,'' ujar Gina dengan acuh, sama sekali tidak peduli apakah Bagas akan menunggunya atau tidak.Pukul enam sore, waktu di mana Gina dan Sri harus menutup warteg tiba. Gina membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang saat dia selesai menutup warteg.''Huh, mana? Katanya laki-laki tadi nungguin, Mbak, tapi kok sekarang enggak ada?'' Sri celingak-celinguk di sebelah Gina, menatap bolak-balik sekeliling warteg dengan ekspresi seolah ingin tertawa. ''Mbak pasti udah geer banget, kan mau di tungguin sama cowok ganteng. Hehehe, taunya bohong!''Gina menggelengkan kepalanya mendengar apa yang Sri katakan. Gina tahu jika Sri tengah mengolok-oloknya, tapi dia tidak peduli, melenggang pergi meninggalkan Sri di sana. Sri yang di tinggalkan mendengus dengan keras, lalu bergegas mencari tukang ojek untuk pulang.Masuk ke perkampungan, jalanan di sekelilingnya penuh dengan pepohonan dan rumput di setiap sisi jalannya. Hanya ada satu lampu yang mene
Gina berbaring di atas tempat tidur, mencoba memaksa kelopak matanya agar tertutup. Tapi nihil, dia sama sekali tidak mengantuk. Lagi pula siapa yang akan mengantuk jika melihat orang yag dengan sengaja dia dorong berdarah-darah.Pikirannya terus berkelana pada kejadian di mana dia melihat darah membasahi pakaian yang Bagas pakai. Bangkit dari kasur, Gina menghela nafas berat, menoleh untuk melihat putriya, Binar, yang sudah tertidur lelap. Gina keluar dari kamar, setelah memastikan bahwa Ghazi dan Gavin juga terlelap, dia mengambil cardigan lalu keluar dari rumah.Menyusuri jalan setapak, Gina akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang dia tahu dari warga yang bergosip bahwa rumah ini di tempati oleh Bagas. Gina mengambil nagas panjang, menenangkan dirinya yang sedikit gugup. Leangan Gina terangkat, mengetuk pintu rumah dengan pelan.utuh waktu dua menit hingga akhirnya pintu rumah terbuka.''Gina?'' Bagas menatap kaget pada Gina yang berada di depan pintu rumahnya malam-malam begini.
''Aku enggak punya maksud apa pun. Gin, aku cuma mau ngasih ini buat kalian, tolong terima,'' ucap Bagas dengan nada memohon. Gina menatap makanan di tangan Bagas, menghela nafas, hendak mengambilnya saat tangan lain meraihnya lebih cepat. ''Wah ayam!'' Itu adalah seruan seorang wanita. ''Wanda!'' panggil Gina pada wanita muda itu. Wanda, adik tiri Gina yang lahir dari Lastri dan mantan suaminya yang sekarang berusia sembilan belas tahun. Meski sudah lulus sekolah, tetapi Wanda sama sekali tidak ada niat untuk bekerja, hanya mengandalkan Lastri dan ayah Gina yang sudah tua untuk menghidupinya.''Punya makanan enak kok enggak bilang-bilang, Mbak Gina mau aku bilangin ibu?'' Wanda menatap Gina dengan wajah menantang. ''Itu bukan punya, Mbak, Wanda,'' ucap Gina, dia mengulurkan tangan, hendak merebut kembali makanan itu dari Wanda. ''Eh!'' Wanda dengan cepat menghindar. ''Pelit amat, biasanya juga bagi-bagi kalau punya makanan enak.'' Gina menatap Bagas, ingin melihat bagaimana ek
''Masa Bapak enggak tau, memangnya almarhum ibu Pak Bagas enggak pernah ngomong?'' Mereka semua menatap Bagas dengan tatapan heran dan penuh gosip. Harap-harap cemas dengan jawaban Bagas.Bagas terdiam, tidak menyangka jika ibunya akan melakukan hal seperti itu. Bagas tahu jika selama pernikahannya dengan Gina, ibunya tidak pernah menyukai Gina, tapi Bagas tidak pernah berpikir bahwa ibunya tega mengusir Gina dan anak-anaknya dari rumah yang mereka tinggali. Rasa tak nyaman lagi-lagi menyebar dalam hati Bagas.''Pak?''Seolah tersadar, Bagas menyadari bahwa dia sedikit melamun sejak tadi. Pria itu menggeleng, berkata pada mereka, ''Saya permisi dulu, ya, Ibu-ibu.'' Bagas melenggang pergi setelah itu tanpa memperhatikan raut wajah ibu-ibu yang berubah kecewa karena Bagas tidak menjawab.Bagas berjalan tak tentu arah, setiap langkah yang Bagas ambil terasa sangat berat, dia merasa seperti telah di siram sember air es hingga tubuhnya kedinginan. Bagas mengepalkan telapak tangannya hingga
''Gimana caranya? Aku bahkan enggak uang uang buat beli sayuran, gimana caranya aku ngehubungin kamu?'' ''Gimana bisa kamu enggak punya uang? Jelas-jelas aku selalu rutin ngirim uang buat kamu dan anak-anak! Kamu bisa beli handphone-'' kalimat Bagas tiba-tiba terhenti, seolah menebak sesuatu, pria itu menatap Gina dengan tatapan kosong. ''dari dulu sampai sekarang, aku enggak pernah nerima sepeserpun uang dari kamu. Kamu pikir, kalau aku punya uang, setelah ibu kamu ngusir aku dan anak-anak, aku masih bakalan bawa mereka tinggal di kontrakan kaya gini?'' ''Itu enggak mungkin, ibu bukan orang seperti itu.'' Bagas bergumam dengan suara serak. ''Nyatanya ibu kamu memang orang yang seperti itu,'' balas Gina.Melihat Bagas yang hanya diam, Gina menghela nafasnya, "Ayo masuk, jangan di luar. Malu kalau tetangga liat!"Pria itu mengangguk, mengikuti Gina masuk ke dalam kontrakan. Karena tidak ada meja atau pun kursi, Bagas duduk di atas lantai yang dilapisi oleh karpet."Mau minum?" tany