Efisiensi Bagas memang sangat hebat sebagai seorang Mayor Jendral yang mengurus perceraiannya, tidak butuh waktu lama hingga Dia dan Gina akhirnya resmi berpisah, tidak lagi terikat pernikahan seperti sebelumnya.
Bagas duduk di sebuah kursi, sedang berbicara dengan ibunya di seberang telepon. "Kamu harusnya ceraikan dia dari dulu! Bisanya cuma buang-buang uang, istri kaya gitu enggak usah di pertahankan-" "Bu." Bagas memperingatkan ibunya yang terus mengoceh tentang keburukan Gina padanya. "Aku sama Gina memang udah pisah, tapi dia tetep ibu dari anak-anak, ibu enggak seharusnya ngomong kaya gitu." "Kenapa? Toh, apa yang ibu ngomongin kenyataan, kok. Nanti kalau kamu mau kirim uang buat anak-anak kamu, kirim aja lewat ibu, nanti ibu yang kasih ke mereka," ujar Ibu Bagas. Dia sedari awal tidak pernah setuju ketika putranya yang berharga memutuskan untuk menikah dengan Gina. Minah merasa bahwa Gina sangat suka membuang-buang uang. Di saat yang lain menyimpan uang untuk membeli beras, wanita itu malah menyimpan uang untuk membeli sebotol susu! Bagas bangkit berdiri dari kursi saat pintu ruangannya tiba-tiba di ketuk, pria itu berkata pada ibunya, "Bu, aku tutup dulu teleponnya, ya." Minah masih ingin mengoceh tentang kejelekan Gina, namun dia tahu bahwa putranya sangat sibuk, jadi dia menyetujui untuk menutup panggilan telepon. Bagas meletakan ponselnya di atas meja, berseru pada seseorang yang mengetuk pintu, "Masuk!" Seorang tentara masuk ke dalam ruangan Bagas setelah di persilahkan, pria itu berkata pada Bagas, "Pak, anda di panggil oleh Letnan Jendral ke ruangannya!" *** "Bu, dengar-dengar katanya Bagas cerai sama si Gina, ya?" "Iya, Bagas akhirnya sadar juga kalau istrinya itu enggak berguna!" Gina baru pulang dari pasar saat dia mendengar percakapan itu dari dalam sebuah rumah yang Gina tahu itu adalah rumah Bagas, alias rumah mantan ibu mertuanya. Wanita itu menghentikan langkahnya, mencoba mendengarkan lebih lanjut percakapan di dalam. ''Bagas itu sekarang udah punya calon lagi, namanya Serly, dokter militer. Seribu kali lebih baik dari pada si Gina. Bapaknya juga Letnan Jendral, emang paling serasi sama Bagas.'' terdengar suara Minah yang berkata dengan penuh rasa bangga pada lawan bicaranya di dalam. ''Wah, Bu Minah beruntung banget, bakalan punya menantu dokter,'' puji lawan bicara Minah, nama iu Bagas dengan penuh kekaguman.''Tapi bukannya Bagas punya tiga anak dari Gina, ya, Bu? Anak-anaknya bakalan tetep ikut Gina atau anak ibu?'' lanjut orang itu dengan penuh penasaran. Minah berdecih dan menjawab, ''Mereka, mah, buang aja ke laut! Keturunannya si Gina pasti bakalan sebelas-dua belas sama emaknya, nyusahin. Beda kalau Bagas punya anak dari ibu dokter itu, pasti keturunannya juga berkualitas, berpendidikan!'' Karena tak kuasa mendengar ucapan Minah, dia pun melenggang pergi. Hati Gina sakit, hidungnya perih, sesuatu terasa mengganjal di tenggorokannya. Di sepanjang perjalanan pulang, Gina tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang Minah katakan tentang Bagas yang sebenarnya sudah mempunyai calon istri baru yang berprofesi sebagai dokter militer di kententaraan. Lelaki brengsek itu, sembilan tahun lalu dia berjanji pada kakeknya untuk selalu menjaga Gina, namun ketika di hadapkan dengan seorang wanita yang lebih baik, sembilan tahun pernikahan bahkan Bagas rela korbankan. Sudah Gina duga sebelumnya, tidak mungkin Bagas menceraikan dia hanya karena merasa lelaki itu tidak punya banyak waktu untuk keluarga, pastilah ada alasan lain di baliknya dan sekarang Gina tahu mengapa. Setibanya di rumah, Gina langsung disambut oleh ketiga anaknya yang sedang bermain di halaman rumah. Anak-anak itu berseru-seru ketika melihat Gina. ''Mah, Mama beli apa?'' tanya Ghazi yang sudah tidak sabar ingin memakan camilan yang Gina belikan di pasar. ''Kenapa Mama lama banget?'' Kali ini Gavin yang bertanya, anak itu menatap mata ibunya yang terlihat seperti habis menangis. ''Tadi soalnya ada yang ketinggalan, jadi mama harus balik lagi,'' jawab Gina, mencoba menghilangkan bekas air mata di wajahnya. ''Mah, katanya Papah ninggalin kita, ya?'' tanya Ghazi sembari menatap manik ibunya dengan nanar. Gerakan tangan Gina yang sedang berusaha menghapus air matanya membeku di udara ketika mendengar apa yang anaknya tanyakan. ''Kamu kata siapa?'' tanya Gina. ''Kata temen-temen, banyak yang bilang, kok,'' jawab anak itu tanpa merasa ada yang salah sedikit pun. Gavin yang melihat ibunya tiba-tiba menjadi pendiam melirik pada sang adik, menyenggol kaki Ghazi di bawah meja yang menyebabkan anak itu mengaduh pelan. ''Awh!'' Ghazi melirik kakaknya dengan sebal. Gina menghela nafas, memperingatkan Gavin, ''Gavin...'' Tak mendapat jawaban, Gavin akhirnya kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya, dia sebenarnya tidak merasakan apa pun atas perceraian ke dua orang tuanya. Bagas jarang sekali berada di rumah, bagi Gavin, ada atau tidak adanya Bagas dalam hidupnya tidak mengubah apa pun. Hanya ada ibu dan kedua adiknya, selalu seperti ini bahkan ketika Gavin pertama kali mulai mengingat hal-hal penting. Melihat ibunya yang beberapa minggu belakangan ini terlihat murung, Gavin tahu bahwa ini tentang kepergian ayah mereka. Gavin sejujurnya tidak mengerti apa yang harus di sedihkan sang ibu, bukankah keberadaan dia, Binar dan Ghazi seharusnya sudah cukup? Selesainya, ketiga anaknya pergi ke kamar mereka masing-masing. Gina masuk ke dalam kamarnya, dia membuka lemari pakaian, hendak mengganti pakaiannya dengan sebuah daster yang nyaman untuk tidur. Ketika pintu lemari terbuka, Gina melihat sebuah plastik berwarna hitam yang terselip di antara tumpukan pakaian. Wanita itu mengerutkan kening, mengambil kantung keresek itu. ''Apa ini?'' tanya Gina pada dirinya sendiri. Gina mengulurkan lengannya, mengambil sesuatu dari dalam. Sebuah pakaian tidur dewasa, Gina tiba-tiba ingat bahwa dia memang pernah membelinya. Piyama tidur itu berwarna hitam dengan kain tipis yang tembus pandang. Piyama itu di beli tiga hari saat dia tahu bahwa Bagas akan pulang setelah dua tahun lamanya. Gina duduk di tempi tempat tidur sambil memegang piyama. Gina ingat betapa bahagianya dia saat itu, betapa dia berharap kepulangan Bagas. Gina terisak, membenamkan wajahnya pada piyama. Rasa sakit yang telah dia coba untuk hilangkan kembali muncul, rasanya sangat sakit ketika mengingat surat cerai yang Bagas berikan padanya saat itu. Air mata Gina luruh, di saat seperti ini, dia merindukan ayahnya yang telah lama pergi. ''Mama?'' Suara Gavin tiba-tiba terdengar, Gina mendongak, melihat putra sulungnya tengah mengintip dari balik pintu. Gina menyeka air matanya dengan cepat, tersenym sambil bertanya pada Gavin, ''Ada apa, Sayang?'' Gavin kecil membuka pintu, masuk ke dalam kamar sang ibu. ''Mama kenapa nangis?'' tanya Gavin saat melihat mata ibunya yang memerah. ''Mamah enggak nangis, kok.'' Gina membawa Gavin untuk duduk di sampingnya. ''Kenapa belum tidur?'' Gavin menggeleng dan menjawab dengan mulut cemberut, ''Enggak bisa tidur, Ma. Gavin mau tidur sama Mama.'' ''Yaudah, sekarang ayo tidur,'' Gina membaringkan Gavin di atas tempat tidur, Gavin menurut, abak itu menutup matanya sebentar lalu kembali membukanya. Gavin menatap sang ibu lama, membuat Gina mau tidak mau bertanya dengan heran, ''Kenapa?'' ''Gavin, Ghazi sama Binar enggak pa-pa, kok, kalau enggak punya papa, Mah,'' ucap anak itu tiba-tiba yang membuat Gina terkejut. ''Kamu, kok, ngomongnya kaya gitu?'' tanya Gina kaget. ''Habis, papa gak pernah ada di rumah ini, Ma. Jadi, Mama juga gak apa-apa kan, kalau sama aku, Ghazi, dan Binar saja?'' Gina tertawa dengan hati teriris, dan perlahan menganggukkan kepalanya. Dia tidak menyangka putranya akan mengatakan hal seperti itu. Untuk sesaat Gina merasa bahwa dia adalah seorang ibu yang tidak berguna karena hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya memikirkan rasa sakitnya sendiri tanpa memikirkan perasaan anak-anaknya juga. Gina egois karena berpikir hanya dia yang merasakan sakit, tapi yang lebih sakit di sini sebenarnya adalah anak-anaknya."Mbak sebaiknya segera keluar dari rumah ini, karena Tante Minah sudah menyerahkan rumah ini ke kami." Dua hari setelah pertemuan Gina dengan mertua, tiba-tiba Gina kedatangan beberapa orang tamu yang mengaku sebagai sepupu dari Bagas. "Ini rumah saya, kenapa saya harus keluar?" tanya Gina kepada wanita di seberangnya. Gina tidak menyangka, pihak dari Bagas akan datang dan dengan tidak tahu malu menyuruhnya pergi."Mbak, kan, sudah bercerai sama Mas Bagas, jadi ini bukan rumah milik Mbak lagi. Tolong minggir, kami mau masuk!" Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah dengan paksa, diikuti oleh dua anak kecil dan satu pria dewasa.Gina menarik wanita berpakaian ketat itu, menghentikannya untuk masuk. "Pergi atau saya lapor kepala desa buat usir kalian!"Dua anak dari wanita itu dengan senang masuk ke dalam rumah, tertawa melihat rumah yang begitu bagus akan mereka tempati."Ma! Ma! Aku mau tidur di kamar sendiri!" ujar salah satu anak dengan riang."Iya, Sayang, mulai sekarang kamu dan
'Kenapa pria itu ada di kota ini?' itu adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran Gina ketika melihat Bagas. Tatapan keduanya bertemu sebelum akhirnya mobil yang bagas tumpangi melaju pergi. Gina menurunkan matanya, mencoba untuk membuat jantungnya tetap tenang. Selama empat tahun, Bagas tidak pernah menjenguk anak-anaknya, seolah sejak mereka bercerai, bukan hanya Gina yang dia tinggalkan, namun juga Gavin, Ghazi dan Binar. Ibu Bagas meninggal tiga tahun lalu, selain pemakaman ibunya, Bagas tidak pernah datang ke kampung. Gina bangkit berdiri, remaja SMA di sebelahnya masih mengobrol tentang pria mana saja yang paling tampan. "Mbak Gina ini dicuci dong, duduk aja dari tadi," ujar Sri pada Gina. Gina melongos tidak peduli. "Kamu aja yang cuci, tadi Mbak udah nyuci yang lain. Itu sisanya," balas Gina. Tidak sengaja bertatapan dengan Bagas benar-benar menguras energinya. Sri berdecak kesal, cemberut sambil mencuci piring-piring kotor. "Awas aja, aku adukan sama tante! Di pecat
Keesokan harinya, pukul setengah lima pagi. Gina sudah bangun dari tidurnya. Dia mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Aktivitas pagi yang sudah Gina lakukan selama bertahun-tahun tanpa jeda satu hari pun. Pukul enam ketika rumah selesai dia urus, Gina pergi ke luar untuk mencari tukang sayur yang biasanya lewat.Hari ini Gina berniat untuk memasak cumi, makanan kesukaan ke tiga anaknya. Saat tiba di tukang sayur, Gina langsung bertanya pada si penjual, ''Hari ini cumi ada, Mang?''''Ada, BU Gina. Kebetulan cuminya tinggal satu.'' Penjual sayur itu mengambil kantung keresek berisikan cumi di bawah gerobaknya, menyerahkannya pada Gina.Gina tersenyum, mengambil cumi yang si penjual serahkan.''Mau masak cumi, ya, Bu?'' tanya ibu-ibu lain pada Gina.''Iya, Bu. Kemarin anak-anak bilang kalau mereka pengen makan cumi,'' jawab Gina.''Anak saya juga kemaren pengen makan ayam, eh si Mamang malah enggak bawa ayam!'' sahut yang lainnya.''Bukan enggak bawa, Bu. Tapi habis, saya cuma bawa
''Ghazi!'' Gavin menegur adiknya. Ghazi tidak peduli sama sekali, hatinya kesal karena sang ibu yang beberapa kali berjanji akan memasakan makanan kesukaannya, namun tidak pernah terjadi. ''Mama mau buat nasi goreng sama bakwan jagung, loh, Zi. Kamu beneran enggak mau?'' tanya Gina sambil mengikuti Ghazi yang keluar dari rumah. ''Enggak mau, sarapannya nasi goreng mulu, Gazi pengen cumi, Mah!'' Langkah Gina terhenti di ambang pintu, menatap kepergian putranya. Perih Gina rasakan, bukan karena sikap Ghazi padanya, namun karena dia yang bahkan tidak bisa mengabulkan apa yang putranya inginkan. ''Mah, Gavin mau sarapan.,'' ujar Gavin. Melihat raut wajah sedih sang ibu, dia sangat kesal pada Ghazi yang bersikap tidak sopan. Gina berbalik dan bergegas menyelesaikan masakannya. Gina tahu Gavin mungkin marah pada sang adik, wanita itu tersenyum penuh pengertian. ''Mamah enggak pa-pa, kok, Vin. Jangan cemberut kaya gitu.'' ''Belanjaan Mamah di ambil sama orang tua itu lagi, ya, Mah?''
''Terserah.,'' ujar Gina dengan acuh, sama sekali tidak peduli apakah Bagas akan menunggunya atau tidak.Pukul enam sore, waktu di mana Gina dan Sri harus menutup warteg tiba. Gina membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang saat dia selesai menutup warteg.''Huh, mana? Katanya laki-laki tadi nungguin, Mbak, tapi kok sekarang enggak ada?'' Sri celingak-celinguk di sebelah Gina, menatap bolak-balik sekeliling warteg dengan ekspresi seolah ingin tertawa. ''Mbak pasti udah geer banget, kan mau di tungguin sama cowok ganteng. Hehehe, taunya bohong!''Gina menggelengkan kepalanya mendengar apa yang Sri katakan. Gina tahu jika Sri tengah mengolok-oloknya, tapi dia tidak peduli, melenggang pergi meninggalkan Sri di sana. Sri yang di tinggalkan mendengus dengan keras, lalu bergegas mencari tukang ojek untuk pulang.Masuk ke perkampungan, jalanan di sekelilingnya penuh dengan pepohonan dan rumput di setiap sisi jalannya. Hanya ada satu lampu yang mene
Gina berbaring di atas tempat tidur, mencoba memaksa kelopak matanya agar tertutup. Tapi nihil, dia sama sekali tidak mengantuk. Lagi pula siapa yang akan mengantuk jika melihat orang yag dengan sengaja dia dorong berdarah-darah.Pikirannya terus berkelana pada kejadian di mana dia melihat darah membasahi pakaian yang Bagas pakai. Bangkit dari kasur, Gina menghela nafas berat, menoleh untuk melihat putriya, Binar, yang sudah tertidur lelap. Gina keluar dari kamar, setelah memastikan bahwa Ghazi dan Gavin juga terlelap, dia mengambil cardigan lalu keluar dari rumah.Menyusuri jalan setapak, Gina akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang dia tahu dari warga yang bergosip bahwa rumah ini di tempati oleh Bagas. Gina mengambil nagas panjang, menenangkan dirinya yang sedikit gugup. Leangan Gina terangkat, mengetuk pintu rumah dengan pelan.utuh waktu dua menit hingga akhirnya pintu rumah terbuka.''Gina?'' Bagas menatap kaget pada Gina yang berada di depan pintu rumahnya malam-malam begini.
''Aku enggak punya maksud apa pun. Gin, aku cuma mau ngasih ini buat kalian, tolong terima,'' ucap Bagas dengan nada memohon. Gina menatap makanan di tangan Bagas, menghela nafas, hendak mengambilnya saat tangan lain meraihnya lebih cepat. ''Wah ayam!'' Itu adalah seruan seorang wanita. ''Wanda!'' panggil Gina pada wanita muda itu. Wanda, adik tiri Gina yang lahir dari Lastri dan mantan suaminya yang sekarang berusia sembilan belas tahun. Meski sudah lulus sekolah, tetapi Wanda sama sekali tidak ada niat untuk bekerja, hanya mengandalkan Lastri dan ayah Gina yang sudah tua untuk menghidupinya.''Punya makanan enak kok enggak bilang-bilang, Mbak Gina mau aku bilangin ibu?'' Wanda menatap Gina dengan wajah menantang. ''Itu bukan punya, Mbak, Wanda,'' ucap Gina, dia mengulurkan tangan, hendak merebut kembali makanan itu dari Wanda. ''Eh!'' Wanda dengan cepat menghindar. ''Pelit amat, biasanya juga bagi-bagi kalau punya makanan enak.'' Gina menatap Bagas, ingin melihat bagaimana ek
''Masa Bapak enggak tau, memangnya almarhum ibu Pak Bagas enggak pernah ngomong?'' Mereka semua menatap Bagas dengan tatapan heran dan penuh gosip. Harap-harap cemas dengan jawaban Bagas.Bagas terdiam, tidak menyangka jika ibunya akan melakukan hal seperti itu. Bagas tahu jika selama pernikahannya dengan Gina, ibunya tidak pernah menyukai Gina, tapi Bagas tidak pernah berpikir bahwa ibunya tega mengusir Gina dan anak-anaknya dari rumah yang mereka tinggali. Rasa tak nyaman lagi-lagi menyebar dalam hati Bagas.''Pak?''Seolah tersadar, Bagas menyadari bahwa dia sedikit melamun sejak tadi. Pria itu menggeleng, berkata pada mereka, ''Saya permisi dulu, ya, Ibu-ibu.'' Bagas melenggang pergi setelah itu tanpa memperhatikan raut wajah ibu-ibu yang berubah kecewa karena Bagas tidak menjawab.Bagas berjalan tak tentu arah, setiap langkah yang Bagas ambil terasa sangat berat, dia merasa seperti telah di siram sember air es hingga tubuhnya kedinginan. Bagas mengepalkan telapak tangannya hingga
"Na, kenapa muka kamu pucat banget, kamu masih sakit?" tanya Dimas ketika dia melihat wajah Aina yang tampak tidak sehat.Aina menoleh ketika mendengar suara bertanya Dimas, dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Saya enggak pa-pa, kok, Pak!" Bibir pucat Aina terangkat, dia mencoba untuk baik-baik saja.Kening Dimas bertaut, masih merasa khawatir bahkan jika Aina berkata bahwa dia baik-baik saja. "Kamu sudah periksa ke rumah sakit?" tanya Dimas lagi."Saya cuma masuk angin, enggak perlu ke rumah sakit.""Kamu terlalu keras kepala, Na. Jangan sepelekan penyakit bahkan kalau pun itu hanya masuk angin. Saya antar kamu ke rumah sakit sekarang!" ujar Dimas dengan nada sedikit memaksa.Aina enggan, mereka masih berada di tempat kerja dan beberapa karyawan memperhatikannya. Dia takut jika Dimas mengantarnya ke rumah sakit di tengah jam kerja, pria itu akan terseret gosip karenanya. Karena Aina tahu betul jika beberapa karyawan sering memperhatikan dia dan bergosip secara diam-diam."Engg
Aina sedang duduk di atas tempat tidur saat bel pintu apartemen berdering. Aina yang sedang cemas menunggu kepulangan Gavin langsung berdiri, bergegas keluar dari kamar untuk membuka pintu.Ketika pintu apartemen dibuka, Aina melihat Gavin yang sedang di papah oleh seorang wanita yang Aina tahu dia berjama Celine."Gavin kenapa?" tanya Aina, sedikit panik melihat Gavin yang tampak tidak sadarkan diri."Gavin Mabuk, tolong minggir dulu, biar gue yang antar dia ke kamarnya!" Celine mendorong Aina ke samping, lalu dia bergegas masuk dengan susah payah. "Di mana kamar Gavin?" tanya Celine."Dudukkan di sofa aja," ujar Aina.Celine mendudukkan Gavin yang mabuk di atas sofa, wanita itu membuka jaket yang Gavin kenalan dan menyuruh Aina yang sedari tadi hanya berdiri dan menatap dari samping, "Buatin air hangat pake madu dan jeruk!"Meski hatinya merasa tidak nyaman melihat Celine yang begitu merawat Gavin, tapi dia tetap sigap melakukan hal yang Celine minta. Dia bergegas pergi ke dapur, me
Aina pulang ke apartemen. Saat dia membuka pintu dan masuk, Aina meletakan barang-barang yang dia beli, dia bahkan tidak sempat membereskan semua itu karena Aina langsung pergi ke dalam kamar mandi dan muntah lagi.Hoek, hoek, hoek.Terengah-engah, Aina menopang tubuhnya pada pinggiran wastafel. Dia berkumur, mencuci mulut dan wajahnya agar terlihat segar. Aina lalu mendongak, menatap wajah pucat nya di cermin. Pantulan dirinya di cermin terlihat sangat kuyu dengan wajah yang basah oleh air dan rambut acak-acakan.Menghela nafas, Aina keluar dari kamar mandi, dia mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur untuk menenangkan rasa mual di perutnya. Aina berharap bahwa setelah dia bangun nanti, rasa mual itu akan menghilang.***Gavin kembali ke apartemennya setelah menginap di rumah usai ulang tahun bunga, adiknya yang terakhir. Dia menekan serangkaian kata sandi, dan ketika pintu dibuka, Gavin masuk ke dalam apartemen.Suasana hening mem
Aina berdiri di trotoar, menunggu kendaraan umum yang lewat. Wanita itu celingak-celinguk, menunggu dengan cemas. Hari sudah menunjukan pukul tujuh malam, namun dia belum juga mendapati kendaraan yang lewat karena memang hujan deras baru yang diiringi oleh suara petir saja mereda. "Na, kamu mau bareng aja sama saya?" Dimas yang menghampiri Aina bertanya pada wanita itu."Enggak usah, pak. Saya bisa nunggu sebentar lagi, kok." Aina menggeleng, menolak sambil tersenyum."Kalau begitu saya temenin kamu nunggu, ini udah malem, enggak baik perempuan di pinggir jalan kaya gini." Dimas menawarkan diri."Tapi-" Aina ingin menolak, dia merasa tidak enak pada Dimas. Bagaimanapun pria itu juga pasti punya kesibukan setelah ini."Jangan nolak. Saya enggak terima penolakan." Dimas bersikukuh untuk menemani Aina.Pada akhirnya Aina dengan pasrah membiarkan Dimas menemaninya. Wanita itu sedari tadi mengguncang ponsel yang ada dalam genggamannya, menghubungi Gavin berulang kali untuk meminta jemput.
"Kamu pulang?" sapa Aina ketika dia melihat Gavin yang masuk ke dalam apartemen.Gavin mengangguk, dia membuka jaket yang dia kenakan, melemparnya ke atas sofa dengan sembarangan. "Gue lapar, ada makanan?" tanya Gavin.Aina bangkit berdiri dari sofa, dia berjalan ke arah dapur sambil menjawab, "Ada, makan sekarang apa mandi dulu?" tanya Aina."Makan sekarang," jawab Gavin.Mengangguk, Aina mengambil piring dan menyiapkan makanan untuk Gavin. Pria itu duduk di atas meja makan sambil menunggu Aina selesai menyiapkan makanan. Setelah makanan tersaji di hadapannya, Gavin mulai melahap makanannya."Perempuan yang sama kamu tadi siapa?" tanya Aina, dia bertanya dengan hati-hati agar Gavin tidak marah."Temen, kenapa?" Gavin balik bertanya tanpa menatap Aina."Enggak, keliatannya akrab banget sama kamu. Tadi kamu nelepon aku pake nomor dia?"Mengangguk, Gavin mendongak menatap wanita itu. "Kenapa, sih?" tanya Gavin.Kepala Aina menggeleng, dia menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhn
"Vin...ugh." Aina melenguh saat Gavin mengecupi di sepanjang lehernya hingga akhirnya pria itu berhenti pada dadanya yang ranum.Rasa geli menyebar ke seluruh tubuh Aina, apalagi saat bibir Gavin dengan rakus mengisap pucuk dadanya bergantian. Aina mengelus rambut kepala Gavin, membuat pria wajah pria itu terbenam di sana.Tubuh keduanya sama-sama bugil, saling mengerat satu sama lain. Keringat mereka membanjiri tubuh, ac yang tergantung di dinding sama sekali tidak mempengaruhi suhu panas di antara keduanya."Baring!" titah Gavin pada Aina.Mengangguk, Aina berbaring di atas tempat tidur sambil membuka ke dua kakinya. Nafas Gavin memberat melihat wanita itu menatapnya dari bawah dengan ekspresi yang begitu provokatif."Emh..." Aina tersentak, Gavin memasuki dirinya secara tiba-tiba.Kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap malam jika Gavin memintanya, Aina hanya menurut, bagaimana pun menurutnya Gavin adalah pria yang baik yang banyak membantunya di saat dia kesulitan. Aina sama sek
Di sebuah kamar yang remang, seorang wanita menggeliat di atas tempat tidur. Kelopak mata wanita itu terbuka, dia menguap, mencoba bangkit dari tempat tidur ketika tubuhnya tiba-tiba di peluk dengan erat pada pelukan seorang pria yang tertidur di sebelahnya."Vin, lepasin dulu!" titah Wanita yang tidak lain adalah Aina, dia mencoba menyingkirkan tangan Gavin yang melingkari pinggangnya."Sebentar aja," gumam Gavin dengan mata tertutup.Aina menghela nafas. "Ini udah siang, Vin. Katanya kamu ada kuliah jam segini?" tanya Aina dengan nada tidak berdaya.Gavin melepaskan pelukannya, dengan malas bangkit dari tempat tidur. "Sebenernya sesekali bolos juga gak pa-pa," ujar Pria itu."Kalau papah kamu tau, kamu pasti di marahin!" Aina turun dari tempat tidur, memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai. "Cepetan bangun!" titah Aina lagi pada Gavin sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi.Selesai mandi dan berpakaian, Aina keluar dari sana, dia melihat Gavin yang hanya memakai boxernya seda
"Makasih, ya, Vin. Lo udah mau nganter gue," ucap Jullia pada Gavin yang berjalan di sampingnya.Gavin mengangguk, tatapannya mengedar menatap toko-toko dan orang yang berlalu-lalang. Dia melihat sebuah gaun cantik di salah satu etalase toko, berpikir jika Aina mengenakan gaun itu pasti akan terlihat cocok dan sangat cantik. Gavin tanpa sadar tersenyum."Vin!" Julia menegur pria yang ternyata tidak memperhatikan dan mendengarkannya."Hah? Kenapa?" Gavin menoleh pada Julia dengan wajah bingung."Lo mikirin apa, sih? Gue ngomong dari tadi ternyata enggak lo dengerin!" Julia cemberut kesal.Tangan Gavin terulur, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sorry," ucap Gavin dengan rasa bersalah.Keduanya mengobrol di sepanjang perjalanan. Gavin terus mengikuti Julia meski dia tidak tahu ke mana tujuan wanita itu karena sedari tadi mereka hanya berkeliling mall.Tanpa mereka sadar, seseorang menatap keduanya di kejauhan. Gadis itu bersembunyi di salah satu tiang tinggi, melihat Julia yang tam
Seperti yang Gavin katakan, dia tidak ikut mengantar Aina hingga rumahnya, namun hanya di depan gang. Gavin ikut turun ketika Aina turun dari mobil, ia melihat ke gang yang cukup gelap di belakang karena matahari sudah terbenam."Gue anter, ya. Itu gangnya gelap banget, gimana kalau ada apa-apa?" tanya Gavin dengan khawatir.Aina menggelengkan kepalanya, dia menolak, "Enggak usah, Vin. Enggak bakalan ada apa-apa, kok. Aku udah biasa jalan sendiri.""Kalau gitu-""Wih, wih, wih!" Supri tiba-tiba datang dari arah gang, menghampiri Aina dan Gavin di sana.Gavin menatap Aina sejenak, lalu tatapannya beralih pada Supri yang datang. Dia tahu bahwa pria itu adalah ayah dari Aina, Gavin hendak menyapa dengan sopan saat Supri tiba-tiba membuka suara."Katanya cuma temen! Huh! Kalau kaya gitu ngapain kamu nangis-nangis sepatunya Bapak jual? Kan bisa beli lagi," ujar Supri sambil menoyor kepala Aina.Gavin terkejut, dia tidak menyangka jika Supri akan mengatakan itu. "Sepatunya di jual?" tanya G