Efisiensi Bagas memang sangat hebat sebagai seorang Mayor Jendral yang mengurus perceraiannya, tidak butuh waktu lama hingga Dia dan Gina akhirnya resmi berpisah, tidak lagi terikat pernikahan seperti sebelumnya.
Bagas duduk di sebuah kursi, sedang berbicara dengan ibunya di seberang telepon. "Kamu harusnya ceraikan dia dari dulu! Bisanya cuma buang-buang uang, istri kaya gitu enggak usah di pertahankan-" "Bu." Bagas memperingatkan ibunya yang terus mengoceh tentang keburukan Gina padanya. "Aku sama Gina memang udah pisah, tapi dia tetep ibu dari anak-anak, ibu enggak seharusnya ngomong kaya gitu." "Kenapa? Toh, apa yang ibu ngomongin kenyataan, kok. Nanti kalau kamu mau kirim uang buat anak-anak kamu, kirim aja lewat ibu, nanti ibu yang kasih ke mereka," ujar Ibu Bagas. Dia sedari awal tidak pernah setuju ketika putranya yang berharga memutuskan untuk menikah dengan Gina. Minah merasa bahwa Gina sangat suka membuang-buang uang. Di saat yang lain menyimpan uang untuk membeli beras, wanita itu malah menyimpan uang untuk membeli sebotol susu! Bagas bangkit berdiri dari kursi saat pintu ruangannya tiba-tiba di ketuk, pria itu berkata pada ibunya, "Bu, aku tutup dulu teleponnya, ya." Minah masih ingin mengoceh tentang kejelekan Gina, namun dia tahu bahwa putranya sangat sibuk, jadi dia menyetujui untuk menutup panggilan telepon. Bagas meletakan ponselnya di atas meja, berseru pada seseorang yang mengetuk pintu, "Masuk!" Seorang tentara masuk ke dalam ruangan Bagas setelah di persilahkan, pria itu berkata pada Bagas, "Pak, anda di panggil oleh Letnan Jendral ke ruangannya!" *** "Bu, dengar-dengar katanya Bagas cerai sama si Gina, ya?" "Iya, Bagas akhirnya sadar juga kalau istrinya itu enggak berguna!" Gina baru pulang dari pasar saat dia mendengar percakapan itu dari dalam sebuah rumah yang Gina tahu itu adalah rumah Bagas, alias rumah mantan ibu mertuanya. Wanita itu menghentikan langkahnya, mencoba mendengarkan lebih lanjut percakapan di dalam. ''Bagas itu sekarang udah punya calon lagi, namanya Serly, dokter militer. Seribu kali lebih baik dari pada si Gina. Bapaknya juga Letnan Jendral, emang paling serasi sama Bagas.'' terdengar suara Minah yang berkata dengan penuh rasa bangga pada lawan bicaranya di dalam. ''Wah, Bu Minah beruntung banget, bakalan punya menantu dokter,'' puji lawan bicara Minah, nama iu Bagas dengan penuh kekaguman.''Tapi bukannya Bagas punya tiga anak dari Gina, ya, Bu? Anak-anaknya bakalan tetep ikut Gina atau anak ibu?'' lanjut orang itu dengan penuh penasaran. Minah berdecih dan menjawab, ''Mereka, mah, buang aja ke laut! Keturunannya si Gina pasti bakalan sebelas-dua belas sama emaknya, nyusahin. Beda kalau Bagas punya anak dari ibu dokter itu, pasti keturunannya juga berkualitas, berpendidikan!'' Karena tak kuasa mendengar ucapan Minah, dia pun melenggang pergi. Hati Gina sakit, hidungnya perih, sesuatu terasa mengganjal di tenggorokannya. Di sepanjang perjalanan pulang, Gina tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang Minah katakan tentang Bagas yang sebenarnya sudah mempunyai calon istri baru yang berprofesi sebagai dokter militer di kententaraan. Lelaki brengsek itu, sembilan tahun lalu dia berjanji pada kakeknya untuk selalu menjaga Gina, namun ketika di hadapkan dengan seorang wanita yang lebih baik, sembilan tahun pernikahan bahkan Bagas rela korbankan. Sudah Gina duga sebelumnya, tidak mungkin Bagas menceraikan dia hanya karena merasa lelaki itu tidak punya banyak waktu untuk keluarga, pastilah ada alasan lain di baliknya dan sekarang Gina tahu mengapa. Setibanya di rumah, Gina langsung disambut oleh ketiga anaknya yang sedang bermain di halaman rumah. Anak-anak itu berseru-seru ketika melihat Gina. ''Mah, Mama beli apa?'' tanya Ghazi yang sudah tidak sabar ingin memakan camilan yang Gina belikan di pasar. ''Kenapa Mama lama banget?'' Kali ini Gavin yang bertanya, anak itu menatap mata ibunya yang terlihat seperti habis menangis. ''Tadi soalnya ada yang ketinggalan, jadi mama harus balik lagi,'' jawab Gina, mencoba menghilangkan bekas air mata di wajahnya. ''Mah, katanya Papah ninggalin kita, ya?'' tanya Ghazi sembari menatap manik ibunya dengan nanar. Gerakan tangan Gina yang sedang berusaha menghapus air matanya membeku di udara ketika mendengar apa yang anaknya tanyakan. ''Kamu kata siapa?'' tanya Gina. ''Kata temen-temen, banyak yang bilang, kok,'' jawab anak itu tanpa merasa ada yang salah sedikit pun. Gavin yang melihat ibunya tiba-tiba menjadi pendiam melirik pada sang adik, menyenggol kaki Ghazi di bawah meja yang menyebabkan anak itu mengaduh pelan. ''Awh!'' Ghazi melirik kakaknya dengan sebal. Gina menghela nafas, memperingatkan Gavin, ''Gavin...'' Tak mendapat jawaban, Gavin akhirnya kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya, dia sebenarnya tidak merasakan apa pun atas perceraian ke dua orang tuanya. Bagas jarang sekali berada di rumah, bagi Gavin, ada atau tidak adanya Bagas dalam hidupnya tidak mengubah apa pun. Hanya ada ibu dan kedua adiknya, selalu seperti ini bahkan ketika Gavin pertama kali mulai mengingat hal-hal penting. Melihat ibunya yang beberapa minggu belakangan ini terlihat murung, Gavin tahu bahwa ini tentang kepergian ayah mereka. Gavin sejujurnya tidak mengerti apa yang harus di sedihkan sang ibu, bukankah keberadaan dia, Binar dan Ghazi seharusnya sudah cukup? Selesainya, ketiga anaknya pergi ke kamar mereka masing-masing. Gina masuk ke dalam kamarnya, dia membuka lemari pakaian, hendak mengganti pakaiannya dengan sebuah daster yang nyaman untuk tidur. Ketika pintu lemari terbuka, Gina melihat sebuah plastik berwarna hitam yang terselip di antara tumpukan pakaian. Wanita itu mengerutkan kening, mengambil kantung keresek itu. ''Apa ini?'' tanya Gina pada dirinya sendiri. Gina mengulurkan lengannya, mengambil sesuatu dari dalam. Sebuah pakaian tidur dewasa, Gina tiba-tiba ingat bahwa dia memang pernah membelinya. Piyama tidur itu berwarna hitam dengan kain tipis yang tembus pandang. Piyama itu di beli tiga hari saat dia tahu bahwa Bagas akan pulang setelah dua tahun lamanya. Gina duduk di tempi tempat tidur sambil memegang piyama. Gina ingat betapa bahagianya dia saat itu, betapa dia berharap kepulangan Bagas. Gina terisak, membenamkan wajahnya pada piyama. Rasa sakit yang telah dia coba untuk hilangkan kembali muncul, rasanya sangat sakit ketika mengingat surat cerai yang Bagas berikan padanya saat itu. Air mata Gina luruh, di saat seperti ini, dia merindukan ayahnya yang telah lama pergi. ''Mama?'' Suara Gavin tiba-tiba terdengar, Gina mendongak, melihat putra sulungnya tengah mengintip dari balik pintu. Gina menyeka air matanya dengan cepat, tersenym sambil bertanya pada Gavin, ''Ada apa, Sayang?'' Gavin kecil membuka pintu, masuk ke dalam kamar sang ibu. ''Mama kenapa nangis?'' tanya Gavin saat melihat mata ibunya yang memerah. ''Mamah enggak nangis, kok.'' Gina membawa Gavin untuk duduk di sampingnya. ''Kenapa belum tidur?'' Gavin menggeleng dan menjawab dengan mulut cemberut, ''Enggak bisa tidur, Ma. Gavin mau tidur sama Mama.'' ''Yaudah, sekarang ayo tidur,'' Gina membaringkan Gavin di atas tempat tidur, Gavin menurut, abak itu menutup matanya sebentar lalu kembali membukanya. Gavin menatap sang ibu lama, membuat Gina mau tidak mau bertanya dengan heran, ''Kenapa?'' ''Gavin, Ghazi sama Binar enggak pa-pa, kok, kalau enggak punya papa, Mah,'' ucap anak itu tiba-tiba yang membuat Gina terkejut. ''Kamu, kok, ngomongnya kaya gitu?'' tanya Gina kaget. ''Habis, papa gak pernah ada di rumah ini, Ma. Jadi, Mama juga gak apa-apa kan, kalau sama aku, Ghazi, dan Binar saja?'' Gina tertawa dengan hati teriris, dan perlahan menganggukkan kepalanya. Dia tidak menyangka putranya akan mengatakan hal seperti itu. Untuk sesaat Gina merasa bahwa dia adalah seorang ibu yang tidak berguna karena hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya memikirkan rasa sakitnya sendiri tanpa memikirkan perasaan anak-anaknya juga. Gina egois karena berpikir hanya dia yang merasakan sakit, tapi yang lebih sakit di sini sebenarnya adalah anak-anaknya."Mbak sebaiknya segera keluar dari rumah ini, karena Tante Minah sudah menyerahkan rumah ini ke kami." Dua hari setelah pertemuan Gina dengan mertua, tiba-tiba Gina kedatangan beberapa orang tamu yang mengaku sebagai sepupu dari Bagas. "Ini rumah saya, kenapa saya harus keluar?" tanya Gina kepada wanita di seberangnya. Gina tidak menyangka, pihak dari Bagas akan datang dan dengan tidak tahu malu menyuruhnya pergi."Mbak, kan, sudah bercerai sama Mas Bagas, jadi ini bukan rumah milik Mbak lagi. Tolong minggir, kami mau masuk!" Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah dengan paksa, diikuti oleh dua anak kecil dan satu pria dewasa.Gina menarik wanita berpakaian ketat itu, menghentikannya untuk masuk. "Pergi atau saya lapor kepala desa buat usir kalian!"Dua anak dari wanita itu dengan senang masuk ke dalam rumah, tertawa melihat rumah yang begitu bagus akan mereka tempati."Ma! Ma! Aku mau tidur di kamar sendiri!" ujar salah satu anak dengan riang."Iya, Sayang, mulai sekarang kamu dan
'Kenapa pria itu ada di kota ini?' itu adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran Gina ketika melihat Bagas. Tatapan keduanya bertemu sebelum akhirnya mobil yang bagas tumpangi melaju pergi. Gina menurunkan matanya, mencoba untuk membuat jantungnya tetap tenang. Selama empat tahun, Bagas tidak pernah menjenguk anak-anaknya, seolah sejak mereka bercerai, bukan hanya Gina yang dia tinggalkan, namun juga Gavin, Ghazi dan Binar. Ibu Bagas meninggal tiga tahun lalu, selain pemakaman ibunya, Bagas tidak pernah datang ke kampung. Gina bangkit berdiri, remaja SMA di sebelahnya masih mengobrol tentang pria mana saja yang paling tampan. "Mbak Gina ini dicuci dong, duduk aja dari tadi," ujar Sri pada Gina. Gina melongos tidak peduli. "Kamu aja yang cuci, tadi Mbak udah nyuci yang lain. Itu sisanya," balas Gina. Tidak sengaja bertatapan dengan Bagas benar-benar menguras energinya. Sri berdecak kesal, cemberut sambil mencuci piring-piring kotor. "Awas aja, aku adukan sama tante! Di pecat
Keesokan harinya, pukul setengah lima pagi. Gina sudah bangun dari tidurnya. Dia mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Aktivitas pagi yang sudah Gina lakukan selama bertahun-tahun tanpa jeda satu hari pun. Pukul enam ketika rumah selesai dia urus, Gina pergi ke luar untuk mencari tukang sayur yang biasanya lewat.Hari ini Gina berniat untuk memasak cumi, makanan kesukaan ke tiga anaknya. Saat tiba di tukang sayur, Gina langsung bertanya pada si penjual, ''Hari ini cumi ada, Mang?''''Ada, BU Gina. Kebetulan cuminya tinggal satu.'' Penjual sayur itu mengambil kantung keresek berisikan cumi di bawah gerobaknya, menyerahkannya pada Gina.Gina tersenyum, mengambil cumi yang si penjual serahkan.''Mau masak cumi, ya, Bu?'' tanya ibu-ibu lain pada Gina.''Iya, Bu. Kemarin anak-anak bilang kalau mereka pengen makan cumi,'' jawab Gina.''Anak saya juga kemaren pengen makan ayam, eh si Mamang malah enggak bawa ayam!'' sahut yang lainnya.''Bukan enggak bawa, Bu. Tapi habis, saya cuma bawa
''Ghazi!'' Gavin menegur adiknya. Ghazi tidak peduli sama sekali, hatinya kesal karena sang ibu yang beberapa kali berjanji akan memasakan makanan kesukaannya, namun tidak pernah terjadi. ''Mama mau buat nasi goreng sama bakwan jagung, loh, Zi. Kamu beneran enggak mau?'' tanya Gina sambil mengikuti Ghazi yang keluar dari rumah. ''Enggak mau, sarapannya nasi goreng mulu, Gazi pengen cumi, Mah!'' Langkah Gina terhenti di ambang pintu, menatap kepergian putranya. Perih Gina rasakan, bukan karena sikap Ghazi padanya, namun karena dia yang bahkan tidak bisa mengabulkan apa yang putranya inginkan. ''Mah, Gavin mau sarapan.,'' ujar Gavin. Melihat raut wajah sedih sang ibu, dia sangat kesal pada Ghazi yang bersikap tidak sopan. Gina berbalik dan bergegas menyelesaikan masakannya. Gina tahu Gavin mungkin marah pada sang adik, wanita itu tersenyum penuh pengertian. ''Mamah enggak pa-pa, kok, Vin. Jangan cemberut kaya gitu.'' ''Belanjaan Mamah di ambil sama orang tua itu lagi, ya, Mah?''
''Terserah.,'' ujar Gina dengan acuh, sama sekali tidak peduli apakah Bagas akan menunggunya atau tidak.Pukul enam sore, waktu di mana Gina dan Sri harus menutup warteg tiba. Gina membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang saat dia selesai menutup warteg.''Huh, mana? Katanya laki-laki tadi nungguin, Mbak, tapi kok sekarang enggak ada?'' Sri celingak-celinguk di sebelah Gina, menatap bolak-balik sekeliling warteg dengan ekspresi seolah ingin tertawa. ''Mbak pasti udah geer banget, kan mau di tungguin sama cowok ganteng. Hehehe, taunya bohong!''Gina menggelengkan kepalanya mendengar apa yang Sri katakan. Gina tahu jika Sri tengah mengolok-oloknya, tapi dia tidak peduli, melenggang pergi meninggalkan Sri di sana. Sri yang di tinggalkan mendengus dengan keras, lalu bergegas mencari tukang ojek untuk pulang.Masuk ke perkampungan, jalanan di sekelilingnya penuh dengan pepohonan dan rumput di setiap sisi jalannya. Hanya ada satu lampu yang mene
Gina berbaring di atas tempat tidur, mencoba memaksa kelopak matanya agar tertutup. Tapi nihil, dia sama sekali tidak mengantuk. Lagi pula siapa yang akan mengantuk jika melihat orang yag dengan sengaja dia dorong berdarah-darah.Pikirannya terus berkelana pada kejadian di mana dia melihat darah membasahi pakaian yang Bagas pakai. Bangkit dari kasur, Gina menghela nafas berat, menoleh untuk melihat putriya, Binar, yang sudah tertidur lelap. Gina keluar dari kamar, setelah memastikan bahwa Ghazi dan Gavin juga terlelap, dia mengambil cardigan lalu keluar dari rumah.Menyusuri jalan setapak, Gina akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang dia tahu dari warga yang bergosip bahwa rumah ini di tempati oleh Bagas. Gina mengambil nagas panjang, menenangkan dirinya yang sedikit gugup. Leangan Gina terangkat, mengetuk pintu rumah dengan pelan.utuh waktu dua menit hingga akhirnya pintu rumah terbuka.''Gina?'' Bagas menatap kaget pada Gina yang berada di depan pintu rumahnya malam-malam begini.
''Aku enggak punya maksud apa pun. Gin, aku cuma mau ngasih ini buat kalian, tolong terima,'' ucap Bagas dengan nada memohon. Gina menatap makanan di tangan Bagas, menghela nafas, hendak mengambilnya saat tangan lain meraihnya lebih cepat. ''Wah ayam!'' Itu adalah seruan seorang wanita. ''Wanda!'' panggil Gina pada wanita muda itu. Wanda, adik tiri Gina yang lahir dari Lastri dan mantan suaminya yang sekarang berusia sembilan belas tahun. Meski sudah lulus sekolah, tetapi Wanda sama sekali tidak ada niat untuk bekerja, hanya mengandalkan Lastri dan ayah Gina yang sudah tua untuk menghidupinya.''Punya makanan enak kok enggak bilang-bilang, Mbak Gina mau aku bilangin ibu?'' Wanda menatap Gina dengan wajah menantang. ''Itu bukan punya, Mbak, Wanda,'' ucap Gina, dia mengulurkan tangan, hendak merebut kembali makanan itu dari Wanda. ''Eh!'' Wanda dengan cepat menghindar. ''Pelit amat, biasanya juga bagi-bagi kalau punya makanan enak.'' Gina menatap Bagas, ingin melihat bagaimana ek
''Masa Bapak enggak tau, memangnya almarhum ibu Pak Bagas enggak pernah ngomong?'' Mereka semua menatap Bagas dengan tatapan heran dan penuh gosip. Harap-harap cemas dengan jawaban Bagas.Bagas terdiam, tidak menyangka jika ibunya akan melakukan hal seperti itu. Bagas tahu jika selama pernikahannya dengan Gina, ibunya tidak pernah menyukai Gina, tapi Bagas tidak pernah berpikir bahwa ibunya tega mengusir Gina dan anak-anaknya dari rumah yang mereka tinggali. Rasa tak nyaman lagi-lagi menyebar dalam hati Bagas.''Pak?''Seolah tersadar, Bagas menyadari bahwa dia sedikit melamun sejak tadi. Pria itu menggeleng, berkata pada mereka, ''Saya permisi dulu, ya, Ibu-ibu.'' Bagas melenggang pergi setelah itu tanpa memperhatikan raut wajah ibu-ibu yang berubah kecewa karena Bagas tidak menjawab.Bagas berjalan tak tentu arah, setiap langkah yang Bagas ambil terasa sangat berat, dia merasa seperti telah di siram sember air es hingga tubuhnya kedinginan. Bagas mengepalkan telapak tangannya hingga