''Terserah.,'' ujar Gina dengan acuh, sama sekali tidak peduli apakah Bagas akan menunggunya atau tidak.Pukul enam sore, waktu di mana Gina dan Sri harus menutup warteg tiba. Gina membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang saat dia selesai menutup warteg.''Huh, mana? Katanya laki-laki tadi nungguin, Mbak, tapi kok sekarang enggak ada?'' Sri celingak-celinguk di sebelah Gina, menatap bolak-balik sekeliling warteg dengan ekspresi seolah ingin tertawa. ''Mbak pasti udah geer banget, kan mau di tungguin sama cowok ganteng. Hehehe, taunya bohong!''Gina menggelengkan kepalanya mendengar apa yang Sri katakan. Gina tahu jika Sri tengah mengolok-oloknya, tapi dia tidak peduli, melenggang pergi meninggalkan Sri di sana. Sri yang di tinggalkan mendengus dengan keras, lalu bergegas mencari tukang ojek untuk pulang.Masuk ke perkampungan, jalanan di sekelilingnya penuh dengan pepohonan dan rumput di setiap sisi jalannya. Hanya ada satu lampu yang mene
Gina berbaring di atas tempat tidur, mencoba memaksa kelopak matanya agar tertutup. Tapi nihil, dia sama sekali tidak mengantuk. Lagi pula siapa yang akan mengantuk jika melihat orang yag dengan sengaja dia dorong berdarah-darah.Pikirannya terus berkelana pada kejadian di mana dia melihat darah membasahi pakaian yang Bagas pakai. Bangkit dari kasur, Gina menghela nafas berat, menoleh untuk melihat putriya, Binar, yang sudah tertidur lelap. Gina keluar dari kamar, setelah memastikan bahwa Ghazi dan Gavin juga terlelap, dia mengambil cardigan lalu keluar dari rumah.Menyusuri jalan setapak, Gina akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang dia tahu dari warga yang bergosip bahwa rumah ini di tempati oleh Bagas. Gina mengambil nagas panjang, menenangkan dirinya yang sedikit gugup. Leangan Gina terangkat, mengetuk pintu rumah dengan pelan.utuh waktu dua menit hingga akhirnya pintu rumah terbuka.''Gina?'' Bagas menatap kaget pada Gina yang berada di depan pintu rumahnya malam-malam begini.
''Aku enggak punya maksud apa pun. Gin, aku cuma mau ngasih ini buat kalian, tolong terima,'' ucap Bagas dengan nada memohon. Gina menatap makanan di tangan Bagas, menghela nafas, hendak mengambilnya saat tangan lain meraihnya lebih cepat. ''Wah ayam!'' Itu adalah seruan seorang wanita. ''Wanda!'' panggil Gina pada wanita muda itu. Wanda, adik tiri Gina yang lahir dari Lastri dan mantan suaminya yang sekarang berusia sembilan belas tahun. Meski sudah lulus sekolah, tetapi Wanda sama sekali tidak ada niat untuk bekerja, hanya mengandalkan Lastri dan ayah Gina yang sudah tua untuk menghidupinya.''Punya makanan enak kok enggak bilang-bilang, Mbak Gina mau aku bilangin ibu?'' Wanda menatap Gina dengan wajah menantang. ''Itu bukan punya, Mbak, Wanda,'' ucap Gina, dia mengulurkan tangan, hendak merebut kembali makanan itu dari Wanda. ''Eh!'' Wanda dengan cepat menghindar. ''Pelit amat, biasanya juga bagi-bagi kalau punya makanan enak.'' Gina menatap Bagas, ingin melihat bagaimana ek
''Masa Bapak enggak tau, memangnya almarhum ibu Pak Bagas enggak pernah ngomong?'' Mereka semua menatap Bagas dengan tatapan heran dan penuh gosip. Harap-harap cemas dengan jawaban Bagas.Bagas terdiam, tidak menyangka jika ibunya akan melakukan hal seperti itu. Bagas tahu jika selama pernikahannya dengan Gina, ibunya tidak pernah menyukai Gina, tapi Bagas tidak pernah berpikir bahwa ibunya tega mengusir Gina dan anak-anaknya dari rumah yang mereka tinggali. Rasa tak nyaman lagi-lagi menyebar dalam hati Bagas.''Pak?''Seolah tersadar, Bagas menyadari bahwa dia sedikit melamun sejak tadi. Pria itu menggeleng, berkata pada mereka, ''Saya permisi dulu, ya, Ibu-ibu.'' Bagas melenggang pergi setelah itu tanpa memperhatikan raut wajah ibu-ibu yang berubah kecewa karena Bagas tidak menjawab.Bagas berjalan tak tentu arah, setiap langkah yang Bagas ambil terasa sangat berat, dia merasa seperti telah di siram sember air es hingga tubuhnya kedinginan. Bagas mengepalkan telapak tangannya hingga
''Gimana caranya? Aku bahkan enggak uang uang buat beli sayuran, gimana caranya aku ngehubungin kamu?'' ''Gimana bisa kamu enggak punya uang? Jelas-jelas aku selalu rutin ngirim uang buat kamu dan anak-anak! Kamu bisa beli handphone-'' kalimat Bagas tiba-tiba terhenti, seolah menebak sesuatu, pria itu menatap Gina dengan tatapan kosong. ''dari dulu sampai sekarang, aku enggak pernah nerima sepeserpun uang dari kamu. Kamu pikir, kalau aku punya uang, setelah ibu kamu ngusir aku dan anak-anak, aku masih bakalan bawa mereka tinggal di kontrakan kaya gini?'' ''Itu enggak mungkin, ibu bukan orang seperti itu.'' Bagas bergumam dengan suara serak. ''Nyatanya ibu kamu memang orang yang seperti itu,'' balas Gina.Melihat Bagas yang hanya diam, Gina menghela nafasnya, "Ayo masuk, jangan di luar. Malu kalau tetangga liat!"Pria itu mengangguk, mengikuti Gina masuk ke dalam kontrakan. Karena tidak ada meja atau pun kursi, Bagas duduk di atas lantai yang dilapisi oleh karpet."Mau minum?" tany
Gina pergi ke tempat kerja dengan perasaan yang campur aduk setelah memberikan Binar pada Bagas. Harusnya tidak apa-apa, kan, karena bagaimana pun Bagas adalah ayahnya.Seperti biasa, di tempat kerja Gina di sambut oleh Sri yang menatapnya dengan wajah cemberut dan kata-kata kasar. Dan seperti biasanya pula, Gina tidak pernah menanggapi dengan serius umpatan wanita muda itu."Nanti kamu jadi tua, loh, Sri, marah-marah terus kaya gini," ujar Gina dengan senyum bercanda."Yang penting enggak kaya lo-" Kalimat Sri terhenti ketika dia melihat wajah Gina yang masih sangat cantik untuk wanita yang usianya sudah memasuki kepala tiga. Dia sangat iri hingga tidak bisa menahan gertakan gigi. "Sewot!" kata Sri pada akhirnya. ***"Makasih, Om!" ucap Binar dengan bersemangat saat Bagas benar-benar memberikannya sebuah eskrim.Bagas tersenyum, mengusap pipi putrinya dengan pelan. "Coba panggil Papa, nanti lain kali Papa belikan lagi!" titah Bagas sambil mengiming-imingi Binar.Binar menatap Bagas
''Binar mau sama Om!'' Binar memberontak dari pelukan kakaknya, berlari menuju Bagas. Melihat ke dua adiknya yang tidak mengindahkan apa yang dia katakan, Gavin kesal bukan main. Remaja itu terengah karena marah, masuk ke dalam kamar dan membanting pintu dengan keras. Bunyi 'bruk' tersengar memekikan telinga. Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya, sama sekali tidak marah atau kesal atas perlakuan Gavin padanya. Bagas tahu bahwa kemungkinan besar Gavin membenci dia, itu sepenuhnya salah Bagas, dia yang absen bertahun-tahun dalam tumbuh kembang anaknya, dia yang terlalu acuh hingga membiarkan anak-anaknya menjalani kehidupan yang begitu sulit. ''Ghazi, makan!'' titah Bagas lagi pada Ghazi yang terus menatap pintu kamar yang kakaknya banting. Ghazi mengangguk senang, sangat senang hingga kemudia dia melupakan pesan Gavin untuk menjauhi Bagas. Ke dua anak itu makan dengan sangat lahap, Bagas tersenyum, namun hatinya perih bukan main. ''Makan yang banyak,'' ucap Bagas pelan. Di dalam k
''Ayo kita lupain semua hal yang terjadi di masalalu, Mas. Tentang kamu, tentang aku, tentang kita dan semua yang terjadi setelah itu. Fokus kita sekarang sebagai orang tua adalah anak-anak, apa kamu mau ninggalin mereka lagi?'' tanya Gina di akhir kalimatnya. Bagas refleks menggelengkan kepalanya. Gina tersenyum, membuang semua kesedihan yang tadi dia rasakan. ''Kalau gitu sekarang jangan ungkit masalalu.'' Setelah mengatakan itu Gina berbalik, kembali melanjutkan langkah kakinya. Bagas menatap punggung kurus wanita itu, dia merasa bahwa Gina kini terlihat sangat jauh, seolah keduanya tidak lagi berada di dunia yang sama. Melonggarkan kepalan tangannya, Bagas kembali mengikuti di belakang Gina. ''Makasih udah jemput aku, tapi lain kali kamu enggak usah lakuin ini. Aku udah terbiasa jalan sendirian bolak-balik, gimana pun aku kerja di sana bukan cuma satu dua hari aja, tapi udah leih dari satu tahun,'' ujar Gina setelah mereka tiba di depan kontrakannya. ''Aku masuk dulu.'' Gina ma