Gina pergi ke tempat kerja dengan perasaan yang campur aduk setelah memberikan Binar pada Bagas. Harusnya tidak apa-apa, kan, karena bagaimana pun Bagas adalah ayahnya.Seperti biasa, di tempat kerja Gina di sambut oleh Sri yang menatapnya dengan wajah cemberut dan kata-kata kasar. Dan seperti biasanya pula, Gina tidak pernah menanggapi dengan serius umpatan wanita muda itu."Nanti kamu jadi tua, loh, Sri, marah-marah terus kaya gini," ujar Gina dengan senyum bercanda."Yang penting enggak kaya lo-" Kalimat Sri terhenti ketika dia melihat wajah Gina yang masih sangat cantik untuk wanita yang usianya sudah memasuki kepala tiga. Dia sangat iri hingga tidak bisa menahan gertakan gigi. "Sewot!" kata Sri pada akhirnya. ***"Makasih, Om!" ucap Binar dengan bersemangat saat Bagas benar-benar memberikannya sebuah eskrim.Bagas tersenyum, mengusap pipi putrinya dengan pelan. "Coba panggil Papa, nanti lain kali Papa belikan lagi!" titah Bagas sambil mengiming-imingi Binar.Binar menatap Bagas
''Binar mau sama Om!'' Binar memberontak dari pelukan kakaknya, berlari menuju Bagas. Melihat ke dua adiknya yang tidak mengindahkan apa yang dia katakan, Gavin kesal bukan main. Remaja itu terengah karena marah, masuk ke dalam kamar dan membanting pintu dengan keras. Bunyi 'bruk' tersengar memekikan telinga. Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya, sama sekali tidak marah atau kesal atas perlakuan Gavin padanya. Bagas tahu bahwa kemungkinan besar Gavin membenci dia, itu sepenuhnya salah Bagas, dia yang absen bertahun-tahun dalam tumbuh kembang anaknya, dia yang terlalu acuh hingga membiarkan anak-anaknya menjalani kehidupan yang begitu sulit. ''Ghazi, makan!'' titah Bagas lagi pada Ghazi yang terus menatap pintu kamar yang kakaknya banting. Ghazi mengangguk senang, sangat senang hingga kemudia dia melupakan pesan Gavin untuk menjauhi Bagas. Ke dua anak itu makan dengan sangat lahap, Bagas tersenyum, namun hatinya perih bukan main. ''Makan yang banyak,'' ucap Bagas pelan. Di dalam k
''Ayo kita lupain semua hal yang terjadi di masalalu, Mas. Tentang kamu, tentang aku, tentang kita dan semua yang terjadi setelah itu. Fokus kita sekarang sebagai orang tua adalah anak-anak, apa kamu mau ninggalin mereka lagi?'' tanya Gina di akhir kalimatnya. Bagas refleks menggelengkan kepalanya. Gina tersenyum, membuang semua kesedihan yang tadi dia rasakan. ''Kalau gitu sekarang jangan ungkit masalalu.'' Setelah mengatakan itu Gina berbalik, kembali melanjutkan langkah kakinya. Bagas menatap punggung kurus wanita itu, dia merasa bahwa Gina kini terlihat sangat jauh, seolah keduanya tidak lagi berada di dunia yang sama. Melonggarkan kepalan tangannya, Bagas kembali mengikuti di belakang Gina. ''Makasih udah jemput aku, tapi lain kali kamu enggak usah lakuin ini. Aku udah terbiasa jalan sendirian bolak-balik, gimana pun aku kerja di sana bukan cuma satu dua hari aja, tapi udah leih dari satu tahun,'' ujar Gina setelah mereka tiba di depan kontrakannya. ''Aku masuk dulu.'' Gina ma
Tiga hari kemudian, tiga mobil mewah masuk ke dalam kampung. Datangnya mobil-mobil mewah itu menarik perhatian banyak orang, terutama warga desa yang jarang melihat mobil sebagus itu datang ke desa, kecuali Bagas yang memang masih merupakan warga desa mereka. ''Siapa itu mobil rame-rame?'' tanya salah seorang yang melihat pada rekannya.''Arahnya, sih, ke rumah pak Bagas,'' jawab yang lain.''Oh, pantes kalau gitu.'' Apa yang di katakan mereka benar, ketiga mobil itu berhenti di di halaman rumah yang Bagas tempati. Bagas sepertinya sudah tahu bahwa akan datang tamu ke kediamannya, dia berdiri di halaman rumah, menunggu orang-orang di dalam mobil keluar. Yang pertama keluar dari mobil adalah seorang pria muda yang memakai seragam militer. Saat dia berdiri di hadapan Bagas, pria muda itu langsung memberi hormat militer. ''Ini bukan di militer, jadi bersikap biasa saja,'' ujar Bagas sambil menepuk pundak pemuda itu.''Baik, Pak!'' balasnya dengan lantang.Tidak lama kemudian yang lai
Hampir satu jam mencari, keduanya semakin panik karena mereka belum juga menemukan Binar padahal satu kampung telah Ghazi dan Gavin telusuri.''Apa kita bilang mama aja, Kak?'' tanya Ghazi, matanya semerah kelinci, takut sang adik benar-benar hilang karena kecerobohannya.''Ish, jangan dulu, nanti mama panik, gimana,'' jawab Gavin.Remaja itu berdiri dengan wajah termenung, mengingat-ingat tempat mana lagi yang belum mereka datangi. Beberapa menit berpikir, satu nama muncul di benak Gavin. Masih ada satu tempat yang belum mereka lihat, yaitu rumah yang di tempati Bagas. Gavin sedikit mendongak, menatap jalanan yang akan membawanya menuju rumah Bagas.''Ayo pergi!'' ajak Gavin pada sang adik.Ghazi mengangguk, anak itu sedikit terisak. Keduanya berjalan, Ghazi mengikuti di belakang kakaknya, keniingnya berkerut saat menyadari ke mana arah tujuan Gavin.''Kenapa ke rumah papah?'' tanya Ghazi.Gavin menjawab dengan singkat, ''Binar mungkin ada di sini.''Adiknya hanya mengangguk. Ketika
Di tengah perjalana ketika Gina berjalan pulang dari tempat kerjanya, dia bertemu dengan Lasti, ibu tirinya yang tampak sedang terburu-buru.''Ibu,'' sapa Gina.Lastri mendengus ketika melihatnya. Wanita tua itu tampak menatap Gina dengan tatapan menelisik, membuat Gina bertanya-tanya akan apa yang ibu tirinya pikirkan.''Huh, pantesan aja dulu kamu di cerein sama Bagas, jauh banget bedanya sama calon istrinya yang sekarang!'' dengus Lastri.Gina sama sekali tidak mengerti apa maksud ibu tirinya mengatakan hal seperti itu. Lastri yang melihat Gina hanya diam kemudian kembali berkata, ''Mendingan kamu rayu lagi Bagas supaya mau balikan sama kamu, mumpung dia belum nikah lagi. Dulu, kan, kamu paling jago ngerayu laki-laki.''''Bu, aku enggak pernah ngerayu siapa pun. Dan aku sama sekali enggak bernah berpikir buat balikan lagi sama mas Bagas,'' sangkal Gina atas tuduhan Lastri.''Halah, udah jelek aja bilangnya enggak pernah ngerayu siapa pun. Tuh kamu liat sana, calon istri Bagas katan
Tempat tinggal sementara untuk dokter Serly akhirnya terselesaikan. Wanita itu ikut tinggal bersama seorang janda anak dua yang rumahnya tidak jauh dari rumah yang Bagas tempati. Serly sangat kesal dan jijik melihat tempat tidur lantai yang hanya di lapisi oleh karpet tipis."Maaf, ya, Bu Dokter Kami cuma punya ini buat tidur," ucap si pemilik rumah bernama Marni.Serly tersenyum meski hatinya memaki-maki. "Enggak pa-pa, kok. Saya bisa tidur di mana aja." Dia bersandiwara dengan sangat sempurna hingga orang lain tidak bisa melihat kekesalannya. Hanya kelembutan dan keramahan."Aduh, Bu Dokter baik sekali. Kalau gitu selamat tidur, ya, Bu!" Marni keluar dari kamar setelah mendapatkan anggukkan dari Serly.Setelah kepergian Marni, Serly membanting dompetnya dengan kesal. "Sial!" Wanita itu terengah-engah, berdecak marah.***Di setiap pagi, Bagas seperti biasa berolahraga, berlari pagi mengelilingi desa. Pria itu mengenakan kaus tanpa lengan dan celana training yang memperlihatkan denga
Bagas terkejut dengan apa yang Ghazi sampaikan. Dia lalu bergegas keluar, berlari dengan cepat ke rumah Gina. Bagas bahkan lupa bahwa dia hanya mengenakan celana tanpa baju. Jantunya berpacu dengan cepat, keringat mengalir pada pelipis pria itu padahal jarak antara rumahnya dan Gina tidak begitu jauh. Ketika Bagas tiba di sana, hal pertama yang dia lihat adalah Gina yang sedang menangis tergugu di sana dengan Gavin di pangkuannya. Remaja berusia empat belas tahun itu tidak sadarkan diri dengan begitu banyak darah mengalir keluar dari kepalanya. ''Mas!'' seru Gina, entah mengapa hatinya merasa sedikit lega dengan datangnya Bagas. ''Jangan panik, ambil kain, mau baju atau celana terserah!'' titah Bagas, terengah-engah melihat kondiri putra sulungnya. Gina mengangguk, dia menyerahkan Gavin pada Bagas sepenuhnya. Wanita itu buru-buru embawakan Bagas kain sesuai dengan apa yang pria itu perintahkan. Bagas membungkus kepala Gavin dengan kain agar darahnya tidak terus keluar, dia lalu me