Bagas terkejut dengan apa yang Ghazi sampaikan. Dia lalu bergegas keluar, berlari dengan cepat ke rumah Gina. Bagas bahkan lupa bahwa dia hanya mengenakan celana tanpa baju. Jantunya berpacu dengan cepat, keringat mengalir pada pelipis pria itu padahal jarak antara rumahnya dan Gina tidak begitu jauh. Ketika Bagas tiba di sana, hal pertama yang dia lihat adalah Gina yang sedang menangis tergugu di sana dengan Gavin di pangkuannya. Remaja berusia empat belas tahun itu tidak sadarkan diri dengan begitu banyak darah mengalir keluar dari kepalanya. ''Mas!'' seru Gina, entah mengapa hatinya merasa sedikit lega dengan datangnya Bagas. ''Jangan panik, ambil kain, mau baju atau celana terserah!'' titah Bagas, terengah-engah melihat kondiri putra sulungnya. Gina mengangguk, dia menyerahkan Gavin pada Bagas sepenuhnya. Wanita itu buru-buru embawakan Bagas kain sesuai dengan apa yang pria itu perintahkan. Bagas membungkus kepala Gavin dengan kain agar darahnya tidak terus keluar, dia lalu me
"Gavin di pindahin ke ruang Vip, dia udah di tangani sama dokter," ujar Bagas ketika dia melihat Gina yang sudah membersihkan diri dan berganti pakaian berjalan mendekat ke arahnya.Gina menghela nafas lega, seolah batu besar yang menekan dadanya telah di angkat. Bagas membawa Gina ke ruang rawat yang Gavin tempati. Ketika keduanya masuk, Gavin masih berbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit dengan perban melilit kepalanya.Gina ingin menangis lagi melihat putranya dalam keadaan seperti itu."Dia udah enggak pa-pa, Gin. Tinggal nunggu siuman aja." Bagas mengusap punggung Gina dengan lembut.Dalam hidupnya, Bagas tidak pernah begitu panik. Bahkan ketika peluru lawan melukai tubuhnya, dia akan sangat tenang. Ini pertama kalinya jantung Bagas berdetak kencang melihat seseorang terluka dan itu adalah putranya.Mengangguk, Gina mengusap sudut matanya. Bagas membawa Gina duduk di atas sofa, wanita itu menatap lurus pada sang putra, jantungnya hampir berhenti ketika melihat putranya
Gina mengangguk, tidak mengatakan apa pun lagi. Toh, itu bukan urusannya.Sehabis maghrib, Bagas pergi menjemput ke dua anaknya yang dia titipkan di rumah pak rt. Ke dua anak itu berteriak kegirangan begitu melihat Bagas datang."Papah!" Binar langsung berlari ke dalam pelukan sang ayah."Kalian udah makan?" tanya Bagas.Ghazi menganggukkan kepalanya dan menjawab. "Udah, kok, Pah."Membawa ke dua anaknya, Bagas berterima kasih pada keluarga pak rt lalu berpamitan. Dia membawa mereka ke rumah sakit."Kak Ghazi udah enggak pa-pa, kan, Pah?" tanya Ghazi yang duduk di kursi belakang bersama Binar."Kakak kamu udah siuman, kok. Mamah di sana lagi jagain," jawab Bagas sambil tersenyum."Itu salahnya nenek sihir sama anak nenek sihir!" Ghazi cemberut.Binar yang duduk di sebelah Ghazi juga mengangguk. "Nenek sihir jahat! Anak nenek sihir juga jahat!"Alis Bagas terangkat, menatap Ghazi dari kaca. "Nenek sihir?" Bagas menebak siapa 'nenek sihir' yang keluar dari mulut putra dan putrinya, kemu
"Aku cuma khawatir sama kamu, Mas." Serly tidak terima atas teguran Bagas padanya. "Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa cuma karena satu ornag yang enggak khawatir sama kamu." Serly merasa tidak ad ayang salah dengan ucapannya, jelas dia mengatakan hal jujur dan benar, kenapa sekarang Bagas menatapnya menjadi lebih tajam dan menakutkan."Terimakasih karena sudah mau menjenguk anak saya, Dokter Serly. Sekarang sebaiknya kamu pulang karena ini sudah larut!"Serly cemberut, tahu jika Gina mengusirnya. Beraninya wanita rendahan itu menyuruh dia pergi. Seharusnya menjadi kehormatan bagi Gina karena dia bersedia datang! Huh! Siapa juga yang mau datang jika bukan karena Bagas."Mas, kamu bisa antar aku pulang gak? Soalnya ini udah malem, aku takut enggak ada kendaraan," pinta Serly pada Bagas.Wanita itu sangat percaya diri bahwa Bagas akan bersedia mengantarnya."Mas, kamu mending pulang juga, biar aku dan anak-anak yang di sini. Kamu pasti juga punya banyak urusan." Gina akhirnya angkat suara
Gina tertidur tidak setelah itu. Berbanding terbalik dengan Gina, Bagas masih terjaga, menatap Gina yang terlelap. Pria itu menatap lama sekali, dia sudah lama tidak melihat wajah Gina yang begitu damai. Wanita itu biasanya akan menunjukan raut acuh atau cemberut padanya.Bagas mengulurkan lengannya, ingin menyingkirkan anak rambut yang sedikit menutupi wajah wanita itu. Namun belum sampai tangannya mencapai Gina, Binar yang tertidur di sebelahnya menggeliat hingga membuat Bagas mengurungkan niatnya. Dia beralih mengusap punggung anak itu dengan lembut.Malam berlalu dengan keheningan dan kedamaian. Ini pertama kalinya Bagas merasakan kembali malam yang begitu hangat sejak beberapa tahun lalu dia dan Gina bercerai.Keesokan harinya, Gina bangun pukul delapan pagi. Wanita itu segera bangkit dari tempat tidur, Bagas dan ke dua anaknya sudah tidak kelihatan, Gina lalu melipat kembali tempat tidur dan menyimpannya ke pojokan."Mamah udah bangun?" tanya Gavin yang sudah sedari tadi terjaga
Tiba di rumah, Bagas memindahkan barang-barang ke dalam. Di susul Gina yang membantu anak-anaknya keluar dari mobil."Vin, kamu istirahat ke kamar!" titah Gina.Gavin mengangguk, masuk ke dalam kamar di ikuti oleh adik-adiknya. Gina sendiri mulai membereskan dan memisahkan pakaian kotor dan pakaian bersih, menaruhnya pada tempat masing-masing."Nanti baju kotornya di laundry aja, Gin," ujar Bagas saat melihat tumpukan baju kotor di keranjang."Enggak usah, biar aku cuci sendiri aja." Gina menolak saran Bagas."Tapi baju kotornya banyak banget. Atau, ayo beli mesin cuci?"Gina menoleh pada Bagas, lagi-lagi menolak. "Jangan, ngabisin uang.""Gin-""Mas, aku enggak perlu mesin cuci. Aku bisa cuci sendiri!" Kesal Gina.Bagas mengalah, tidak lagi mengatakan apa pun. Pria itu hanya memperhatikan Gina yang terus-menerus menyibukkan dirinya dengan hal-hal kecil."Aku udah ngumpulin bukti penyerangan yang adik tiri kami lakuin terhadap Gavin," ujar Bagas tiba-tiba. "Semua buktinya udah lengkap
Mendengar apa yang putranya katakan, Bagas langsung bangkit berdiri, menyingkirkan pekerjaan yang tadi sedang dia periksa."Papah juga belum makan, ayo ke sana!" Pria itu sangat bersemangat hingga putranya menatap dengan heran.Ghazi mengangguk, pulang ke rumah bersama sang ayah. Ketika ke duanya tiba di rumah kontrakan Gina, Bagas dan Ghazi langsung di sambut oleh bau harum yang semerbak. Bau itu berasal dari makanan yang Gina masak."Mah! Ghazi lapar!" Ghazi langsung masuk ke dalam, soal makanan memang anak satu itu jagonya.Bagas juga masuk, tersenyum ketika melihat punggung Gina yang sedang sibuk di dapur. Dia berjalan ke arah kamar yang Gavin tempati, melihat putra sulungnya sudah tidur bersama Binar."Kenapa mereka tidur awal banget?" tanya Bagas saat keluar dari kamar.Gina yang sudah selesai memasak dan sedang membawa piring ke ruang tengah lalu menjawab tanpa menoleh, "Mungkin kecapekan."Bagas mengangguk, dia mengikuti Gina saat wanita itu kembali berjalan masuk ke arah dapu
Pria tua itu tampak berapi-api dan marah ketika dirinya menghadapi Gina, tetapi ketika Bagas muncul keberaniannya menciut, dia menatap Bagas dengan tatapan gugup. Meski gugup, di bawah desakan istrinya Basri terus mengatakan hal yang ingin dia katakan.Mata Bagas menyipit ketika mendengar apa yang Basri katakan. Tatapannya begitu tajam hingga membuat Basri tanpa sadar gemetar dan takut. "Gina mungkin anak Bapak, tapi saya bukan. Saya enggak akan mencabut laporan saya ke polisi, kalau Pak Basri keberatan dan khawatir Wanda kesepian, saya bisa membuat Bapak masuk ke jeruji besi dan menemani anak kesayangan Bapak."Basri langsung ketakutan karena kata-kata Bagas. Dia menatap Gina yang berdiri diam di belakang pria itu seolah meminta bantuan."Gina, kamu tahu, kan, betapa baiknya adik kamu. Dia mau merawat Ayah yang sakit-sakitan ini, anggap saja ini sebagai balas budi kamu sama Wanda!""Wanda ngerawat Ayah?" tanya Gina dengan sarkas. Dia keluar dari belakang Bagas, menatap ayahnya dengan