"Udah denger belum? Katanya si Gina di ceraikan pak Bagas!"
Seroang wanita setengah baya berbisik pada ibu-ibu lainnya. "Iya, kemaren saya denger si Gina jerit-jerit enggak mau di ceraikan!" timpal yang lain. "Mampus deh itu perempuan, salah siapa jadi istri boros banget! Denger-denger, dia pakai semua uang pak Bagas buat renovasi rumahnya!" "Iya? Pantas aja! Gak mungkin kan cewek kampungan macam dia bisa renovasi pakai uang sendiri! Pasti dia manfaatin pak Bagas, tuh! Ketawa deh Saya paling kenceng. Tau rasa emang. Enggak becus gitu jadi istri, pastinya pak Bagas juga udah dapet yang lebih baik dari si Gina." Para ibu-ibu itu sibuk bergosip sambil berbelanja pada tukang sayur keliling. Setiap hari selalu ada yang mereka gosipkan, namun hari ini sangat spesial karena berita mencengangkan, yaitu tentang Bagas yang menceraikan Gina sudah tersebar hingga ke kampung seberang. Banyak orang yang kasihan pada Gina, namun tidak sedikit pula yang mencela dengan kata-kata mengejek. Mentertawakan nasib malang Gina.Gina sedang berada di dalam rumah saat itu, dia duduk di meja makan, menatap anak-anak yang makan dengan sangat lahap. Kemarin saat mereka mendengar Gina dan Bagas bertengkar, setelah kepergian Bagas, Gina berusaha keras untuk menenangkan putra-putrinya. Untungnya Binar dan Ghazi masih sangat kecil untuk mengerti apa yang terjadi, berbeda dengan Gavin yang sudah di usia di mana dia mungkin sedikit paham apa itu perceraian dan apa yang terjadi jika ke dua orang tuanya bercerai. "Kalian makan, ya, Mamah mau ke belakang dulu," ujar Gina pada anak-anaknya. Ketiganya mengangguk, Gina berdiri dari kursi, berjalan ke belakang rumah meninggalkan ketika anaknya. Wanita itu menatap langit yang tampak mendung, lalu tatapannya beralih pada pakaian yang sedang dijemur di luar. Dia dengan cepat mengambil semua pakaian yang sudah kering itu, lalu membawanya ke dalam sebelum hujan deras turun. Masih pukul tujuh pagi, namun langit benar-benar tidak bersahabat hari ini. Bahkan para ibu-ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur dan sibuk bergosip langsung bubar begitu hujan deras turun. Gina masuk ke dalam kamar, tanpa sengaja melihat potret pernikahannya sembilan tahun lalu dengan Bagas. Dalam potret, dia yang mengenakan sebuah gaun pengantin berwarna putih tampak tersenyum dengan enggan ke arah kamera. Dan bagas berdiri menjulang di sebelahnya, menatap kameramen dengan ekspresi acuh. Potret itu mengingatkan Gina kembali bahwa mereka menikah bukan karena cinta, melainkan wasiat dari Kakek Gina yang memohon pada Bagas agar Bagas mau bertanggung jawab atas Gina sebelum Kakek Gina meninggal. Saat itu Bagas masih seorang Letnan dua dan Kakek Gina juga dulunya adalah pensiunan tentara. Singkat cerita, Bagas mempunyai hutang budi pada Kakek Gina, pada saat Kakek Gina memintanya bertanggung jawab atas Gina, Bagas tanpa berpikir langsung menyetujuinya. Pernikahan mereka bertahan hingga sembilan tahun dan di karuniai tiga orang anak, namun sebentar lagi ikatan itu akan terputus karena perceraian. Gina duduk di tepi tempat tidur, menangis lagi. "Mamah! Mamah!" suara teriakan Gavin terdengar dari luar pintu. Gina, dengan cepat menghapus air matanya, menatap putranya yang masuk ke dalam kamar. "Ada apa, sayang?" tanya Gina. Gavin tampak menatap sang ibu dengan ragu. "Itu… ada nenek di depan, Ma," ucap Gavin, memberitahukan Gina. Gina tiba-tiba bangkit berdiri, dia tidak tau apa tujuan ibu mertuanya datang. "Kenapa ibu datang?" tanya Gina saat melihat Minah yang tampak celingak-celinguk melihat isi rumah. "Kenapa? Saya enggak boleh datang ke rumah yang anak saya beli?!" ketus Minah pada Gina. Gina menatap mertuanya itu dengan ekspresi datar. "Bukan itu, tapi enggak biasanya ibu datang dan masuk ke dalam rumah," balas Gina. Minah tampak mendengus, dia dengan penuh semangat memegang beberapa pajangan di dalam rumah. "Cih, bagus ya rumahnya sekarang? Pasti uang Bagas kamu hambur-hamburkan untuk renovasi rumah ini, kan!?" Minah lalu menoleh pada Gina. "Untung aja sebentar lagi Bagas resmi cerai sama kamu!" Telapak tangan Gina terkepal erat mendengar perkataan Minah. Apa maksudnya dia menghambur-hamburkan uang bagas? Memang, Bagas kerap memberikan uang bulanan untuknya. Tapi, hampir semua dari uang itu dia pakai untuk biaya makan, dan juga sekolah anak-anaknya. Belum lagi, sering kali uang itu diambil oleh ibu tirinya.Gina hanya menyimpan uang yang dia dapatkan dari bisnis kecil miliknya, dan mencoba membiayai renovasi rumahnya sedikit demi sedikit. "Akhirnya Bagas sadar juga! Kamu emang perempuan enggak guna. Udah di kasihani, tapi sama sekali enggak bisa nyenengin laki-laki. Oh, setelah kamu dan Bagas bercerai, rumah ini bakalan di tempati sama sepupu Bagas yang datang dari kota buat pindah. Kamu sebaiknya cepet beres-beres." "Bu!" Gina memprotes dengan tidak terima. Dia tidak menyangka Minah akan menyuruhnya pergi dari rumah ini. "Kenapa?! Kamu keberatan?! Memangnya saya nanya pendapat kamu! Kalau udah cerai dari Bagas kamu itu bukan siapa-siapa Bagas lagi! Kamu mau terus memanfaatkan anak saya?!" Gina gemetar karena marah, dadanya pengap karena emosi yang coba dia tahan. "Itu bukan hak ibu juga buat ngambil rumah ini dari aku! Mas Bagas sendiri yang bilang kalau rumah milik aku!" Sampai mati pun Gina tidak akan membiarkan rumah ini di ambil oleh Minah! "Saya ibunya Bagas, saya berhak mengatur urusan Bagas! Pokoknya kamu udah harus pergi dari sini sebelum sepupu Bagas yang dari kota datang, kalau enggak kamu yang akan saya usir paksa!" "Aku enggak bisa, Bu! Ibu seharusnya juga mempertimbangkan anak-anak, nanti anak-anak mau tinggal di mana kalau harus pergi dari rumah ini?" "Bukannya kamu jalang? Bagas aja berhasil kamu rayu. Setelah cerai sama Bagas udah pasti kamu bakal cari koban selanjutnya!" sindir Minah. "Nenek jahat! Nenek jahat!" Ghazi yang sedari tadi berada di kamar tiba-tiba berlari, tangan kecilnya memukuli Minah. "Eh, dasar kamu anak sialan!" Minah dengan kejam menendang tubuh kecil itu. "Ghazi!" Gina menjerit kaget, putranya terbanting hingga membentur tembok. Dia buru-buru menghampiri anak itu. "Huaaaa, sakit, Ma! Sakit!" Ghazi menangis. "Apa yang Ibu lakuin?!" Gina sangat marah hingga dia berteriak pada Minah. "Memangnya salah saya?! Anak sialan kamu itu yang duluan mukul saya!" Minah tidak terima saat Gina berteriak seperti itu padanya. "Ghazi itu masih kecil, Bu! Enggak seharusnya ibu tendang kaya tadi!" "Memangnya saya peduli?! Pokoknya saya datang ke sini cuma mau ngasih tau itu ke kamu! Awas kalau kamu enggak pergi!" Setelah mengatakan itu Minah berbalik, mengambil payungnya dan keluar dari rumah. Air mata Gina luruh, tubuhnya gemetar karena emosi yang tidak bisa dia keluarkan. Hidungnya perih, tenggorokannya terasa tersumbat hingga dia merasa sulit untuk menelan. Ghazi di pelukannya masih menangis, mengatakan bahwa punggungnya sakit karena terbentur dinding.Efisiensi Bagas memang sangat hebat sebagai seorang Mayor Jendral yang mengurus perceraiannya, tidak butuh waktu lama hingga Dia dan Gina akhirnya resmi berpisah, tidak lagi terikat pernikahan seperti sebelumnya. Bagas duduk di sebuah kursi, sedang berbicara dengan ibunya di seberang telepon. "Kamu harusnya ceraikan dia dari dulu! Bisanya cuma buang-buang uang, istri kaya gitu enggak usah di pertahankan-" "Bu." Bagas memperingatkan ibunya yang terus mengoceh tentang keburukan Gina padanya. "Aku sama Gina memang udah pisah, tapi dia tetep ibu dari anak-anak, ibu enggak seharusnya ngomong kaya gitu." "Kenapa? Toh, apa yang ibu ngomongin kenyataan, kok. Nanti kalau kamu mau kirim uang buat anak-anak kamu, kirim aja lewat ibu, nanti ibu yang kasih ke mereka," ujar Ibu Bagas. Dia sedari awal tidak pernah setuju ketika putranya yang berharga memutuskan untuk menikah dengan Gina. Minah merasa bahwa Gina sangat suka membuang-buang uang. Di saat yang lain menyimpan uang untuk membeli beras
"Mbak sebaiknya segera keluar dari rumah ini, karena Tante Minah sudah menyerahkan rumah ini ke kami." Dua hari setelah pertemuan Gina dengan mertua, tiba-tiba Gina kedatangan beberapa orang tamu yang mengaku sebagai sepupu dari Bagas. "Ini rumah saya, kenapa saya harus keluar?" tanya Gina kepada wanita di seberangnya. Gina tidak menyangka, pihak dari Bagas akan datang dan dengan tidak tahu malu menyuruhnya pergi."Mbak, kan, sudah bercerai sama Mas Bagas, jadi ini bukan rumah milik Mbak lagi. Tolong minggir, kami mau masuk!" Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah dengan paksa, diikuti oleh dua anak kecil dan satu pria dewasa.Gina menarik wanita berpakaian ketat itu, menghentikannya untuk masuk. "Pergi atau saya lapor kepala desa buat usir kalian!"Dua anak dari wanita itu dengan senang masuk ke dalam rumah, tertawa melihat rumah yang begitu bagus akan mereka tempati."Ma! Ma! Aku mau tidur di kamar sendiri!" ujar salah satu anak dengan riang."Iya, Sayang, mulai sekarang kamu dan
'Kenapa pria itu ada di kota ini?' itu adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran Gina ketika melihat Bagas. Tatapan keduanya bertemu sebelum akhirnya mobil yang bagas tumpangi melaju pergi. Gina menurunkan matanya, mencoba untuk membuat jantungnya tetap tenang. Selama empat tahun, Bagas tidak pernah menjenguk anak-anaknya, seolah sejak mereka bercerai, bukan hanya Gina yang dia tinggalkan, namun juga Gavin, Ghazi dan Binar. Ibu Bagas meninggal tiga tahun lalu, selain pemakaman ibunya, Bagas tidak pernah datang ke kampung. Gina bangkit berdiri, remaja SMA di sebelahnya masih mengobrol tentang pria mana saja yang paling tampan. "Mbak Gina ini dicuci dong, duduk aja dari tadi," ujar Sri pada Gina. Gina melongos tidak peduli. "Kamu aja yang cuci, tadi Mbak udah nyuci yang lain. Itu sisanya," balas Gina. Tidak sengaja bertatapan dengan Bagas benar-benar menguras energinya. Sri berdecak kesal, cemberut sambil mencuci piring-piring kotor. "Awas aja, aku adukan sama tante! Di pecat
Keesokan harinya, pukul setengah lima pagi. Gina sudah bangun dari tidurnya. Dia mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Aktivitas pagi yang sudah Gina lakukan selama bertahun-tahun tanpa jeda satu hari pun. Pukul enam ketika rumah selesai dia urus, Gina pergi ke luar untuk mencari tukang sayur yang biasanya lewat.Hari ini Gina berniat untuk memasak cumi, makanan kesukaan ke tiga anaknya. Saat tiba di tukang sayur, Gina langsung bertanya pada si penjual, ''Hari ini cumi ada, Mang?''''Ada, BU Gina. Kebetulan cuminya tinggal satu.'' Penjual sayur itu mengambil kantung keresek berisikan cumi di bawah gerobaknya, menyerahkannya pada Gina.Gina tersenyum, mengambil cumi yang si penjual serahkan.''Mau masak cumi, ya, Bu?'' tanya ibu-ibu lain pada Gina.''Iya, Bu. Kemarin anak-anak bilang kalau mereka pengen makan cumi,'' jawab Gina.''Anak saya juga kemaren pengen makan ayam, eh si Mamang malah enggak bawa ayam!'' sahut yang lainnya.''Bukan enggak bawa, Bu. Tapi habis, saya cuma bawa
''Ghazi!'' Gavin menegur adiknya. Ghazi tidak peduli sama sekali, hatinya kesal karena sang ibu yang beberapa kali berjanji akan memasakan makanan kesukaannya, namun tidak pernah terjadi. ''Mama mau buat nasi goreng sama bakwan jagung, loh, Zi. Kamu beneran enggak mau?'' tanya Gina sambil mengikuti Ghazi yang keluar dari rumah. ''Enggak mau, sarapannya nasi goreng mulu, Gazi pengen cumi, Mah!'' Langkah Gina terhenti di ambang pintu, menatap kepergian putranya. Perih Gina rasakan, bukan karena sikap Ghazi padanya, namun karena dia yang bahkan tidak bisa mengabulkan apa yang putranya inginkan. ''Mah, Gavin mau sarapan.,'' ujar Gavin. Melihat raut wajah sedih sang ibu, dia sangat kesal pada Ghazi yang bersikap tidak sopan. Gina berbalik dan bergegas menyelesaikan masakannya. Gina tahu Gavin mungkin marah pada sang adik, wanita itu tersenyum penuh pengertian. ''Mamah enggak pa-pa, kok, Vin. Jangan cemberut kaya gitu.'' ''Belanjaan Mamah di ambil sama orang tua itu lagi, ya, Mah?''
''Terserah.,'' ujar Gina dengan acuh, sama sekali tidak peduli apakah Bagas akan menunggunya atau tidak.Pukul enam sore, waktu di mana Gina dan Sri harus menutup warteg tiba. Gina membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang saat dia selesai menutup warteg.''Huh, mana? Katanya laki-laki tadi nungguin, Mbak, tapi kok sekarang enggak ada?'' Sri celingak-celinguk di sebelah Gina, menatap bolak-balik sekeliling warteg dengan ekspresi seolah ingin tertawa. ''Mbak pasti udah geer banget, kan mau di tungguin sama cowok ganteng. Hehehe, taunya bohong!''Gina menggelengkan kepalanya mendengar apa yang Sri katakan. Gina tahu jika Sri tengah mengolok-oloknya, tapi dia tidak peduli, melenggang pergi meninggalkan Sri di sana. Sri yang di tinggalkan mendengus dengan keras, lalu bergegas mencari tukang ojek untuk pulang.Masuk ke perkampungan, jalanan di sekelilingnya penuh dengan pepohonan dan rumput di setiap sisi jalannya. Hanya ada satu lampu yang mene
Gina berbaring di atas tempat tidur, mencoba memaksa kelopak matanya agar tertutup. Tapi nihil, dia sama sekali tidak mengantuk. Lagi pula siapa yang akan mengantuk jika melihat orang yag dengan sengaja dia dorong berdarah-darah.Pikirannya terus berkelana pada kejadian di mana dia melihat darah membasahi pakaian yang Bagas pakai. Bangkit dari kasur, Gina menghela nafas berat, menoleh untuk melihat putriya, Binar, yang sudah tertidur lelap. Gina keluar dari kamar, setelah memastikan bahwa Ghazi dan Gavin juga terlelap, dia mengambil cardigan lalu keluar dari rumah.Menyusuri jalan setapak, Gina akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang dia tahu dari warga yang bergosip bahwa rumah ini di tempati oleh Bagas. Gina mengambil nagas panjang, menenangkan dirinya yang sedikit gugup. Leangan Gina terangkat, mengetuk pintu rumah dengan pelan.utuh waktu dua menit hingga akhirnya pintu rumah terbuka.''Gina?'' Bagas menatap kaget pada Gina yang berada di depan pintu rumahnya malam-malam begini.
''Aku enggak punya maksud apa pun. Gin, aku cuma mau ngasih ini buat kalian, tolong terima,'' ucap Bagas dengan nada memohon. Gina menatap makanan di tangan Bagas, menghela nafas, hendak mengambilnya saat tangan lain meraihnya lebih cepat. ''Wah ayam!'' Itu adalah seruan seorang wanita. ''Wanda!'' panggil Gina pada wanita muda itu. Wanda, adik tiri Gina yang lahir dari Lastri dan mantan suaminya yang sekarang berusia sembilan belas tahun. Meski sudah lulus sekolah, tetapi Wanda sama sekali tidak ada niat untuk bekerja, hanya mengandalkan Lastri dan ayah Gina yang sudah tua untuk menghidupinya.''Punya makanan enak kok enggak bilang-bilang, Mbak Gina mau aku bilangin ibu?'' Wanda menatap Gina dengan wajah menantang. ''Itu bukan punya, Mbak, Wanda,'' ucap Gina, dia mengulurkan tangan, hendak merebut kembali makanan itu dari Wanda. ''Eh!'' Wanda dengan cepat menghindar. ''Pelit amat, biasanya juga bagi-bagi kalau punya makanan enak.'' Gina menatap Bagas, ingin melihat bagaimana ek