"Apa maksudnya, Mas? Kamu mau menceraikan aku? Kenapa?"
Manik Gina kini mulai basah karena air mata yang berkumpul di pelupuknya. Ucapan suami yang baru bertemu setelah dua tahun lamanya itu bagaikan petir di siang bolong.Berbeda dengan Gina yang penuh dengan rasa cemas, suaminya, justru hanya menghela napasnya dengan pelan.“Mas, jawab aku. Apa jangan-jangan kamu sudah punya wanita lain?” tanya Gina lagi sembari menatap Bagas nanar.“Aku gak selingkuh, Gina.” Jawab Bagas dengan tenang, masih tak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya.“Jika memang tidak, kenapa kamu menceraikan aku, Mas? Dua tahun kamu gak pulang, dan datang-datang hanya untuk memberikan surat cerai?”Gina mencoba untuk tetap tenang, karena tak ingin membuat ketiga anaknya sadar akan apa yang baru saja terjadi. Padahal, dalam hatinya, ingin sekali dia menangis meraung-raung, meluapkan emosi pada pria yang menampilkan wajah tak bersalah itu di depannya.Hati Gina sangat sakit, lebih sakit dari pada ketika Bagas bertahun-tahun tidak pulang, lebih sakit dari pada ketika dia harus membesarkan ketiga anaknya sendiri tanpa Bagas. Gina marah dan sedih, apa bagas pikir menunggu adalah hal yang mudah? hingga pria itu dengan entengnya menyerahkan surat cerai setelah dua tahun membuatnya menunggu. Bagas diam seribu kata melihat Gina yang mulai terisak, menatapnya seolah meminta penjelasan. Untuk sesaat Bagas merasa apa yang dia lakukan saat itu sangatlah kejam. Tapi ketika dia mengingat bahwa ibunya terus mendesak dia untuk menceraikan Gina, Bagas tidak mempunyai pilihan.“Aku gak punya selingkuhan, dan aku gak punya pilihan lain, Gina. Kamu gak usah khawatir, aku tak akan lari dari tanggung jawab membesarkan anak-anak. Aku akan tetap mengirim uang untuk—”Gina mendengus kala mendengarkan ucapan Bagas. Pria itu benar-benar tak peduli dengan perasaannya. “Kamu pikir saat ini yang aku pikirkan adalah uang kamu, Mas!?”“Maafkan aku, tapi aku selalu sibuk selama ini, Gin. Dan kedepannya juga akan selalu begitu. Kamu bisa mencari laki-laki lain yang bisa menjadi suami kamu.” “Kamu pikir aku perempuan seperti apa, Mas?" Gina menatap Bagas dengan gemetar. Dia menatap surat cerai di tangannya dengan tatapan nanar, wanita itu lalu berjalan ke arah sebuah lemari, mengambil pensil dan menggoreskan tanda tangannya di sana."Pergi dari sini." Gina melemparkan kertas itu ke lantai. Bagas menatap Gina yang membelakanginya, dia lalu membungkuk, mengambil surat cerai. "Rumah ini atas nama kamu, jadi kamu bisa tinggal di-" "PERGI! PERGI DARI SINI!" teriak Gina dengan marah, tangannya mengambil sebuah pot bunga palsu, melemparkannya ke arah Bagas. Mungkin karena Bagas seorang tentara, gerakannya sangat gesit saat menangkap pot bunga yang Gina lemparkan. "Gin-" "AKU BILANG PERGI DARI SINI!" Buku, cangkir atau apa pun yang bisa Gina lempar dia lemparkan pada Bagas. Bagas menghindarinya dengan gesit, suara barang-barang yang di banting terdengar sangat nyaring di seluruh rumah. "Kalau gitu aku pergi." Setelah mengatakan itu, Bagas keluar dari rumah, kembali ke mobil pickup yang masih menunggunya di halaman. Tubuh Gina membatu, terengah-engah. Sesaat kemudian ketika deru mobil menghilang, dia terjatuh ke lantai yang dingin, terisak sejadi-jadinya. Wanita mana yang tidak akan menangis ketika di ceraikan setelah menanti pertemuan selama dua tahun lamanya? Di dalam kamar, Binar sudah menangis histeris mendengar perseteruan ibu dan ayahnya, anak perempuan itu dipeluk oleh Gavin yang juga gemetar dan matanya memerah. Gazi sendiri meringkuk di dekat Binar dan Gavin, menangis diam-diam. **"Pak, Mbak Serly ngasih tau saya kalau nanti dia sampe di markas dia pengen ketemu sama Bapak," ujar Ramzi pada Bagas. Ramzi, orang yang mengendarai mobil pickup adalah salah satu bawahan Bagas di militer. Ramzi dua tahun lebih muda dari bagas, dia kini sedang menatap komandannya yang terlihat termenung. Dalam hati Ramzi, dengan semua rumor tentang istri Bagas di markas militer, tidak ada yang perlu Bagas sesali. Bagas tidak menjawab untuk beberapa saat, mengalihkan tatapannya pada jendela kaca mobil yang terbuka. "Lain kali, saya enggak ada waktu," balas Bagas akhirnya. "Tapi Mbak Serly-" ucapan Ramzi terpotong karena lirikan tajam dari Bagas. Ramzi menelan kembali sisa kata yang ingin dia sampaikan. Serly yang Ramzi maksud adalah anak seorang Letnan Jendral yang sekarang berprofesi sebagai dokter militer. Semua orang di markas militer selalu berpikir bahwa wanita yang cantik dan berbakat seperti Serly yang sepantasnya menjadi istri dari Mayor Jendra Bagas Adnan, jika dibandingkan dengan Gina yang terlihat biasa saja.Bagas harus kembali ke markas secepat mungkin dan mulai Menyusun rencana untuk tugas selanjutnya yang ditugaskan untuknya. Namun, di dalam mobil pickup, dia hanya menatap surat cerai di tangannya. Entah mengapa, selembar kertas itu membuatnya seakan ada duri yang memenuhi hatinya."Udah denger belum? Katanya si Gina di ceraikan pak Bagas!" Seroang wanita setengah baya berbisik pada ibu-ibu lainnya. "Iya, kemaren saya denger si Gina jerit-jerit enggak mau di ceraikan!" timpal yang lain. "Mampus deh itu perempuan, salah siapa jadi istri boros banget! Denger-denger, dia pakai semua uang pak Bagas buat renovasi rumahnya!" "Iya? Pantas aja! Gak mungkin kan cewek kampungan macam dia bisa renovasi pakai uang sendiri! Pasti dia manfaatin pak Bagas, tuh! Ketawa deh Saya paling kenceng. Tau rasa emang. Enggak becus gitu jadi istri, pastinya pak Bagas juga udah dapet yang lebih baik dari si Gina." Para ibu-ibu itu sibuk bergosip sambil berbelanja pada tukang sayur keliling. Setiap hari selalu ada yang mereka gosipkan, namun hari ini sangat spesial karena berita mencengangkan, yaitu tentang Bagas yang menceraikan Gina sudah tersebar hingga ke kampung seberang. Banyak orang yang kasihan pada Gina, namun tidak sedikit pula yang mencela dengan kata-kata mengejek. Mente
Efisiensi Bagas memang sangat hebat sebagai seorang Mayor Jendral yang mengurus perceraiannya, tidak butuh waktu lama hingga Dia dan Gina akhirnya resmi berpisah, tidak lagi terikat pernikahan seperti sebelumnya. Bagas duduk di sebuah kursi, sedang berbicara dengan ibunya di seberang telepon. "Kamu harusnya ceraikan dia dari dulu! Bisanya cuma buang-buang uang, istri kaya gitu enggak usah di pertahankan-" "Bu." Bagas memperingatkan ibunya yang terus mengoceh tentang keburukan Gina padanya. "Aku sama Gina memang udah pisah, tapi dia tetep ibu dari anak-anak, ibu enggak seharusnya ngomong kaya gitu." "Kenapa? Toh, apa yang ibu ngomongin kenyataan, kok. Nanti kalau kamu mau kirim uang buat anak-anak kamu, kirim aja lewat ibu, nanti ibu yang kasih ke mereka," ujar Ibu Bagas. Dia sedari awal tidak pernah setuju ketika putranya yang berharga memutuskan untuk menikah dengan Gina. Minah merasa bahwa Gina sangat suka membuang-buang uang. Di saat yang lain menyimpan uang untuk membeli beras
"Mbak sebaiknya segera keluar dari rumah ini, karena Tante Minah sudah menyerahkan rumah ini ke kami." Dua hari setelah pertemuan Gina dengan mertua, tiba-tiba Gina kedatangan beberapa orang tamu yang mengaku sebagai sepupu dari Bagas. "Ini rumah saya, kenapa saya harus keluar?" tanya Gina kepada wanita di seberangnya. Gina tidak menyangka, pihak dari Bagas akan datang dan dengan tidak tahu malu menyuruhnya pergi."Mbak, kan, sudah bercerai sama Mas Bagas, jadi ini bukan rumah milik Mbak lagi. Tolong minggir, kami mau masuk!" Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah dengan paksa, diikuti oleh dua anak kecil dan satu pria dewasa.Gina menarik wanita berpakaian ketat itu, menghentikannya untuk masuk. "Pergi atau saya lapor kepala desa buat usir kalian!"Dua anak dari wanita itu dengan senang masuk ke dalam rumah, tertawa melihat rumah yang begitu bagus akan mereka tempati."Ma! Ma! Aku mau tidur di kamar sendiri!" ujar salah satu anak dengan riang."Iya, Sayang, mulai sekarang kamu dan
'Kenapa pria itu ada di kota ini?' itu adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran Gina ketika melihat Bagas. Tatapan keduanya bertemu sebelum akhirnya mobil yang bagas tumpangi melaju pergi. Gina menurunkan matanya, mencoba untuk membuat jantungnya tetap tenang. Selama empat tahun, Bagas tidak pernah menjenguk anak-anaknya, seolah sejak mereka bercerai, bukan hanya Gina yang dia tinggalkan, namun juga Gavin, Ghazi dan Binar. Ibu Bagas meninggal tiga tahun lalu, selain pemakaman ibunya, Bagas tidak pernah datang ke kampung. Gina bangkit berdiri, remaja SMA di sebelahnya masih mengobrol tentang pria mana saja yang paling tampan. "Mbak Gina ini dicuci dong, duduk aja dari tadi," ujar Sri pada Gina. Gina melongos tidak peduli. "Kamu aja yang cuci, tadi Mbak udah nyuci yang lain. Itu sisanya," balas Gina. Tidak sengaja bertatapan dengan Bagas benar-benar menguras energinya. Sri berdecak kesal, cemberut sambil mencuci piring-piring kotor. "Awas aja, aku adukan sama tante! Di pecat
Keesokan harinya, pukul setengah lima pagi. Gina sudah bangun dari tidurnya. Dia mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Aktivitas pagi yang sudah Gina lakukan selama bertahun-tahun tanpa jeda satu hari pun. Pukul enam ketika rumah selesai dia urus, Gina pergi ke luar untuk mencari tukang sayur yang biasanya lewat.Hari ini Gina berniat untuk memasak cumi, makanan kesukaan ke tiga anaknya. Saat tiba di tukang sayur, Gina langsung bertanya pada si penjual, ''Hari ini cumi ada, Mang?''''Ada, BU Gina. Kebetulan cuminya tinggal satu.'' Penjual sayur itu mengambil kantung keresek berisikan cumi di bawah gerobaknya, menyerahkannya pada Gina.Gina tersenyum, mengambil cumi yang si penjual serahkan.''Mau masak cumi, ya, Bu?'' tanya ibu-ibu lain pada Gina.''Iya, Bu. Kemarin anak-anak bilang kalau mereka pengen makan cumi,'' jawab Gina.''Anak saya juga kemaren pengen makan ayam, eh si Mamang malah enggak bawa ayam!'' sahut yang lainnya.''Bukan enggak bawa, Bu. Tapi habis, saya cuma bawa
''Ghazi!'' Gavin menegur adiknya. Ghazi tidak peduli sama sekali, hatinya kesal karena sang ibu yang beberapa kali berjanji akan memasakan makanan kesukaannya, namun tidak pernah terjadi. ''Mama mau buat nasi goreng sama bakwan jagung, loh, Zi. Kamu beneran enggak mau?'' tanya Gina sambil mengikuti Ghazi yang keluar dari rumah. ''Enggak mau, sarapannya nasi goreng mulu, Gazi pengen cumi, Mah!'' Langkah Gina terhenti di ambang pintu, menatap kepergian putranya. Perih Gina rasakan, bukan karena sikap Ghazi padanya, namun karena dia yang bahkan tidak bisa mengabulkan apa yang putranya inginkan. ''Mah, Gavin mau sarapan.,'' ujar Gavin. Melihat raut wajah sedih sang ibu, dia sangat kesal pada Ghazi yang bersikap tidak sopan. Gina berbalik dan bergegas menyelesaikan masakannya. Gina tahu Gavin mungkin marah pada sang adik, wanita itu tersenyum penuh pengertian. ''Mamah enggak pa-pa, kok, Vin. Jangan cemberut kaya gitu.'' ''Belanjaan Mamah di ambil sama orang tua itu lagi, ya, Mah?''
''Terserah.,'' ujar Gina dengan acuh, sama sekali tidak peduli apakah Bagas akan menunggunya atau tidak.Pukul enam sore, waktu di mana Gina dan Sri harus menutup warteg tiba. Gina membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang saat dia selesai menutup warteg.''Huh, mana? Katanya laki-laki tadi nungguin, Mbak, tapi kok sekarang enggak ada?'' Sri celingak-celinguk di sebelah Gina, menatap bolak-balik sekeliling warteg dengan ekspresi seolah ingin tertawa. ''Mbak pasti udah geer banget, kan mau di tungguin sama cowok ganteng. Hehehe, taunya bohong!''Gina menggelengkan kepalanya mendengar apa yang Sri katakan. Gina tahu jika Sri tengah mengolok-oloknya, tapi dia tidak peduli, melenggang pergi meninggalkan Sri di sana. Sri yang di tinggalkan mendengus dengan keras, lalu bergegas mencari tukang ojek untuk pulang.Masuk ke perkampungan, jalanan di sekelilingnya penuh dengan pepohonan dan rumput di setiap sisi jalannya. Hanya ada satu lampu yang mene
Gina berbaring di atas tempat tidur, mencoba memaksa kelopak matanya agar tertutup. Tapi nihil, dia sama sekali tidak mengantuk. Lagi pula siapa yang akan mengantuk jika melihat orang yag dengan sengaja dia dorong berdarah-darah.Pikirannya terus berkelana pada kejadian di mana dia melihat darah membasahi pakaian yang Bagas pakai. Bangkit dari kasur, Gina menghela nafas berat, menoleh untuk melihat putriya, Binar, yang sudah tertidur lelap. Gina keluar dari kamar, setelah memastikan bahwa Ghazi dan Gavin juga terlelap, dia mengambil cardigan lalu keluar dari rumah.Menyusuri jalan setapak, Gina akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang dia tahu dari warga yang bergosip bahwa rumah ini di tempati oleh Bagas. Gina mengambil nagas panjang, menenangkan dirinya yang sedikit gugup. Leangan Gina terangkat, mengetuk pintu rumah dengan pelan.utuh waktu dua menit hingga akhirnya pintu rumah terbuka.''Gina?'' Bagas menatap kaget pada Gina yang berada di depan pintu rumahnya malam-malam begini.