"Heh, Gina! Aku gak peduli, pokoknya, aku minta lima juta buat ngurus bapakmu yang sakit-sakitan!"
Gina Ashila hanya bisa menghela napas panjang saat ibu tirinya tiba-tiba datang, dan langsung bergegas ke lemari tempatnya menyimpan uang.Wanita itu menggigit bagian dalam bibirnya, ingin mengatakan sesuatu, namun hanya bisa menelan kering di tenggorokannya. Pasalnya, sang ibu tiri sudah sering mengambil uangnya, bahkan, di saat Gina tak ada, dia kerap kali menemukan uang yang disimpannya hilang begitu saja dalam keadaan rumah yang porak poranda.“T-tapi, bu, itu buat makan anak–”Belum sempat Gina menyelesaikan ucapannya, ibu tirinya sudah memelototinya dengan manik gelapnya. “Halah, kamu kan dapat uang kiriman banyak dari suami letnan mu itu, gak usah pelit! Lagian ini juga untuk bapakmu sendiri, Gina!”Mendengar nama ayahnya, Gina seketika tak bisa berkutik. Ada rasa bersalah di dalam hatinya, karena memang beberapa waktu belakangan, Gina belum sempat berkunjung ke rumah ayahnya demi mengasuh ketiga anaknya.Tak mampu mengelak, Gina pun terdiam, menatap ibu tirinya yang pergi tanpa pamit. Selama apa yang wanita cari itu sudah ditemukan, dia selalu pergi begitu saja.Gina akhirnya mengalihkan fokusnya untuk membereskan rumahnya. Meskipun Gina baru saja didatangi ibu tirinya yang suka mengambil uangnya, entah mengapa, senyum kerap muncul di wajah cantiknya.Bagaimana tidak? Pasalnya, hari itu, adalah hari di mana suaminya akan kembali setelah dua tahun menjalankan tugasnya sebagai tentara.Tak lama, terdengar sebuah suara deru mesin dari halaman rumahnya."Mas Bagas!" Gina pun berlari keluar pintu dengan cepat ketika dia sadar bahwa itu adalah mobil Bagas Adnan, suaminya. Wanita bertubuh sintal itu tersenyum lebar begitu dia melihat orang yang telah ditunggu selama dua tahun akhirnya pulang ke rumah. Bagas Adnan, suami Gina yang berprofesi sebagai tentara di markas militer, baru mengambil cuti selama dua tahun sibuk di ketentaraan. Pria bertubuh tinggi dan kekar itu keluar dari sebuah mobil pick-up. Lalu berkata sesuatu pada orang yang duduk di kursi kemudi sebelum berjalan menghampiri istrinya yang telah menunggu di depan pintu rumah. "Mas! Aku sama anak-anak udah nunggu kamu dari pagi," ujar Gina begitu antusias. Ketika dia melihat Bagas yang datang mengenakan seragam militer lengkap, tidak ada satu pun tas atau barang bawaan pria itu, kening Gina berkerut, dia tidak bisa untuk tidak bertanya, "Kenapa kamu enggak bawa baju? Kamu di kasih cuti berapa hari memangnya, Mas?" Bagas menatap Gina, wanita yang sudah dia persunting sembilan tahun lalu. "Ayo masuk dulu, ini udah sore." Mengangguk, Gina berjalan menuntun Bagas masuk ke dalam rumah. Bagas yang mengikuti sang istri melihat sekeliling rumah yang sudah dia tahun tidak dia datangi. Rumah itu terlihat asri dengan tanaman di halamannya, serta bangunan yang masih baru. Meskipun minimalis, tetap saja terlihat kontras jika dibandingkan dengan rumah-rumah tetangga di sekitar mereka yang bobrok. "Kamu renovasi rumah kita?" tanya Bagas. Mengangguk, Gina sama sekali tidak menyangkal. "Iya, Mas. Mau gimana? Anak kita sudah mulai besar, kalau yang sebelumnya, buat kita berdua aja sempit. Gimana? Bagus, kan?" tanya Gina meminta persetujuan. Bagas berdehem pelan sebagai jawaban. "Gavin! Ghazi! Binar! Papah kalian pulang!" Pada saat Gina selesai berteriak, tiga anak kecil berlarian dari halaman belakang rumah. Dengan bersemangat menghampiri ayah mereka. "Papah!" Binar Gayatri Adnan, seorang anak perempuan berusia tiga tahun langsung memeluk kaki Bagas dengan manja. Bagas tersenyum, membungkuk dan mengangkat Binar ke dalam pelukannya. "Apa kabar putri Papah, hm?" tanya Bagas pada Binar, pria itu tidak lupa mengecup pipi Binar. "Pah! Pah! Gavin dapet ranking satu di sekolah!" seru Gavin Kenzie Adnan, putra pertama Bagas dan Gina yang berusia delapan tahun, yang sekarang sedang bersekolah di sekolah dasar terdekat. "Ghazi juga, Pah! Dapet ranking dua!" timpal putra kedua mereka yang bernama Ghazi keanu Adnan, usianya dua tahun di bawah Gavin, yaitu enam tahun. Gina menyaksikan bagaimana Bagas mengelus pucuk kepala ke dua anak laki-lakinya dengan lembut. Sejujurnya, dia merasakan denyutan di hatinya, karena sampai detik itu, Bagas belum sekalipun memeluknya, atau bahkan mengelus kepalanya.Meski begitu, Gina tak mau mempermasalahkannya. Hanya dengan menyaksikan gelak tawa dari anak-anaknya yang baru saja melepas rindu pada ayahnya saja Gina sudah senang. Tak hanya itu, Gina ikut tersenyum ketika melihat Bagas tersenyum lebar kala menyaksikan ketiga anaknya tumbuh menjadi anak sehat dan gemuk. "Kalian duduk aja ya, jangan terlalu ribut. Kasihan, papah kalian capek.” Gina memperingatkan kedua putranya. "Iya, Mah!" Gavin membawa Ghazi duduk di atas sofa. "Duduk, Mas! Kamu mau minum apa?" tanya Gina pada suaminya. "Enggak usah," tolak Bagas. Tatapan bagas berubah menjadi sangat serius. Pria itu melirik ke dua mereka, lalu menurunkan Binar dari gendongannya."Gavin, ajak adik-adiknya masuk ke kamar!" titah Bagas. Gavin menatap bergantian pada ibu serta ayahnya, lalu dia dengan patuh membawa kedua adiknya pergi ke kamar, membiarkan orang dewasa berbicara. Setelah itu, hanya Gina dan Bagas yang berada di ruang tengah rumah mereka. "Ada apa, Mas?" tanya Gina, menatap Bagas dengan bingung. Tidak biasanya bagi Bagas untuk menunjukan ekspresi seserius itu pada Gina. Bagas tampak mengeluarkan sesuatu dari saku seragam militernya, sebuah kertas putih dengan tulisan di atasnya. "Ini, aku mau kamu menandatangani ini." Kening Gina berkerut, dia menerima kertas yang Bagas serahkan padanya. "Apa ini-" ketika Gina membaca isi di kertas tersebut, tubuh Gina membeku, ucapannya terhenti secara tiba-tiba. "Ayo kita bercerai.""Apa maksudnya, Mas? Kamu mau menceraikan aku? Kenapa?"Manik Gina kini mulai basah karena air mata yang berkumpul di pelupuknya. Ucapan suami yang baru bertemu setelah dua tahun lamanya itu bagaikan petir di siang bolong.Berbeda dengan Gina yang penuh dengan rasa cemas, suaminya, justru hanya menghela napasnya dengan pelan. “Mas, jawab aku. Apa jangan-jangan kamu sudah punya wanita lain?” tanya Gina lagi sembari menatap Bagas nanar. “Aku gak selingkuh, Gina.” Jawab Bagas dengan tenang, masih tak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya. “Jika memang tidak, kenapa kamu menceraikan aku, Mas? Dua tahun kamu gak pulang, dan datang-datang hanya untuk memberikan surat cerai?” Gina mencoba untuk tetap tenang, karena tak ingin membuat ketiga anaknya sadar akan apa yang baru saja terjadi. Padahal, dalam hatinya, ingin sekali dia menangis meraung-raung, meluapkan emosi pada pria yang menampilkan wajah tak bersalah itu di depannya. Hati Gina sangat sakit, lebih sakit dari pada ketika Bagas
"Udah denger belum? Katanya si Gina di ceraikan pak Bagas!" Seroang wanita setengah baya berbisik pada ibu-ibu lainnya. "Iya, kemaren saya denger si Gina jerit-jerit enggak mau di ceraikan!" timpal yang lain. "Mampus deh itu perempuan, salah siapa jadi istri boros banget! Denger-denger, dia pakai semua uang pak Bagas buat renovasi rumahnya!" "Iya? Pantas aja! Gak mungkin kan cewek kampungan macam dia bisa renovasi pakai uang sendiri! Pasti dia manfaatin pak Bagas, tuh! Ketawa deh Saya paling kenceng. Tau rasa emang. Enggak becus gitu jadi istri, pastinya pak Bagas juga udah dapet yang lebih baik dari si Gina." Para ibu-ibu itu sibuk bergosip sambil berbelanja pada tukang sayur keliling. Setiap hari selalu ada yang mereka gosipkan, namun hari ini sangat spesial karena berita mencengangkan, yaitu tentang Bagas yang menceraikan Gina sudah tersebar hingga ke kampung seberang. Banyak orang yang kasihan pada Gina, namun tidak sedikit pula yang mencela dengan kata-kata mengejek. Mente
Efisiensi Bagas memang sangat hebat sebagai seorang Mayor Jendral yang mengurus perceraiannya, tidak butuh waktu lama hingga Dia dan Gina akhirnya resmi berpisah, tidak lagi terikat pernikahan seperti sebelumnya. Bagas duduk di sebuah kursi, sedang berbicara dengan ibunya di seberang telepon. "Kamu harusnya ceraikan dia dari dulu! Bisanya cuma buang-buang uang, istri kaya gitu enggak usah di pertahankan-" "Bu." Bagas memperingatkan ibunya yang terus mengoceh tentang keburukan Gina padanya. "Aku sama Gina memang udah pisah, tapi dia tetep ibu dari anak-anak, ibu enggak seharusnya ngomong kaya gitu." "Kenapa? Toh, apa yang ibu ngomongin kenyataan, kok. Nanti kalau kamu mau kirim uang buat anak-anak kamu, kirim aja lewat ibu, nanti ibu yang kasih ke mereka," ujar Ibu Bagas. Dia sedari awal tidak pernah setuju ketika putranya yang berharga memutuskan untuk menikah dengan Gina. Minah merasa bahwa Gina sangat suka membuang-buang uang. Di saat yang lain menyimpan uang untuk membeli beras
"Mbak sebaiknya segera keluar dari rumah ini, karena Tante Minah sudah menyerahkan rumah ini ke kami." Dua hari setelah pertemuan Gina dengan mertua, tiba-tiba Gina kedatangan beberapa orang tamu yang mengaku sebagai sepupu dari Bagas. "Ini rumah saya, kenapa saya harus keluar?" tanya Gina kepada wanita di seberangnya. Gina tidak menyangka, pihak dari Bagas akan datang dan dengan tidak tahu malu menyuruhnya pergi."Mbak, kan, sudah bercerai sama Mas Bagas, jadi ini bukan rumah milik Mbak lagi. Tolong minggir, kami mau masuk!" Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah dengan paksa, diikuti oleh dua anak kecil dan satu pria dewasa.Gina menarik wanita berpakaian ketat itu, menghentikannya untuk masuk. "Pergi atau saya lapor kepala desa buat usir kalian!"Dua anak dari wanita itu dengan senang masuk ke dalam rumah, tertawa melihat rumah yang begitu bagus akan mereka tempati."Ma! Ma! Aku mau tidur di kamar sendiri!" ujar salah satu anak dengan riang."Iya, Sayang, mulai sekarang kamu dan
'Kenapa pria itu ada di kota ini?' itu adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran Gina ketika melihat Bagas. Tatapan keduanya bertemu sebelum akhirnya mobil yang bagas tumpangi melaju pergi. Gina menurunkan matanya, mencoba untuk membuat jantungnya tetap tenang. Selama empat tahun, Bagas tidak pernah menjenguk anak-anaknya, seolah sejak mereka bercerai, bukan hanya Gina yang dia tinggalkan, namun juga Gavin, Ghazi dan Binar. Ibu Bagas meninggal tiga tahun lalu, selain pemakaman ibunya, Bagas tidak pernah datang ke kampung. Gina bangkit berdiri, remaja SMA di sebelahnya masih mengobrol tentang pria mana saja yang paling tampan. "Mbak Gina ini dicuci dong, duduk aja dari tadi," ujar Sri pada Gina. Gina melongos tidak peduli. "Kamu aja yang cuci, tadi Mbak udah nyuci yang lain. Itu sisanya," balas Gina. Tidak sengaja bertatapan dengan Bagas benar-benar menguras energinya. Sri berdecak kesal, cemberut sambil mencuci piring-piring kotor. "Awas aja, aku adukan sama tante! Di pecat
Keesokan harinya, pukul setengah lima pagi. Gina sudah bangun dari tidurnya. Dia mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Aktivitas pagi yang sudah Gina lakukan selama bertahun-tahun tanpa jeda satu hari pun. Pukul enam ketika rumah selesai dia urus, Gina pergi ke luar untuk mencari tukang sayur yang biasanya lewat.Hari ini Gina berniat untuk memasak cumi, makanan kesukaan ke tiga anaknya. Saat tiba di tukang sayur, Gina langsung bertanya pada si penjual, ''Hari ini cumi ada, Mang?''''Ada, BU Gina. Kebetulan cuminya tinggal satu.'' Penjual sayur itu mengambil kantung keresek berisikan cumi di bawah gerobaknya, menyerahkannya pada Gina.Gina tersenyum, mengambil cumi yang si penjual serahkan.''Mau masak cumi, ya, Bu?'' tanya ibu-ibu lain pada Gina.''Iya, Bu. Kemarin anak-anak bilang kalau mereka pengen makan cumi,'' jawab Gina.''Anak saya juga kemaren pengen makan ayam, eh si Mamang malah enggak bawa ayam!'' sahut yang lainnya.''Bukan enggak bawa, Bu. Tapi habis, saya cuma bawa
''Ghazi!'' Gavin menegur adiknya. Ghazi tidak peduli sama sekali, hatinya kesal karena sang ibu yang beberapa kali berjanji akan memasakan makanan kesukaannya, namun tidak pernah terjadi. ''Mama mau buat nasi goreng sama bakwan jagung, loh, Zi. Kamu beneran enggak mau?'' tanya Gina sambil mengikuti Ghazi yang keluar dari rumah. ''Enggak mau, sarapannya nasi goreng mulu, Gazi pengen cumi, Mah!'' Langkah Gina terhenti di ambang pintu, menatap kepergian putranya. Perih Gina rasakan, bukan karena sikap Ghazi padanya, namun karena dia yang bahkan tidak bisa mengabulkan apa yang putranya inginkan. ''Mah, Gavin mau sarapan.,'' ujar Gavin. Melihat raut wajah sedih sang ibu, dia sangat kesal pada Ghazi yang bersikap tidak sopan. Gina berbalik dan bergegas menyelesaikan masakannya. Gina tahu Gavin mungkin marah pada sang adik, wanita itu tersenyum penuh pengertian. ''Mamah enggak pa-pa, kok, Vin. Jangan cemberut kaya gitu.'' ''Belanjaan Mamah di ambil sama orang tua itu lagi, ya, Mah?''
''Terserah.,'' ujar Gina dengan acuh, sama sekali tidak peduli apakah Bagas akan menunggunya atau tidak.Pukul enam sore, waktu di mana Gina dan Sri harus menutup warteg tiba. Gina membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang saat dia selesai menutup warteg.''Huh, mana? Katanya laki-laki tadi nungguin, Mbak, tapi kok sekarang enggak ada?'' Sri celingak-celinguk di sebelah Gina, menatap bolak-balik sekeliling warteg dengan ekspresi seolah ingin tertawa. ''Mbak pasti udah geer banget, kan mau di tungguin sama cowok ganteng. Hehehe, taunya bohong!''Gina menggelengkan kepalanya mendengar apa yang Sri katakan. Gina tahu jika Sri tengah mengolok-oloknya, tapi dia tidak peduli, melenggang pergi meninggalkan Sri di sana. Sri yang di tinggalkan mendengus dengan keras, lalu bergegas mencari tukang ojek untuk pulang.Masuk ke perkampungan, jalanan di sekelilingnya penuh dengan pepohonan dan rumput di setiap sisi jalannya. Hanya ada satu lampu yang mene