'Kenapa pria itu ada di kota ini?' itu adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran Gina ketika melihat Bagas.
Tatapan keduanya bertemu sebelum akhirnya mobil yang bagas tumpangi melaju pergi. Gina menurunkan matanya, mencoba untuk membuat jantungnya tetap tenang. Selama empat tahun, Bagas tidak pernah menjenguk anak-anaknya, seolah sejak mereka bercerai, bukan hanya Gina yang dia tinggalkan, namun juga Gavin, Ghazi dan Binar. Ibu Bagas meninggal tiga tahun lalu, selain pemakaman ibunya, Bagas tidak pernah datang ke kampung. Gina bangkit berdiri, remaja SMA di sebelahnya masih mengobrol tentang pria mana saja yang paling tampan. "Mbak Gina ini dicuci dong, duduk aja dari tadi," ujar Sri pada Gina. Gina melongos tidak peduli. "Kamu aja yang cuci, tadi Mbak udah nyuci yang lain. Itu sisanya," balas Gina. Tidak sengaja bertatapan dengan Bagas benar-benar menguras energinya. Sri berdecak kesal, cemberut sambil mencuci piring-piring kotor. "Awas aja, aku adukan sama tante! Di pecat tau rasa," gumam Sri. *** Pukul lima sore, Gina bergegas pulang karena pasti anak-anak sudah menunggu di rumah. Wanita itu berjalan kaki karena jarak warteg tempatnya bekerja lumayan dekat dengan rumah. "Gavin, Mamah pulang!" seru Gina saat tiba di halaman rumahnya. Setelah beberapa saat, tidak ada satu pun anak-anaknya yang keluar seperti biasa. Gina mengerutkan kening, membuka pintu dengan heran. "Mah," panggil Gavin saat melihat ibunya masuk. Gina berhenti di ambang pintu secara tiba-tiba, dia menatap kaget pada Bagas yang sedang duduk di meja makan sambil menatapnya. Telapak tangan Gina terkepal, menahan emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. Bagas bangkit berdiri, dia mengenakan sebuah celana cargo dan kaus berwarna hitam, jambang di sekitar dagunya membuat pria itu tampak semakin menawan. Gina memalingkan wajah saat Bagas menatapnya. "Vin, adik-adik kamu di mana?" tanya Gina, melenggang masuk tanpa memperhatikan Bagas. "Di kamar, Mah," jawab Gavin. Remaja berusia 12 tahun itu melirik Bagas sekilas sebelum akhirnya berkata lagi pada Gina, "Gavin masuk ke Kamar, ya, Mah." Mengangguk, Gina berjalan ke arah dapur, menuangkan segelas air lalu meminumnya dengan sekali tegakan. Wanita itu berdiri lama di sana, Bagas yang tidak mendapat tanggapan mengikuti Gina ke dalam dapur. ''Na,'' panggil Bagas dengan pelan. "Kenapa kamu pindah dari rumah?" Pria itu berdiri tepat di belakang Gina, lengannya terulur hendak menyentuh pundak Gina sebelum akhirnya dia kembali menarik tangannya. Gina sendiri tidak menjawab, dia hanya berbalik, berkata pada Bagas, '' Kita ngobrol di sana aja.'' Bagas mengangguk, keduanya pergi ke ruang keluarga, duduk di atas sofa yang sudah usang. ''Apa kabar?'' tanya Bagas. Gina mengangguk, tersenyum kecil. ''Baik, seperti yang kamu liat,'' jawab Gina tanpa mengatakan apa pun. Pria itu juga terdiam, ke dua tangannya bertaut. Setelah lama terdiam, Bagas kembali angkat bicara. ''Aku kangen... sama anak-anak.'' ''Mereka udah tidur, Mas juga liat sendiri tadi. Ini udah mau maghrib, sebaiknya Mas pergi. Gak enak sama tetangga,'' ujar Gina. Bagas tahu bahwa Gina mencoba mengusirnya secara halus. Dia menatap wanita yang tidak pernah dia lihat selama empat tahun. Bahkan ketika kematian ibunya, dia tidak melihat Gina hingga dirinya kembali ke ketentaraan. Gina menjadi lebih kurus sejak terakhir kali dia melihatnya, raut lelah tampak amat kentara di wajahnya. "Kenapa kamu pindah dari rumah? Tadi aku ke sana, tapi katanya kamu udah enggak tinggal di sana sejak empat tahun lalu, kenapa?" Gina menatap manik mata Bagas dalam diam, mencoba menelisik di manik mata hitam itu, mencari kebohongan bahwa Bagas benar-benar tidak tahu bahwa empat tahun lalu dia di usir dari sana oleh ibu dan sepupunya. Keduanya bertatapan cukup lama, Gina yang pertama memalingkan wajah, menjawab Bagas dengan acuh, "Bukan apa-apa. Itu urusan aku mau tinggal di mana pun, apa hubungannya sama kamu?" Gina mencengkram dengan erat sudut pakaiannya. "Sebaiknya kamu pergi dulu." ''Kalau gitu aku pergi.'' Bagas bangkit berdiri. ''Aku tinggal di kampung ini buat sementara Gin, kalau ada apa-apa kamu tinggal ngomong sama aku.'' Setelah mengatakan itu Bagas melenggang keluar dari rumah. Gina menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan lelah, menatap langit-langit rumah dengan pandangan termenung. Selain rasa sakit hatinya, Gina tidak tahu harus bereaksi bagaimana ketika bertemu Bagas lagi setelah empat tahun lamanya. Gina bangkit berdiri, berjalan menuju pintu ketika dia melihat sebuah kantung belanja berwarna coklat yang tergeletak begitu saja di lantai. Dia mengambilnya, melihat apa yang ada di dalam. Gina melihat kotak susu, roti dan beberapa makanan ringan lainnya. Lengan Gina gemetar secara tiba-tiba, air matanya menetes pada kantung belanja itu tanpa sadar. Gina tidak tahu apa yang dia tangisi, apa yang membuatnya sedih. Ketika dia melihat makana di dalam, Gina tiba-tiba menyadari bahwa sejak perceraiannya dengan Bagas, dia tidak pernah membeli hal-hal seperti susu atau roti untuk anak-anaknya. *** Bagas kembali ke rumah yang dia sewa untuk beberapa bulan ke depan. Masuk ke dalam rumah ponsel Bagas tiba-tiba bergetar, sebuah pesan masuk muncul di layar ponselnya. Dr. Serly: Mas, jangan lupa minum obat kamu Setelah membaca pesan itu, Bagas meletakan ponselnya di atas meja kayu tanpa membalas. Selain pesan dari Dokter Serly, ada juga pesan dari rekan-rekan Bagas yang lain yang bertanya keadaannya sekarang. Pria itu berjalan ke arah dapur, mengambil segelas air dan beberapa butir obat di dalam kotak dapur, menegak semuanya secara bersamaan. Dia meletakan kotak obat dan gelasnya kembali ke tempat masing-masing, lalu keluar dari dapur dan masuk ke dalam kamar. Baju yang Bagas pakai di buka, memperlihatkan sebuah kain berwarna putih yang melilit dada dan bahunya. Ada bercak darah pada kain tersebut, menandakan bahwa luka yang di balut oleh kain kembali terbuka hingga darahnya kembali keluar. ''Ssh-'' Bagas meringis ketika dia membuka kain yang membalut lukanya. Bekas jahitan yang belum mengering terlihat, tampak agak menakutkan ketika di padukan dengan darah berwarna merah pekat. Bagas menahan nafasnya, membersihkan dan membalut kembali lukanya sendiri. Setelah selesai, dia berbaring di atas tempat tidur dengan pelan, menatap tembok rumah yang kumuh, teringat ketika dia datang ke rumah yang Gina dan anak-anaknya tempati tadi. Mengapa terlihat begitu kumuh? Anak-anaknya juga terlihat begitu kurus dan kecil dari anak lain seusianya. Bagas ingat bahwa dia tidak pernah sekali pun lupa memberi Gina uang setiap bulannya, Bagas tidak percaya jika jawabannya adalah karena uang. Ketika Bagas melihat Binar, putrinya, anak yang dulu terlihat lucu dengan pipi menggembung menggemaskan itu berubah menjadi anak yang sangat kurus dan pemalu, anak itu langsung lari ke dalam kamar bersama Ghazi ketika melihatnya. Hanya Gavin yang tidak pergi, berdiri di sana tanpa mengatakan sepatah kata pun. Empat tahun kemudian, ketika dia datang kembali menemui mereka, tidak ada lagi yang menyambutnya, berteriak memanggilnya ayah dan berebut untuk di peluk. Bahkan Gina tidak lagi memanggilnya sehangat dulu. Pikiran Bagas berkelana, tidak tahu apa yang salah selama dia tidak ada. ''Apa salah aku, Mas? Kamu datang cuma buat menceraikan aku, apa salah aku?!'' Suara teriakan Gina empat tahun lalu ketika dia memberikannya surat cerai terngiang di telinga Bagas.Keesokan harinya, pukul setengah lima pagi. Gina sudah bangun dari tidurnya. Dia mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Aktivitas pagi yang sudah Gina lakukan selama bertahun-tahun tanpa jeda satu hari pun. Pukul enam ketika rumah selesai dia urus, Gina pergi ke luar untuk mencari tukang sayur yang biasanya lewat.Hari ini Gina berniat untuk memasak cumi, makanan kesukaan ke tiga anaknya. Saat tiba di tukang sayur, Gina langsung bertanya pada si penjual, ''Hari ini cumi ada, Mang?''''Ada, BU Gina. Kebetulan cuminya tinggal satu.'' Penjual sayur itu mengambil kantung keresek berisikan cumi di bawah gerobaknya, menyerahkannya pada Gina.Gina tersenyum, mengambil cumi yang si penjual serahkan.''Mau masak cumi, ya, Bu?'' tanya ibu-ibu lain pada Gina.''Iya, Bu. Kemarin anak-anak bilang kalau mereka pengen makan cumi,'' jawab Gina.''Anak saya juga kemaren pengen makan ayam, eh si Mamang malah enggak bawa ayam!'' sahut yang lainnya.''Bukan enggak bawa, Bu. Tapi habis, saya cuma bawa
''Ghazi!'' Gavin menegur adiknya. Ghazi tidak peduli sama sekali, hatinya kesal karena sang ibu yang beberapa kali berjanji akan memasakan makanan kesukaannya, namun tidak pernah terjadi. ''Mama mau buat nasi goreng sama bakwan jagung, loh, Zi. Kamu beneran enggak mau?'' tanya Gina sambil mengikuti Ghazi yang keluar dari rumah. ''Enggak mau, sarapannya nasi goreng mulu, Gazi pengen cumi, Mah!'' Langkah Gina terhenti di ambang pintu, menatap kepergian putranya. Perih Gina rasakan, bukan karena sikap Ghazi padanya, namun karena dia yang bahkan tidak bisa mengabulkan apa yang putranya inginkan. ''Mah, Gavin mau sarapan.,'' ujar Gavin. Melihat raut wajah sedih sang ibu, dia sangat kesal pada Ghazi yang bersikap tidak sopan. Gina berbalik dan bergegas menyelesaikan masakannya. Gina tahu Gavin mungkin marah pada sang adik, wanita itu tersenyum penuh pengertian. ''Mamah enggak pa-pa, kok, Vin. Jangan cemberut kaya gitu.'' ''Belanjaan Mamah di ambil sama orang tua itu lagi, ya, Mah?''
''Terserah.,'' ujar Gina dengan acuh, sama sekali tidak peduli apakah Bagas akan menunggunya atau tidak.Pukul enam sore, waktu di mana Gina dan Sri harus menutup warteg tiba. Gina membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang saat dia selesai menutup warteg.''Huh, mana? Katanya laki-laki tadi nungguin, Mbak, tapi kok sekarang enggak ada?'' Sri celingak-celinguk di sebelah Gina, menatap bolak-balik sekeliling warteg dengan ekspresi seolah ingin tertawa. ''Mbak pasti udah geer banget, kan mau di tungguin sama cowok ganteng. Hehehe, taunya bohong!''Gina menggelengkan kepalanya mendengar apa yang Sri katakan. Gina tahu jika Sri tengah mengolok-oloknya, tapi dia tidak peduli, melenggang pergi meninggalkan Sri di sana. Sri yang di tinggalkan mendengus dengan keras, lalu bergegas mencari tukang ojek untuk pulang.Masuk ke perkampungan, jalanan di sekelilingnya penuh dengan pepohonan dan rumput di setiap sisi jalannya. Hanya ada satu lampu yang mene
Gina berbaring di atas tempat tidur, mencoba memaksa kelopak matanya agar tertutup. Tapi nihil, dia sama sekali tidak mengantuk. Lagi pula siapa yang akan mengantuk jika melihat orang yag dengan sengaja dia dorong berdarah-darah.Pikirannya terus berkelana pada kejadian di mana dia melihat darah membasahi pakaian yang Bagas pakai. Bangkit dari kasur, Gina menghela nafas berat, menoleh untuk melihat putriya, Binar, yang sudah tertidur lelap. Gina keluar dari kamar, setelah memastikan bahwa Ghazi dan Gavin juga terlelap, dia mengambil cardigan lalu keluar dari rumah.Menyusuri jalan setapak, Gina akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang dia tahu dari warga yang bergosip bahwa rumah ini di tempati oleh Bagas. Gina mengambil nagas panjang, menenangkan dirinya yang sedikit gugup. Leangan Gina terangkat, mengetuk pintu rumah dengan pelan.utuh waktu dua menit hingga akhirnya pintu rumah terbuka.''Gina?'' Bagas menatap kaget pada Gina yang berada di depan pintu rumahnya malam-malam begini.
''Aku enggak punya maksud apa pun. Gin, aku cuma mau ngasih ini buat kalian, tolong terima,'' ucap Bagas dengan nada memohon. Gina menatap makanan di tangan Bagas, menghela nafas, hendak mengambilnya saat tangan lain meraihnya lebih cepat. ''Wah ayam!'' Itu adalah seruan seorang wanita. ''Wanda!'' panggil Gina pada wanita muda itu. Wanda, adik tiri Gina yang lahir dari Lastri dan mantan suaminya yang sekarang berusia sembilan belas tahun. Meski sudah lulus sekolah, tetapi Wanda sama sekali tidak ada niat untuk bekerja, hanya mengandalkan Lastri dan ayah Gina yang sudah tua untuk menghidupinya.''Punya makanan enak kok enggak bilang-bilang, Mbak Gina mau aku bilangin ibu?'' Wanda menatap Gina dengan wajah menantang. ''Itu bukan punya, Mbak, Wanda,'' ucap Gina, dia mengulurkan tangan, hendak merebut kembali makanan itu dari Wanda. ''Eh!'' Wanda dengan cepat menghindar. ''Pelit amat, biasanya juga bagi-bagi kalau punya makanan enak.'' Gina menatap Bagas, ingin melihat bagaimana ek
''Masa Bapak enggak tau, memangnya almarhum ibu Pak Bagas enggak pernah ngomong?'' Mereka semua menatap Bagas dengan tatapan heran dan penuh gosip. Harap-harap cemas dengan jawaban Bagas.Bagas terdiam, tidak menyangka jika ibunya akan melakukan hal seperti itu. Bagas tahu jika selama pernikahannya dengan Gina, ibunya tidak pernah menyukai Gina, tapi Bagas tidak pernah berpikir bahwa ibunya tega mengusir Gina dan anak-anaknya dari rumah yang mereka tinggali. Rasa tak nyaman lagi-lagi menyebar dalam hati Bagas.''Pak?''Seolah tersadar, Bagas menyadari bahwa dia sedikit melamun sejak tadi. Pria itu menggeleng, berkata pada mereka, ''Saya permisi dulu, ya, Ibu-ibu.'' Bagas melenggang pergi setelah itu tanpa memperhatikan raut wajah ibu-ibu yang berubah kecewa karena Bagas tidak menjawab.Bagas berjalan tak tentu arah, setiap langkah yang Bagas ambil terasa sangat berat, dia merasa seperti telah di siram sember air es hingga tubuhnya kedinginan. Bagas mengepalkan telapak tangannya hingga
''Gimana caranya? Aku bahkan enggak uang uang buat beli sayuran, gimana caranya aku ngehubungin kamu?'' ''Gimana bisa kamu enggak punya uang? Jelas-jelas aku selalu rutin ngirim uang buat kamu dan anak-anak! Kamu bisa beli handphone-'' kalimat Bagas tiba-tiba terhenti, seolah menebak sesuatu, pria itu menatap Gina dengan tatapan kosong. ''dari dulu sampai sekarang, aku enggak pernah nerima sepeserpun uang dari kamu. Kamu pikir, kalau aku punya uang, setelah ibu kamu ngusir aku dan anak-anak, aku masih bakalan bawa mereka tinggal di kontrakan kaya gini?'' ''Itu enggak mungkin, ibu bukan orang seperti itu.'' Bagas bergumam dengan suara serak. ''Nyatanya ibu kamu memang orang yang seperti itu,'' balas Gina.Melihat Bagas yang hanya diam, Gina menghela nafasnya, "Ayo masuk, jangan di luar. Malu kalau tetangga liat!"Pria itu mengangguk, mengikuti Gina masuk ke dalam kontrakan. Karena tidak ada meja atau pun kursi, Bagas duduk di atas lantai yang dilapisi oleh karpet."Mau minum?" tany
Gina pergi ke tempat kerja dengan perasaan yang campur aduk setelah memberikan Binar pada Bagas. Harusnya tidak apa-apa, kan, karena bagaimana pun Bagas adalah ayahnya.Seperti biasa, di tempat kerja Gina di sambut oleh Sri yang menatapnya dengan wajah cemberut dan kata-kata kasar. Dan seperti biasanya pula, Gina tidak pernah menanggapi dengan serius umpatan wanita muda itu."Nanti kamu jadi tua, loh, Sri, marah-marah terus kaya gini," ujar Gina dengan senyum bercanda."Yang penting enggak kaya lo-" Kalimat Sri terhenti ketika dia melihat wajah Gina yang masih sangat cantik untuk wanita yang usianya sudah memasuki kepala tiga. Dia sangat iri hingga tidak bisa menahan gertakan gigi. "Sewot!" kata Sri pada akhirnya. ***"Makasih, Om!" ucap Binar dengan bersemangat saat Bagas benar-benar memberikannya sebuah eskrim.Bagas tersenyum, mengusap pipi putrinya dengan pelan. "Coba panggil Papa, nanti lain kali Papa belikan lagi!" titah Bagas sambil mengiming-imingi Binar.Binar menatap Bagas