Rumah didominasi oleh warna putih, hitam dan coklat. Gina terperangah, dia tidak pernah membayangkan akan bisa masuk ke dalam rumah besar ini."Kita tidur di mana, Pah?" tanya Gavin masih bingung rumah siapa yang mereka masuki."Ayo Papah antar!" Menggendong Binar, Bagas mengantar ke dua putranya naik ke lantak atas. Dia lalu berhenti di dua buah pintu yang bersebelahan, menunjuk pada Gavin dan Ghazi. "Ini kamar Gavin, yang ini kamar Ghazi."Ke dua anak itu mengangguk, masuk ke dalam kamar mereka masing-masing dengan senang hati. Setelah itu Bagas membawa Binar ke kamar lainnya. Ketika pintu kamar itu terbuka, ruangan di penuhi dengan warna serba pink. Lemari, tempat tidur, hingga karpet dan boneka-boneka berwarna pink. Bagas meletakan Binar di atas tempat tidur besar, menarik selimut lalu mengecup kening anak itu dengan lembut.Setelah itu, Bagas kembali ke lantai bawah, menemui Gina yang saat ini tengah menatapnya dengan serius."Ada apa?" tanya Bagas dengan heran. Dia berjalan mende
Satu jam menatap layar tv yang menayangkan sinetron, perut Gina berbunyi, rasa lapar menghampirinya. Dia meletakan remote tv, bangkit berdiri dan pergi ke dapur. Karena baru pertama kali ke sini, Gina kebingungan saat mencari dapur. Dia menghabiskan waktu sepuluh menit hingga akhirnya berhasil menemukan dapur.Sebuah dapur yang terlihat sangat elegan dengan perpaduan warna hitam dan cokelat. Terdapat meja makan yang berada satu ruangan dengan dapur. Gina berjalan ke arahnya, melihat sebuah kulkas besar. Wanita itu membuka kulkas dan tidak menemukan apa pun di dalamnya.Gina menghela nafas, rasa laparnya tidak lagi bisa di tunda. Wanita itu naik ke lantai dua, masuk ke dalam kamar utama. Di sana, Bagas masih tertidur, Gina hendak membangunkannya saat melihat tas Bagas yang tergeletak di meja. Dia melirik Bagas sekilas, lalu mengambil dompet yang terdapat di dalam tas.Saat Gina membukanya, sebuah foto menarik perhatiannya. Di foto itu, seorang wanita muda berambut panjang tengah tersen
"Rumah kita," jawab Bagas sambil menyuapkan makanan ke mulutnya."BENERAN PAH?!" Ghazi berseru dengan semangat, dia bahkan meletakan kembali sendok berisikan nasi ke piring."Ghazi," tegur Gina.Anak itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat. "Tapi kita bakalan tinggal di sini, Mah? Sama Mamah juga?"Gina melirik Bagas yang mesem-mesem sendiri, mengangguk pada Ghazi. Sedangkan Gavin yang sudah cukup mengerti melirik ke dua orang tuanya, lalu melanjutkan makan yang tertunda. Gina tahu bahwa mungkin Gavin ingin mengajukan pertanyaan padanya, tapi tampaknya anak itu menahan diri.Selesai sarapan, Bagas berinisiatif mencuci piring, sedangkan Gina menyuruh ke tiga anaknya untuk mandi. Gina duduk di kursi ruang keluarga, baru saja akan menyalakan tv saat Gavin yang sudah berpakaian rapih menghampirinya."Mamah," panggil anak itu. Dia mendudukkan bokongnya di samping Gina."Kenapa, Sayang?" tanya Gina sambil mengelus surai lembut Gavin."Mamah mau tinggal di sini?" tanya Gavi
Di mulai dari pengajuan surat-surat hingga pada akhirnya Gina dan Bagas berhasil menikah kembali, setidaknya membutuhkan waktu tiga tiga bulan untuk Gina dan Bagas. Hari ini adalah hari di mana keduanya sah menjadi sepasang suami-istri lagi setelah empat tahun berpisah."Mah, sepatu Ghazi yang ini bawa, yah?" Ghazi menunjukan sepasang sepatu miliknya pada Gina."Jangan bawa semuanya, Zi. Kemaren, kan, kamu udah beli yang baru!"Ghazi cemberut. "Tapi sayang, Mah, kalau enggak di bawa. Masa di buang," keluh anak itu."Nanti kasih aja ke temen kamu, di bawa juga cuma menuhin tempat doang," ujar Gina.Anak itu mengangguk, memasukan sepatu bekas miliknya ke kantung tempat barang-barangnya yang tidak akan dia bawa ke rumah baru mereka. Gavin juga sama, dia memilih beberapa pakaian yang memang sering dia gunakan dan meletakan yang jarang dia gunakan pada kantung yang berbeda dengan Ghazi.Gina tengah membantu Binar memilih pakaian serta mainan. Rencananya, mereka tidak akan membawa barang ap
Pada akhirnya mereka tiba di rumah baru yang akan di tempati. Rumah itu masih sama seperti terakhir kali Gina datang, mewah dan bersih. mereka masuk ke dalam rumah, Ghazi langsung berlari ke dalam kamarnya di lantai dua tanpa membawa barang-barangnya."Anak itu!" tegur Gina menatap putra keduanya."Enggak pa-pa, nanti biar aku beresin. Kamu mendingan tidur, tadi di mobil perut kamu, kan, enggak enak." Pria itu menaruh barang bawaan mereka di atas lantai marmer.Gina mengangguk, sama sekali tidak menolak. Dia membawa Binar, anak itu juga kelelahan dan ingin segera beristirahat. Gina terlebih dahulu mengantarkan Binar ke kamarnya, ketika merek masuk, Binar dengan bersemangat naik ke atas tempat tidur pink miliknya."Kamu di sini, jangan nangis kaya waktu itu. Kalau mau apa-apa panggil kakak di sebelah. Oke?"Binar mengangguk mengerti. "Iya, Mah!"Menghela nafas lega, Gina pergi ke kamar utama yang sudah di kenalnya. Seprai di kamar itu sudah di ganti, tampak seperti baru saja di bersihk
"Eh, udah denger belum. Katanya ada anak jendral bintang tiga yang pindah ke sini.""Oh, udah tau kita. Di sekolah ini cuma ada satu, kan anak perwira polisi itu, si Agis. Ada saingan sekarang dia, bintang tiga lagi. Kalah deh bapaknya."Bisikin-bisikan itu keluar dari mulut para siswa, menyebar dengan cepat ke SMP internasional school di mana para siswanya adalah anak-anak dari para orang kaya atau pejabat negara.Gavin, yang berusia empat belas tahun menjadi siswa pindahan yang di bicarakan semua orang. Anak dari jendral bintang tiga, siapa yang tidak kagum. Sedangkan di negara ini bintang tiga di ketentaraan hanya di miliki oleh segelintir orang.Langkah kaki Gavin bergema di sepanjang lorong sekolah. Para gadis yang berpapasan dengannya di jalan menjerit dalam hati, mengagumi ketampanan dan tubuh tinggi remaja itu. Tapi Gavin tidak peduli sama sekali.Kepala sekolah turun langsung untuk menyambut Gavin dan mengantarnya ke ruang kelas. Kepala sekolah merasa bahwa Gavin adalah anak
"Tetangga baru, ya, Mbak? Nempatin rumah yang mana?" tanya seorang wanita pada Gina.Gina dan lima orang lainnya sedang memilih sayur di sebuah mobil uang memang menjajakan sayuran setiap pagi di perumahan."Iya, Mbak. Baru dua minggu lalu pindah. Itu, rumah yang di sebelah sana," jawan Gina, menunjuk arah rumahnya."Oh, yang itu. Pantesan katanya itu rumah udah di beli, tapi dulu masih kosong. Rupanya baru pindah, toh." Dia mengangguk-anggukkan kepalanya.Gina tersenyum, kebanyakan yang berkumpul di tukang sayur adalah para ART gang bekerja untuk orang-orang kaya di perumahan ini. Gina mengobrol dan tidak butuh waktu lama hingga akhirnya mereka menjadi akrab.Dari Lima orang itu, satu orang yang aktif mengajak Gina berbicara adalah seorang wanita muda yang kira-kira umurnya baru dua puluhan. Gina tahu bahwa namanya adalah Lia. Lia bekerja di salah satu rumah sebagai ART."Bos saya itu, pelitnya minta ampun!" Lia berbisik pada Gina. "Udah umur hampir empat puluh, tapi belum nikah-nika
"Kenapa melamun, hm?" tanya Bagas yang baru saja pulang. Pria itu mengecup pipi Gina dengan singkat.Gina melirik Bagas, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada tv. Bagas tahu bahwa fokus sebenarnya Gina bukanlah pada layar LED itu, tatapan mata Gina tampak kosong, seolah sedang memikirkan beban bertanya sendiri.Menghela nafas, Bagas bersimpuh di hadapan Gina yang duduk pada sofa panjang. "Kamu kenapa lagi? Cerita sama aku!" Bagas menatap Gina dengan tatapan khawatir."Aku enggak pa-pa." Gina menggelengkan kepalanya. "Aku-" Gina ragu apakah dia harus memberitahu Bagas tentang kehamilannya atau tidak. "Hah, aku enggak pa-pa!""Kamu bohong," tuduh Bagas."Apa, sih, Mas. Minggir sana! Aku mau nonton tv." Gina mendorong tubuh besar Bagas dengan tidak sabar."Kamu nyesel rujuk sama aku?" tanya Bagas dengan sedih."Enggak! Aku cuma nyuruh kamu minggir, malah ngomong sembarangan!" omel wanita itu pada suaminya.Bagas cemberut, kali ini dia bangkit dan duduk di sebelah Gina. Pria itu masih