Satu jam menatap layar tv yang menayangkan sinetron, perut Gina berbunyi, rasa lapar menghampirinya. Dia meletakan remote tv, bangkit berdiri dan pergi ke dapur. Karena baru pertama kali ke sini, Gina kebingungan saat mencari dapur. Dia menghabiskan waktu sepuluh menit hingga akhirnya berhasil menemukan dapur.Sebuah dapur yang terlihat sangat elegan dengan perpaduan warna hitam dan cokelat. Terdapat meja makan yang berada satu ruangan dengan dapur. Gina berjalan ke arahnya, melihat sebuah kulkas besar. Wanita itu membuka kulkas dan tidak menemukan apa pun di dalamnya.Gina menghela nafas, rasa laparnya tidak lagi bisa di tunda. Wanita itu naik ke lantai dua, masuk ke dalam kamar utama. Di sana, Bagas masih tertidur, Gina hendak membangunkannya saat melihat tas Bagas yang tergeletak di meja. Dia melirik Bagas sekilas, lalu mengambil dompet yang terdapat di dalam tas.Saat Gina membukanya, sebuah foto menarik perhatiannya. Di foto itu, seorang wanita muda berambut panjang tengah tersen
"Rumah kita," jawab Bagas sambil menyuapkan makanan ke mulutnya."BENERAN PAH?!" Ghazi berseru dengan semangat, dia bahkan meletakan kembali sendok berisikan nasi ke piring."Ghazi," tegur Gina.Anak itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat. "Tapi kita bakalan tinggal di sini, Mah? Sama Mamah juga?"Gina melirik Bagas yang mesem-mesem sendiri, mengangguk pada Ghazi. Sedangkan Gavin yang sudah cukup mengerti melirik ke dua orang tuanya, lalu melanjutkan makan yang tertunda. Gina tahu bahwa mungkin Gavin ingin mengajukan pertanyaan padanya, tapi tampaknya anak itu menahan diri.Selesai sarapan, Bagas berinisiatif mencuci piring, sedangkan Gina menyuruh ke tiga anaknya untuk mandi. Gina duduk di kursi ruang keluarga, baru saja akan menyalakan tv saat Gavin yang sudah berpakaian rapih menghampirinya."Mamah," panggil anak itu. Dia mendudukkan bokongnya di samping Gina."Kenapa, Sayang?" tanya Gina sambil mengelus surai lembut Gavin."Mamah mau tinggal di sini?" tanya Gavi
Di mulai dari pengajuan surat-surat hingga pada akhirnya Gina dan Bagas berhasil menikah kembali, setidaknya membutuhkan waktu tiga tiga bulan untuk Gina dan Bagas. Hari ini adalah hari di mana keduanya sah menjadi sepasang suami-istri lagi setelah empat tahun berpisah."Mah, sepatu Ghazi yang ini bawa, yah?" Ghazi menunjukan sepasang sepatu miliknya pada Gina."Jangan bawa semuanya, Zi. Kemaren, kan, kamu udah beli yang baru!"Ghazi cemberut. "Tapi sayang, Mah, kalau enggak di bawa. Masa di buang," keluh anak itu."Nanti kasih aja ke temen kamu, di bawa juga cuma menuhin tempat doang," ujar Gina.Anak itu mengangguk, memasukan sepatu bekas miliknya ke kantung tempat barang-barangnya yang tidak akan dia bawa ke rumah baru mereka. Gavin juga sama, dia memilih beberapa pakaian yang memang sering dia gunakan dan meletakan yang jarang dia gunakan pada kantung yang berbeda dengan Ghazi.Gina tengah membantu Binar memilih pakaian serta mainan. Rencananya, mereka tidak akan membawa barang ap
Pada akhirnya mereka tiba di rumah baru yang akan di tempati. Rumah itu masih sama seperti terakhir kali Gina datang, mewah dan bersih. mereka masuk ke dalam rumah, Ghazi langsung berlari ke dalam kamarnya di lantai dua tanpa membawa barang-barangnya."Anak itu!" tegur Gina menatap putra keduanya."Enggak pa-pa, nanti biar aku beresin. Kamu mendingan tidur, tadi di mobil perut kamu, kan, enggak enak." Pria itu menaruh barang bawaan mereka di atas lantai marmer.Gina mengangguk, sama sekali tidak menolak. Dia membawa Binar, anak itu juga kelelahan dan ingin segera beristirahat. Gina terlebih dahulu mengantarkan Binar ke kamarnya, ketika merek masuk, Binar dengan bersemangat naik ke atas tempat tidur pink miliknya."Kamu di sini, jangan nangis kaya waktu itu. Kalau mau apa-apa panggil kakak di sebelah. Oke?"Binar mengangguk mengerti. "Iya, Mah!"Menghela nafas lega, Gina pergi ke kamar utama yang sudah di kenalnya. Seprai di kamar itu sudah di ganti, tampak seperti baru saja di bersihk
"Eh, udah denger belum. Katanya ada anak jendral bintang tiga yang pindah ke sini.""Oh, udah tau kita. Di sekolah ini cuma ada satu, kan anak perwira polisi itu, si Agis. Ada saingan sekarang dia, bintang tiga lagi. Kalah deh bapaknya."Bisikin-bisikan itu keluar dari mulut para siswa, menyebar dengan cepat ke SMP internasional school di mana para siswanya adalah anak-anak dari para orang kaya atau pejabat negara.Gavin, yang berusia empat belas tahun menjadi siswa pindahan yang di bicarakan semua orang. Anak dari jendral bintang tiga, siapa yang tidak kagum. Sedangkan di negara ini bintang tiga di ketentaraan hanya di miliki oleh segelintir orang.Langkah kaki Gavin bergema di sepanjang lorong sekolah. Para gadis yang berpapasan dengannya di jalan menjerit dalam hati, mengagumi ketampanan dan tubuh tinggi remaja itu. Tapi Gavin tidak peduli sama sekali.Kepala sekolah turun langsung untuk menyambut Gavin dan mengantarnya ke ruang kelas. Kepala sekolah merasa bahwa Gavin adalah anak
"Tetangga baru, ya, Mbak? Nempatin rumah yang mana?" tanya seorang wanita pada Gina.Gina dan lima orang lainnya sedang memilih sayur di sebuah mobil uang memang menjajakan sayuran setiap pagi di perumahan."Iya, Mbak. Baru dua minggu lalu pindah. Itu, rumah yang di sebelah sana," jawan Gina, menunjuk arah rumahnya."Oh, yang itu. Pantesan katanya itu rumah udah di beli, tapi dulu masih kosong. Rupanya baru pindah, toh." Dia mengangguk-anggukkan kepalanya.Gina tersenyum, kebanyakan yang berkumpul di tukang sayur adalah para ART gang bekerja untuk orang-orang kaya di perumahan ini. Gina mengobrol dan tidak butuh waktu lama hingga akhirnya mereka menjadi akrab.Dari Lima orang itu, satu orang yang aktif mengajak Gina berbicara adalah seorang wanita muda yang kira-kira umurnya baru dua puluhan. Gina tahu bahwa namanya adalah Lia. Lia bekerja di salah satu rumah sebagai ART."Bos saya itu, pelitnya minta ampun!" Lia berbisik pada Gina. "Udah umur hampir empat puluh, tapi belum nikah-nika
"Kenapa melamun, hm?" tanya Bagas yang baru saja pulang. Pria itu mengecup pipi Gina dengan singkat.Gina melirik Bagas, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada tv. Bagas tahu bahwa fokus sebenarnya Gina bukanlah pada layar LED itu, tatapan mata Gina tampak kosong, seolah sedang memikirkan beban bertanya sendiri.Menghela nafas, Bagas bersimpuh di hadapan Gina yang duduk pada sofa panjang. "Kamu kenapa lagi? Cerita sama aku!" Bagas menatap Gina dengan tatapan khawatir."Aku enggak pa-pa." Gina menggelengkan kepalanya. "Aku-" Gina ragu apakah dia harus memberitahu Bagas tentang kehamilannya atau tidak. "Hah, aku enggak pa-pa!""Kamu bohong," tuduh Bagas."Apa, sih, Mas. Minggir sana! Aku mau nonton tv." Gina mendorong tubuh besar Bagas dengan tidak sabar."Kamu nyesel rujuk sama aku?" tanya Bagas dengan sedih."Enggak! Aku cuma nyuruh kamu minggir, malah ngomong sembarangan!" omel wanita itu pada suaminya.Bagas cemberut, kali ini dia bangkit dan duduk di sebelah Gina. Pria itu masih
''Besok aku pergi, kamu enggak akan kangen?'' bisik Bagas, bertanya pada Gina. ''Emang kamu enggak akan pulang lagi?'' tanya Gina balik, mencoba menyingkirkan lengan Bagas yang sedang meraba dadanya. ''Tiga bulan, loh, Sayang. Setelah ini aku puasa tiga bulan.'' Bagas cemberut, membenamkan wajahnya pada ceruk leher Gina. Pria itu menarik nafas dalam, menghirup aroma Gina yang akan dia rindukan. Tangan Bagas mulai berkeliaran di tubuh Gina, pria itu mengecup di sepanjang tengkuk Gina. Gina menciutkan lehernya yang kegelian karena ciuman beruntun Bagas. ''Haha, stop, Mas!'' Gina tertawa kecil, mencoba menghentikan Bagas. ''Enggak mau.'' Bagas menolak, satu tangan yang meraba dada Gina turun ke perut wanita itu. ''Aku pengen yang, enggak kuat.'' Ketika telapak tangan besar Bagas mengelus perutnya di balik piyama, tubuh Gina menegang, teringat akan hasil testpacknya tadi siang. ''Mas, stop!'' titah Gina dengan suara tegas. ''Kenapa?'' Bagas mengerutkan kening kebingungan. ''Kita eng
"Na, kenapa muka kamu pucat banget, kamu masih sakit?" tanya Dimas ketika dia melihat wajah Aina yang tampak tidak sehat.Aina menoleh ketika mendengar suara bertanya Dimas, dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Saya enggak pa-pa, kok, Pak!" Bibir pucat Aina terangkat, dia mencoba untuk baik-baik saja.Kening Dimas bertaut, masih merasa khawatir bahkan jika Aina berkata bahwa dia baik-baik saja. "Kamu sudah periksa ke rumah sakit?" tanya Dimas lagi."Saya cuma masuk angin, enggak perlu ke rumah sakit.""Kamu terlalu keras kepala, Na. Jangan sepelekan penyakit bahkan kalau pun itu hanya masuk angin. Saya antar kamu ke rumah sakit sekarang!" ujar Dimas dengan nada sedikit memaksa.Aina enggan, mereka masih berada di tempat kerja dan beberapa karyawan memperhatikannya. Dia takut jika Dimas mengantarnya ke rumah sakit di tengah jam kerja, pria itu akan terseret gosip karenanya. Karena Aina tahu betul jika beberapa karyawan sering memperhatikan dia dan bergosip secara diam-diam."Engg
Aina sedang duduk di atas tempat tidur saat bel pintu apartemen berdering. Aina yang sedang cemas menunggu kepulangan Gavin langsung berdiri, bergegas keluar dari kamar untuk membuka pintu.Ketika pintu apartemen dibuka, Aina melihat Gavin yang sedang di papah oleh seorang wanita yang Aina tahu dia berjama Celine."Gavin kenapa?" tanya Aina, sedikit panik melihat Gavin yang tampak tidak sadarkan diri."Gavin Mabuk, tolong minggir dulu, biar gue yang antar dia ke kamarnya!" Celine mendorong Aina ke samping, lalu dia bergegas masuk dengan susah payah. "Di mana kamar Gavin?" tanya Celine."Dudukkan di sofa aja," ujar Aina.Celine mendudukkan Gavin yang mabuk di atas sofa, wanita itu membuka jaket yang Gavin kenalan dan menyuruh Aina yang sedari tadi hanya berdiri dan menatap dari samping, "Buatin air hangat pake madu dan jeruk!"Meski hatinya merasa tidak nyaman melihat Celine yang begitu merawat Gavin, tapi dia tetap sigap melakukan hal yang Celine minta. Dia bergegas pergi ke dapur, me
Aina pulang ke apartemen. Saat dia membuka pintu dan masuk, Aina meletakan barang-barang yang dia beli, dia bahkan tidak sempat membereskan semua itu karena Aina langsung pergi ke dalam kamar mandi dan muntah lagi.Hoek, hoek, hoek.Terengah-engah, Aina menopang tubuhnya pada pinggiran wastafel. Dia berkumur, mencuci mulut dan wajahnya agar terlihat segar. Aina lalu mendongak, menatap wajah pucat nya di cermin. Pantulan dirinya di cermin terlihat sangat kuyu dengan wajah yang basah oleh air dan rambut acak-acakan.Menghela nafas, Aina keluar dari kamar mandi, dia mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur untuk menenangkan rasa mual di perutnya. Aina berharap bahwa setelah dia bangun nanti, rasa mual itu akan menghilang.***Gavin kembali ke apartemennya setelah menginap di rumah usai ulang tahun bunga, adiknya yang terakhir. Dia menekan serangkaian kata sandi, dan ketika pintu dibuka, Gavin masuk ke dalam apartemen.Suasana hening mem
Aina berdiri di trotoar, menunggu kendaraan umum yang lewat. Wanita itu celingak-celinguk, menunggu dengan cemas. Hari sudah menunjukan pukul tujuh malam, namun dia belum juga mendapati kendaraan yang lewat karena memang hujan deras baru yang diiringi oleh suara petir saja mereda. "Na, kamu mau bareng aja sama saya?" Dimas yang menghampiri Aina bertanya pada wanita itu."Enggak usah, pak. Saya bisa nunggu sebentar lagi, kok." Aina menggeleng, menolak sambil tersenyum."Kalau begitu saya temenin kamu nunggu, ini udah malem, enggak baik perempuan di pinggir jalan kaya gini." Dimas menawarkan diri."Tapi-" Aina ingin menolak, dia merasa tidak enak pada Dimas. Bagaimanapun pria itu juga pasti punya kesibukan setelah ini."Jangan nolak. Saya enggak terima penolakan." Dimas bersikukuh untuk menemani Aina.Pada akhirnya Aina dengan pasrah membiarkan Dimas menemaninya. Wanita itu sedari tadi mengguncang ponsel yang ada dalam genggamannya, menghubungi Gavin berulang kali untuk meminta jemput.
"Kamu pulang?" sapa Aina ketika dia melihat Gavin yang masuk ke dalam apartemen.Gavin mengangguk, dia membuka jaket yang dia kenakan, melemparnya ke atas sofa dengan sembarangan. "Gue lapar, ada makanan?" tanya Gavin.Aina bangkit berdiri dari sofa, dia berjalan ke arah dapur sambil menjawab, "Ada, makan sekarang apa mandi dulu?" tanya Aina."Makan sekarang," jawab Gavin.Mengangguk, Aina mengambil piring dan menyiapkan makanan untuk Gavin. Pria itu duduk di atas meja makan sambil menunggu Aina selesai menyiapkan makanan. Setelah makanan tersaji di hadapannya, Gavin mulai melahap makanannya."Perempuan yang sama kamu tadi siapa?" tanya Aina, dia bertanya dengan hati-hati agar Gavin tidak marah."Temen, kenapa?" Gavin balik bertanya tanpa menatap Aina."Enggak, keliatannya akrab banget sama kamu. Tadi kamu nelepon aku pake nomor dia?"Mengangguk, Gavin mendongak menatap wanita itu. "Kenapa, sih?" tanya Gavin.Kepala Aina menggeleng, dia menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhn
"Vin...ugh." Aina melenguh saat Gavin mengecupi di sepanjang lehernya hingga akhirnya pria itu berhenti pada dadanya yang ranum.Rasa geli menyebar ke seluruh tubuh Aina, apalagi saat bibir Gavin dengan rakus mengisap pucuk dadanya bergantian. Aina mengelus rambut kepala Gavin, membuat pria wajah pria itu terbenam di sana.Tubuh keduanya sama-sama bugil, saling mengerat satu sama lain. Keringat mereka membanjiri tubuh, ac yang tergantung di dinding sama sekali tidak mempengaruhi suhu panas di antara keduanya."Baring!" titah Gavin pada Aina.Mengangguk, Aina berbaring di atas tempat tidur sambil membuka ke dua kakinya. Nafas Gavin memberat melihat wanita itu menatapnya dari bawah dengan ekspresi yang begitu provokatif."Emh..." Aina tersentak, Gavin memasuki dirinya secara tiba-tiba.Kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap malam jika Gavin memintanya, Aina hanya menurut, bagaimana pun menurutnya Gavin adalah pria yang baik yang banyak membantunya di saat dia kesulitan. Aina sama sek
Di sebuah kamar yang remang, seorang wanita menggeliat di atas tempat tidur. Kelopak mata wanita itu terbuka, dia menguap, mencoba bangkit dari tempat tidur ketika tubuhnya tiba-tiba di peluk dengan erat pada pelukan seorang pria yang tertidur di sebelahnya."Vin, lepasin dulu!" titah Wanita yang tidak lain adalah Aina, dia mencoba menyingkirkan tangan Gavin yang melingkari pinggangnya."Sebentar aja," gumam Gavin dengan mata tertutup.Aina menghela nafas. "Ini udah siang, Vin. Katanya kamu ada kuliah jam segini?" tanya Aina dengan nada tidak berdaya.Gavin melepaskan pelukannya, dengan malas bangkit dari tempat tidur. "Sebenernya sesekali bolos juga gak pa-pa," ujar Pria itu."Kalau papah kamu tau, kamu pasti di marahin!" Aina turun dari tempat tidur, memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai. "Cepetan bangun!" titah Aina lagi pada Gavin sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi.Selesai mandi dan berpakaian, Aina keluar dari sana, dia melihat Gavin yang hanya memakai boxernya seda
"Makasih, ya, Vin. Lo udah mau nganter gue," ucap Jullia pada Gavin yang berjalan di sampingnya.Gavin mengangguk, tatapannya mengedar menatap toko-toko dan orang yang berlalu-lalang. Dia melihat sebuah gaun cantik di salah satu etalase toko, berpikir jika Aina mengenakan gaun itu pasti akan terlihat cocok dan sangat cantik. Gavin tanpa sadar tersenyum."Vin!" Julia menegur pria yang ternyata tidak memperhatikan dan mendengarkannya."Hah? Kenapa?" Gavin menoleh pada Julia dengan wajah bingung."Lo mikirin apa, sih? Gue ngomong dari tadi ternyata enggak lo dengerin!" Julia cemberut kesal.Tangan Gavin terulur, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sorry," ucap Gavin dengan rasa bersalah.Keduanya mengobrol di sepanjang perjalanan. Gavin terus mengikuti Julia meski dia tidak tahu ke mana tujuan wanita itu karena sedari tadi mereka hanya berkeliling mall.Tanpa mereka sadar, seseorang menatap keduanya di kejauhan. Gadis itu bersembunyi di salah satu tiang tinggi, melihat Julia yang tam
Seperti yang Gavin katakan, dia tidak ikut mengantar Aina hingga rumahnya, namun hanya di depan gang. Gavin ikut turun ketika Aina turun dari mobil, ia melihat ke gang yang cukup gelap di belakang karena matahari sudah terbenam."Gue anter, ya. Itu gangnya gelap banget, gimana kalau ada apa-apa?" tanya Gavin dengan khawatir.Aina menggelengkan kepalanya, dia menolak, "Enggak usah, Vin. Enggak bakalan ada apa-apa, kok. Aku udah biasa jalan sendiri.""Kalau gitu-""Wih, wih, wih!" Supri tiba-tiba datang dari arah gang, menghampiri Aina dan Gavin di sana.Gavin menatap Aina sejenak, lalu tatapannya beralih pada Supri yang datang. Dia tahu bahwa pria itu adalah ayah dari Aina, Gavin hendak menyapa dengan sopan saat Supri tiba-tiba membuka suara."Katanya cuma temen! Huh! Kalau kaya gitu ngapain kamu nangis-nangis sepatunya Bapak jual? Kan bisa beli lagi," ujar Supri sambil menoyor kepala Aina.Gavin terkejut, dia tidak menyangka jika Supri akan mengatakan itu. "Sepatunya di jual?" tanya G