"Tetangga baru, ya, Mbak? Nempatin rumah yang mana?" tanya seorang wanita pada Gina.Gina dan lima orang lainnya sedang memilih sayur di sebuah mobil uang memang menjajakan sayuran setiap pagi di perumahan."Iya, Mbak. Baru dua minggu lalu pindah. Itu, rumah yang di sebelah sana," jawan Gina, menunjuk arah rumahnya."Oh, yang itu. Pantesan katanya itu rumah udah di beli, tapi dulu masih kosong. Rupanya baru pindah, toh." Dia mengangguk-anggukkan kepalanya.Gina tersenyum, kebanyakan yang berkumpul di tukang sayur adalah para ART gang bekerja untuk orang-orang kaya di perumahan ini. Gina mengobrol dan tidak butuh waktu lama hingga akhirnya mereka menjadi akrab.Dari Lima orang itu, satu orang yang aktif mengajak Gina berbicara adalah seorang wanita muda yang kira-kira umurnya baru dua puluhan. Gina tahu bahwa namanya adalah Lia. Lia bekerja di salah satu rumah sebagai ART."Bos saya itu, pelitnya minta ampun!" Lia berbisik pada Gina. "Udah umur hampir empat puluh, tapi belum nikah-nika
"Kenapa melamun, hm?" tanya Bagas yang baru saja pulang. Pria itu mengecup pipi Gina dengan singkat.Gina melirik Bagas, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada tv. Bagas tahu bahwa fokus sebenarnya Gina bukanlah pada layar LED itu, tatapan mata Gina tampak kosong, seolah sedang memikirkan beban bertanya sendiri.Menghela nafas, Bagas bersimpuh di hadapan Gina yang duduk pada sofa panjang. "Kamu kenapa lagi? Cerita sama aku!" Bagas menatap Gina dengan tatapan khawatir."Aku enggak pa-pa." Gina menggelengkan kepalanya. "Aku-" Gina ragu apakah dia harus memberitahu Bagas tentang kehamilannya atau tidak. "Hah, aku enggak pa-pa!""Kamu bohong," tuduh Bagas."Apa, sih, Mas. Minggir sana! Aku mau nonton tv." Gina mendorong tubuh besar Bagas dengan tidak sabar."Kamu nyesel rujuk sama aku?" tanya Bagas dengan sedih."Enggak! Aku cuma nyuruh kamu minggir, malah ngomong sembarangan!" omel wanita itu pada suaminya.Bagas cemberut, kali ini dia bangkit dan duduk di sebelah Gina. Pria itu masih
''Besok aku pergi, kamu enggak akan kangen?'' bisik Bagas, bertanya pada Gina. ''Emang kamu enggak akan pulang lagi?'' tanya Gina balik, mencoba menyingkirkan lengan Bagas yang sedang meraba dadanya. ''Tiga bulan, loh, Sayang. Setelah ini aku puasa tiga bulan.'' Bagas cemberut, membenamkan wajahnya pada ceruk leher Gina. Pria itu menarik nafas dalam, menghirup aroma Gina yang akan dia rindukan. Tangan Bagas mulai berkeliaran di tubuh Gina, pria itu mengecup di sepanjang tengkuk Gina. Gina menciutkan lehernya yang kegelian karena ciuman beruntun Bagas. ''Haha, stop, Mas!'' Gina tertawa kecil, mencoba menghentikan Bagas. ''Enggak mau.'' Bagas menolak, satu tangan yang meraba dada Gina turun ke perut wanita itu. ''Aku pengen yang, enggak kuat.'' Ketika telapak tangan besar Bagas mengelus perutnya di balik piyama, tubuh Gina menegang, teringat akan hasil testpacknya tadi siang. ''Mas, stop!'' titah Gina dengan suara tegas. ''Kenapa?'' Bagas mengerutkan kening kebingungan. ''Kita eng
"Mah, papah kapan pulang?"Minggu ke dua Bagas pergi, Binar secara rutin bertanya pada Gina kapan ayahnya akan pulang. Dia sangat merindukan ayahnya, berharap setiap hari bahwa sang ayah segera akan pulang."Belum, nanti kalau papah pulang, Mamah pasti kasih tau Binar. Oke?" Gina membujuk dengan kalimat yang sama setiap harinya.Lalu anak itu akan cemberut, setelahnya Binar akan pergi ke luar untuk bermain teman-temannya barunya di perumahan. Gina juga sama, dia sudah cukup akrab dengan tetangga di sekitar rumahnya. Lebih tepatnya dengan ART karena nyonya rumah mereka sibuk bekerja. Berbeda dengan Gina yang hanya ibu rumah tangga."Ngeselin banget tua bangka itu hari ini! Masa Aku lagi beresin baju di kamarnya dia keluar kamar mandi enggak pake handuk! Mana pamer pula bolak-balik dua kali di tempat yang sama!" Lia curhat padanya dengan suara yang menggebu-gebu.Karena bosan, selama Bagas tidak ada, Gina banyak bergaul dengan Lia. "Memangnya kamu enggak tergoda, Li?" tanya Gina dengan i
Gina mengangguk. "Belajar yang rajin, jangan main yang aneh-aneh," nasehat Gina.Gavin mengangguk mengerti apa yang ibunya katakan. Dia melanjutkan Makan malamnya.***"Halo Ghazi!" Sapa Serly yang sengaja datang ke sekolah anak itu.Ghazi menatap Serly dengan bingung, dia ingat bahwa Serly adalah orang yang pernah bertemu dengannya di kampung, tapi Ghazi tidak tahu untuk apa Serly di sini."Halo Tante," balas Ghazi dengan suara pelan.Serly tersenyum selembut dan se ramah mungkin pada Ghazi. "Kamu belum masuk ke kelas?" tanya Serly.Ghazi yang baru saja dari toilet menggelengkan kepalanya. "Belum Tan. Tante ngapain di sini?" tanya Ghazi penasaran."Tante jadi guru sementara di sini buat mengedukasi siswa-siswi tentang pentingnya kesehatan," jawab Serly. "Kepala sekolah sendiri yang mengundang Tante supaya datang."Mulut Ghazi membentuk huruf 'o' besar, lalu mengangguk mengerti. "Ghazi pergi dulu!" Anak itu berlari pergi tanpa menunggu jawaban Serly.Serly senang, setidaknya langkah pe
''Dadah Tante!'' Ghazi melambaikan tangannya pada Serly yang berada di dalam mobil. Di ambang pintu, Gina menatap Ghazi dengan heran ketika melihat anak itu tampak mengucapkan selamat tinggal pada seseorang yang berada di dalam mobil. Gina berjalan menghampiri Ghazi, kemudian setelah mobil itu pergi Ghazi juga berbalik, berlari menghampirinya. ''Mamah!'' seru Ghazi ketika melihat ibunya. ''Ayo masuk, ini udah mau maghrib!'' titah Gina. ''Adik sama kakak kamu udah pulang dari tadi. Seharusnya Ghazi kasih tau Mamah kalau misalkan mau pulang sore, kaya kakak kamu kemaren,'' ujar Gina. Ghazi cemberut, dia merasa bahwa ibunya tidak tahu apa pun tentang kehidupan sekolah. ''Tadi Ghazi habiz ke pameran, Mah. Keren banget, banyak robot yang bisa gerak sendiri!'' Dia bercerita tentang apa yang di lihatnya selama berada di pameran pada Gina. Gina menghela nafas lega. ''Yaudah, cepet mandi dan ganti baju.'' Keduanya masuk ke dalam rumah, Ghazi langsung berlari ke kamar untuk membersihkan di
'Aku baik-baik aja, jangan khawatir, jaga kesehatan kamu.'Itu adalah pesan yang di kirim oleh Bagas untuk Gina, malam setelah peristiwa bom di sana terjadi. Gina menghela nafas lega, dia akhirnya bisa tidur nyenyak setelah Bagas mengirim pesan.Gina berbaring di tempat tidur, memejamkan matanya setelah begadang hingga pukul dua belas malam.Keesokan harinya, Gina bangun, mandi dan berpakaian, dia turun ke bawa untuk membuat sarapan bagi anak-anaknya. Setelah sarapan selesai, Gavin yang pertama turun ke bawah dengan seragam lengkap, di susul oleh Binar dan Ghazi."Udah jam tujuh, cepet sarapan!" Gina menyajikan piring berisikan nasi serta lauk-pauknya pada mereka."Mah, sarapan itu penting, jangan di buru-buru," ujar Ghazi, meralat ucapan ibunya.Gerakan Gina berhenti, lalu tersenyum pada Ghazi. "Oke, Mamah ngerti, Maafin Mamah, yah. Ayo sarapan."Ghazi mengangguk puas saat Gina berkata bahwa dia mengerti. Ke tiga anak itu memakan sarapan mereka dalam diam, beberapa menit kemudian ket
Seperti biasa, Gina bangun 0agi untuk menyiapkan sarapan anak-anaknya dan keperluan sekolah mereka. Wanita hamil itu melihat bahwa persediaan di kulkas sudah mulai menipis, dia berencana untuk pergi ke supermarket terdekat dan membeli lauk yang tidak tersedia di tukang sayur."Hari ini sarapan nasi goreng dulu, yah. Enggak pa-pa, kan, Kak?" tanya Gina pada Gavin."Enggak pa-pa, kok, Mah." Anak itu menyahut tidak masalah. Gavin mengambil air hangat yang Gina siapkan, meminumnya dengan pelan.Gina mulai menyiapkan sarapannya, dia menyuruh Gavin untuk mandi dan membangunkan adik-adiknya yang masih tertidur di kamar mereka masing-masing.***"Gimana, Mbak, Ghazi udah pulang?" tanya Lia yang sekarang berada di halaman rumah Gina.Gina menggelengkan kepalanya, menghela nafas berat. Hari sudah mulai gelap, akan tetapi anak keduanya itu masih belum pulang dari sekolah. Gina cemas, dia menelepon pihak sekolah dan mengetahui jika hari ini Ghazi tidak masuk dengan alasan sedang sakit.Anak itu j