''Dadah Tante!'' Ghazi melambaikan tangannya pada Serly yang berada di dalam mobil. Di ambang pintu, Gina menatap Ghazi dengan heran ketika melihat anak itu tampak mengucapkan selamat tinggal pada seseorang yang berada di dalam mobil. Gina berjalan menghampiri Ghazi, kemudian setelah mobil itu pergi Ghazi juga berbalik, berlari menghampirinya. ''Mamah!'' seru Ghazi ketika melihat ibunya. ''Ayo masuk, ini udah mau maghrib!'' titah Gina. ''Adik sama kakak kamu udah pulang dari tadi. Seharusnya Ghazi kasih tau Mamah kalau misalkan mau pulang sore, kaya kakak kamu kemaren,'' ujar Gina. Ghazi cemberut, dia merasa bahwa ibunya tidak tahu apa pun tentang kehidupan sekolah. ''Tadi Ghazi habiz ke pameran, Mah. Keren banget, banyak robot yang bisa gerak sendiri!'' Dia bercerita tentang apa yang di lihatnya selama berada di pameran pada Gina. Gina menghela nafas lega. ''Yaudah, cepet mandi dan ganti baju.'' Keduanya masuk ke dalam rumah, Ghazi langsung berlari ke kamar untuk membersihkan di
'Aku baik-baik aja, jangan khawatir, jaga kesehatan kamu.'Itu adalah pesan yang di kirim oleh Bagas untuk Gina, malam setelah peristiwa bom di sana terjadi. Gina menghela nafas lega, dia akhirnya bisa tidur nyenyak setelah Bagas mengirim pesan.Gina berbaring di tempat tidur, memejamkan matanya setelah begadang hingga pukul dua belas malam.Keesokan harinya, Gina bangun, mandi dan berpakaian, dia turun ke bawa untuk membuat sarapan bagi anak-anaknya. Setelah sarapan selesai, Gavin yang pertama turun ke bawah dengan seragam lengkap, di susul oleh Binar dan Ghazi."Udah jam tujuh, cepet sarapan!" Gina menyajikan piring berisikan nasi serta lauk-pauknya pada mereka."Mah, sarapan itu penting, jangan di buru-buru," ujar Ghazi, meralat ucapan ibunya.Gerakan Gina berhenti, lalu tersenyum pada Ghazi. "Oke, Mamah ngerti, Maafin Mamah, yah. Ayo sarapan."Ghazi mengangguk puas saat Gina berkata bahwa dia mengerti. Ke tiga anak itu memakan sarapan mereka dalam diam, beberapa menit kemudian ket
Seperti biasa, Gina bangun 0agi untuk menyiapkan sarapan anak-anaknya dan keperluan sekolah mereka. Wanita hamil itu melihat bahwa persediaan di kulkas sudah mulai menipis, dia berencana untuk pergi ke supermarket terdekat dan membeli lauk yang tidak tersedia di tukang sayur."Hari ini sarapan nasi goreng dulu, yah. Enggak pa-pa, kan, Kak?" tanya Gina pada Gavin."Enggak pa-pa, kok, Mah." Anak itu menyahut tidak masalah. Gavin mengambil air hangat yang Gina siapkan, meminumnya dengan pelan.Gina mulai menyiapkan sarapannya, dia menyuruh Gavin untuk mandi dan membangunkan adik-adiknya yang masih tertidur di kamar mereka masing-masing.***"Gimana, Mbak, Ghazi udah pulang?" tanya Lia yang sekarang berada di halaman rumah Gina.Gina menggelengkan kepalanya, menghela nafas berat. Hari sudah mulai gelap, akan tetapi anak keduanya itu masih belum pulang dari sekolah. Gina cemas, dia menelepon pihak sekolah dan mengetahui jika hari ini Ghazi tidak masuk dengan alasan sedang sakit.Anak itu j
"GHAZI!" bentakan menggelegar itu datang dari arah pintu masuk utama.Semua orang yang berada di sana terkejut, sontak menoleh kearah datangnya suara. Ketika Ghazi melihat ayahnya yang sudah tiga bulan tidak dia temui, tubuh kecilnya tanpa sadar menegang, anak itu mundur beberapa langkah karena ketakutan.Bagas berdiri di ambang pintu, penampilannya kini sangat tidak bisa dikenali. Pria itu bertubuh tinggi dan kekar, mengenakan seragam ketentaraan, dengan janggut dan kumis berantakkan memenuhi wajahnya.Gina juga kaget, jika bukan karena suaranya, dia benar-benar tidak mengenali pria yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah itu. Gina melemaskan badannya, berjalan menghampiri Bagas yang membawa tas besar. "Mas, kenapa enggak ngabarin kalau kamu pulang jam segini?" tanya Gina dengan lembut.Bagas tidak bergeming, matanya masih menatap Ghazi dengan tajam. "Bilang sekali lagi apa yang kamu bilang ke Mamah kamu tadi!" Pria itu seperti beruang hutan, berjalan mendekati anak keduanya.Tubuh Ghazi
"Ghazi ayo bangun, biar Mamah obati!" titah Gina dengan nada lembut.Ghazi masih tidak mendengarkan apa yang Gina katakan, anak itu tetap dalam posisinya sambil terus menangis. Gina menghela nafas berat, duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping tubuh Ghazi yang meringkuk. Lengan Gina terulur, mengelus pucuk kepala putranya dengan lembut."Sst, Sayang, sini, kalau enggak di obati nanti makin sakit," ujar Gina membujuk."Sakit, huhuhu." Anak itu menggelengkan kepalanya, menolak bujukan Gina.melihat Ghazi yang tidak mau beranjak, Gina lalu menarik ke atas celana yang anak itu ke akan, dan benar saja dia melihat memar keunguan di betis Ghazi. Gina mengeluarkan salep Oparin Gel, mengoleskannya dengan pelan pada memar Ghazi."Ayo, sini. Coba Mamah liat yang lain."Mengangguk, Ghazi akhirnya mendekat pada sang ibu, membuka pakaiannya, membiarkan Gina melihat memar di tubuhnya akibat pukulan Bagas. Gina menemukan satu di pinggang, lengan atas dan paha Ghazi."Sakit, Mah," rengek anak itu
"Makan dulu, besok kamu masuk ke sekolah lagi." Gina menaruh bawaannya di meja belajar.Ghazi tampak memejamkan mata, tubuhnya menggigil dengan bibir yang agak membiru. Gina yang kaget langsung menaruh punggung tangannya di dahi Ghazi, agak syok saat mengecek suhu anak itu yang di atas rata-rata."Ghazi, Ghazi, bangun, Sayang!" Gina mencoba membangunkan Ghazi.Yang keluar dari mulut Ghazi sebagai balasan adalah gertakan gigi dan memanggilnya dengan suara lemas. Jatuh Gina mau copot rasanya, rasa panik tiba-tiba melanda, dia tanpa babibu mengeluarkan ponsel, menelepon Bagas yang masih dalam perjalanan."Kenapa, Sayang?" tanya Bagas di seberang telepon."Mas! Ghazi badannya panas, dia juga mengigil. Kamu pulang sekarang, pak sopir juga pasti lagi di sekolah anak-anak!""Oke, tunggu sebentar, aku balik ke sana!"Di seberang sana, Bagas langsung memutar balik mobilnya tanpa ragu. Dia menambhakan kecepatan, meliuk melewati beberapa pengendara di jalan raya. Dan tentu saja, hal itu di akhir
"Kenapa Papah ngelakuin itu? Apa salah aku!" Serly menatap tidak percaya pada ayahnya yang sudah tua. Pria tua itu menghukum untuk mengurungnya di rumah selama tiga bulan di tambah memberhentikan dia dari rumah sakit tempatnya bekerja."Cukup, Serly, kamu itu terllau banyak menimbulkan masalah buat Papah!" Seorang pria setengah baya yang berdiri di belakang pria tua itu maju dan membuka suara.Serly menoleh pada kakaknya dengan tatapan benci. "Di mana aku menimbulkan masalah? Soal aku yang ngajar di sekolah itu? Memangnya apa salah aku? Aku cuma ngajarin sama siswa dan siswi kalau mereka enggak boleh jadi manusia yang enggak berguna!""Terlalu banyak keluhan yang datang ke Papah. Kamu pergi ke kamar, keputusan Papah udah bulat!" Ayah Serly juga sebenarnya enggan menghukum sang anak, tapi tadi pagi Bagas datang dan mempertanyakan yang Serly lakukan dan dampaknya pada putra Bagas, Bagas bahkan secara sengaja atau tidak sengaja menegurnya, seolah bertanya apakah dia mendidik Serly dengan
Ketika usia kehamilan Gina sudah menginjak bulan ke empat, Bagas mengajukan cuti pada akhirnya. Jika tidak ada urusan yang mendesak, dia akan menemani Gina di rumah beserta anak-anaknya."Mah, Binar pengen dedek bayinya cewek, nanti, kan, bisa Binar ajak main boneka kalau cewek!" Anak itu duduk di pangkuan ayahnya, berkata pada Gina.Gina tersenyum, meletakan sepiring buah yang baru saja dia potong di atas meja kaca. "Cowok juga bisa kok, kak, di ajak main boneka," ujar Gina."Enggak bisa! Kak Ghazi sama Kak Gavin main bola terus, bukan boneka!" Binar menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak dengan tegas.Bagas yang sedari tadi mendengarkan percakapan ibu dan anak itu tersenyum melihat interaksi keduanya. Dia mengelus surai lembut putrinya dan berkata, "Kalau gitu Binar banyak-banyak cium adek bayinya di perut Mamah!""Emang kalau gitu bisa jadi cewek, Pah?" tanya Binar.Bagas mengangguk saja meskipun dia hanya asal bicara. Setelah itu Bagas mendapatkan pukulan dari Gina. Bagas sontak