Ketika usia kehamilan Gina sudah menginjak bulan ke empat, Bagas mengajukan cuti pada akhirnya. Jika tidak ada urusan yang mendesak, dia akan menemani Gina di rumah beserta anak-anaknya."Mah, Binar pengen dedek bayinya cewek, nanti, kan, bisa Binar ajak main boneka kalau cewek!" Anak itu duduk di pangkuan ayahnya, berkata pada Gina.Gina tersenyum, meletakan sepiring buah yang baru saja dia potong di atas meja kaca. "Cowok juga bisa kok, kak, di ajak main boneka," ujar Gina."Enggak bisa! Kak Ghazi sama Kak Gavin main bola terus, bukan boneka!" Binar menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak dengan tegas.Bagas yang sedari tadi mendengarkan percakapan ibu dan anak itu tersenyum melihat interaksi keduanya. Dia mengelus surai lembut putrinya dan berkata, "Kalau gitu Binar banyak-banyak cium adek bayinya di perut Mamah!""Emang kalau gitu bisa jadi cewek, Pah?" tanya Binar.Bagas mengangguk saja meskipun dia hanya asal bicara. Setelah itu Bagas mendapatkan pukulan dari Gina. Bagas sontak
Gina tersenyum, menikmati pijatan Bagas. Dua bulan kemudian, bengkak pada Kaki Gina menjadi semakin sering, Gina juga menjadi sangat sering bolak-balik kamar mandi untuk buang air kecil, dia sering kali terbangun di tengah malam ketika merasakan tidak nyaman di kakinya dan untuk buang air kecil."Kenapa, Sayang?" tanya Bagas yang juga terbangun oleh gerakan sang istri."Aku pengen kencing, Mas. Kamu tidur lagi aja," jawab Gina.Bagas mengusap matanya, melihat wanita itu yang dengan susah payah berusaha membawa perut besarnya turun dari tempat tidur. Bagas bangun, menguap dan membantu Gina pergi ke kamar mandi."Aku bisa sendiri, Mas!" kata Gina dengan tidak berdaya."Aku pengen bantu, aku takut nanti kamu ke pleset di sana!""Enggak akan, aku hati-hati, kok," ujar Gina, akan tetapi dia tidak menolak ketika Bagas membantunya berjalan.Setelah menyelesaikan buang air kecilnya, Bagas kembali membantu Gina untuk berbaring du atas tempat tidur. Pria itu memijat sebentar kaki istrinya, mena
"Tadi kalian ngomongin apa?" tanya Bagas, walaupun dia berdiri di samping Gina dan mendengarkan pembicaraannya dengan Lia, namun Bagas sama sekali tidak mengerti apa yang ke dua wanita itu bicarakan.Gina menunjukan senyum nakal. "Apasih! Mau tau aja urusan perempuan!" Wanita itu lalu tertawa.Bagas tersenyum, tidak kesal atau marah karena Gina tidak menjawabnya. Sebaliknya, Bagas mencubit pelan pipi tembam Gina dengan gemas, menciumnya dengan sangat rakus."Mas!" protes Gina tidak senang. Pipinya memerah, dia malu dan takut seseorang memperhatikan mereka."Soalnya kamu gemes banget! Gemoy!" Bagas meremas dagu Gina."Gendut maksud kamu?" tanya Gina dengan mata memicing."Bukan, Sayang. Gemes, bukan gendut!" Bagas meralat ucapan Gina. Jangan sampai pembicaraan mereka berujung kekesalan Gina."Halah, bilang aja gendut!" Gina mendengus, mempercepat langkah kakinya."Jangan cepet-cepet jalannya, Gin. Nanti kamu jatoh!" Bagas memperingatkan, dia mengikuti istrinya dari belakang."Enggak ak
Bagas pergi ke kantor polisi, dia berterimakasih pada tetangga yang membantunya membawa sopir itu. Para polisi di ruangan segera menyapa Bagas dengan sopan, semua orang tahu bahwa Bagas mempunyai jabatan tinggi di ketentaraan."Pelaku sudah berada di dalam, pak!" Salah satu petugas polisi membawa Bagas bertemu dengan pelaku.Sopir yang menabrak Gina berada di sebuah ruangan tertutup yang mana hanya ada dia sendiri di sana. Bagas tampa ragu membuka pintu, melihat pelaku itu menyusut dan gemetar ketakutan ketika melihat Bagas masuk.Wajah Bagas terlihat bengis karena amarah yang melonjak dalam dadanya. Dia melangkah maju, menarik rambut pria parubaya itu dan menghajarnya.Setelah di selidiki, pria itu bernama Saikam, seorang sopir taksi yang tinggal jauh dari perumahan Gina dan Bagas. Tapi entah mengapa Saikam ada di sana hari ini, bahkan masuk ke dalam perumahan. Tentu saja Bagas menyadari bahwa hal itu sepertinya bukan kebetulan. Di pagi hari, berkendara dengan kecepatan tinggi padaha
Xavier tampak hanya diam mengabaikan perkataan Lia. Lia mendengus, bangkit dari duduknya."Mau ke mana?" tanya Xavier saat melihat kepergian wanita itu."Tidur, saya udah ngantuk banget," jawab Lia sambil menguap.Kepala Xavier naik turun, mengangguk dengan pelan. Lia pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Benar, meskipun statusnya adalah ART, akan tetapi Lia tidak tidur di kamar ART. Xavier memberikannya sebuah kamar di sebelah kamar pria itu, alasannya karena itu akan memudahkan Lia dalam 'melayani' setiap kebutuhan Xavier.Lia, sih, tidak merasa ada yang salah. Dia senang bisa tidur di kamar yang indah dan kasur empuk. Lima tahun bekerja di rumah Xavier, Lia bahkan pernah mengira Xavier menyukainya. Akan tetapi dia langsung menghilangkan dugaan itu saat ingat bahwa pria itu suka bermain dengan berbagai wanita.Masuk ke dalam kamar, sudah ada Binar yang berbaring di atas tempat tidur. Lia mengusap kening anak itu, merasa kasihan dalam hatinya. Dia ikut berbaring, memejamkan ma
"Binar enggak mau pulang! Mau sama Papah aja! Mau sama mamah juga! Huaaa!" tangis histeris Binar terdengar di koridor rumah sakit. Anak itu menolak ketika Bagas mengatakan bahwa dia akan menitipkan mereka kembali di rumah Xavier."Binar, nanti besok Papah jemput lagi, sekarang Binar sama tante Lia dulu, yah." Bagas membujuk anak itu dengan tidak berdaya.Penampilan Bagas bisa di bilang kuyu sekarang. Berat badannya berkurang sejak Gina dilarikan ke rumah sakit, wajahnya kusam, dagunya dipenuhi dengan janggut yang lebat. Bagas terlihat sepuluh tahun lebih tua dari sebelumnya. Dia benar-benar tidak mempunyai tenaga untuk membujuk Binar dengan benar saat ini."Huhu, enggak mau, Pah! Binar mau di sini aja!" Binar menggeleng, air mata memenuhi pipinya."Kalau di sini nanti kamu enggak bisa tidur, tidurnya di kursi, Binar mau?" tanya Bagas, mencoba menakut-nakuti anak itu.Siapa yang tahu bahwa Binar akan mengangguk dengan wajah cemberut. "Mau sama Papah aja!"Bagas menghela nafas, tidak tah
"MAMAH!" Anak-anak Gina berseru secara bersamaan ketika melihat Gina yang sudah lepas dari berbagai alat rumah sakit, tampak sedang bercakap-cakap dengan seorang dokter.Gina tersenyum lembut melihat kedatangan ke tiga anaknya. Ketika mereka memeluk dirinya, Gina tidak bisa membendung air mata yang kini menetes. Hatinya lega melihat anak-anak sekarang."Ghazi kangen sama Mamah!" ujar anak itu sambil terisak."Binar juga kangen banget sama Mamah! Binar enggak mau dedek bayi yang jelek, maunya Mamah aja!"Lengan Gina terulur, mengelus satu persatu pucuk kepala mereka. "Maafin Mamah, yah. Mamah juga kangen sama kalian." Gina tidak bisa membayangkan jika dia tidak bangun dan meninggalkan ke tiga anaknya."Jangan neken kaya gitu, Mamah batu bangun," peringat Bagas.Ghazi serta Gavin langsung melepaskan pelukan mereka pada Gina."Mamah enggak sakit lagi, kan?" tanya Ghazi."Enggak, kok," jawab Gina sambil tersenyum.Hati Bagas menghangat melihat Gina dan ke tiga anak merek. Dia bisa bernafas
"Pokoknya malem ini kita harus jadi, kalau enggak gue ngambek!" seru seorang remaja perempuan berusia enam belas tahun yang duduk di bangku kelas dua belas SMA. Remaja itu bernama Julia yang duduk di antara tiga remaja laki-laki lainnya."Gavin, nih, enggak jadi mulu. Kemaren padahal udah fiks mau pergi," sahut Mario, remaja lainnya."Adek gue nangis pengen ikut, gimana bisa gue ajak dia ke club malem?" tanya Gavin dengan acuh.Gavin, remaja yang dulu tinggal di pedesaan dan jauh dari hal-hal berbau negatif kini semakin bisa menyatu dengan kehidupannya yang sekarang. Bergaul dengan para remaja-remaja kaya yang suka menghamburkan uang dan berbuat hal yang seharusnya tidak dilakukan seorang anak di bawah umur, sudah menjadi hal yang tidak aneh bagi Gavin. Merokok, alkohol dan bahkan meniduri seorang perempuan. Tentu saja tidak semua Gavin lakukan, dia masih takut pada hukuman ayahnya jika mengetahui apa yang dia lakukan di luar."Kebetulan, bokap gue baru aja beliin mobil baru, gimana k
"Na, kenapa muka kamu pucat banget, kamu masih sakit?" tanya Dimas ketika dia melihat wajah Aina yang tampak tidak sehat.Aina menoleh ketika mendengar suara bertanya Dimas, dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Saya enggak pa-pa, kok, Pak!" Bibir pucat Aina terangkat, dia mencoba untuk baik-baik saja.Kening Dimas bertaut, masih merasa khawatir bahkan jika Aina berkata bahwa dia baik-baik saja. "Kamu sudah periksa ke rumah sakit?" tanya Dimas lagi."Saya cuma masuk angin, enggak perlu ke rumah sakit.""Kamu terlalu keras kepala, Na. Jangan sepelekan penyakit bahkan kalau pun itu hanya masuk angin. Saya antar kamu ke rumah sakit sekarang!" ujar Dimas dengan nada sedikit memaksa.Aina enggan, mereka masih berada di tempat kerja dan beberapa karyawan memperhatikannya. Dia takut jika Dimas mengantarnya ke rumah sakit di tengah jam kerja, pria itu akan terseret gosip karenanya. Karena Aina tahu betul jika beberapa karyawan sering memperhatikan dia dan bergosip secara diam-diam."Engg
Aina sedang duduk di atas tempat tidur saat bel pintu apartemen berdering. Aina yang sedang cemas menunggu kepulangan Gavin langsung berdiri, bergegas keluar dari kamar untuk membuka pintu.Ketika pintu apartemen dibuka, Aina melihat Gavin yang sedang di papah oleh seorang wanita yang Aina tahu dia berjama Celine."Gavin kenapa?" tanya Aina, sedikit panik melihat Gavin yang tampak tidak sadarkan diri."Gavin Mabuk, tolong minggir dulu, biar gue yang antar dia ke kamarnya!" Celine mendorong Aina ke samping, lalu dia bergegas masuk dengan susah payah. "Di mana kamar Gavin?" tanya Celine."Dudukkan di sofa aja," ujar Aina.Celine mendudukkan Gavin yang mabuk di atas sofa, wanita itu membuka jaket yang Gavin kenalan dan menyuruh Aina yang sedari tadi hanya berdiri dan menatap dari samping, "Buatin air hangat pake madu dan jeruk!"Meski hatinya merasa tidak nyaman melihat Celine yang begitu merawat Gavin, tapi dia tetap sigap melakukan hal yang Celine minta. Dia bergegas pergi ke dapur, me
Aina pulang ke apartemen. Saat dia membuka pintu dan masuk, Aina meletakan barang-barang yang dia beli, dia bahkan tidak sempat membereskan semua itu karena Aina langsung pergi ke dalam kamar mandi dan muntah lagi.Hoek, hoek, hoek.Terengah-engah, Aina menopang tubuhnya pada pinggiran wastafel. Dia berkumur, mencuci mulut dan wajahnya agar terlihat segar. Aina lalu mendongak, menatap wajah pucat nya di cermin. Pantulan dirinya di cermin terlihat sangat kuyu dengan wajah yang basah oleh air dan rambut acak-acakan.Menghela nafas, Aina keluar dari kamar mandi, dia mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur untuk menenangkan rasa mual di perutnya. Aina berharap bahwa setelah dia bangun nanti, rasa mual itu akan menghilang.***Gavin kembali ke apartemennya setelah menginap di rumah usai ulang tahun bunga, adiknya yang terakhir. Dia menekan serangkaian kata sandi, dan ketika pintu dibuka, Gavin masuk ke dalam apartemen.Suasana hening mem
Aina berdiri di trotoar, menunggu kendaraan umum yang lewat. Wanita itu celingak-celinguk, menunggu dengan cemas. Hari sudah menunjukan pukul tujuh malam, namun dia belum juga mendapati kendaraan yang lewat karena memang hujan deras baru yang diiringi oleh suara petir saja mereda. "Na, kamu mau bareng aja sama saya?" Dimas yang menghampiri Aina bertanya pada wanita itu."Enggak usah, pak. Saya bisa nunggu sebentar lagi, kok." Aina menggeleng, menolak sambil tersenyum."Kalau begitu saya temenin kamu nunggu, ini udah malem, enggak baik perempuan di pinggir jalan kaya gini." Dimas menawarkan diri."Tapi-" Aina ingin menolak, dia merasa tidak enak pada Dimas. Bagaimanapun pria itu juga pasti punya kesibukan setelah ini."Jangan nolak. Saya enggak terima penolakan." Dimas bersikukuh untuk menemani Aina.Pada akhirnya Aina dengan pasrah membiarkan Dimas menemaninya. Wanita itu sedari tadi mengguncang ponsel yang ada dalam genggamannya, menghubungi Gavin berulang kali untuk meminta jemput.
"Kamu pulang?" sapa Aina ketika dia melihat Gavin yang masuk ke dalam apartemen.Gavin mengangguk, dia membuka jaket yang dia kenakan, melemparnya ke atas sofa dengan sembarangan. "Gue lapar, ada makanan?" tanya Gavin.Aina bangkit berdiri dari sofa, dia berjalan ke arah dapur sambil menjawab, "Ada, makan sekarang apa mandi dulu?" tanya Aina."Makan sekarang," jawab Gavin.Mengangguk, Aina mengambil piring dan menyiapkan makanan untuk Gavin. Pria itu duduk di atas meja makan sambil menunggu Aina selesai menyiapkan makanan. Setelah makanan tersaji di hadapannya, Gavin mulai melahap makanannya."Perempuan yang sama kamu tadi siapa?" tanya Aina, dia bertanya dengan hati-hati agar Gavin tidak marah."Temen, kenapa?" Gavin balik bertanya tanpa menatap Aina."Enggak, keliatannya akrab banget sama kamu. Tadi kamu nelepon aku pake nomor dia?"Mengangguk, Gavin mendongak menatap wanita itu. "Kenapa, sih?" tanya Gavin.Kepala Aina menggeleng, dia menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhn
"Vin...ugh." Aina melenguh saat Gavin mengecupi di sepanjang lehernya hingga akhirnya pria itu berhenti pada dadanya yang ranum.Rasa geli menyebar ke seluruh tubuh Aina, apalagi saat bibir Gavin dengan rakus mengisap pucuk dadanya bergantian. Aina mengelus rambut kepala Gavin, membuat pria wajah pria itu terbenam di sana.Tubuh keduanya sama-sama bugil, saling mengerat satu sama lain. Keringat mereka membanjiri tubuh, ac yang tergantung di dinding sama sekali tidak mempengaruhi suhu panas di antara keduanya."Baring!" titah Gavin pada Aina.Mengangguk, Aina berbaring di atas tempat tidur sambil membuka ke dua kakinya. Nafas Gavin memberat melihat wanita itu menatapnya dari bawah dengan ekspresi yang begitu provokatif."Emh..." Aina tersentak, Gavin memasuki dirinya secara tiba-tiba.Kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap malam jika Gavin memintanya, Aina hanya menurut, bagaimana pun menurutnya Gavin adalah pria yang baik yang banyak membantunya di saat dia kesulitan. Aina sama sek
Di sebuah kamar yang remang, seorang wanita menggeliat di atas tempat tidur. Kelopak mata wanita itu terbuka, dia menguap, mencoba bangkit dari tempat tidur ketika tubuhnya tiba-tiba di peluk dengan erat pada pelukan seorang pria yang tertidur di sebelahnya."Vin, lepasin dulu!" titah Wanita yang tidak lain adalah Aina, dia mencoba menyingkirkan tangan Gavin yang melingkari pinggangnya."Sebentar aja," gumam Gavin dengan mata tertutup.Aina menghela nafas. "Ini udah siang, Vin. Katanya kamu ada kuliah jam segini?" tanya Aina dengan nada tidak berdaya.Gavin melepaskan pelukannya, dengan malas bangkit dari tempat tidur. "Sebenernya sesekali bolos juga gak pa-pa," ujar Pria itu."Kalau papah kamu tau, kamu pasti di marahin!" Aina turun dari tempat tidur, memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai. "Cepetan bangun!" titah Aina lagi pada Gavin sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi.Selesai mandi dan berpakaian, Aina keluar dari sana, dia melihat Gavin yang hanya memakai boxernya seda
"Makasih, ya, Vin. Lo udah mau nganter gue," ucap Jullia pada Gavin yang berjalan di sampingnya.Gavin mengangguk, tatapannya mengedar menatap toko-toko dan orang yang berlalu-lalang. Dia melihat sebuah gaun cantik di salah satu etalase toko, berpikir jika Aina mengenakan gaun itu pasti akan terlihat cocok dan sangat cantik. Gavin tanpa sadar tersenyum."Vin!" Julia menegur pria yang ternyata tidak memperhatikan dan mendengarkannya."Hah? Kenapa?" Gavin menoleh pada Julia dengan wajah bingung."Lo mikirin apa, sih? Gue ngomong dari tadi ternyata enggak lo dengerin!" Julia cemberut kesal.Tangan Gavin terulur, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sorry," ucap Gavin dengan rasa bersalah.Keduanya mengobrol di sepanjang perjalanan. Gavin terus mengikuti Julia meski dia tidak tahu ke mana tujuan wanita itu karena sedari tadi mereka hanya berkeliling mall.Tanpa mereka sadar, seseorang menatap keduanya di kejauhan. Gadis itu bersembunyi di salah satu tiang tinggi, melihat Julia yang tam
Seperti yang Gavin katakan, dia tidak ikut mengantar Aina hingga rumahnya, namun hanya di depan gang. Gavin ikut turun ketika Aina turun dari mobil, ia melihat ke gang yang cukup gelap di belakang karena matahari sudah terbenam."Gue anter, ya. Itu gangnya gelap banget, gimana kalau ada apa-apa?" tanya Gavin dengan khawatir.Aina menggelengkan kepalanya, dia menolak, "Enggak usah, Vin. Enggak bakalan ada apa-apa, kok. Aku udah biasa jalan sendiri.""Kalau gitu-""Wih, wih, wih!" Supri tiba-tiba datang dari arah gang, menghampiri Aina dan Gavin di sana.Gavin menatap Aina sejenak, lalu tatapannya beralih pada Supri yang datang. Dia tahu bahwa pria itu adalah ayah dari Aina, Gavin hendak menyapa dengan sopan saat Supri tiba-tiba membuka suara."Katanya cuma temen! Huh! Kalau kaya gitu ngapain kamu nangis-nangis sepatunya Bapak jual? Kan bisa beli lagi," ujar Supri sambil menoyor kepala Aina.Gavin terkejut, dia tidak menyangka jika Supri akan mengatakan itu. "Sepatunya di jual?" tanya G