Bagas pergi ke kantor polisi, dia berterimakasih pada tetangga yang membantunya membawa sopir itu. Para polisi di ruangan segera menyapa Bagas dengan sopan, semua orang tahu bahwa Bagas mempunyai jabatan tinggi di ketentaraan."Pelaku sudah berada di dalam, pak!" Salah satu petugas polisi membawa Bagas bertemu dengan pelaku.Sopir yang menabrak Gina berada di sebuah ruangan tertutup yang mana hanya ada dia sendiri di sana. Bagas tampa ragu membuka pintu, melihat pelaku itu menyusut dan gemetar ketakutan ketika melihat Bagas masuk.Wajah Bagas terlihat bengis karena amarah yang melonjak dalam dadanya. Dia melangkah maju, menarik rambut pria parubaya itu dan menghajarnya.Setelah di selidiki, pria itu bernama Saikam, seorang sopir taksi yang tinggal jauh dari perumahan Gina dan Bagas. Tapi entah mengapa Saikam ada di sana hari ini, bahkan masuk ke dalam perumahan. Tentu saja Bagas menyadari bahwa hal itu sepertinya bukan kebetulan. Di pagi hari, berkendara dengan kecepatan tinggi padaha
Xavier tampak hanya diam mengabaikan perkataan Lia. Lia mendengus, bangkit dari duduknya."Mau ke mana?" tanya Xavier saat melihat kepergian wanita itu."Tidur, saya udah ngantuk banget," jawab Lia sambil menguap.Kepala Xavier naik turun, mengangguk dengan pelan. Lia pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Benar, meskipun statusnya adalah ART, akan tetapi Lia tidak tidur di kamar ART. Xavier memberikannya sebuah kamar di sebelah kamar pria itu, alasannya karena itu akan memudahkan Lia dalam 'melayani' setiap kebutuhan Xavier.Lia, sih, tidak merasa ada yang salah. Dia senang bisa tidur di kamar yang indah dan kasur empuk. Lima tahun bekerja di rumah Xavier, Lia bahkan pernah mengira Xavier menyukainya. Akan tetapi dia langsung menghilangkan dugaan itu saat ingat bahwa pria itu suka bermain dengan berbagai wanita.Masuk ke dalam kamar, sudah ada Binar yang berbaring di atas tempat tidur. Lia mengusap kening anak itu, merasa kasihan dalam hatinya. Dia ikut berbaring, memejamkan ma
"Binar enggak mau pulang! Mau sama Papah aja! Mau sama mamah juga! Huaaa!" tangis histeris Binar terdengar di koridor rumah sakit. Anak itu menolak ketika Bagas mengatakan bahwa dia akan menitipkan mereka kembali di rumah Xavier."Binar, nanti besok Papah jemput lagi, sekarang Binar sama tante Lia dulu, yah." Bagas membujuk anak itu dengan tidak berdaya.Penampilan Bagas bisa di bilang kuyu sekarang. Berat badannya berkurang sejak Gina dilarikan ke rumah sakit, wajahnya kusam, dagunya dipenuhi dengan janggut yang lebat. Bagas terlihat sepuluh tahun lebih tua dari sebelumnya. Dia benar-benar tidak mempunyai tenaga untuk membujuk Binar dengan benar saat ini."Huhu, enggak mau, Pah! Binar mau di sini aja!" Binar menggeleng, air mata memenuhi pipinya."Kalau di sini nanti kamu enggak bisa tidur, tidurnya di kursi, Binar mau?" tanya Bagas, mencoba menakut-nakuti anak itu.Siapa yang tahu bahwa Binar akan mengangguk dengan wajah cemberut. "Mau sama Papah aja!"Bagas menghela nafas, tidak tah
"MAMAH!" Anak-anak Gina berseru secara bersamaan ketika melihat Gina yang sudah lepas dari berbagai alat rumah sakit, tampak sedang bercakap-cakap dengan seorang dokter.Gina tersenyum lembut melihat kedatangan ke tiga anaknya. Ketika mereka memeluk dirinya, Gina tidak bisa membendung air mata yang kini menetes. Hatinya lega melihat anak-anak sekarang."Ghazi kangen sama Mamah!" ujar anak itu sambil terisak."Binar juga kangen banget sama Mamah! Binar enggak mau dedek bayi yang jelek, maunya Mamah aja!"Lengan Gina terulur, mengelus satu persatu pucuk kepala mereka. "Maafin Mamah, yah. Mamah juga kangen sama kalian." Gina tidak bisa membayangkan jika dia tidak bangun dan meninggalkan ke tiga anaknya."Jangan neken kaya gitu, Mamah batu bangun," peringat Bagas.Ghazi serta Gavin langsung melepaskan pelukan mereka pada Gina."Mamah enggak sakit lagi, kan?" tanya Ghazi."Enggak, kok," jawab Gina sambil tersenyum.Hati Bagas menghangat melihat Gina dan ke tiga anak merek. Dia bisa bernafas
"Pokoknya malem ini kita harus jadi, kalau enggak gue ngambek!" seru seorang remaja perempuan berusia enam belas tahun yang duduk di bangku kelas dua belas SMA. Remaja itu bernama Julia yang duduk di antara tiga remaja laki-laki lainnya."Gavin, nih, enggak jadi mulu. Kemaren padahal udah fiks mau pergi," sahut Mario, remaja lainnya."Adek gue nangis pengen ikut, gimana bisa gue ajak dia ke club malem?" tanya Gavin dengan acuh.Gavin, remaja yang dulu tinggal di pedesaan dan jauh dari hal-hal berbau negatif kini semakin bisa menyatu dengan kehidupannya yang sekarang. Bergaul dengan para remaja-remaja kaya yang suka menghamburkan uang dan berbuat hal yang seharusnya tidak dilakukan seorang anak di bawah umur, sudah menjadi hal yang tidak aneh bagi Gavin. Merokok, alkohol dan bahkan meniduri seorang perempuan. Tentu saja tidak semua Gavin lakukan, dia masih takut pada hukuman ayahnya jika mengetahui apa yang dia lakukan di luar."Kebetulan, bokap gue baru aja beliin mobil baru, gimana k
"Kenapa lo di sini?" Bukannya menjawab, Gavin malah balik bertanya pada Aina.Aina melengos, berjalan pergi meninggalkan Gavin yang terus menatap tubuhnya."Woi! Tunggu! Lo kenapa di sini? Kenapa pake baju kaya gitu?" Gavin mengejar Aina, melontarkan pertanyaan terus-menerus.Aina tiba-tiba menghentikan langkahnya, berbalik menatap Gavin. "Aku kerja, masa gitu aja enggak bisa liat?""Hah? Masih enam belas tahun, kenapa lo kerja di tempat kaya gini?" Gavin menatap Aina dengan tatapan tidak percaya.Bahkan jika ada pekerjaan yang merekrut anak di bawah umur, yang pasti bukan pekerjaan seperti itu, kan? Bagaimana bisa gadis itu tidak merasa ada yang salah dengan apa yang dia lakukan."Kamu juga baru enam belas tahun, tapi masuk ke tempat kaya gini," balas Aina.Gavin tiba-tiba tidak tahu bagaimana harus berkata. "Ah-itu, gue cuma di ajak!"Aina mendengus, berbalik pergi dan kali ini tidak menoleh ke belakang. Gavin sendiri hanya diam terpaku, menatap punggung gadis itu yang semakin jauh
"Cepet pulang, ini udah malem!" titah Gavin pada Aina ketika dia selesai meratapi saldo M-banking nya yang kosong. Gavin memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, hanya bisa menghela nafas pendek.Aina menatap Gavin dengan kaget, ragu saat ingin bertanya, "Itu-kamu-""Apa?" tanya Gavin, tidak mengerti."Makasih," ucap Aina pada akhirnya sambil menundukkan kepalanya.Gavin mengangguk. "Cepetan pulang!" titah Gavin lagi.Gadis itu masuk kembali ke ruangan ganti, mengganti pakaian sexy inya dengan kaus dan celana jeans yang sudah terlihat kusam. Ketika Aina keluar dari ruang ganti, Gavin sudah tidak ada di koridor. Dia mengigit bibir bawahnya, lalu bergegas pulang ke rumah.Karena hari sudah malam, Aina hanya bisa menunggu bus untuk pulang ke rumah dan kebetulan itu adalah bus terakhir yang beroperasi malam ini. Dia duduk di kursi belakang bus, menyandarkan kepalanya pada jendela, memikirkan dua puluh juga milik Gavin yang pria itu gunakan untuk 'membooking nya' Tiba tidak jauh dari ru
Gavin bangun ketika waktu sudah menunjukan pukul sepuluh pagi. Remaja itu menguap turun dari tempat tidur dengan wajah bantalnya. Dia keluar dari kamar sambil menguap, menurni satu persatu anak tangga, pergi ke dapur, melihat ibunya yang sedang mengelap meja. ''Kok belum mandi, Kak? Udah jam sepuluh, loh, ini,'' ujar Gina melihat anak sulungnya yang masuk ke dapur dengan wajah kuyu. ''Lapar, Mah.'' Gavin menguap lagi, duduk di kursi meja makan dengan punggung bersandar. ''Cuci muka sama sikat gigi duu, habis itu baru makan. Lebih bagus lagi sekalian madi!'' titah Gina, dia telah selesai mengelap meja, pergi untuk mencuci tangannya. Gavin mendesah malas dengan bibir cemberut. ''Males, Mah~'' rengek anak itu dengan manja. ''Gavin, kamu itu udah mau tujuh belas tahun, harus lebih dewasa. Semalem juga, kenapa papah kamu marah?'' tanya Gina, menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibir Gavin bungkam secara otomatis, dia bangkit berdiri, melenggang kembali ke kamarnya tanpa niatan untuk men