"Cepet pulang, ini udah malem!" titah Gavin pada Aina ketika dia selesai meratapi saldo M-banking nya yang kosong. Gavin memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, hanya bisa menghela nafas pendek.Aina menatap Gavin dengan kaget, ragu saat ingin bertanya, "Itu-kamu-""Apa?" tanya Gavin, tidak mengerti."Makasih," ucap Aina pada akhirnya sambil menundukkan kepalanya.Gavin mengangguk. "Cepetan pulang!" titah Gavin lagi.Gadis itu masuk kembali ke ruangan ganti, mengganti pakaian sexy inya dengan kaus dan celana jeans yang sudah terlihat kusam. Ketika Aina keluar dari ruang ganti, Gavin sudah tidak ada di koridor. Dia mengigit bibir bawahnya, lalu bergegas pulang ke rumah.Karena hari sudah malam, Aina hanya bisa menunggu bus untuk pulang ke rumah dan kebetulan itu adalah bus terakhir yang beroperasi malam ini. Dia duduk di kursi belakang bus, menyandarkan kepalanya pada jendela, memikirkan dua puluh juga milik Gavin yang pria itu gunakan untuk 'membooking nya' Tiba tidak jauh dari ru
Gavin bangun ketika waktu sudah menunjukan pukul sepuluh pagi. Remaja itu menguap turun dari tempat tidur dengan wajah bantalnya. Dia keluar dari kamar sambil menguap, menurni satu persatu anak tangga, pergi ke dapur, melihat ibunya yang sedang mengelap meja. ''Kok belum mandi, Kak? Udah jam sepuluh, loh, ini,'' ujar Gina melihat anak sulungnya yang masuk ke dapur dengan wajah kuyu. ''Lapar, Mah.'' Gavin menguap lagi, duduk di kursi meja makan dengan punggung bersandar. ''Cuci muka sama sikat gigi duu, habis itu baru makan. Lebih bagus lagi sekalian madi!'' titah Gina, dia telah selesai mengelap meja, pergi untuk mencuci tangannya. Gavin mendesah malas dengan bibir cemberut. ''Males, Mah~'' rengek anak itu dengan manja. ''Gavin, kamu itu udah mau tujuh belas tahun, harus lebih dewasa. Semalem juga, kenapa papah kamu marah?'' tanya Gina, menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibir Gavin bungkam secara otomatis, dia bangkit berdiri, melenggang kembali ke kamarnya tanpa niatan untuk men
Ketika berada di kelas, Aina berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari Gavin. Sebenarnya, Gavin bukan orang pertama yang mengatakan itu. Sebelumnya, entah ketika dia masih duduk di bangku SMP atau sekarang, sudah tidak terhitung jumlahnya orang yang mengatakan bahwa dia menjijikan. Aina merasa bahwa hatinya sudah mati rasa, akan tetapi ternyata lebih terasa sakit karena orang yang mengatakan itu adalah orang yang menolongnya.Aina duduk di urutan belakang pojok di kelas, tidak ada satu pun yang mau mengajaknya bicara atau mengobrol, dia juga tidak punya teman di sekolah ini."Nyebelin banget, pasti dia sengaja ngajak Gavin ngobrol," cibir Julia yang duduk tepat di depan Aina. Gadis itu berbicara dengan nada pelan hingga hanya Aina yang mendengarnya. "Sadar diri juga penting kali!"Aina memilih bungkam meski dia tahu Julia sedang menyindirnya. Bagaimana juga, Aina tidak pernah bermaksud seperti itu pada Gavin. Dia bahkan tidak pernah berpikir yang tidak-tidak sebelumnya.Ketika jam
"Gavin, habis makan malam datang ke ruang kerja!" titah Bagas di tengah makan malam merek.Gavin menelan makanannya, agak takut dengan ekspresi ayahnya sekarang. Remaja itu menoleh pada ibunya, menatap Gina dengan tatapan memohon meminta pertolongan.Gina tidak tahu apa yang terjadi pada ayah dan anak itu, tetapi melihat wajah melas putranya, dia jadi tidak tega jika Bagas memarahinya. "Mas..."Belum sempat Gina menyelesaikan kata-katanya Bagas meliriknya dengan tatapan tajam, seolah kali ini dia tidak akan luluh dengan bujukan istrinya. Gina menutup mulutnya, balik menatap Gavin, menggeleng kecil seolah memberi isyarat bahwa dia tidak bisa membantu anak itu kali ini.Selesai sarapan, Gavin ingin pergi ke kamar akan tetapi dia tahu jika dia menghindar lagi kali ini ayahnya pasti akan semakin marah. Gavin dengan gugup berjalan ke arah ruang kerja ayahnya, dia mengetuk pintu ketika tiba di sana."Pah?" panggil Gavin dengan suara pelan."Masuk!" titah Bagas dari dalam sana.Melangkah masu
Ibu dan bapak Aina berasal dari kampung, merantau ke kota membawa putri mereka yang waktu itu masih berusia lima tahun. Saat itu Supri bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan besar, mereka tinggal di rumah kontrakan. Meskipun hidup sederhana, tapi Aina bahagia bersama ke dua orang tuanya yang mencintai dia.Di usianya yang ke sepuluh tahun, ayahnya di PHK dari tempat kerja, yang menyebabkan hidup mereka benar-benar susah saat itu. Ibunya yang membenci situasi itu lalu kabur bersama seorang pria asing, meninggalkan Aina dan Supri. Saat itu Supri masih menjadi ayah yang baik meskipun kondisinya jauh dari kata 'baik'. Dia mau berusaha mencari uang untuk hidup Aina, hingga ketika Aina masuk SMP, ayahnya yang saat itu mengantarkan pelanggan secara tidak sengaja melihat ibunya yang tengah menggendong seorang anak kecil, masuk ke dalam mobil mewah. Hidupnya tampak jauh lebih bahagia, membuat Supri frustasi dan menjadi sangat sering mabuk dan berjudi.Aina mengeratkan cardigan di tubuhnya
"Kamu siapanya Aina? Pacarnya?" Supri tiba-tiba keluar dari dalam rumah, membuat Aina dan Gavin terkejut karena pria parubaya itu langsung menyodorkan serentetan pertanyaan pada Gavin."Vin, kamu cepet pulang, ya!" titah Aina, mendorong Gavin pergi. Dia tidak ingin Gavin melihat keadaan keluarganya dan menjadi jijik pada dia, seperti teman-temannya yang lain."Kamu yang tadi sore, kan? Yang nganterin Ain pake mobil mewah?" Supri tidak peduli bahkan jika Aina menghentikannya, dia tetap melakukan apa yang dia mau."Pak, stop!"Gavin kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi. "Iya, Pak. Itu saya," jawab Gavin."Seberapa kaya kamu? Udah berapa kali kamu make Aina? Kasih saya uang kalau kamu mau menikmati anak saya!""Maksud Bapak-""Gavin cepet pergi!" Aina memaksa Gavin untuk kembali ke motornya. Gavin tidak punya pilihan selain pergi karena desakan Aina yang terus menerus. Gadis itu tampak tidak sabar untuk mengusirnya. Dia juga tidak mengerti apa maksud dari pria yang merupakan aya
Di sepanjang jam pelajaran, Gavin beberapa kali melirik Aina, namun wanita itu tetap acuh, membuat Gavin sedikit kesal. Ya, dia kesal, tapi Gavin juga tidak mengerti mengapa dirinya kesal hanya karena Aina yang terus mengabaikannya tanpa alasan yang jelas.Ketika jam istirahat tiba, Gavin pergi ke kantin untuk makan siang bersama teman-temannya. Dia sibuk memikirkan mengapa Aina diam hingga tidak menanggapi ketika temannya bertanya atau mengobrol."Lo kenapa, sih, Vin?" tanya Mario melihat wajah cemberut Gavin yang tidak biasa.Gavin menatap Mario dengan bingung. "Apanya?" Gavin balik bertanya."Ya, lo dari tadi cemberut terus, ada apa?" Mario memperjelas pertanyaannya.Gavin memang biasanya hanya memasang wajah dingin, akan tetapi hari ini Gavin tampak cemberut."Gak pa-pa." Gavin menggeleng, dia merasa bahwa dia baik-baik saja, dia tidak tahu mengapa Mario bertanya hal seperti itu.Bangkit berdiri, Gavin pergi meninggalkan teman-temannya di sana. "Mau ke mana lo, Vin?!" tanya Reno s
Gavin menghentikan pukulannya saat dia merasa puas. Melihat bolak-balik pada siswa yang terkapar di lantai dan Aina yang meringkuk ketakutan, dia segera menghampiri Aina. "Lo gak pa-pa?" tanya Gavin sambil melepas seragam sekolah yang dia pakai, memberikannya pada Aina. "Pak punya gue."Aina mengangguk sambil terisak, memakai seragam milik Gavin dengan tangan gemetar karena seragamnya sudah tidak layak untuk di pakai Lagi.Remaja itu memalingkan wajah saat Aina melepaskan seragamnya yang robek dan memakai miliknya."Ayo berdiri, gue bantu!" Gavin hendak mengulurkan tangan, membantu gadis itu bangkit berdiri saat Aina menghindarinya."A-aku bisa sendiri, Vin," tolak Aina sambil berusaha bangkit berdiri dengan bertumpu pada tembok.Ketika keduanya hendak pergi, sekelompok guru dan siswa tiba-tiba masuk ke dalam gudang."ADA APA INI?!" Seorang guru pria menatap Gavin dan Aina, lalu terakhir tatapannya jatuh pada siswa yang terkapar di lantai. "Cepet panggil ambulans!" titah guru pria itu