"MAMAH!" Anak-anak Gina berseru secara bersamaan ketika melihat Gina yang sudah lepas dari berbagai alat rumah sakit, tampak sedang bercakap-cakap dengan seorang dokter.Gina tersenyum lembut melihat kedatangan ke tiga anaknya. Ketika mereka memeluk dirinya, Gina tidak bisa membendung air mata yang kini menetes. Hatinya lega melihat anak-anak sekarang."Ghazi kangen sama Mamah!" ujar anak itu sambil terisak."Binar juga kangen banget sama Mamah! Binar enggak mau dedek bayi yang jelek, maunya Mamah aja!"Lengan Gina terulur, mengelus satu persatu pucuk kepala mereka. "Maafin Mamah, yah. Mamah juga kangen sama kalian." Gina tidak bisa membayangkan jika dia tidak bangun dan meninggalkan ke tiga anaknya."Jangan neken kaya gitu, Mamah batu bangun," peringat Bagas.Ghazi serta Gavin langsung melepaskan pelukan mereka pada Gina."Mamah enggak sakit lagi, kan?" tanya Ghazi."Enggak, kok," jawab Gina sambil tersenyum.Hati Bagas menghangat melihat Gina dan ke tiga anak merek. Dia bisa bernafas
"Pokoknya malem ini kita harus jadi, kalau enggak gue ngambek!" seru seorang remaja perempuan berusia enam belas tahun yang duduk di bangku kelas dua belas SMA. Remaja itu bernama Julia yang duduk di antara tiga remaja laki-laki lainnya."Gavin, nih, enggak jadi mulu. Kemaren padahal udah fiks mau pergi," sahut Mario, remaja lainnya."Adek gue nangis pengen ikut, gimana bisa gue ajak dia ke club malem?" tanya Gavin dengan acuh.Gavin, remaja yang dulu tinggal di pedesaan dan jauh dari hal-hal berbau negatif kini semakin bisa menyatu dengan kehidupannya yang sekarang. Bergaul dengan para remaja-remaja kaya yang suka menghamburkan uang dan berbuat hal yang seharusnya tidak dilakukan seorang anak di bawah umur, sudah menjadi hal yang tidak aneh bagi Gavin. Merokok, alkohol dan bahkan meniduri seorang perempuan. Tentu saja tidak semua Gavin lakukan, dia masih takut pada hukuman ayahnya jika mengetahui apa yang dia lakukan di luar."Kebetulan, bokap gue baru aja beliin mobil baru, gimana k
"Kenapa lo di sini?" Bukannya menjawab, Gavin malah balik bertanya pada Aina.Aina melengos, berjalan pergi meninggalkan Gavin yang terus menatap tubuhnya."Woi! Tunggu! Lo kenapa di sini? Kenapa pake baju kaya gitu?" Gavin mengejar Aina, melontarkan pertanyaan terus-menerus.Aina tiba-tiba menghentikan langkahnya, berbalik menatap Gavin. "Aku kerja, masa gitu aja enggak bisa liat?""Hah? Masih enam belas tahun, kenapa lo kerja di tempat kaya gini?" Gavin menatap Aina dengan tatapan tidak percaya.Bahkan jika ada pekerjaan yang merekrut anak di bawah umur, yang pasti bukan pekerjaan seperti itu, kan? Bagaimana bisa gadis itu tidak merasa ada yang salah dengan apa yang dia lakukan."Kamu juga baru enam belas tahun, tapi masuk ke tempat kaya gini," balas Aina.Gavin tiba-tiba tidak tahu bagaimana harus berkata. "Ah-itu, gue cuma di ajak!"Aina mendengus, berbalik pergi dan kali ini tidak menoleh ke belakang. Gavin sendiri hanya diam terpaku, menatap punggung gadis itu yang semakin jauh
"Cepet pulang, ini udah malem!" titah Gavin pada Aina ketika dia selesai meratapi saldo M-banking nya yang kosong. Gavin memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, hanya bisa menghela nafas pendek.Aina menatap Gavin dengan kaget, ragu saat ingin bertanya, "Itu-kamu-""Apa?" tanya Gavin, tidak mengerti."Makasih," ucap Aina pada akhirnya sambil menundukkan kepalanya.Gavin mengangguk. "Cepetan pulang!" titah Gavin lagi.Gadis itu masuk kembali ke ruangan ganti, mengganti pakaian sexy inya dengan kaus dan celana jeans yang sudah terlihat kusam. Ketika Aina keluar dari ruang ganti, Gavin sudah tidak ada di koridor. Dia mengigit bibir bawahnya, lalu bergegas pulang ke rumah.Karena hari sudah malam, Aina hanya bisa menunggu bus untuk pulang ke rumah dan kebetulan itu adalah bus terakhir yang beroperasi malam ini. Dia duduk di kursi belakang bus, menyandarkan kepalanya pada jendela, memikirkan dua puluh juga milik Gavin yang pria itu gunakan untuk 'membooking nya' Tiba tidak jauh dari ru
Gavin bangun ketika waktu sudah menunjukan pukul sepuluh pagi. Remaja itu menguap turun dari tempat tidur dengan wajah bantalnya. Dia keluar dari kamar sambil menguap, menurni satu persatu anak tangga, pergi ke dapur, melihat ibunya yang sedang mengelap meja. ''Kok belum mandi, Kak? Udah jam sepuluh, loh, ini,'' ujar Gina melihat anak sulungnya yang masuk ke dapur dengan wajah kuyu. ''Lapar, Mah.'' Gavin menguap lagi, duduk di kursi meja makan dengan punggung bersandar. ''Cuci muka sama sikat gigi duu, habis itu baru makan. Lebih bagus lagi sekalian madi!'' titah Gina, dia telah selesai mengelap meja, pergi untuk mencuci tangannya. Gavin mendesah malas dengan bibir cemberut. ''Males, Mah~'' rengek anak itu dengan manja. ''Gavin, kamu itu udah mau tujuh belas tahun, harus lebih dewasa. Semalem juga, kenapa papah kamu marah?'' tanya Gina, menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibir Gavin bungkam secara otomatis, dia bangkit berdiri, melenggang kembali ke kamarnya tanpa niatan untuk men
Ketika berada di kelas, Aina berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari Gavin. Sebenarnya, Gavin bukan orang pertama yang mengatakan itu. Sebelumnya, entah ketika dia masih duduk di bangku SMP atau sekarang, sudah tidak terhitung jumlahnya orang yang mengatakan bahwa dia menjijikan. Aina merasa bahwa hatinya sudah mati rasa, akan tetapi ternyata lebih terasa sakit karena orang yang mengatakan itu adalah orang yang menolongnya.Aina duduk di urutan belakang pojok di kelas, tidak ada satu pun yang mau mengajaknya bicara atau mengobrol, dia juga tidak punya teman di sekolah ini."Nyebelin banget, pasti dia sengaja ngajak Gavin ngobrol," cibir Julia yang duduk tepat di depan Aina. Gadis itu berbicara dengan nada pelan hingga hanya Aina yang mendengarnya. "Sadar diri juga penting kali!"Aina memilih bungkam meski dia tahu Julia sedang menyindirnya. Bagaimana juga, Aina tidak pernah bermaksud seperti itu pada Gavin. Dia bahkan tidak pernah berpikir yang tidak-tidak sebelumnya.Ketika jam
"Gavin, habis makan malam datang ke ruang kerja!" titah Bagas di tengah makan malam merek.Gavin menelan makanannya, agak takut dengan ekspresi ayahnya sekarang. Remaja itu menoleh pada ibunya, menatap Gina dengan tatapan memohon meminta pertolongan.Gina tidak tahu apa yang terjadi pada ayah dan anak itu, tetapi melihat wajah melas putranya, dia jadi tidak tega jika Bagas memarahinya. "Mas..."Belum sempat Gina menyelesaikan kata-katanya Bagas meliriknya dengan tatapan tajam, seolah kali ini dia tidak akan luluh dengan bujukan istrinya. Gina menutup mulutnya, balik menatap Gavin, menggeleng kecil seolah memberi isyarat bahwa dia tidak bisa membantu anak itu kali ini.Selesai sarapan, Gavin ingin pergi ke kamar akan tetapi dia tahu jika dia menghindar lagi kali ini ayahnya pasti akan semakin marah. Gavin dengan gugup berjalan ke arah ruang kerja ayahnya, dia mengetuk pintu ketika tiba di sana."Pah?" panggil Gavin dengan suara pelan."Masuk!" titah Bagas dari dalam sana.Melangkah masu
Ibu dan bapak Aina berasal dari kampung, merantau ke kota membawa putri mereka yang waktu itu masih berusia lima tahun. Saat itu Supri bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan besar, mereka tinggal di rumah kontrakan. Meskipun hidup sederhana, tapi Aina bahagia bersama ke dua orang tuanya yang mencintai dia.Di usianya yang ke sepuluh tahun, ayahnya di PHK dari tempat kerja, yang menyebabkan hidup mereka benar-benar susah saat itu. Ibunya yang membenci situasi itu lalu kabur bersama seorang pria asing, meninggalkan Aina dan Supri. Saat itu Supri masih menjadi ayah yang baik meskipun kondisinya jauh dari kata 'baik'. Dia mau berusaha mencari uang untuk hidup Aina, hingga ketika Aina masuk SMP, ayahnya yang saat itu mengantarkan pelanggan secara tidak sengaja melihat ibunya yang tengah menggendong seorang anak kecil, masuk ke dalam mobil mewah. Hidupnya tampak jauh lebih bahagia, membuat Supri frustasi dan menjadi sangat sering mabuk dan berjudi.Aina mengeratkan cardigan di tubuhnya